Laman

Sabtu, 27 Maret 2010

Rekontruksi Islam Sunnah-Syi'ah-Wahabi dan Liberalisme

DIAGNOSA PSIKOANALISIS DAN REKONTRUKSI SEJARAH ISLAM
SEBUAH UPAYA MELIHAT ‘ISLAM-BARU’,
REKONSILIASI MADZAB BESAR ISLAM;
SYI’AH-SUNNAH-WAHABI-LIBERALIS

BAB-BAB BUKU (Rencana Buku)
BAB 1. PROBLEM PENDEKATAN DALAM ISLAM
BAB 2. BELAJAR DARI BARAT ‘REKONTRUKSI KESALAHAN’
BAB 3. PENGANTAR PSIKO-ANALISA
BAB 4. PSIKO-ANALISA SEBAGAI DIAGNOSA (HERMENEUTIKA DALAM)
BAB 5. PEMAHAMAN TEKS DAN ILMU TAFSIR (HERMENEUTIKA)
BAB 6. SEJARAH PERADABAN ISLAM SINGKAT
BAB 7. KONSEP SEJARAH DAN PEMBACAAN SEJARAH AWAL ISLAM
BAB 8. PENELAAHAN SEJARAH ISLAM DENGAN METODOLOGI ‘BARU’, SEBUAH UPAYA REKONSILIASI
BAB 9. SOLUSI ALTERNATIF REKONSILIASI MADZAB BESAR ISLAM (SYI’AH-SUNNAH-WAHABI-LIBERALIS)



BAB 1. PROBLEM PENDEKATAN DALAM ’PEMBACAAN’
SEJARAH DALAM ISLAM

Hampir disepakati bahwa islam mengalami keterpurukan saat ini, mulai ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan tehnologi. Kalau masih boleh ada yangn dibanggakan mungkin adalah ’moral’ (tidak separah kerusakannya dalam masyarakat Barat-Kristen). Walau dengan upaya-upayanya barat sekarang mencoba untuk menanggulangi itu. Dengan kritik terhadap positivisme, modernisme-nya sendiri, post-modernisme, madzab Frankfurt, mengarah ke sosialis-demokrat (atau welfare state) dst. Lalu bagaimana dengan belahan lain, Islam? Apa yang sudah dilakukannya?
Kejumudan, pemikiran agamis-melangit, salah urus, salah tata, tidak menempatkan pada tempatnya urusan kemaslahatan (kompromistis) dan urusan agama (individualis dan keyakinan). Ini masih simpang-siur, masih mencari bentuk antara kelompok Islam Modernis dan Islam Tradisional. Bahkan masalah bagaimana menggabungkan, mengintegrasikan Islam dengan urusan ke-Negara-an, masih polemik belum terselesaikan. Lalu bagaimana mestinya?
Mestinya kita melihat sejarah Islam (bagaimana Islam tumbuh, jaya dan mundur serta ’hancur’ seperti sekarang). Lalu kita melihat bagaimana tokoh-tokoh islam mulai dari Saudi Arabia (Abdul Wahhab dan Ibn Saud dst), Mesir (Afgani, Abduh, Ridha dst), India (Ahmad Khan dll), , Pakistan, Turki (Zia golaps, attaturk dst), juga masa-masa dekat kemarin, mengupayakan kemajuan Islam (menurut kepala-kepala mereka). Juga kita bisa merekontruksi bagaimana konsep sejarah Islam arab sebelum Nabi, kenabian, Sahabat, fenomena Al Qur’an, Sunnah/hadis, Teologi-Filsafat, Sufi, Syariat dst. Dengan ini kita dapat mulai melihat Islam, islam akan mulai menampakkan bentuknya. Struktur tak berubahnya dan anasir-anasir individualitasnya. Seakan dengan ini kita melakukan abstraksi (melakukan pembersihan) dari kemajemukan menjadi keluar ’Hakekat’ yang sebenarnya. Dengan ini kita mampu melihat mada yang tidak semestinya berubah-ubah dan mana yang berubah-ubah. Tapi jangan cepat menyelesaikan hasil itu, seakan pekerjaan itu mudah dan cepat.Semua hasil itu, harus dilakukan dialog intersubjektif antar pemeluk, dengan ’demokrasi kebenaran’.
Apakah ini mudah? Kalau ini mungkin tidak terlalu sulit (sebab itu dapat dialkukan dengan intelektual, riset-riset, dan dengan pembiayaan khusus dst), yang menjadi lebih sulit adalah mengkomunikasikan itu (mengkomunikasikan hasil temuan, dengan dialog intersubjektif, tanpa sensor dan resistensi). Disinilah perlunya apa yang dinamakan 3 jalan melingkar. Pertama harus diandaikan adanya ukhuwah islamiyyah sebenarnya (ini kerja paling sulit), kedua, mencari islam yang islam (kerja-kerja intelektual diatas), ketiga, mengadop progresifitas barat dan temuan-temuan barat lain. Mengapa ini penting? Sebab Barat adalah beragama seperti Islam, mereka mengalami juga problem kemodernan seperti Islam, walau mungkin banyak kita mengatakan agama mereka ’hancur’ karena kemodernan dan kemajuan ilmu dan tehnologi mereka dst. Tetapi kita mesti ingat banyak hasil yang sudah mereka peroleh dan itu kasat mata. Ilmu, tehnologi, kemajuan material dll. Dan dalam Islam dianjurkan agar kita tidak terperosok dalm lubang yang dimasuki orang lain, kita mesti mengambil pelajaran dari mereka. Lihat buku Edward Said, bagaimana barat mencari identitasnya dengan membedakan dirinya dengan timur, memperbaiki dirinya dari kebijaksanaan timur dst. Bahkan sekarangpun barat, karena sudah mengetahui jalan yang ditempuhnya mengandung kesalahan fatal dengan dogmatisme ilmiah, keluar konsep kritik-ideologi Madzab frankfurt dan Habermas-nya. Posmodernisme dll....yang karena itu semua, mereka rajin menggali kebijaksanaan timur (Cina, Jepang, India, Budha dan Hindu).
Mestinya kita memadukan berbagai cara pikir, terutama semangat keagamaan ulama, dan sikap rasional, kritis barat (orientalis). Mestinya kita berusaha menggabungkan hasil ilmu pengetahuan barat mutakhir dalam berbagai bidang (filsafat, antropologi dan psikologi), sikap teliti dan kritis ’orientalis’, semangat keagamaan ulama dan angan-angan sosial visioner kedepan masyarakat Islam umumnya. Mestinya kita melampaui studi-studi polemis (perdebatan) kajian tradisional (dimana menempatkan teks-teks yang sudah dibuat sebagai sandaran utama tanpa koreksi. Lihat saja diskusi Wahabi-Sunnah-Syi’ah, dimana ketiganya menggunakan dalil-dalil teks-teks yang ada, jarang sekali walau sering juga dikemukakan sejarah yang sangat berbeda, bentuk kebenaran yang berbeda, saling mencurigai masing-masing teks, dan hanya mencomot sana-sini, dari kitab-kitab tradisional masing-masing pihak untuk menunjukkan kesalahan pihak lain dan kebenaran miliknya).
Padahal semua kelompok itu faham, bahwa teks-teks tertentu dibuat dengan muatan politis, sosial psikologis tertentu yang patut dicurigai. Disinilah mestinya kita mengambil metode barat dalam hal Hermeneutika . Baik hermeneutika luar (biasa), hermeneutika dalam (khusus, psikoanalilsis).
Mestinya ada ulama, pemikir Islam yang berusaha menggabungkan hasil ilmu pengetahuan mutakhir barat dengan pemikiran Islam guna membebaskan pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan yang dicirikan islam sampai saat ini, dan melahirkan suatu pemikiran islami yang menjawab tantangan yang dihadapi manusia Islam pada masa ini. Mestinya ada pemikir yang membuat kritikan pemikiran Islam, dengan betul-betul kritik. Semacam Madzab frankfurt mengkritik dan menelanjangi modernitas barat, atau Edwar Said menelanjangi pemikiran dan pranata Orientalisme. Mungkin itu sudah diupayakan seperti statemen-statemen; ’Kritik Nalar Islam’ (Arkoun), Kritik Nalar Arab (Al Jabiri), tapi belum meluas dan jelas dalam penerapannya.
Ada hubungan erat antara perkembangan intelektual, sosial, dan politik. Hal ini berlaku bila kita melihat baik kebelakang maupun kedepan. Dan dalam hubungannya dengan proses pembekuan dan penutupan pemikiran yang telah mengenai dunia Islam, bahkan dalam tahap dini, faktor sosial-politik sangat berperan penting. Dengan upaya pembukaan kembali proses pemikiran Islam (lewat campuran metode diatas) diharapkan adanya emansipasi manusia Islam dari perbudakan yang dibuatnya sendiri (yang tidak hanya dalam masalah inteletual belaka).
Pemikiran Islam adalah ’Dogmatis’, sebab mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan dalam wahyu ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasi dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat tertentu ataupun dalam berbagai wacana ajaran khas aliran teologis dan figih tertentu. Pemikiran Islam juga tidak sadar akan berbagai faktor sosial, budaya, psikis, politis dan lain-lain yang mempengaruhi proses aktualisasi tersebut. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal seperti ini baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern. Dan akibat dari proses aktualisasi dan penjelmaan, yang sifat dimensinya tidak disadari, adalah pembekuan dan penutupan pemikiran Islam, lahirnya banyak hal yang tak dipikirkan atau tak terpikir, perkembangan sejumlah aliran dan kelompok yang berhadapan dengan sikap polemis (Syi’ah-Sunnah-Wahabi), apologetis, dan menolak, dan akhirnya ketidakmampuan pemikiran islam itu untuk menjawab tantangan zaman.
Kita mestinya mengambil ilmu barat, bukan dari para orientalis, sebab kepentingannya, keseriusannya berbeda. Inilah problem kebanyakan intelektual Islam. Mereka banyak mengadop konsep, cara berfikir orientasli. Padahal kelemahan orientalis adalah; 1) hanya mendekati Islam dari teks-teks yang mewakili, padahal tidak harus seperti itu Islam. 2) para ahli berada diluar objek penelitiannya dan menolak tanggung jawab secara intelektual atas pokok bahasan mereka. Sehingga mereka seakan berprilakau seperti pemandu museum yang sabar, meminjam ucapan Arkoun.
”memang benar bahwa metode filologis dan historisis yang diterapkan pada teks-teks suci yang berasal dari satu tradisi keagamaan meninggalkan suatu wilayah berupa reruntuhan; kaum muslim berhak untuk merasa terhina melilhat suatu penelitian yang tidak bertanggung jawab secara intelektual yang merusak bahkan tanpa meletakkan beberapa batu sehingga memberi kemungkinan pembangunan kembali.”
3) keseriusan dalam melihat bidang garap kurang, disebabkan motif tidak begitu murni. Tetapi berbeda bila kita mengambil metode-metode mereka untuk kritik pada diri mereka sendiri. Seperti Horkeimer, Adorno, Habermas, Gadamer, Gramsci, Levystruss, Ricour, Foucoult, Derrida, Barthes, Northrop Frye, Desausure, dst. Metode-metode ini lebih maju dan serius dalam penggunaan mereka untuk merekontruki sejarah peradaban mereka sendiri. Mestinya itu kita ambil dan kita terapkan pada Islam. Bukan semacam orientalis, yang metodenya dari mereka sendiri (hanya mengandalkan Filologi, betul-betul terbelakang kata Said), dan contoh penerapannya juga dari mereka (padahal merekontruksi sejarah ’milik orang lain’).
Dengan hanya pendekatan filologis, akhirnya menjadi filologisme, yaitu hanya cara tertentu dalam mendekati teks, membatasi, dan memahami objek penelitian. Mendekati melaui teks (terutama teks tertulis), membatasinya pada hal-hal yang dibicarakan dalam teks itu, dan memahaminya menurut suatu penafsiran ’dogmatis’ dari teks itu. Maksud dogmatis itu adalah penafsiran seolah-olah sutau teks merupakan gambaran langsung, sempurna, dan menyeluruh dari ’kenyataan’. (padahal apa yang dituliskan dalam teks, terkadang sangat kontras dengan masyarakat. Ada agama kitab dan agama masyarakat. Yang tertulis itu ’sejarah’ dan sejarah adalah sesuatu yang ’menang’. Maka yang tak terpikirkan dan tak terpikir ditiadakan).
Dalam teks tertulis, khususnya dalam dialog polemik, seringkali antar peserta dialog menggunakan pemikiran dengan ciri pembatasan yang berlawanan. Artinya yang pertama hanya memperhatikan ’fakta positif dan historis’ dan mengingkari matra angan-angan dan mitis, yang kedua mempertahankan berbagai unsur angan-angan sebagai ’fakta positif dan historis’. Ini terlihat dalam dialog atau upaya pemahaman Barat (kelompok pertama) dan ’orang-Islam umumnya’ kelompok kedua. Dalam pembacaan seperti ini keluar kelompok madzab dalam Islam ke 4 yaitu Liberalis. Dimana kalau Syiah-Sunnah-Wahabi polemik karena perbedaan data yang dianggap benar (konsep pembacaannya sama), kelompok ke 4, Liberalis (ada dalam ke 3 kelompok itu, hanya pembacaan teks-teks berbeda, cenderung menonjolkan ’fakta positif dan historis’). Jadi dalam Islam ada 4 kelompok; Syi’ah-Sunnah-Wahabi-Liberal.
Konsep-konsep Barat Mutakhir
Pandangan tradisional mengenai teks adalah bahwa suatu teks (lisan atau tertulis) merupakan gambaran langsung dari kenyataan dan bahwa bahasa terdiri dari sejumlah kata yang mewakili atau merujuk pada hal dan benda dalam kenyataan secara langsung. Pandangan ini pada abad XX sudah semakin dipermasalahkan (oleh Frye, Foucault, de Saussure dll). De Saussure (1857-1913) mengatakan; bahasa pada intinya terdiri dari sejumlah tanda. Tanda-tanda itu tidak langsung merujuk pada sekian banyak benda dalam kenyataan. Tanda adalah gabungan dari dua unsur, suatu unsur material, signifiant, penanda (bunyi tertentu dalam bahasa lisan, coretan grafis dalam bahasa tulis) dan unsur mental, signifie, petanda (konsep, tidak harus kenyataan). Keduanya tak bisa lepas. Inti bahasa adalah aturan tertentu yang menentukan hubungan berbagai unsur. Setiap penutur harus tunduk pada aturan itu. Aturan yang menentukan hubungan antar berbagai unsur bahasa tidak mempunyai kaitan langsung dengan hubungan yang terdapat antara ’benda-benda’ dalam kenyataan. Jadi apabila manusia memakai bahasa, ia tidak langsung berbicara tentang ’kenyataan’, melainkan tunduk pada beraneka ragam aturan umum yang tidak disadari.
Dalam semiotika (ilmu tentang tanda), menganalisa objek studinya sebagai suatu himpinan atau sistem dari sejumlah tanda yang saling merujuk aturan tertentu. Salah satu konsep dalam semiotika yang penting adalah; Korpus, yaitu suatu himpunan terbatas (atau berbatas) dari unsur yang memiliki suatu sifat bersama tertentu atau tunduk pada aturan yang sama dan kerena itu dapat dianalisa sebagai keseluruhan. Karena ayat al qur’an, teks-teks klasik adalah sebuah tanda, maka pemaknaan dan pembacaannya dapat juga dengan semiotika, walau ilmu yang terakhir ini punya keterbatasan dalam melihat teks keagamaan (apalagi wahyu). Yang terpenting adalah bukan tanda-tanda dan hubungan berbagai tandalah yang utama, melainkan makna, dan pembentukan dan perubahannya serta penafsiran makna dan perubahan dalam penafsiran.
Sebab sebuah teks (baik Al Qur’an, Hadist, Figh, Syariat dan teks-tek klasik; seperti Ijma’, Qiyas/analogi dst), bagaimana itu dibaca, dimaknai dan ditafsirkan oleh para awwalin, perubahannya, mengapa pembacaan dan penafsiran tertentu yang ’menang’ dan yang lain tersingkir, bagaimana perubahan pemaknaan dan penafsiran itu berjalandalam sejarah ’belajar’ ummat dst.
Dalam menelaah Islam mestinya kita tidak terdikotomi oleh kelompok; ’fakta positif dan historis’ atau ’angan-angan (sosial ) dan mitis. Kelompok Islamolog barat juga islamolog Tradisional, menganggap angan-angan sosial dan mitis sebagai sisa suatu bentuk pemikiran yang terbelakang atau menyeleweng, atau sebagai gejala marjinal, atau sebagai hal yang sama sekali tidak relevan untuk penelitian ilmiah. Kita mesti ingat bahwa angan angan sosial ini penting dalam penelaahan Islam dan teks-teks Islami. Karena angan-angan sosial dan mitis memberikan identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Angan angan sosial dibangun dari berbagai unsur sejarah nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan, tetapi unsur itu diungkapkan kembali menjadi berbagai citra, cerita, dan nilai. Unsur penting dari angan-angan sosial adalah mitos.
Jadi cerita-cerita, teks ataupun yang lain seperti itu tidak mesti ditinggalkan (atau dikritis semacam konsep sejarah), sebab dalam Mitos itu bercampur. Yang mesti kita ’perbaiki’ adalah pemitologian. Sehingga mitos menjadi ideologi dan pemistikan. Untuk studi ini kita perlu Barthes yang berpendapat bahwa manusia dalam ungkapan-ungkapan berbahasanya tidak langsung membicarakan ’kenyataan’ melainkan menggunakan berbagai tanda sesuai dengan aturan tertentu. Tanda kata Barthes merupakan gabungan penanda dan petanda, yang pada gilirannya dapat menjadi penanda dalam suatu ’sistem semiotis tingkat dua (sistem semiotis Mitos). Kata Ricour menggunakan simbol dan tanda tidak sama dengan bahasa rasional, yang berbicara tentang anggitan (konsep), walaupun demikian mitos bukan sekadar hayal tak berarti. Hanya dalam mitos sudah ada ’penyembahan idola-idola’, segala sesuatu yang di sakralkan. Proses penyelewengan mitos, yang berdasarkan simbol, menjadi penyembahan idola, disebut pemistikan (pemitologian, mistifikasi). Pemitosan itu dapat ’dikurangi’ atau ditiadakan dengan ’pengingatan kembali’.
Kitab suci kata Frye ditulis bukan dalam bahasa historis yang diskriptif, melainkan dengan bahasa Mitos (disini jangan diartikan isinya mengandung kebohongan). Suatu bahasa Mitos, tidak dimaksudkan untuk memerikan suatu keadaan khusus, tetapi untuk memuatnya dengan cara yang tidak membatasi makna pada keadaan saat itu.
Inilah sisi bermata ganda bahasa mitos (semacam yang digunakan dalam teks-teks kitab suci). Mitos dapat mengisi fungsi pelestari dan juga sekaligus pembeku (jika bahasa itu, di idolakan dan digunakan kelompok tertentu yang dominan untuk mempertahankan dan membenarkan suatu Hirarkhi sosial yang telah dilembagakan).
Dan kita mestinya setelah melihat kedepan, melangkah untuk menanyakan, mengapa semiotika (aturan tanda, hubungan tanda-tanda dan pemaknaanya) itu terjadi seperti ini dan itu. De saussure, Barthes tidak menyelesaikan masalah. Tetapi kita dibantu ini oleh foucault (1926-1984), dimana dia mengatakan; manusia pada tiap zaman menangkap kenyataan dengan cara tertentu. Cara manusia menangkap oleh Faucoult disebut Epistema,

" Setiap zaman memiliki pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, cara pendekatan tertentu… setiap zaman mempunyai suatu apriori histories tertentu. Keseluruhan pengandaian-pengandaian itu membentuk suatu system yang teguh. Semua itu tidak diinsyafi dengan jelas oleh orang-orang bersangkutan, tetapi secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan dan pembicaraan mereka. Semua itu dinamakan episteme, yaitu suatu system pemikiran yang menjuruskan cara mempraktekkan ilmu pengetahuan pada zaman tersebut. Dan dalam setiap masa terlihat regularitas, yaitu keseluruhan kondisi yang memainkan peran dalam suatu diskursus dan menjamin serta menentukan jadinya diskursus itu.

Karena manusia menangkap kenyataan dengan cara tertentu. Ia juga membicarakan dengan cara tertentu. Cara manusia membicarakan kenyataan disebut ‘Wacana’. Episteme dan wacana tunduk pada berbagai aturan, yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari kenyataan, apa yang dianggap penting dan tidak penting, hubungan apa yang diadakan antara berbagai unsur kenyataan dalam penggolongan dan analisis dsb. Setiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara yang berlainan.
Faucoult berbeda dengan De Saussure, dimana siap pembicara, apa maksud pembicaraannya dst. Pendekatan ‘sejarah pemikiran’ ditolak oleh Faucoult karena ‘sejarah pemikiran’ berusaha menemukan dan menunjukkan kesinambungan dimanapun; berusaha menjelaskan pemikiran, teks, wacana dengan bertolak dari maksud subjek dan demikian mengutamakan subjek dibanding episteme. Disini menurut saya timpang, sebab individu, subjek, diandaikan tenggelam oleh kerumunan masa. Padahal ‘perubahan’ itu awalnya dari individual lalu menumpuk-menumpuk dan akhirnya memecah paradigma (episteme) lama menggantikan yang baru.Tapi kita mestinya tidak berhenti disini, tetapi bertanya lagi mengapa Episteme muncul dan berubah. Ini kita bisa minta bantuan pada Khun, Gidden, Piaget dan Antonio Gramsci.
Dengan semua hal diatas, lalu kita kembali Kalau kita melihat sejarah, bagaimana perkembangan Islam mulai zaman pra-islam, kenabian, kehidupan sahabat, Kodifikasi dan pembakuan pembacaan Al Qur’an, perkembangan Hadist, Syariah, Figh, Teologi/Filsafat dan Sufi, juga Para ilmuan. Maka akan tampak ada pergeseran ‘pusat’, penutupan cara ‘berfikir tertentu’, dan mencuatnya atau menangnya cara berfikir yang lain. Bahkan banyak hal-hal kalau ditinjau dari zaman ‘dulu’, sesuatu yang sekarang ini tampak mewah. Semacam ungkapan para peneliti, yang melihat ‘metodologi ilmiah’.
Disinilah kita mesti melakukan ‘Kritik’ dalam artian Filsafat kritis untuk membebaskan Islam dari cara berfikir Dogmatis menjadi yang lebih emansipatoris. Salah satu cara kita dapat pulih adalah dengan mengubah episteme (tetapi mestinya ‘membongkar’ dulu problematika epieteme itu) abad pertengahan islam menjadi ‘episteme modern’. Salah satu ciri episteme modern adalah sadar akan kesejarahan nalar dan dengan demikian meninggalkan dogmatisme yang masih berurat-berakar dalam pemikiran islam manapun. Disamping itu bila pembongkaran ini sukses (dalam artian positif), maka akan otomatis akan ada gerakan pendekatan (Ukhuwah antar 4 madzab Islam; Syi’ah-Sunnah-Wahabi-Liberal).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar