Laman

Minggu, 09 Mei 2010

BAHAYA PENDIDIKAN & UKURAN PENDIDIKAN YG “SEHARUSNYA” (Wacana)


“Berilah kasih sayangmu (padanya, anak-murid, siswa dst: pen), tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,… jiwa mereka adalah penghuni masa depan yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi… sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, pun tidak tenggelam dimasa lampau " ( Aforisma, Khalil Jibran Khalil)

Istilah pedagogy hitam, sudah keluar sejak lama…utamanya setelah Paul-Freire (Pendidik-Marxian) menulis buku tentang “Pedagogy of the oppressed” (pendidikan kaum tertindah). Dalam buku ini Freire mengeritik pendidikan sekarang yang bukan memanusiakan manusia tetapi justru menjadikan manusia menjadi bisu….buta.
Pendidikan adalah upaya menjadikan potensi menjadi aktualita…menjadikan yang awalnya ‘tidak punya menjadi punya’. Punya pengetahuan, ilmu, skill, kesadaran, kekayaan, kesehatan dst. Pendidikan akan menjadi seperti ini katanya, bila pendidikan itu melakukan tugasnya dengan baik…bila tidak maka akan sebaliknya. Sebab Kurikulum, buku, proses pendidikan, pembelajaran, strategi, metode guru itu, katanya lebih lanjut, sebenarnya mengantarkan sesuatu “Realitas” kepada para murid-nya.
Walau dalam pendidikan kontruktivism (konsep pendidikan yang sekarang banyak dianut, di Negara kita utamanya, dari filsuf Pengetahuan, Jean Piaget) mengatakan bahwa anak-lah yang mengkontruk realita (makna), dan itu memang ‘benar’. Tetapi mesti kita juga ingat, kontruk awal menentukan kontruk selanjutnya kata Piaget. Kontruk selanjutnya ditentukan oleh realita yang datang….Apa artinya? Bettencourt (1989) juga menyebutkan beberapa hal yang menghambat kontruksi pengetahuan manusia; 1) Kontruksi pengetahuan kita yang lama, 2) Domain pengalaman kita, 3) Jaringan struktur kognitif kita.
Bila realita sudah diredusir….anak tidak melihat ‘realita sebenarnya’…tetapi realita yang disodorkan kepadanya…realita-nya seorang guru? Pendidikan model ‘bank’. Anak menghafal kejadian sesuatu, tahap demi tahap…dst. Tidak ada pertanyaan mengapa? Mengapa harus seperti ini dst. Maka bukan realita yang dilihat anak, tetapi pseudo-reality (realitas yang sudah teredusir oleh kepentingan, keinginan, skala prioritas dst seorang guru).
Kita lihat saja contoh kecil kejadian kecelakaan; kerumunan masa itu melihat berbagai macam realitas, fakta. Ana yang mengamati bagaimana otak-nya keluar dari tempurung kepala korban, bagaimana darah tercecer. Ada yang mengamati bagaimana orang-orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengamankan dompet, jam-tangan, sepatu bahkan kaca-mata si korban. Ada yang mengamati bagaimana kerumunan massa teriak-teriak saling berdesakan, padahal si korban butuh pertolongan cepat. Ada yang mengamati bagaimana sikap lambannya petugas kepolisian datang dst…dst. Inilah realita, inilah fakta yang bermacam-macam. Guru dalam kelas bisa meredusir itu….wartawan juga….televisi apalagi. Tergantung mana yang ditulis, tergantung mana yang diajarkan, tergantung mana yang dicatatakan, disodorkan, didokumentasikan….kalau ingin ngerjai polisi, maka polisi yang lagi kurang sigap yang didokumentasikan dst.
Antony Gidden (mengatakan; Tindakan manusia dapat dibedakan menjadi; 1) Motif tidak sadar (unconciousness motives). Ke kampus bukan cari ilmu, hanya rutinitas, “kenapa kita pakai pakaian warna ini hari ini?”, “Mengapa kita naik angkutan kota line ini sekarang kok tidak nanti?” dan seterusnya. Ini semua dilakukan karena "ada rasa aman secara ontologis" (ontologis security), sehingga tidak perlu mempertanyaan setiap tindakan. Kita tidak perlu berfikir mengapa? 2) Kesadaran Praktis (practical conciousness), yaitu tindakan yang dilakukan sesuai dengan petunjuk, kebiasaan, formalisasi aturan, procedural (sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi). Tindakannya sudah sesuai prosedur. 3) Kesadaran diskursif (discursive conciousness) disini dalam melakukan tindakan, kita selalu memiliki cakrawala yang luas, menghubungkan kejadian yang satu dengan yang lain, selalu melakukan analisa social, mempertanyakan mengapa dan apa sebab harus melakukan ini itu dan seterusnya.
Tindakan yang ketiga inilah yang memungkinkan kita berubah….dari tidak tahu menjadi tahu, dari salah menjadi benar…dari terjajah menjadi merdeka..dari miskin menjadi kaya…dari tidak sadar menjadi sadar dst. Inilah inti pendidikan mestinya.
Contoh-contoh ‘Kesalahan’ berfikir tingkat dunia, yang akhirnya diubah; Galelio mengubah konsep gereja dari bumi sebagai pusat menjadi Matahari, Revolusi Einstein mengganti cara berfikir Newtonian, tadjid-tadjid ulama besar seperti Syafi’I dengan buku Ar-Risalah-nya, Khomeini dengan konsep Wilayah-Faqih (di madzab Syiah) dst.
Lihat saja pendidikan-pendidikan sekarang ini? Disekolah, kelas, kampus dan ditempat-tempat lain, bahkan ditempat kerja (yang katanya menghasilkan uang, kalau dikelas kan tidak dapat uang). Bila pendidikan itu memanusiakan-manusia. Maka sebenarnya tidak akan ada kata-kata seperti ini (dalam proporsi dominan). Selesai sekolah, selesai, pulang dari kampus, selesai kerja mereka sangat senang….aaah selesai sudah. Aaaah sudah selesai ……seakan ditempat sebelumnya itu dia (kita) menderita….dan setelah keluar dari sana mereka menjadi kembali sebagai manusia (ini seharusnya menjadii tolok ukur pendidikan itu memanusiakan manusia atau tidak, dan tolok ukur apakah cara kita mengajar sudah sukses atau tidak).
Mari kita tanya pada anak-anak didik kita dikampus, kelas, karyawan-karyawan kita dll….sekarang ada pelajaran atau libur….sekarang kerja atau libur? Jawabnya jelas…..sekali lagi dengan proporsi besar jelas, jawabnya adalah libur…libur dan libur. Apa artinya itu?
Dalam karya besarnya pemikir komunis Italia (Antonio Gramsci, 1891-1937) 'Prison Notebooks' (sudah ada edisi Indonesia) mengatakan, "Hegemoni kekuasaan dapat dijadikan alat menjadi hegemoni makna". Manusia secara ontologism memang bebas; ada kebebasan secara fisik (yaitu bebas dari belenggu, tidak terikat dll) dan bebas secara rohani (yaitu kemampuan untuk menentukan diri sendiri, apa yang kita fikirkan, bergerak kemana, untuk menghendaki sesuatu, untuk bertindak secara terencana dll). Kebebasan rohani bersumber dari akal budi kita, Kebebasan rohani kita seluas jangkauan fikiran dan bayangan kita. Makin luas jangkauan fikiran kita makin luas kebebasan kita. Sedangkan keluasan jangkauan kita, itu tergantung dari wacana, cakrawala berfikir, dan langit langit pikiran kita. Ini semua tergantung dari pengalaman kita, atau informasi yang kita miliki. Makin luas pengalaman dan informasi yang kita miliki makin banyak alternatif-alternatif yang kita punya dan makin besar pula kebebasan kita
Ada ucapan; “Tidak mungkin anak dari pedalaman papua, yang masih tidak mengenakan pakaian lengkap, berimajinasi, berhayal untuk merampok bank dengan membobol security computer ATM”. Apa arti, makna kata ini? Kurang lebihnya adalah; kita berfikir, mengatakan salah-benar, berguna-tidak berguna (yang ini sering membuat beda pendapat, ribut-ribut, demo, bahkan perang), perlu-tidak perlu, dikerjakan sekarang atau nanti, skala prioritas, tergantung wacana kita masing-masing. Darimana wacana itu?
Contoh lain…kita pengguna internet….ingat google sangat berkuasa lho disini….bila anda ‘tidak disukai’ oleh-nya….maka anda masuk daftar pencarian lembar ke 12. Apa artinya itu? Informasi yang ingin anda tampilkan tidak ‘mungkin’ terbaca, diketahui orang. Makanya jangan heran kursus SEO (Search engine operation, bagaimana menempatkan daftar web kita di 10 teratas) sangat mahal.
Dalam pembelajaran ekonomi (kebetulan saya praktisi pendidikan, guru, dosen Matematika/Ekonomi) misalnya….saat kita membahas pengaruh permintaan-penawaran dan subsidi, tax dst. Dengan menggunakan grafik….gambar-gambar limit, turunan dst (rumus-rumus matematika). Pasti akan terlihat campur-tangan apapun akan merugikan baik sisi penjual/pembeli. Apa benar seperti ini realitanya?
Kita perlu lihat….banyak realita yang kita lihat, yang disodorkan pada kita….yang lebih parah adalah mulai dari anak-anak realita itu di konstruk. Sebenarnya sudah teredusir oleh kelompok tertentu…kepentingan tertentu.
Dalam pendidikan nasional misalnya; Awalnya tujuan pendidikan ada di GBHN (mau dijadikan apa anak didik kita, remaja kita….sebenarnya ini guide-nya), disini peran lembaga legislative sangat penting. Lalu masuk ke UU Sisdiknas (lihat demo-demo dan gonjang-ganjing UU ini waktu itu. Karena muatan, tujuan, arah sarat disini. Lihat juga dulu tahun 80 akhir atau awal 90an, demo-demo tentang pakaian jilbab disekolah, foto tidak boleh menggunakan jilbab karena harus terlihat telinganya…mengapa bisa seperti itu? Bukankah presiden, mentri dll adalah orang Islam???), lalu Perpu atau peraturan setingkat kementrian (lihat masalah UAN, masalah jurusan IPA, IPS, dulu ada A1, A2, A3, A4, sekarang kembali IPA, IPS dan Bahasa. Bagaimana gonjang-ganjing-nya UAN, kalah di MK tetap jalan dst)….disini keluarlah kurikulum (yang diacu adalah kompetensinya, indicator-indikator pencapaian keberhasilannya). Kurikulum sudah berubah-ubah mulai dari Kurikulum 84, 89, 94, 99/KBK (Kurikulum Berbasis Kopetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), sekarang keluar….RSBI (Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional), SBI dengan Cambridge Certificate. Disini kita bisa lihat arah-tujuan, kepentingan dst….dst….dst. lihat proporsi pelajaran social, pelajaran karakter building, moral dan agama, pelajaran sain dan bahasa….mengapa proporsi-nya seperti ini? Jelas ada tujuan, kepentingan, proyek mungkin dst…dst.
Dari kurikulum-kurikulum itu, komperensi dasar dan indicator-indikator itu keluarlah buku-buku yang ditulis oleh para ‘pakar’ dan penerbit. Dan inilah yang dibaca oleh anak-anak kita…diajarkan oleh guru dst. Mereka takut keluar dari itu….sebab ada ulangan bersama (standartrisasi sama satu kabupaten, kecamatan dst)….ada kisi-kisi, mereka takut keluar dari itu, sebab bisa muspro (tidak berguna) diajarkan tapi tidak kelaur UAN….diajarkan tapi tidak kelauar di SPMB, UMPTN, SIMAK atau apalah istilah penjaringan ke perguruan tinggi negeri.
Belum ada lagi BHPN (badan Hukum Pendidikan Nasional) atau bahasa lain swastanisasi perguruan tinggi negeri….sehingga PTN-PTN ternama seperti UI, ITB, UGM, UNDIP, dll….mematok harga masuk sangat tinggi. Lihat saja contoh; masuk kedokteran sekarang rata-rata 75 sampai 150 juta rupiah….apa anak-anak menengah mampu? Berapa prosen penduduk Indonesia yang mampu secara ekonomi (bukan secara kemampuan bersaing kognitif). Bandingkan dengan 20 tahun lalu (penulis mengalami sendiri). Masuk Kedokteran Umum UNAIR uang gedung atau KOPMA atau apalah istilahnya hanya 1,5 juta rupiah. SPP hanya 120/semester. Kalau ada yang mengatakan bahwa itu kan 20 tahun lalu? Jawabnya adalah kita pakai standart kesetaraan daya beli (ini indicator yang cukup rasional, atau mungkin pakai inflasi misalnya). Tahun 1989 atau 1990 harga Motor Honda terbaru harganya 1,5 juta. Sekarang 15 juta. Maka mestinya masuk Unair Kedokteran Umum sekitar 15 juta. Kalau menggunakan Inflasi….menggunakan suku bunga bank rata-rata mungkin malah lebih kecil. BHPN kalah di MK baru-baru ini, tapi sama dengan UAN bukan berarti surut tetap jalan saja. Lihat pedoman masuk Perguruan tinggi negeri tahun 2010. Artinya apa ini? Anak miskin dilarang masuk disana? Apa seperti ini amanat UUD 45, GBHN, dan komitmen pendidikan kita?
Anehnya yang mengusulkan BHPN dan paling bersemangat adalah para dosen, senat-rektor. Argument yang sering kami dengar adalah; gaji professor kita sangat jauh dengan professor di Negara jiran….gaji dosen kita sangat jauh dengan Negara sebelah (mereka hanya membandingkan angka, bukan kesetaraan daya beli). AS itu kalah untuh Income perkapita dengan Negara-negara Jepang dll. Tapi bila dihitung dengan kesetaraan daya beli AS adalah Negara terkaya. Sedikit penjelasn; kesetaraan daya beli itu seperti ini hitungannya; berapa lama kita kerja untuk beli motor, kulkas, rumah, Tv dll. Sebagai contoh apa gaji Rp 2.500.000; di Pasuruan, tergalek, tulungagung, dan gaji Rp 4.000.000 di Aceh dan Jakarta lebih besar atau sama? Jelas tidak, hitungan riilnya kita akan tahu denganh kesetaraan daya beli (Lebih lengkap dalam; HAMISH MC RAE,1995).
Mengapa mereka bisa seperti itu? Jawabnya karena pendidikan yang mereka peroleh adalah pendidikan bisu…..pendidikan yang menjadikan mereka intelegensia bukan intelektual kata Sayyid Husein Alattas (Syed Husein Alatas, “Intelektual Masyarakat Berkembanga “, LP3ES, 1988).
Apa kita akan pesimis dengan ini semua? Jawabnya adalah tidak. Sebab sudah ada ‘sedikit’ komitmen tentang pendidikan kita, yaitu sertifikasi guru. Dengan tambahan per bulan sekitar 1,5 juta (artinya rata-rata naik 100%). Juga anggaran pendidikan nasional dan daerah. Subsidi pendidikan semacam BOS (baik SMP maupun SMA). Walau sayang komitmen tingkat menengah ini (SMP-SMA) dihambat ditingkan PTN dengan BHPN.
Ini semua adalah wacana bagaimana gambaran problema pendidikan, antara ide dan realita, antara kepentinngan dan semestinya. Harus ada pemikiran mendasar buat para pengkaji, pembuat kebijakan tentang pendidikan nasional kita. Bila kita ingin pendidikan kita menjadikan seperti tujuannya. Dari tertinggal menjadi setara dan pemenang, dari terjajah, terintimidasi menjadi punya harga diri dan kesetaraan. Dari Negara miskin menjadi kaya dan sejahtera.
Dengan gambaran-gambaran ini, dengan refleksi ulang saat-saat momen hardikans ini, maka kita bisa memiliki "Strategi Kebudayaan" meminjam kata-kata C.A. Paursen. Kalaupun ikut arus, itu karena dengan sadar karena tidak ada pilihan atau sulit untuk melawan, tetapi mengetahui lubang-lubang didalamnya, atau bila mungkin melawan arus atau mungkin ikut dengan mengupayakan perubahan-perubahan baik dari dalam atau melakukan perlawanan-perlawanan untuk menentang arusnya dikemudian.
Dan peringatan, sejarah, pengalaman masa lampau itu mestinya kita ambil, dan yang mampu mengambil peringatan-peringatan itu hanyalah mereka yang kata tuhan sebagai "ulil albab". Wallahu al a’lam bi al Shawab. La Hau la wala Quwwata Illa Billah.

Sabtu, 17 April 2010

Mungkinkan Sunnah-Syiah-Wahabi & Liberalis Bersatu


Saya menulis ini sebenarnya sudah aga lama, tapi versinya agak beda. Tulisan ini terilhami oleh buku “Islam dan Kekuasaan” (Mortimmer; Mizan); sudah sangat lama saya membacanya (saya membacanya habis 2 kali, walau tulisan itu tebalnya 500 an hal). Inti dari buku itu mengatakan bahwa; setelah islam hancur (Abbasiyyah porak-poranda), timur-tengah dijajah oleh Inggris dan Prancis. Maka para pemimpin islam kebingungan mencari jalan keluar (apa yang salah sama islam?), sehingga Islam yang asalnya jaya (Abbasiyyah, Fatimiyyah), sekarang menjadi terjajah (kata mereka?).
Keluarlah tokoh-tokoh Islam, ‘maaf’ menawarkan solusi dengan kepala masing-masing. Saudi Arabia (Abdul Wahhab dan Ibn Saud dst), Mesir (Afgani, Abduh, Ridha dst), India (Ahmad Khan dll), Pakistan, Turki (Zia Golaps, Attaturk dst). Mereka mulai melihat apa yang salah dari Islam ini, sehingga seperti itu (terjajah dari asalnya adidaya). Mereka mencoba menafsirkan kembali Islam (kami tidak membahas disini benar atau salahnya tafsiran mereka itu).
Tulisan saya ini konseptualisasi teorinya mohon di buka “Islamuna-Islamukum” http://humanisme-kebenaran.blogspot.com/2010/03/islamuna-islamukum_21.html dan “Psikologi Pencarian Kebenaran; http://humanisme-kebenaran.blogspot.com/2010/03/psikologi-pencarian-kebenaran_41.html. serta Islam dan Kesadaran akan Sejarah http://humanisme-kebenaran.blogspot.com/2010/03/islam-dan-kesadaran-akan-sejarah_2238.html
Islam Sunnah (maksud saya Ahl Sunnah ) dengan konsepnya, Islam Syiah dengan konsepnya, demikian juga liberalism dan Wahabi. Mereka menggunakan Al Qur’an dan Hadistnya sendiri-sendiri (minimal penafsirannya). Mereka saling bertengkar, mengkafirkan bahkan tidak jarang penumpahan darah kaum muslimin jutaan manusia. Tidak hanya zaman sekarang, mulai sejak ditingga Nabi saw sudah seperti itu. Aisyah ra perang dengan Ali kw. Ali kw dengan Muawiyyah. Dst….dengan ribuan ummat Islam yang meninggal (disini tidak dibahas siapa yang salah…disiniah timbulnya madzab bila membahas siapa benar dan salahnya).
Islam menurut saya punya AD (anggaran dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga). Anggaran dasar-nya “kayaknya” sama (Yaitu Rukum Iman; semua madzab itu sama, Rukun Islam, semua madzab itu sama. Sholat, berbuat baik, bertuhan, mengakui surga-neraka). Dan lain-lainnya sama. Tetapi ART (Anggaran Rumah tangga) nya yang ruwet dan inilah yang menjadikan kita pecah.
Rukun iman (Tauhid, ada Mu’tazilah, Syiah, Asyyariyyah dst..dst.) yang satu mengatakan kamu itu tidak bertauhid, yang lain mengatakan justru kamu yang tidak bertauhid. Maksud saya seperti ini dst…lihat pertengkaran Allah itu ber-Jims atau tidak. Lihat bagaimana kehendak bebas dan free-will (yang menimbulkan pertengkaran dalam Islam) dst. Yang penting bahwa mereka percaya Allah itu satu, Esa selesai (jangan ditanya esa-nya seperti apa, satu maksudnya apa dst…..ini konsumsi ulama, dan dalam kategori sunnah mempelajarinya. Tidak semua orang perlu belajar tauhid setinggi itu. Sekadar contoh; masalah wahdatul wujud, mungkin hanya 10 ulama didunia ini yang faham, maksud Ibn Arabi, padahal katanya ini kafir, ada yang mengatakan ini tauhid tertinggi. Wallahu al A’lam).
Yang satu mengatakan tahlil haram, yang satu justru “sunnah” (bacaan-bacaan baik), yang satu sholat terawih 11, 21, tidak terawih (tetapi sholat malam dst), dan mengatakan tarawih jamaah itu bid’ah.
Mengapa kita tidak endapkan aja yang ART dan kita anggap AD aja sebagai kesatuan. Bila mereka sudah ber-Rukun Imam (Percaya pada Allah, Rasul, Kitab, Malaikat, Surga-Neraka, baik-buruk; semua madzab diatas percaya ini). Ber-Rukun Islam (Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji); semua madzab diatas percaya ini. Lalu mereka berbuat makruf (baik). Selesai. Ingat jangan dimasalahkan sholatnya sedekap atau tidak, tangan ditaruk diatas perut atau dibawahnya, kakinya harus meregang atau tidak. Ini ikhtilaf….dan tidak menyebabkan kita jadi batal sholatnya.
Bila ada yang tahlil, silakan. Ada yang tidak silakan, ada yang ziarah kubur, cari barokah silakan, tidak ya silakan. Mengagung-agungkan Ali silakan (jangan mencaci, didepan orang lain), yang tidak mengagungkan Ali (atau mengagung agungkan Umar dan Aisyah) silakan. Percaya Mut’ah silakan (bila tidak melanggar hukum Negara). Terawih 11, 21, bahkan tidak terawih silakan (ini semua adalah ART). Tidak menjadikan kita kufur dan masuk neraka (apalagi kita punya dalil, untuk pribadi-pribadi kita masing-masing).
Pertanyaannya apakah ini semua dibiarkan? Bila meresahkan masyarakat? Misal kawin tanpa saksi (Hanafi dan Syi’ah), dst…dst. Semua ini harus diatur dengan undang-undang Negara. Kalau zina dibiarkan mengapa mut’ah anda caci-maki (padahal mereka meyakini itu). Kalau hormat pada presiden dibiarkan, kalau hormat pada tokoh politik sedemikian rupa anda biarkan, mengapa mauled Nabi dan berdiri (dengan asumsi nabi datang) kita larang, haram, bid’ah… Dst…dst.
Kami yakin, bila kita belajar sejarah sahabat (saling berbeda pendapat, bahkan berperang, bunuh-bunuhan), sejarah hadist ditulis dan periwayatan serta pemalsuannya, sejarah klaim Ijma’, sejarah timbulnya madzab-madzab, sampai penutupan pintu ijtihat, ‘katanya’), sejarah sukses-nya Muawiyyah, Abbasiyyah dan runtuhnya, bagaimana para sufi lahir. Sampai Islam lulu lantak dan dijajah barat (sampai sekarang ini).
Maka kita akan sepakat, “agama”-lah, “ulama”-lah (atau para “tokoh”-lah) yang menyebabkan Islam seperti sekarang. Pertikaian mereka, mengkatagorikan apa-apa dalam klaim agama (seperti barat abad pertengahan) penyebab Islam seperti sekarang ini.
Kita lihat keributan, maaf, antar ulama Sunnah-Syiah-Wahabi, juga Liberalisme. Seandainya mereka lebih arif (kami sangat-sangat awam, hanya geram dan punya niat baik hanya ingin ukhuwwah Islam saja). Dalil-dalil mereka (comot sana-sini, dari kitab-kitab yang mereka sendiri tidak mengakuinya).
Lihat saja; kalau Syiah (mereka berusaha mencari dalil apapun yang ada dikitab-kitab sunnah, untuk menyalahkan sunnah dan membenarkan klaim-klaimnya). Kalau Sunnah (sama mencoba memberi tafsir hadist-hadist-nya dan mencari-cari dalil dibuku-buku Syi’ah yang mengkritik Syi’ah atau membenarkan madzabnya), demikian juga kedua yang lain.
Padahal, semua kitab itu punya ‘masalah’; sejarah penulisannya; masa Muawiyyah, sekian ratus tahun (Muawiyyah, sangat benci Ali dan keluarganya atau Syi’ah), Abbasiyyah sekian ratus tahun (membenci Muawiyyah dan sedikit menyanjung Ali dan Keluarganya, kalau tidak banyak)….dst..dst.
Siapa sih yang mengizinkan kita membawa stempel dan jadi satpam-satpam akidah tanpa izin resmi dari yang memiliki "kebenaran" itu. Sehingga kita mengatakan Kafir, Zindiq, Munafik, Munharif bahkan kepada manusia-manusia yang selalu menyebut kalimat "la ila ha illa-allah Muhammad Rasullallah".
Padahal perlu diingat; Apapun yang kita tahu hanyalah perspektif dan preferensi kita yang sarat akan batasan kerak-kerak pemikiran karena dominasi lingkungan dan pendidikan kita.
Al faqir bi Itnillah, La Haula wala Quwwata Illa Billah.

Rabu, 07 April 2010

Filsafat-Psikologi dalam Teori Belajar


PSIKOLOGI PENDASARAN TEORI BELAJAR

Hubungan antara Filsafat, Teori Psikologi, dan Teori Belajar

Dalam hampir semua ilmu, maka filsafat sebenarnya memiliki andil dalam pendasarannya, dalam pertanyaan-pertanyaan awalnya untuk dibahas lebih lanjut secara tuntas oleh ilmu-ilmu lain. Yang berhubungan dengan pendidikan (dalam hal ini teori belajar), adalah psikologi dan filsafat manusia. Bagaimana kita mendefinikan manusia secara filosofis, akan mendasari bentuk psikologi yang dikembangkan. Dan dari pengambilan psikologi yang diterima, akan sangat berpengaruh besar terhadap teori belajar yang akan dikembangkan pula. Yang nantinya berimbas pada proses di kurikulum kelas dst.

EMPAT PENDASARAN FILSAFAT-PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN

FILSAFAT MANUSIA

TEORI PSIKOLOGI

TOKOH-TOKOHNYA

KONTRIBUSI TEORI-NYA

Homo Valen (Manusia Berekeinginan)

Phycoanalisis

Frued, jung, Adler, bion, Hoerny dll

Semua diarahkan pada biologi, pembawaan dan pembelajaran masa kecil.

Homo Sapiens (Manusia Berfikir)

Cognitivism

Lewin, Piaget, Kholberg dll

Berfikir, Konsep diri dan manusia rasional sangat mencolok disini.

Homo Mecanicus

Behaviorism

Pavlov, Skinner, Hull, Bandura dll.

Manusia mirip Hewan, mekanisme Stimulus-respon. Pengkondisian Lingkungan sangat berpengaruh pada manusia.

Homo Ludens (Manusia mencari Makna)

Humanism

Rogers, Combs, Maslow, Frankl, dll

Manusia melakukan refleksi diri, pencarian makna hidup, konsep diri interperpersonal sangat kuat dalam teori ini.

Hubungan Teori Psikologi dan Teori Belajar-Pembelajaran dalam Pendidikan

Perspective

Division of
Learning Theory

Variables
of Concern

Key Theorists

Main Theories

Behaviorist

Classical Conditioning

Stimulus-Response

Pavlov 1849-1936

Classical Conditioning

Behaviorist

Behaviorism

Stimulus
Response
Reinforcement

Watson 1878-1958
Thorndike1874-1949
Guthrie 1886-1959
Skinner1904-1990
Estes 1919 -

Behaviorism
Connectionism
Contiguity Theory
Operant Conditioning
Stimulus Sampling Theory

Behaviorist

Neobehaviorism

Stimulus-Response
Intervening internal variables-
Purposive behavior

Tolman 1886-1959
Hull 1884-1952
Spence 1907-1967

Sign-Theory&Latent-Learning
Drive Reduction Theory
Discrimination Learning

Cognitive

Gestalt Learning Theory

Perception
Decision making
Attention
Memory
Problem solving

Wertheimer1880-1943
Lewin1890-1947
Kohler1887 - 1967
Koffka1887 - 1941
Festinger 1919-1989

Gestalt Learning Theory
Field Theoretical Approach
Insight Learning
Gestalt Theory
Cognitive Dissonance

Cognitive

Information Processing

Information Processing
Computer models

Hebb 1904 - 1985
Miller
Newell1927 - 1992
Craik & Lockhart
Paivio
Rumelhart

Neurophysiologic Theory
Information-Processing-Theory
General Problem Solver
Levels of Processing
Dual Coding Theory
Interactive Activation Compet.

Cognitive

Constructivism

Knowledge construction
Learner as active creator

Ausubel1918 -
Bruner1915-
Piaget (1896-1990)
Lave
Argyris
Spiro
Flavell
Schank

Subsumption Theory
Constructivism
Genetic Epistemology
Situated Cognition
Double Loop Learning
Cognitive Flexibility Theory
Metacognition
Script Theory

Cognitive

Psychoanalytic
Learning Theory

Unconscious processes

Freud1856-1939

Psychoanalytic Learning

Humanist

Humanistic Learning

Emotional factors
and Affect

Maslow 1908-1970
Rogers 1902-1987
Mezirow

Humanistic Theory of Learning
Experiential Learning
Transformational Learning

Social

Social Learning

Interactions with
other Participants

Vygotsky
Bandura
Brown

Social Constructivism
Observational Learning Theory
Cognitive Apprenticeship..

General Theories
of Memory and
Intelligence

Anderson 1947 -
Guilford
Gardner
Sternberg

ACT*
Structure of Intellect
Multiple Intelligences
Triarchic Theory

Ada empat teori psikologi sesuai dengan asumsi dan filsafat yang diyakini oleh para penggagasnya yaitu;

1) Manusia dianggap sebagai Homo Volens (manusia yang mempunyai keinginan terpendam),

2) Manuisa dianggap sebagai Homo Sapiens (manusia berfikir),

3) Manusia dianggap sebagai Homo Mechanicus (manusia dianggap mesin, input-out-put), dan

4) Manusia dianggap sebagai Homo Ludens (pelaku aktif dalam interaksi, berhubungan dengan lingkungannya).

Bila ia (seorang teoritisi, ilmuan atau peneliti) mempercayai manusia sebagai homo volens (manusia yang mempunyai keinginan terpendam), aliran psikologinya biasanya adalah psikoanalisa. Bila ia percaya manusia sebagai homo sapien (manusia berfikir) maka aliran psikologinya adalah psiologi kognitif. Apabila ia percaya manusia sebagai homo mechanicus (manusia mesin, input-output) maka aliran psikologinya adalah behaviorisme, sedangkan jika mereka percaya manusia adalah homo ludens (pelaku aktif dalam interaksi, berhubungan dengan lingkungannya) maka aliran psikologinya biasanya adalah humanisme.

Secara sederhana teori-teori Psikologi itu mengatakan;

1) Psikologi Behaviorisme

Behaviorisme, secara konseptual yang terkenal adalah kata-kata dari tokohnya yaitu J.B. Watson;

"Give me a dozen healthy infants, well-formed, and many specified world to bring them up in and I'll guarantee to take any one at random and train him to become any type of speciAlist I might select-doctor, lawyer, artist, merchant-chief and, yes, even beggar-man and thief, regardless of this talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his ancestors. (J.B. Watson, 1934:104)."

(berikan padaku selusin anak-anak sehat, tegap, dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka. Aku jamin, aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja, dan mendidiknya untuk menjadi tipe spesiAlis yang aku pilih –dokter, pengacara, seniman, saudagar, dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memperhatikan bakat, kecendrungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan, dan ras orang tuanya). [1]

Skinner salah satu tokoh paling mashur dalam Behaviorisme percaya bahwa individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya melalui belajar. Dia bukan agen penyebab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan atau suatu point dimana factor-faktor lingkungan dan bawaan yang khas secara bersama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang khas pula pada individu tersebut.[2] Studi kepribadian bagi skinner adalah bagaimana menemukan pola-pola yang khas dari kaitan antara tingkah laku organisme dan konsekuensi-konsekuensi yang diperkuatnya.

Dalam buku Beyond Freedom and Dignity, bapak Behaviorisme B.F. Skinner mengatakan; "Perjuangan manusia demi kebebasan tidaklah tergantung pada kehendak bebas, tetapi pada proses tingkah laku tertentu yang menjadi sifat khas organisme manusia, yang akibat utamanya adalah penghindaran atau pelarian dari apa yang disebut bentuk-bentuk "penolakan lingkungan".[3]

Kaum behaviorisme (dengan hukum Thorndike dan Watson) percaya bahwa: organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat social atau psikologis; perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Disini jelas manusia tidak mempunyai kebebasan sama-sekali.

Psikoanalisa[4]

Kepribadian menurut Frued adalah gabungan tiga system yang berkaitan membentuk suatu totalitas. Frued membuat system yaitu Id, Ego dan Super Ego.

Id (atau das es) adalah system kepribadian yang paling dasar, system yang didalamnya ada naluri-naluri bawaan. Id adalah system yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang dibutuhkan oleh system yang lain (ego dan super ego) dalam operasi-operasi kegiatannya. Id tidak bisa mentoleransi penumpukan energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf tegangan organisme atau individu secara keseluruhan. Bagi individu meningginya tegangan adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, apabila terjadi penegangan pada organisme (penegangan itu meningkat), misalnya karena stimulasi dari luar (suhu, cahaya dan bunyi yang intensitasnya tinggi) maupun karena stimulasi dari dalam (lapar, haus, kekuranngan oksigen). Maka Id akan mengurangi keteganngan itu untuk mengembalikan pada keadaan normal (semula).

Disinilah seperti dikatakan oleh frued bahwa Id dalam menjalankan fungsinya dilandasi oleh maksud mempertahankan konstansi (the principle of constancy) yang ditujukan untuk menghindari keadaan yang tidak menyenangkan dan mencapai keadaan yang menyenangkan (the pleasure principle).

Untuk mencapai ini Id melakukan 2 fungsi 1) Tindakan Refleks à yaitu bentuk tingkah laku atau tindakan yang mekanisme kerjanya otomatis dan segera, serta adanya pada individu adalah bawaan. Contoh; menghisap, mengedipkan mata dll. 2) Proses primer à suatu proses yang melibatkan tindakan psikologi yang rumit. Id atau organisme secara umum berusaha mengurangi tegangan dengan cara membentuk bayangan dari objek yang bisa mengurangi tegangan. Misalnya orang lapar membayangkan makanan. Tindakan memuaskan rasa lapar kadang mimpi makan (proses primer). Bagi Id, objek yang dihadirkan tadi lewat bayangan dianggap nyata. Tetapi bagaimanapun orang tak akan kenyang dengan membayangkan saja makanan. Dengan ini organisme butuh system yang lain yaitu Ego.

Ego adalah system kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia objek kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan (the reality principle). Apabila dikaitkan dengan makan dan rasa lapar tadi, maka ego mengarahkan orang yang sedang lapar tadi pada makanan. Dengan petunjuk ego inilah maka orang yang sedang lapar tersebut berfikir bahwa rasa laparnya dapat diatasi dengan jalan makan makanan.

Kata Frued Ego terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Proses yang dijalankan oleh ego untuk memuaskan rasa rapar tadi dikatakan proses skunder (secondary process). Dengan proses ini, ego melihat rencana pemuasannya itu dapat dilaksanakan atau tidak. Disamping itu ego juga mengarahkan dan mengetes realita. Apakah ini pemuasnya atau bukan, dapat dimakan atau tidak dst. Dalam menjalankan fungsinya ego melibatkan fungsi lain yaitu kognitif dan intelektual. Ego secara umum hanya menuruti apa yang diinginkan oleh Id. Tetapi Ego juga menghambat Id bila pengungkapan naluri-naluri Id itu mengarah kepada pengungkapan yang tidak layak, tidak bisa diterima oleh lingkungan dst. Jadi fungsi paling dasar dari ego adalah pemelihara kelangsungan hidup individu.

Super Ego (istilah Frued: das ueberich) adalah system kepribadian yang berisikan nilai-nilai aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk). Menurut Frued, Super ego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai aturan-aturan yang diperoleh oleh individu dari sejumlah figure yang berperan, berpengaruh, atau bisa (orang tua, guru). Fungsi utama super ego adalah : 1) sebagai pengendali doronngan-dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls itu disalurkan dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat. 2) mengarahkan ego pada tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral ketimbang dengnan kenyataan. 3) mendorong individu pada “kesempurnaan”. Bila ego berkonflik dengan super ego, keluarlah aktivitas ego lewat rasa bersalah, penyesalan dll.

Frued percaya bahwa energi yang digunakan oleh manusia itu hanya berasal dari makanannya. Dan ia percaya pada hukum kekekalan energi ( conservation of energi) yang berasal dari fisika. Menurut hukum ini energi hanya dapat diubah dari energi satu ke yang lain dan jumlah total energi itu tetap tak bisa ada perubahan dialam ini. Energi psikis ke fisik itu dapat dipertukarkan dan id adalah jembatannya (katanya).

Naluri atau instink adalah representasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan oleh munculnya kebutuhan. Bila kita butuh makan misalnya, energi dihimpun untuk menekan dan mendorong individu agar bertindak untuk memenuhinya. Dengan terpenuhinya kebutuhan itu tegangan, tekanan akan berkurang.

Ada naluri ada empat unsur (kata konsep psiko-analisis Frued); sumber, upaya, objek dan dorongan. Sumber naluri adalah kebutuhan. Upayanya adalah mengisi kekurangan atau memuaskan kebutuhan, sedangkan objeknya adalah hal-hal yang bisa memuaskan kebutuhan (misalnya makan untuk naluri lapar dll). Adapun unsur dorongan adalah (jelas) naluri bersifat untuk mendorong atas diri individu bertindak atau bertingkah laku.

Frued mengatakan bahwa; naluri adalah quantum dari energi psikis. Id adalah penyedia energi dan kawasan pemukiman dari naluri. Dengnn ini Id semacam dynamo yang mengahasilkan energi psikis bagi perputaran operasi-operasi kepribadian. Energi psikis ini diolah dan dihasilkan oleh id dari energi fisik yang berasal dari proses-proses metabolisme tubuh.

Menurut Frued, sumber dan upaya naluri adalah tetap, tetapi dengan adanya kematangan fisik individu, akan tumbuh kebutuhan-kebutuhan atau naluri-naluri baru. Demikian juga objek pemuas bisa juga berubah-uabah ini semua dikarenakan sifat energi psikis yang bisa dialiharahkan.

Tingkah laku individu dibangkitkan oleh keadaan peka (memuncaknya tegangan), dan ditujukan untuk mengurangi tegangan itu. Artinya ciri naluri adalah regresif, disamping itu juga berciri konservatif (memelihara keseimbangan; homeostatis). Artinya ini akan berulang ulang; tenang-tegang-tenang-seterusnya. Frued mengatakan keharusan untuk mengulang (repetition compulsion)[5].

Kata Frued; Pada mulanya id adalah penguasa tunggal energi psikis. Seluruh energi digunakan untuk tindakan reflek dan proses primer dalam upaya memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu membedakan antara yang imajiner dan nyata. Itu terlihat pada contoh bayi (individu yang sepenuhnya dikuasai id). Apabila bayi lapar, maka apa saja dimasukkan mulutnya; jari (reflek menghisap) dan lain-lain. Karena id masih tidak mampu memuaskan kebutuhannya ia butuh ego. Karena ego tidak mempunyai energi psikis, ego mengambilnya dari id. Diversi dari energi psikis id ke ego berjalan melalui mekanisme yang disebut identifikasi, yaitu proses atau upaya-upaya pembelajaran untuk membedakan mana yang betul-betul alat pemuas kebutuhan, mana yang bukan. Dan individu harus mencocokkan objek pasangan antara yang ada dalam pikiran, bayangan, kenyataan dan kebutuhan. Mekanisme identifikasi ini adalah proses sekunder ego.

Selanjutnya dengan identifikasi, ego memperoleh wewenang untuk menggunakan energi, untuk proses lainnya seperti mengamati, mengingat, memperbedakan, memutuskan, mengabstraksi, menggeneralisasi, dan berfikir. Sejumlah energi psikis dari id sendiri bahkan digunakan untuk menghalangi atau mencegah agar id tidak memunculkan naluri-naluri rasional dan destruktif. Kekuatan mencegah disebut antikteksis.

Kateksis (pemusatan energi) ego juga dapat dilakukan dengan menyimpangkan sedikit walau masih berhubungan dengan kebutuhan id. Misalnya rasa lapar, mendorong ego untuk mengunjungi restoran baru, cari resep-resep makanan, beli alat masak dan lain-lain.

Karena ego tak punya energi sendiri, id selalu mensubsidi energi itu, ini dilakukan karena egolah yang dapat memuaskan id secara real. Bila ego tidak mampu memenuhi itu, maka suplai energi akan dikurangi.

Demikian juga suplai id kepada super ego. Ini diawali dengan ketergantungan anak (dominant id) terhadap orang tua (pengasuh, guru dan lain-lain). Dari orang tualah anak mendapatkan kepuasan kebutuhan-kebutuhannya. Disamping itu orang tua adalah agen penanam nilai-nilai, tradisi, ideal-ideal yang berlaku dimasyarakat dan lain-lain. Agar anak mengikuti apa yang ingin ditanamkan oleh orang tua, orang tua menggunakan teknik penguatan (reinforcement), baik penguatan positif (hadiah), bisa negative (hukuman). Penguatan itulah yang membuat anak-anak ingin mengulangi dan tidak ingin mengualangi perbuatannya pada suatu hal. Dengan ini semua maka mulailah terjadi identifikasi terhadap orang tua. Dari sinilah awal terbentuknya super ego (dimana dengan itu juga kebutuhan id akan terpenuhi). Untuk selanjutnya ada proses internalisasi, dan super-ego berperan sebagai wakil dari orang tua dan masyarakat, dengan tugas sebagai pengendali dan bahkan penghambat atas pengekspresian dorongan-dorongan primitive id, terutama seks dan agresivitas. Disamping itu juga super ego adalah pengarah ego kepada tujuan-tujuan ideal moral.

Baik id maupun super ego, ingin ego berada dipihaknya. Apabila ego degan antikateksisnya cukup kuat, maka kedua system yang bertolak belakang dan sama-sama ingin tampil dominant, bisa didamaikan sehingga kepribadian akan terintegrasi dengan baik.

Dalam masalah kebebasan Frued dan Skinner sama, mereka percaya bahwa manusia adalah mahkluk yang “tidak bebas (terdeterminasi). Determinasi frued berasal dari dalam diri manusia (naluri-naluri atau dorongan-dorongan), sedangkan Skinner dari lingkungan.[6]

Psikologi Kognitif

Kata psikologi kognitif, manusia tidak memberi respon pada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respon manusia menangkap dulu "pola" stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Kurt Lewin meminjam konsep fisika mengatakan;

Perilaku manusia bukan sekedar respons pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ruang hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua factor yang disadarinya, dan kesadaran diri. Perilaku adalah B = f(P,E), artinya Behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara person (diri orang itu) dengan environment (lingkungan psikologisnya).[7]

Frege menulis;

“Pengaruh seseorang pada yang lain kebanyakan ditimbulkan oleh pikiran. Kita mengkomunikasikan pikiran. Bagaimana hal itu terjadi? Kita timbulkan didunia luar yang sama. Perubahan-perubahan ini, setelah dipersepsi orang lain, akan mendorong kita untuk memahami suatu pikiran dan menerimanya sebagai hal yang benar. Mungkinkah terjadi peristiwa besar dalam sejarah tanpa komunikasi pikiran? Anehnya kita cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa, sementara berfikir, memutuskan, menyatakan, memahami dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia. Mana yang lebih nyata, sebuah palu atau pikiran?alangkah bedanya proses penyerahan palu dengan komunikasi pikiran?[8]

Kata mereka; “Words don’t mean, people mean”. Kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberikan makna. Secara agak lengkap kita bisa merujuk pada “Psikologi-Filsafat Kontruktivisme” dibelakang[9]. Piaget adalah salah satu tokoh Psikolog Kognitif.

Psikologi Humanisme

Disini mengambil filasat fenomenologi yang mengatakan;

Manusia hidup dalam "dunia kehidupan" yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subjektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. "alam pengalaman setiap orang berbeda dari alam pengalaman orang lain." [10]

Alfred Schutz, tokoh sosiologi fenomenologi mengatakan;

Pangalaman subjektif ini dikomunikasikan oleh factor social dalam proses intersubjektivitas. "untuk memahami makna subjektif anda, aku harus mengambarkan arus kesadaran anda mengalir berdampingan dengan arus kesadaranku. Dalam gambaran inilah, aku harus menafsirkan dan membentuk tindakan intensionalitas anda ketika anda memilik kata-kata anda." [11]

Intersubjektifitas diungkapkan pada eksistensialisme dalam tema dialog, pertemuan, hubungan diri-dengan-orang lain, atau apa yang disebut Martin Buber "I-thou Relationship".[12] Victor E. Frankl mengatakan;

I think it is time to recognize the fact that man is more than just a mechanism or the outcome of conditioning processes, to recognize yhe humanness of man, to recognize that man is a being in steady search of meaning, and that his heart is restless until he finds meaning in his life.[13]

(Sudah saatnya kita mengakui kenyataan bahwa manusia bukan sekedar mekanisme atau hasil proses pelaziman, untuk mengakui kemanusiaan manusia, untuk mengakui bahwa manusia adalah wujud yang selalu mencari makna, dan bahwa hatinya selalu resah sebelum menemukan makna dalam hidupnya).

Eksistensialisme juga mengatakan; yang penting bukan apa yang didapat dari kehidupan, tetapi apa yang dapat kita berikan untuk kehidupan.

“one’s life can be fulfilling only if it involve socially contructive value and choice.” (Hidup baru bermakna hanya apabila melibatkan nilai-nilai dan pilihan yang kontruktif secara social) (Coleman dan Hammen, 1974:36)

Carl Rogers menggaris bawahi Humanisme dengan:

Setiap manusia hidup dalam dunia pengalamannya yang bersifat pribadi dimana ia –sang Aku, Ku, atau diriku (the I, me, or myself)—menjadi pusat. Perilaku manusia berpusat pada konsep diri, yaitu persepsi manusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah, yang muncul dari suatu medan fenomenal (phenomenal field). Medan keseluruhan pengalaman subjektif seseorang manusia, yang terdiri dari pengalaman-pengalaman Aku, Ku dan pengalaman yang "bukan aku".

Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasi diri. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya –ia bereaksi pada "realitas" seperti yang dipersepsi olehnya dan dengan cara yang sesuai dengan konsep dirinya, dan seterusnya.

Mana yang dapat mencerminkan “manusia sebagai manusia”, mana yang mampu menunjukkan benar-benar jati-diri manusia? Karakteristik manusia tampak merupakan sintesis keempatnya. Sekali waktu dia menjadi mahluk yang secara membuta menuruti kemauannya (Psikoanalisa), pada waktu yang lain ia menjadi mahluk yang berfikir logis (Psikologi Kognitif). Pada satu saat ia menyerah bulat-bulat pada proses pelaziman (conditioning) yang diterimanya dari lingkungan (Behaviorisme), pada saat yang lain ia berusaha mewarnai lingkungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dimilikinya (Psikologi Humanisme). Untuk menjadi benar-benar manusia, maka ‘tekanan’ pada psikologi-humanistiklah yang semestinya dimiliki oleh manusia, tanpa ‘mengabaikan’ yang lainnya.

TEORI-TEORI BELAJAR

Untuk memahami kegiatan dan proses belajar serta faktor-faktor yang menghambat kelancaran proses belajar, guru perlu memahami beberapa teori belajar. Pemahaman teori belajar memungkinkan guru dapat memprediksi hasil belajar serta membuat hipotesis kemajuan belajar siswa. Selain itu dengan bantuan teori, konsep dan prinsip-prinsip pembelajaran guru dapat mengelola pembelajaran menjadi lebih baik.

Terdapat perbedaan sudut pandang tentang teori dan proses belajar merupakan hal yang wajar. Namun perlu kita kaji kembali tiga teori yang paling sering disebut sebagai dasar pembelajaran, yaitu behaviourism, cognitivism dan constructivism.

BEHAVIORISME

Menurut aliran Behaviourism, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Terjadinya perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru adalah hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut aliran ini setuju dengan premis dasar ini, namun mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting.

Menurut teori ini pebelajar sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya, yang akan memberikan -pengalaman tertentu kepadanya. Belajar atau learning terjadi bila ada perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (Stimulus-Respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap kejadian yang datang dari luar.

Proses S-R ini terdiri beberapa unsur, yaitu

(1) unsur dorongan atau drive. Siswa merasakan adanya dorongan

kebutuhan ini;

(2) adanya rangsangan atau stimulus. Kepada siswa diberikan stimulus yang dapat membe±ikan respons;

(3) respons dari siswa yang berupa suatu reaksi (respons) terhadap stimulus yang diterimanya misalnya dengan melakukan tindakan nyata;

(4) unsur penguatan (reinforcement) yang perlu diberikan kepada pebelajar agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons lagi.

Berikut tiga pakar Behaviourism yang berpandangan sama dalam hal S-R, yaitu hubungan stimulus-respon, namun juga berbeda pendapat dalam hal wujud dan faktor-faktor yang terjadi dalam proses belajar. (sumber: Bahan Ajar PEKERTI, 1995. Dikti).

1. Thorndike

Menurut Thorndike salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara Stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan Respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan, atau gerakan). Telasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak bisa diamati).

Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur berbagai tingkah laku yang non-konkret itu. Tetapi teori Thorndike telah banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike ini juga disebut sebagai aliran Koneksionis (Connectionism). Perlu diketahui bahwa pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku.

2. Watson

Menurut Watson, pelopor lain yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang "bisa diamati" (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai factor yang tak perlu diketahui. Hal ini tidak berarti bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.

Hanya dengan asumsi demikianlah, kata Watson, kita bisa meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Dan hanya dengan demikianlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik.

Kita dapat melihat bahwa penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Teori Watson ini juga disebut sebagai aliran Tingkah Laku (Behaviorism).

3. Skinner

Skinner, yang datang kemudian, mempunyai pendapat lain lagi dan mampu "menyederhanakan" kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep-konsep yang ada dalam teorinya itu.

Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson tersebut di atas adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respon yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan. Sedangkan respon yang diberikan ini juga menghasilkan berbagai konsekwensi, yang pada gilirarmya akan mempengaruhi tingkah laku si siswa.

Karena itu; untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, kita harus memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekwensi yang diakibatkan oleh respon tersebut (Bell-Gredler, 1986).

Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuarunya menjadi bertambah rumit, sebab "alat" itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan bahwa "seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi" akan menuntut kita untuk menjelaskan "apa itu frustasi". Dan teori Skinner ini besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar.

COGNITIVISME

Cognitivism menyatakan bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori sibemetik.

Pada masa-masa awal mulai diperkenalkannya teori ini. Para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini).

Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tapi melalui proses, yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Dalam konsep ini keluarlah rumusan teori Gestalt. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian/unsur. Terkait dengan ini sehingga dalam kegiatan belajar sebenarnya bermula dari pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh.

Menurut aliran teori belajar Ilmu Jiwa Gestalt, seorang belajar jika mendapatkan insight ( pengertian atau pemahaman ). Insight ini diperoleh seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Adapun timbulnya Insight itu tergantung.

a. Kesanggupan : Maksudnya kesanggupan atau kemampuan intelgensia individu

b. Pengalaman : Karena belajar, berarti akan mendapatkan pengalaman dan pengalaman itu mempermudah muculnya insight.

c. Taraf Kompleksitas : Semakin kompleks semakin sulit.

d. Latihan : Dengan banyak latihan akan dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight , dalam situasi-situasi yang bersamaan yang dilatih.

e. Trial and error : Sering seseorang itu tidak dapat memecahkan suatu masalah. Baru setelah mengadakan percobaan-percobaan, seseorang itu dapat menemukan hubungan berbagai unsur dalam problem itu, sehingga akhirnya menemukan insight.

Dari aliran Ilmu Jiwa Gestalt ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting , antara lain :

2. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya.

3. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.

4. Manusia berkembang secara keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa lengkap dengan segala aspek-aspeknya.

5. Belajar adalah perkembangan ke arah diferensiasi yang lebih luas.

6. Belajar hanya berhasil apabila dicapai kematangan untuk memperoleh insight.

7. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang menggerakan seluruh organisme.

8. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.

9. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan suatu ibarat suatu bejana yang diisi.

Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam "tahap-tahap perkembangan" yang diusulkan oleh Jean Piaget, "belajar bermakna"-nya Ausubel, "belajar penemuan secara babas" {free discovery learning) oieh Jerome Bruner, dan teori interaksi sosial {Socially Mediated Learning) dengan model ZPD-nya Vygotsky.

1. Piaget

Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu:

1. tahap Sensorimotor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun),

2. tahap Praoperasional (2/3 sampai 7/8 tahun),

3. tahap Operasional Konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan

4. tahap Operasional Formal (14 tahun atau lebih).

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (praoperasional), dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operational konkrit dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. Maka, guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi pelajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

Guru yang mengajar harus memperhatikan tahapan-tahapan ini agar tidak menyulitkan siswanya. Misalnya saja,mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Pancasila kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk "mengkonkretkan" konsep-konsep tersebut.

2. Ausubel

Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut "pengatur kemajuan belajar (Advance Organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang- mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Ausubel percaya bahwa "advance organizers" dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:

1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa;

2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa "saat ini" dengan apa yang "akan" dipelajari siswa; dan

3. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

Untuk ini, pengetahuan dan penguasaan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang manurut Ausubel "sangat abstrak, umum, dan inklusif", yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu, logika pikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, guru akan mendapat kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi ini ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.

3. Bruner

Bruner mengusulkan teorinya yang disebut "free discovery learning". Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila guru kreatif dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.

Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep

"kejujuran", misalnya, siswa tidak pertama-tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran, dan dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata "kejujuran".

Lawan dari pendekatan ini disebut "belajar ekspositori" (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Dalam contoh di atas, siswa pertama-tama diberi definisi tentang "kejujuran", dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara deduktif.

Istilah strategi kognitif dipakai oleh Arends (1988) untuk strategi berpikir yang bersifat komplek yang berkenaan dengan kecakapan menerima, menyimpan, dan mencari kembali informasi.

CONTRUCTIVISM

Menurut ahli para Constructivism, "belajar" merupakan pemakna pengetahuan. Sedangkan pengetahuan bersifat temporer, selalu berubah. Karena segala sesuatu bersifat temporer maka manusialah yang harus memberi makna terhadap realitas. Dalam hal ini belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.

Pada kenyataannya kita tidak pernah memperoleh pengetahuan yang telah jadi atau dalam paket-paket, yang dapat dipersepsi secara langsung. Semua pengetahuan, metode untuk mengetahui, dan berbagai disiplin ilmu yang ada dalam masyarakat dibangun (constructed) oleh pikiran manusia.

Constructivism adalah salah satu filsafat yang percaya bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld, 1988 dan Matthews, 1944 dalam Suparno 1997), Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada, tetapi merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus menerus dan setiap kali ada reorganisasi karena terjadi suatu pemahaman baru.

Para ahli teori konstruktif percaya bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan dari otak seseorang (guru) ke kepala yang diajar (siswa). Siswa sendiri yang harus mengartikan atau memberi makna apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman—pengalaman mereka. (Lorsbach & Tobin, 1992 dalam Suparno, 1997).

Maka penting bagi calon guru, menurut Northfieid, Gunstone, dan Erickson (1996) untuk selalu aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Guru perlu belajar bagaimana mengajar secara konstruktif, mendalami bahan dan bidang ilmunya secara mendalam dan luas. Salah satu dasar atau prinsip pembelajaran kontekstual (CTL) adalah filsafat konstruktivisme.

Berdasarkan sejumlah literatur tentang konstruktivisme, Widodo (2004) mengidentifikasi lima hal penting yang berkaitan dengan pembelajaran.

· Pertama, pembelajar telah memiliki pengetahuan awal

Tidak ada pembelajar yang otaknya benar-benar kosong. Pengetahuan awal yang dimiliki pembelajar memainkan peran penting pada seat dia belajar tentang sesuatu hal yang ada kaitannya dengan apa yang telah diketahui.

· Kedua, belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengetahuan
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki

Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari suatu sumber ke penerima, namun pembelajar sendirilah yang mengkonstruk pengetahuan.

· Ketiga, belajar adalah perubahan konsepsi pembelajar

Karena pembelajar telah memiliki pengetahuan awal, maka belajar adalah proses mengubah pengetahuan awal siswa sehingga sesuai dengan konsep yang diyakini "benar" atau agar pengetahuan awal siswa bisa berkembang menjadi suatu konstruk pengetahuan yang lebih besar.

· Keempat, proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu
konteks sosial tertentu.

Sekalipun proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam otak masing-masing individu, namun sosial memainkan peran penting dalam proses tersebut sebab individu tidak terpisah dari individu lainnya.

· Kelima, pembelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.

Guru atau siapapun tidak dapat memaksa siswa untuk belajar sebab tidak ada seorangpun yang bisa "mengatur" proses berpikir orang lain. Guru hanyalah menyiapkan kondisi yang memungkinkan siswa belajar, namun apakah siswa benar-benar belajar tergantung sepenuhnya pada diri pembelajar itu sendiri.

HUMANISME

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Tokoh penting dalam teori belajar humanistik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.

Maslow

Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal : a) suatu usaha yang positif untuk berkembang. b) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.

Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

Carl Rogers

Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak. Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.

Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu: Kognitif (kebermaknaan) dan experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.

Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu: Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.

Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses, kata Rogers.

Dalam bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah : 1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami. 2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri. 3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya. 4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar. 5) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. 6) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.

Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah : a) Merespon perasaan siswa, b) Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang. c) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa

d) Menghargai siswa. e) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan, f) Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa), g) Tersenyum pada siswa

Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.


[1] Lihat, Jalaluddin Rahmat, “Psikologi Komunikasi, Remadja-Karya, Bandung.Cet-II,1986. Hal 27, Alexis Carrel, “Manusia sebuah Misteri”, Remadja Karya, 1987, hal vii.

[2] E. Koeswara, “Psikologi Kepribadian”, Eresco, Bandung, 1991, hal 77. Linda Smith dan William Raeper, “Ide-Ide Filasafat dan Agama, dulu dan sekarang”, Kanisius, 2000, hal 36.

[3] Lihat secara agak lengkap dalam, Linda Smith, ibid, hal 37.

[4]Koeswara, Op Cit, Bedakan dengan kumpulan tulisan Sigmund Frued, “Memperkenalkan Psiokoanalisa”, Gramedia, Cet-VI, 1987, juga Kees Berteens, “Sekelumit Sejarah Psikoanalisa”, Gramedia, 1983.

[5] Mirip dengan “Kembalinya segala sesuatu”, Nietsczhe dalam ‘Sabda Zarathustra’. Lihat, “Sabda Zarathustra”, (Terj) Hb Jassin dkk, Bentang, Yogyakarta, 2000. Kami yakin Frued banyak terpengaruh dengan Nietszche, walau Frued tidak mengakui.

[6] Koeswara, Ibid, hal 20-21. Frued perah mengatakan; “Hadapkanlah sejumlah manusia yang sangat berbeda pada kelaparan. Dengan meningkatnya rasa lapar, perbedaan manusia akan mengabur, dan dalam setiap tindakan mereka akan muncul ungkapan seragam akibat dorongan yang tak terpatahkan”. Ini diungkapkan oleh Viktor Frankl dalam bukunya; “Mean’s Search for Meaning”, Revised and Updated. Washinton Square Press, Cet-21, 1985, hal 231. Waktu dia menerangkan psikologi Eksistensial.

[7] Rahmat, Op Cit, hal, 34. Disini dalam psikologi Kognitif, manusia bisa bebas, bisa tidak. Tetapi bila mengacu ke J. Piaget, maka secara umum manusia itu terdeterminasi oleh lingkungan. Lihat buku-bukunya, tentang konsep skemata, akomodasi equilibrium dan seterusnya.

[8] Lihat G. Frege, “The Thought: A logical Inquiry”, Philosophical Logic, F.F. Strawson, editor, Oxford University Press, hal 38. juga dalam Rahmat, Op Cit, hal 32.

[9] Lihat secara cukup lengkap, “psikologi-filosofis” Kontruktivisme (J. Piaget) halaman 121-129 dan 133-137.

[10] Brower, M.A.W. “Psikologi Fenomenologi”, Gramedia, Jakarta, 1983, hal 14.

[11] A Schultz, “On Phenomenology and Sosial Relation”, H.G. Wagner, editor, Chicago, University Press, 1970. hal 167.

[12] Lihat bab-bab sebelumnya, bab 2.1 dan 2.2. Secara umum, hanya psikologi inilah yang mempercayai manusia dengan kebebasannya.

Beberapa kritik yang dilontarkan, karena prinsip yang dianut ‘psokologi Eksistensial’ khususnya oleh kaum Behaviorisme (Watson dan Skinner) yaitu;

Pertama, psikologi eksistensial sama sekali menolak hukum sebab-akibat yang berasal dan ilmu alam yang digunakan oleh beberapa pendekatan psikologi. Menurut para tokoh psikologi eksistensial, hukum sebab-akibat itu tidak cocok untuk digunakan dalam psikologi, sebab manusia bukan benda atau objek yang pasif, melainkan subjek yang dinamis. Oleh karena itu, menurut mereka, yang cocok untuk digunakan di dalam psikologi adalah konsep motivasi, suatu konsep mengenai sumber dan proses kemunculan tingkah laku yang dimengerti dalam kaitan sebab-akibat, tetapi melihat partisipasi aktif manusia sebagai penyebab kemunculan tingkah laku itu. Perbedaan antara hukum sebab-akibat dengan konsep motivasi itu bisa diterangkan melalui contoh jendela yang terbuka oleh embusan angin dan jendela yang terbuka oleh manusia. Baik angin maupun manusia sama-sama menimbulkan akibat terhadap jendela, yakni jendela itu menjadi terbuka. Sebabnya adalah, baik angin maupun manusia sama memiliki daya dorong. Bagaimanapun, berbeda dengan angin, manusia membuka jendela tidak semata-mata karena memiliki daya dorong, tetapi juga karena memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapainya, umpamanya untuk memperoleh angin segar atau untuk menerangi ruangan. Dan dalam tindakannya mendorong jendela itu, manusia disertai proses-proses kognitifnya yang memungkinkan dia bisa menentukan di mana tangan harus diletakkan dan berapa besar tenaga harus dikeluarkan. Prinsip yang petama ini berkaitan dengan prinsip yang kedua.

Kedua, psikologi eksistensial berprinsip bahwa pengalaman atau tingkah laku manusia adalah hasil dari manusia itu sendiri sebagai suatu totatitas yang berkehendak, bukan semata-mata sebagai hasil dari stimulus internal (naluri-naluri atau dorongan-dorongan) dan atau stimulus eksternal (lingkungan). Menurut para ahli psikologi eksistensial, usaha memahami manusia dengan mengandaikan adanya kekuatan-kekuatan deterministik dan memandang kekuatan-kekuatan deterministik itu sebagai penyebab kemunculan tingkah laku adalah memutarbalikkan dan memecah belah keberadaan manusia serta mengingkari otonomi dan kebebasan manusia. Pendek kata, uraian mengenai tingkah laku dan keberadaan manusia dengan menggunakan istilah-istilah naluri, dorongan, energi psikis, maupun energi fisik tidak berlaku dalam psikologi eksistensial. Sebaliknya, dengan menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialisme dan metode fenomenologi, para ahli psikologi eksistensial mempelajari manusia melalui pengamatan langsung atas pengalaman atau tingkah laku manusia sebagaimana pengalaman atau tingkah laku itu muncul dalam kesegeraannya atau tampil sebagai fenomena, dan melukiskanya setepat mungkin. Dan deskripsi atau pelukisan fenomenologis bukanah penguraian sebab-akibat. (Van Kaam. 1966)

Ketiga, psikologi eksistensial mencurigai teori, sebab teori —banyak di antaranya — terlalu mempersoalkan hal-hal yang tak bisa diamati dan menganggap hal-hal tersebut sebagai penyebab kemunculan hal-hal yang bisa diamati. Yang dimaksud dengan hal-hal yang tak bisa diamati itu adalah struktur-struktur hipotetis yang dianggap ada pada manusia seperti ego, drive, dan semacamnya, sedangkan yang dimaksud dengan hal-hal yang bisa diamati adalah fenomena, dalam hal ini fenomena tingkah laku. Menurut para ahli psikologi eksistensial, fenomena itu bukan muka atau kutipan dari sesuatu yang lainnya, melainkan sesuatu yang hadir dalam kesegeraannya (tanpa diantarai). Para ahli psikologi eksistensial menekankan bahwa dalam mempelajani tingkah laku manusia, kita harus bebas dari praduga-praduga ilmiah yang biasa ditimbulkan oleh teori-teori, dan harus mengamati apa yang bisa diamati (fenomena tingkah laku), serta menjabarkan atau melukiskan fenomena yang diselidiki dalam penampilannya yang utuh dan dalam susunannya yang asli (Binswanger, 1963). Pada saat yang sama, para ahli psikologi eksistensial menentang pendekatan psikologi yang mengabaikan pengalaman-pengalaman-dalam (inner experiences) manusia dan yang melulu mempersoalkan tingkah laku yang nampak (overt behavior). Dalam pandangan psikologi eksistensial, pengalaman-pengalaman-dalam (ketakutan, kecemasan, pengharapan, rasa bersalah) itu sama vitalnya dengan tingkah laku-tingkah laku yang nampak.

Keempat, psikologi eksistensial menentang dengan gigih pendekatan psikologi yang memandang manusia seperti memandang batu atau pohon, dan yang memperlakukan manusia sebagai objek yang bisa dimanipulasi seperti memperlakukan hewan-hewan percobaan di dalam laboratonium. Menurut psikologi Eksistensial, pandangan dan perlakuan semacam itu tidak hanya merusak keutuhan manusia yang menghambat para ahli psikologi untuk memahami manusia secara penuh di dalam keberadaannya. tetapi juga mengakibatkan dehumanisasi manusia. Psikologi eksistensial masuk ke dalam arena kritik-kritik sosial dengan melancarkan serangan terhadap pengasingan dan fragmentasi manusia oleh teknologi, birokrasi, dan mekanisasi. Menurut para ahli psikologi eksistensial, apabila manusia dipandang sebagai suatu yang bisa diatur, dikendalikan, dibentuk dan dieksploitasi, maka manusia akan terhambat dalam mencapai kehidupan yang sungguh-sungguh dan manusiawi. Lihat E. Koeswara, Op Cit, hal 6-8.

[13] Op cit, Frankl, hal 185.