Laman

Minggu, 28 Maret 2010

BELAJAR DARI KEGAGALAN BARAT (3)

4. PERTAUTAN PENGETAHUAN DAN KEPENTINGAN

4.1. Radikalisasi Kritik

“Dalam daya kekuatan refleksi-diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu”. Dalam sejarah filsafat kant masih memahami ilmu pengetahuan sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin, tetapi positivisme yang menggejala telah menyebabkan usaha meradikalkan pistemologi Kant oleh Hegel dan Marx malah menyudahinya. Melalui positivisme Comte dan Mach, epistemologi ditelan dan diganti objektivisme.

Epistemologi Kant sebagai Kritik atas Pengetahuan

Kant menanyakan ‘the conditions of possibililties’ dari pengetahuan, dengan cara memeriksa kesahihan ilmu alam dan Metafisika. Kant mengatakan pengetahuan merupakan gabungan dari unsur-unsur apriori (lepas dari pengalaman) dan aposteori (berdasarkan pengalaman)[1] kant mengatakan bahwa pengetahuan 1) diperoleh dari data empirim dan digabung dengan unsur apriori (yang sudah melekat dalam manusia). Walau kenyataan riil (hakekat) tidak dapat diketahui karena ia ada pada dirinya (Das Ding an sich), yang kita tangkap adalah fenomenanya. 2) pengetahuan adalah orde data indrawi yang sudah dikenali pada tahap indrawi. Pengetahuan itu Mengambil 3 kemungkinan proposisi yaitu; a) analitis apriori (segitiga memiliki tiga sudut), karena predikat kalimat (memiliki tiga sudut) diperoleh dari menganalisi subjek (segitiga) dan diperoleh tanpa pengalaman (apriori). b) Sintesis aposteori (Es itu dingin). Predikat dingin diperoleh dari pengalaman (aposteori) dan menambah hal baru pada subjek nya (Es), sehingga bersifat sintetis. Yang dipermasalahkan oleh kant adalah c) Sintesis apriori (segala kejadian ada sebabnya). Predikatnya (ada sebabnya) menambah hal baru pada subjek (segala kejadian), sehingga bersifat sintetis, tetapi predikat itu tidak didapatkan dari pengalaman dan tidak merupakan analisis atas subjek. Pertanyaannya mengapa sintesis apriori ini mungkin? Jawabnya karena dalam akal budi manusia sudah ada hal-hal itu yang disebut ‘kategori-kategori’ yang bersintesis dengan data indrawi yang disebut unsur aposteri.[2] 3) tahap rasio (Vernuntf), pengetahuan adalah hasil sintesis antara keputusan-keputusan yang dihasilkan pada tahap akal-budi. Ada pengaturan-pengaturan dari hasil-hasil pengetahuan 2 diatas. Untuk kesempurnaan itu, akhirnya diharuskan adanya idea-idea tentang ‘Alam’, ‘Tuhan’ dan ‘Jiwa’. (Kant mempostulatkan 3 hal tadi).

Refleksi kantian adalah refleksi transendental atau peneliltian transendental, dimana mencari syarat-syarat terdalam, sehingga syarat-syarat itu bersifat mutlak dan perlu untuk mengetahui sesuatu. Hasil ini adalah ilmu alam mungkin (karena kausalitas merupakan syarat apriori dalam akal budi kita, ada kaitan langsung antara pengetahuan dan objek-objek indrawi yang diketahui). Metafisika (tidak mungkin, karena melampaui syarat-syarat yang ditentukan bagi pengetahuan kita. ‘Allah;, ‘Ada’, ‘jiwa’ itu hanya idea rasio kita, tidak mungkin diselidiki apalagi dibuktikan). Dengan ini ilmu pengetahuan mulai jadi primadona (walau belum satu-satunya karena kant masih memungkinkan pengetahuan praktis (etika), kesenian (estetika) dan refleksi kritis.

Kritik Hegel atas Kant sebagai usaha Radikalisasi Kritik

Hegel mempertanyakan upaya kant dengan epistemologinya (yang ingin mengklaim pengetahuan dari segala pengetahuan). Sebab katanya; penyelidikan terhadap kemampuan pengetahuan itu sendiri merupakan pengetahuan, sehingga penyelildikan semacam itu sebenarnya tak dapat mencapai tujuannya karena penyelidikan itu sendiri merupakan tujuannya. Kritik seperti itu terjebak dalam lingkaran setan.[3] Kant mengadili pengetahuan lain, tapi sang pengadil itu tidak juga diadili. Menurut hegel, jika kant mempertanyakan ‘syarat-syarat kemungkinan’ pengetahuan kita, ia sebetulnya hanya memastikan berfungsinya alat atau saluran tadi. Disini terlihat pengandaian-pengandaian kant, karena untuk memastikan berfungsinya alat dan saluran itu tentu tolok ukur yang dipakai sebagai standart.

Pengandaian itu adalah; 1) ilmu alam dan matematika, sebagai ilmu yang dapat diandalkan. Dengan contoh itu, ia menjadikan itu sebagai ukuran. Metafisika dianggap melampaui kemampuan rasio (rasio itu adalah matematika dan ilmu alam). 2) konsep normatif (diandaikan ada) tentang ego. 3) pemisahan antara rasio teoritis dan rasio praktis (pengetahuan teoritis tidak mempunyai implikasi apa-apa pada sikap hidup sehari-hari kita). Netralitas pengetahuan, keluar disini.

Dalam Phenomenologie des Geistes, hegel menunjukkan bahwa kesadaran kritis atau subjek pengetahuan itu tidak serba jadi, melainkan verada dalam proses pembentukan. Kesadaran itu tidak sekali jadi melainkan senantiasa berproses mejadi semakin sadar. Subjek bagi hegel dalam proses pembentukan diri dalam proses perjalanan sejarahnya. Pengetahuan kita menyejarah. Kant kurang radikal karena menganggap kesadaran kritis sebagai akhir, hegel mengatakan justru dengan tahu asal usulnya, sejarahnya, kita memperoleh kesadaran kritis. Kritik menjadi radikal karena metakritik. Kritik pengetahuan hegel tidak dilakkukan dengan pendekatan transendental, melainkan dengan pendekatan fenomenologis (yaitu pengalaman kesadaran, pengalaman refleksi). Habermas mengatakan;

“ Sebagai refleksi, kritik pengetahuan tergantung pada sesuatu yang mendahuluinya dan yang telah ada yang diambilnya sebagai objeknya sekaligus menjadi titik tolaknya”.[4]

Dalam Phenomenologie, hegel melukiskan bagaimana kesadaran memahami asal-usulnya sendiri. Menurut Hegel, titik tolak kegiatan refleksi adalah rasa-kepastian (sense-certainty)[5] terhadap objek yang langsung kita sadari secara indrawi. Rasa-kepastian itu elementer (ada dalam hidup sehari-hari). Berangkat dari sini terjadi refleksi yang lebih komplek. Hegel mengatakan bagaimana proses itu terjadi, dan diakhiri oleh pengetahuan absolut yaitu; seni, agama dan filsafat. Kata hegel, pengetahuan yang diperoleh lewat tahap-tahap refleksi itu merupakan pengetahuan absolut.

Menurut Habermas, dengan mengklaim kesadaran kritis sebagai pengetahuan absolut, fenomenologi bukannya meradikalkan epistemologi melainkan menyudahinya.[6] Jadi jika kant mencoba ‘memprimadonakan’ ilmu matematika dan ilmu alam, hegel mengambil filsafat lebih ‘unggul’ dari ilmu-ilmu itu. Walau dalam praktek ilmu-ilmu itu terus meninggalkan filsafat.

Metakritik Marx atas Hegel

Hegel kata Marx kurang radikal, karena baginya yang nyata itu pikiran dan kenyataan tak lain adalah pikiran. Padahal kata Marx, kritik itu harus diarahkan ke masyarakat. Hegel adalah idealitik[7], ia mengatakan; alam adalah hasil penglahiran (eksternalisasi) dari Roh atau Pikiran, maka intisari ‘ada’nya alam sebenarnya adalah pikiran yang ‘membeku’; tak lain dari bentuk lain dari pikiran itu sendiri. Dengan pandangan ini, kritik hegel tidak akan kedunia konkret. Kata Marx, bukan pikiran, melainkan alamlah dasar terakhir dan mutlak bagi pikiran.

Kata marx, manusia adalah makhluk yang hidup di dalam alam, tetapi dilain pihak menghadapi alam. Makanya manusia itu pecah, yaitu alam objektif (alam yang harus dialami, dihadapinya) dan alam subjektif (pikirannya sendiri, ia memikirkan alam luar dan dirinya sendiri). Terkadang ini mengalami keretakan, dan perantara manusia dan alam adalah ‘Kerja’. Dengan mengubah alam objektif dan menyesuaikan dengan alam subjektifnya (dengan kerja), manusia menjadikan alam bagian dari dirinya. Hanya dengan kerja alam dimanusiawikan dan manusia tidak terasing dari alam. Melalui proses kerja apa yang berubah bukan hanya alam, tetapi sang pekerja (manusia-pun, pikirannya) berubah. Pengetahuan diperoleh dan diwujudkan dalam dan melalui kerja, maka pengetahuan bertautan dengan praxis.

Dengan menjadi ‘hewan yang membuat alat’ lewat kerja, terjadilah perpaduan antara manusia dan alam. Pikiran berusaha mengubah alam lewat kerja, tetapi alam tidak mau tunduk begitu saja, akhirnya turut mengubah pikiran lewat kerja. Ini terjadi secara dialektik. Manusia tidak hanya menyesuaikan alam dengan pikiran tetapi pikiran juga menyesuaikan dengan alam. Maka pengetahuan dapat terus maju. Maka titik tolak sintetisnya bukan (seperti Kant, Fichte atau Hegel) logika, melainkan ekonomi. Karena sintesis merupakan aktivitas produksi material bukan melulu proses kognitif. Berbeda dengan idealisme (Hegel), Bagi Marx alam adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri, yang objektif, menghadapi subjek (manusia), mirip dengan das ding an sich-nya kant.

Habermas menunjukkan bahwa ada unsur kantian dalam sintesis melalui-kerja ini. Jika sintesis dalam kognitif (kant) terjadi karena ‘kategori-kategori’ pengertian akal-budi, sintesis melalui kerja memungkinkan apa yang disebut Habermas ‘ketegori-kategori tindakan instrumental’ kategori-kategori kant memungkinkan kita menarik kesimpulan tetap dan universal tentang peristiwa yang ingin kita ketahui. Kategori tindakan instrumental memungkinkan relasi kita dengan alam bersifat tetap dan universal, yakni: tindakan manipulasi alam. Kateori kant bukan transendental (kant) tetapi empiris.[8]

ketegori-kategori tindakan instrumental bersifat empiris (karena tergantung pada proses sejarah dan berkembang dalam sejarah. Tekhnologi dan alat-alat produksi semakin diperbaiki dan diubah menjadi semakin memadai secara teknis), tetapi ketegori-kategori tindakan instrumental juga bersifat transendental (karena mengikat pengetahuan kita tentang alam pada struktur tingkah laku untuk menguasai proses-proses alam). Dua aspek ini transendental dan empiris dalam kategori tindakan instrumental ini sangan penting (karena nantinya dapat menjadikan teori habermas tentang ‘Kerja’ dan ‘Komunikasi’, punya pendasarannya).

Dengan pandangan marx tentang sistesis melalui kerja, Marx menemukan apa yang habermas sebut ‘epistemologis intrumentalis’. Epitemologis ini berusaha menemukan struktur-struktur transendental dari proses kerja. Hanya dengan proses-proses kerja itu penataan pengalaman dan objektivitas pengetahuan kita menjadi mungkin. Menurut epistemologi ini, pengetahuan kita secara metodis dijamin pada taraf ora-ilmiah dalam sistem kerja sosial, dengan demikian kerja sosial menentukan pengetahuan bukan sebaliknya (bukan kesadaran yang menentukan keadaan mereka melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan keadaan mereka).

Epistemologi ini memungkinkan Marx memiliki pandangan transendental-pragmatis tentang ilmu alam. Transendental (apa yang membuat ilmu alam itu ‘ilmiah’ adalah proses kognitif yang dijamin secara metodologi). Prgmatis (ilmu alam adalah pengetahuan pragmatis kita sehari-hari lewat trial and error, dan terkait dengan praxis karena telah memasuki kehidupan manusia dan menjadi industri).

Jika ilmu alam adalah buah hasil kesadaran subjek untuk mengontrol proses-proses alamiah, ilmu budaya merupakan pengetahuan yang memungkinkan subjek untuk mengontrol proses-proses kehidupan sosial (berubah dari pengetahuan reflektif ke pengetahuan produktif). Pemahaman keliru terhadap ilmu budaya ini oleh Marx, kata habermas karena Marx meriduksi interaksi pada kerja. Dalam tulisan marx sebenarnya ada sintesis yaitu; ‘sintesis melalui perjuangan kelas’. Marx membedakan antara ‘kontrol sadar atas proses-proses kehidupan sosial yang dilakukan oleh produsen’ dan ‘kontrol otomatis dari proses-proses produksi yang telah menjadi independen dari individu-individu’. Kontrol sadar ini merupakan interaksi yang dicapai melalui persetujuan intersubjektif, sedangkan kontrol otomatis tanpa persetujuan karena terkait dengan proses objektif dalam industri. Kontrol sadar inilah basis perjuangan kelas, karena menyangkut hubungan kekuasaan dari kelas yang satu dengan yang lain.

Menurut Habermas, tindakan instrument bertujuan untuk membebaskan manusia dari kendala-kendala yang bersifat eksternal, caranya dengan mengubah ilmu pengetahuan menjadi tehnologi, sehingga alam ditundukkan dibawah perintah manusia. Tetapi ‘interaksi’ bertujuan membebaskan manusia dari paksaan-paksaan, tekanan-tekanan atau penindasan yang dihasilkan secara internal, oleh struktur-struktur interaksi manusia sendiri; yaitu pranata-pranata masyarakat. Dengan sintesis melalui perjuangan, pranata-pranata yang dibentuk atas dasar kekuasaan itu ingin diubah menjadi organisasi sosial yang diikat oleh “komunikasi bebas penguasaan”. Marx juga Adorno dan kawan kawan tidak melihat ini, kedua kelas berhadapan seperti manusia menghadapi alam untuk mengontrolnya. Dengan mereduksi sintesis melalui perjuangan pada sintesis melalui kerja, ilmu sosial yang dilahirkan oleh Marxisme terjebak dalam model ilmu alam. Kalau hegel jatuh pada ideallisme, Marx jatuh pada materialisme dan positivisme. Pada marx epistemologi diakhiri dengan ‘Saintisme materialisme’

Berakhirnya Epistemologi dalam Positivisme Comte dan Mach

Dalam kant, hegel dan Marx memang epistemologi agak memudar, walau masih tampak refleksi interaksi antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Tetapi ini benar-benar hilang dalam filsafat positivisme Comte dan Mach.[9]dalam yang terakhir refleksi subjek pengetahuan atas pengetahuannya diganti dengan penyelidikan atas metodologi dan prosedur-prosedur pengetahuan. Dengan positivisme maka keluarlah saintisme, dimana persoalan pengetahuan dianggap selesai.

Positivisme menekankan bahwa pengetahuan tidak boleh melebihi ‘fakta’. Dan menolak metafisika. Dan fakta tidak diselidiki secara ontologis. Apa saja yng dapat menjadi objek ilmu pengetahuan rigorus dapat dianggap sebagai fakta. Bahkan Mach lebih keras lagi dengan membatasi objek-objek indrawi: itulah fakta. Macam fakta apa yang diselidiki secara metodologis menunjukkan macam ilmu pengetahuan. Masyarakat (fakta), ilmunya sosiologi. Gejala-gejala hidup (faktanya) ilmunya biologi dst. Dengan ini, maka ilmu pengetahuan tak lebih dari prosedur-prosedur metodologi belaka. Pengetahuan yang sahih bagi Mach adalah pengetahuan yang diperoleh dengan ‘menyaliln fakta’.[10]

Positivisme jatuh pada ilusi objektivisme, sebab dunia digambarkan sebagai susunan fakta terindrai yang ‘otonom’, hanya fakta yang dianggap ada, maka positivisme tidak lain dari ontologi tentang fakta. Tetapi ilusi objektivisme ini, disebabkan subjek pengetahuan tak sanggup melakukan refleksi karena dipagari oleh patok-patok positif (definisi fakta, metodologi, teori pengetahuan dst).

4.2. Kepentingan teknis ilmu-ilmu Empiris-analisis (ilmu-ilmu ke-alam-an)

Charles Sanders Pierce (filosof Prgmatisme) adalah filsuf awal yang mengkritisi prosedur metodologi positivistik. Ia menanyakan; dalam filsafat ilmu pengetahuan saat ini yang jadi fokus adalah logis tidaknya susunan proposisi dari suatu teori, sehingga sesuai dengan fakta. Tetapi yang diselidiki adalah hasil dari suatu proses penelitian. Proses penelitian itu sendiri luput dari refleksi. Akibatnya teori sebagai hasil suatu proses dipisahkan dari asal-usulnya. Padahal justru dalam proses penelitian itu tampak kaitan antara pengetahuan yang diperoleh dengan tindakan-tindakan. ‘celah’ ini yang diselidiki oleh Pierce.[11]

“...Pelembagaan proses penelitian sekali dan untuk selamanya menentukan yang harus kita tempuh untuk sampai pada keyakinan-keyakinan kita yang kita sebut pengetahuan hanya karena pengetahuan yang tak dipaksakan dan bersifat intersubjektif.”[12]

Dengan kata lain, kita mengatakan sesuatu itu ‘ilmiah’, jika dan hanya jika suatu konsensus yang tetap dan tidak dipaksakan dapat dicapai dengan memperhatikan kesahihannya. Suatu konsensus ilmiah tidak harus definitif karena pernyataan-pernyataan yang dihasilkannya selalu dapat diperbaiki. Walau diharapkan bisa dicapai konsensus kesepakatan definitif (sekalipun kemungkinan ini ‘kecil’, atau ‘tidak mungkin’). Dengan kata lain kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan sebagai hasil proses penelitian merupakan proses belajar manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, melaikan juga sebagai spesies.

Logika penelitian Pierce diatas menurut habermas, berusaha menunjukkan ‘syarat-syarat kemungkinan dari kemajuan pengetahuan yang dilembagakan’. Yang tidak Formal, dan bukan transendeltal (kantian), tetapi dia ditengah-tengah.[13]karena disatu sisi, dalam proses penelitian, pengetahuan dihasilkan baik oleh hubungan logis dari proposisi-proposisi maupun hubungan empiris dari tindakan-tindakan peneliti. Dimana berusaha menemukan jawaban final secara komunikatif (intersubjektif), tetapi ia yakin jawaban ’final’ tidak pernah dicapai, maka kenyataan merupakan konsep transendental. Kenyataan tidak dipahami sebagai kategori apriori, melainkan dengan mekanisme proses penelitian sebagai proses belajar komunikatif.

Lalu apa kenyataan itu? Bila bukan das ding an sih (kant), tapi juga buka ‘fakta’ (positivistik).

Kenyataan adalah suatu yang independent terhadap pikiran aktual kita masing-masing (kenyataan tidak sama dengan pikiran), dilain pihak jawaban final, yaitu ‘yang nyata’, tetap tidak ditentukan oleh pikiran aktual kita. Pikiran-pikiran aktual kita berusaha memahami kenyataan yang independent itu dengan melenyapkan kesangsian demi kesangsian yang muncul dalam proses penelitian. Bersama dengan itu kita memperoleh kepastian-kepastian baru yang kita yakini sebagai ‘yang nyata’. Kepastian-kepastian baru itu tentu tidak bergantung pada pikiran-pikiran aktual kita, karena tidak segera berubah atau disangsikan begitu kita merubah pikiran. ‘yang nyata’ itu merupakan pemahaman atas wilayah kenyataan yang telah dicapai pada tahap tertentu, maka juga bersifat independent terhadap pikiran aktual kita sampai yang dianggap ‘nyata’ itu ‘terbukti’ kurang tepat. Dilain pihak, yang berperan dalam memahami yang nyata itu tetap pikiran aktual kita. Pikiranlah yang menarik kesimpulan-kesimpulan sehingga menghasilkan pengertian tentang yang nyata.[14]

Kenyataan itu dapat diketahui oleh pikiran kita, tetapi bukan secara subjektif melainkan intersubjektif, seperti tampak dalam konsensus-konsensus ilmiah yang dicapai dalam proses penelitian. Jadi jika ‘yang nyata’ diungkapkan secara simbolik dalam proposisi-proposisi dan disimpulkan secara intersubjektif melalui proses penelitian, maka totalitas pernyataan yang benar tentang ‘yang nyata’ itulah yang disebut kenyataan.[15]

Pierce membedakan 3 jenis kesimpulan menjadi; Deduksi (kesimpulan yang membuktikan bahwa sesuatu itu harus berjalan dengan cara tertentu). Induksi ( kesimpulan menunjukkan bahwa sesuatu itu nyatanya berjalan dengan cara tertentu dan Abduksi (kesimpulan membuktikan bahwa sesuatu mungkin akan berjalan dengan cara tertentu). Abduksi menawarkan suatu hipotesis sehingga akan memperluas pengetahuan.

Pierce mempertanyakan, mengapa tiga kesimpulan (diatas) bisa menghasilkan pernyataan yang sahih? Atau mengapa dengan mengikuti ‘aturan main’ itu kita dapat mendekati kebenaran ilmiah? Pierce menjawab dengan teori darwin ‘survival of the fittes’ (seleksi alam). Jadi Abduksi, Induksi dan Deduksi merupakan prinsip tingkah laku untuk menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan pada dasarnya adalah cara organisme manusia mempertahankan diri dan menguasai alam[16]. Habermas mengatakan bahwa pertanyaan itu menuntut jawaban transendental-logis mengenai syarat-syarat pengetahuan yang mungkin.[17] Dalam artian bahwa prinsip DIA (deduksi, Induksi dan Abduksi) itu dipercaya ‘benar’ dan akan sukses mengungkap pernyataan berdasarkan empiristik (bukti-bukti keberhasilan ilmu pengetahuan, dan tergantung tempat dan waktu), tetapi juga bersifat Transendental sebagai suatu metode (DIA merupakan alat penelitian dalam berbagai keadaan dan waktu). Singkatnya proses DIA itu berfungsi menetapkan kepercayaan.

Jika kesahihan dipahami sebagai konteks kepercayaan. Maka kepercayaan itu memapankan suatu kebiasaan (tingkah lakuk rutin), dan kepercayaan yang berbeda-beda dibedakan menurut cara bertindak yang berbeda-beda. Kesahihan kepercayaan tidak dimasalahkan selama tingkah-laku yang diarahkan olehnya tidak mengalami kegagalan, jika gagal tentu kesahihan kepercayaan itu disangsikan, lalu berusaha menemukan kepercayaan baru yang dapat menstabilkan tingkah laku kembali. (inilah kenyataan kerja ilmu alam dan hasil penelitian). Menurut Pierce, kepercayaan menggumpal dalam konsep, perumusan pengetahuan kita, Konsep merupakan kristalisasi kepercayaan. Dalam ilmupengetahuan, konsep diperluas, diterangkan atau dikoreksi melalui logika penelitian DIA, dan lebih luas sesuai dengan ‘sistem tindakan instrument’ (pengecekan langsung, diraba, dilihat dst).

Tingkah laku manusia senantiasi berhubungan dengan unsur yaitu; pengindraan, Kebiasaan dan kehendak. Abduksi (‘mungkin akan’) berhubungan dengan unsur pengindraan. Data indrawi selalu dialami secara langsung dan agar dapat diidentifikasi perlu dimediasi melalui proses penarikan kesimpulan menjadi keputusan-keputusan rasional. Disini Abduksi berjalan. Induksi (‘nyatanya’) berkaitan dengan unsur kebiasaan, dengan induksi manusia membentuk pengandaian-pengandaian umum melalui tindakan instrumental. Selama pengandaian-pengandaian itu tahan uji, pengandaian itu menjadi kebiasaan untuk bertingkah laku sesuai dengan pengandaian itu. Deduksi (‘harus’) berkaian dengan unsur kehendak. Bertindak dalam sistem acuan tindakan instrumental. Karena deduksi merupakan antisipasi peristiwa-peristiwa alam.

Sebagai hasilnya Dengan kata lain dapat dikatakan, sebagai penguasaan akan kondisi-kondisi eksternal manusia, tindakan instrumental dilaksanakan dalam rangka proses belajar yang bersifat kumulatif. Dan ada kaitan radikal antara pengetahuan dan sistem tingkah laku.

Rasio instrumental yang menghasilkan pengetahuan teknis (ilmu pengetahuan) melalui tindakan instrumental merupakan realisasi kepentingan. Karena proses kognitif merupakan kehidupan, rasio instrumental akan memenuhi suatu kebutuhan, kebutuhan itu adalah kebutuhan akan ‘sukses’ kata habermas. Sukses mengontrol proses alam (ilmu alam), dan karena keberhasilannya, dijadikan penentu kearah selanjutnya dimasa depan. Suskses ini adalah sukses secara umum, yaitu ‘sukses memecahkan masalah’. Baik masalah kehidupan empiris maupun masalah kognitif-transendental.

4.3. Kepentingan Praktis ilmu-ilmu Historis-Hermeneutik (ilmu-ilmu Ke-budaya-an)[18]

Pierce mengemukakan konsensus para peneliti (komunikasi para peneliti), walaupun upaya mencari konsensus intersubjektif, tetapi bahasa para peneliti adalah silogisme yang monologal bukan dialog. Tetapi bahasa sehari-hari peneliti itu bersifat dialog, tetapi itu terlupakan dalam refleksi-diri ilmu-ilmu ke-alam-an. Refleksi-diri yaitu mencari ‘syarat-syarat subjektif yang memungkinkan pengetahuan kita. William Dilthey seorang neo-kantian. Seperti kant (yang meletakkan pendasi ‘syarat-syarat mungkin’ yang kokoh bagi ilmu alam (naturwissenchften), ia meletakkan pondasi bagi ilmu-ilmu budaya (Geisteswissenchften).

Jika ilmu-ilmu alam mempelajari (benda mati), dan tindakan-tindakan instrumental adalah wilayahnya. Maka kehidupan, atau ilmu-ilmu yang mempelajari konteks kehidupan (manusia) adalah lain, dan harus dibedakan. Perbedaannya menurutnya tidak terletak pada bentuk-bentuk objektivitasnya (manusia dan alam), tetapi pada taras objektivasinya.

Jika ilmu alam, maka kita harus menghilangkan pengalaman sisi subjek, menyingkirkan kesan-kesan, kecendrungan subjek. Sehingga ungkapan-ungkapan-pun, DIA, tidak mengandung unsur ekspresi subjektif. Usaha keras ini untuk membatasi pengalaman subjek hanya sampai taraf rasional-bertujuan. Sedangkan ilmu budaya, mengobjektivasikan pengalaman seutuh-utuhnya, tanpa pembatasan. Jadi perbedaannya, menurut Dilthey, terletak pada orientasi subjek pengalaman: sikapnya terhadap objeknya. Perbedaannya bukanlah ontologi (essensi objeknya), melainkan epistemologis (metode mengetahui objeknya).

Jika ilmu-ilmu alam, teori yang dihasilkan adalah tiruan (mimesis) dari data empiris, penegetahuan yang dihasilkan dibatasi oleh teori sistematis. Ilmu-ilmu budaya kata Dilthey, hanyalah wahana untuk membangkitkan kembali pengalaman-pengalaman secara reproduksi. Jika ilmu alam meng-kontruksi-kan pengalaman: menyusun teori-teori untuk mengantisipasi peristiwa alamiah, ilmu budaya men-tranposisi pengalaman, yaitu: memindahkan objektivasi-objektivasi mental kembali kedalam pengalaman reproduktif.

Jika perbedaan pada sukap terhadap objeknya, metode dua ilmu itu beda. Istilah Dilthey adalah; Ilmu alam metodenya Erklaren (menjelaskan), metode ilmu budaya Verstehen (mengerti).[19] Erklaren berarti menjelaskan sesuatu menurut penyebabnya. Kita menjelaskan hukum alam dengan teori. Teori menjadi alat yang dapat diaplikasikan pada fakta. Pengalaman dan teori dapat dipisahkan. Dalam Verstehen, pengalaman dan pemahaman teoritis bercampur. Disini tidak terutama ingin menerangkan hukum, melainkan ingin menemukan makna dari produk-produk manusiawi, seperti: sejarah, masyarakat, candi, interaksi dll.

Metode Erklaren dan Verstehen juga menunjukkan bagaimana objek tampak pada subjeknya. Objek enklaren tinggal eksternal dari subjek. Objek tampak pada kesadaran sebagai suatu yang datang dari luar. Objek Verstehen tidak terpisah dari subjek. Fakta kebudayaan tampak pada kesadaran sebagai sesuatu yang datang dari dalam subjek. Ini menunjukkan ilmu budaya berada dalam kategori ‘pengalaman (Erlebnis). Bila kita membaca sejarah nabi muhammad saw atau peperanngan imam Husein as (cucu nabi yang dibunuh dengan sadis), pengalaman itu hadir dan kita hayati, kadang kita merasa jengkel dst. Dengan kata lain kita dapat mengalami kembali peristiwa itu secara reproduktif. Inilah Verstehen. Untuk menemukan makna suatu teks, karya seni, produk budaya, cara inilah yang harus ditempuh.[20]

Pengalaman, ekspresi dan pemahaman adalah 3 hal penting dalam ilmu budaya, menurut Dilthey. Kaitan ketiganya tampil dalam bentuk linguistik (kata-kata, isyarat-isyarat, ungkapan-ungkapan), dalam pranata-pranata sosio-kultural, bahkan dalam bentuk gejala pikofisis, seperti mengingat sesuatu. Ketiganya merupakan ciri eksistensial kita. Kita memahami diri kita maupun orang lain dengan menyatukan pengalaman kita sendiri kedalam setiap ekspresi kehidupan kita sendiri maupun orang lain. Kaitan ke-tiganya melukiskan keadaan manusia sendiri. Kata Diltey;

“Sesuatu pengetahuan termasuk kedalam ilmu-ilmu budaya hanya jika objeknya dapat didekati melalui tingkah laku yang berdasarkan atas kaitan-kaitan pengalaman, ekspresi dan pemahaman”[21]

Dilthey ingin mengisi celah syarat kemungkinan ilmu budaya yang ditinggalkan oleh Kant. Dilthey menyelidiki syarat-syarat kemungkinan ilmu sejarah (Kritik atas rasio sejarah). Kata Dilthey;

“Syarat kemungkinan pertama ilmu sejarah adalah bahwa saya sendiri adalah makhluk sejarah, maka ia yang mempelajari sejarah adalah sama dengan dia yang membuat sejarah”[22]

Katanya, dalam ilmu budaya, baik subjek maupun objeknya mempunyai kodrat yang sama, yaitu historis. Sebagai makhluk historis manusia tidak terpaku pada keadaan hit et nunc. Ia melampaui keterbatasan sejarahnya, maka bersifat transendental pula. Objektivitas ilmu budaya makin terjamin jika subjek semakin mampu meninggalkan situasi sejarahnya sendiri.[23] Dengan ungkapan lain; “karena subjek pengetahuan ambil bagian dalam menghasilkan objek pengetahuannya, ‘keputusan sintesis secara universal mengenai sejarah’ adalah mungkin”.[24]

Untuk upaya objektivisme Dilthey memakai pengalaman, ekspresi dan pemahaman sebagai objek Hermeneutis. Bagaimana hermeneutis dengan ilmu budaya? Dilthey memberi contoh penulisan Autobiografi (sebagi contoh model sejarah masyarakat). Dengan autobiografi, seorang berusaha memahami perjalanan hidupnya sendiri dengan cara mengangkat relasi-relasi kehidupan ( hubungan antara ego satu pihak dengan benda-benda dan orang lain yang memasuki dunia ego dilain pihak. Juga hubungan-hubungan dengan dunia luar sejauh dunia luar meresapi dunia dalamku). Relasi-relasi kehidupan yang telah terintegrasi dalam pengalaman membentuk identitas ego. Dan identitas ini terbentuk bila ego menafsirkan makna bagi sejarah hidupnya sendiri. Totalitas kesatuan sejarah hidup ini oleh Dilthey disebut ‘kategori makna’. Seperti kant, dilthey bertanya ‘bagaimana pengalaman yang bermakna mungkin?’ ia menjawab; ‘karena ada kategori makna’. Kategori inilah yang memungkinkan kita mengingat-ingat hal-hal yang telah kita alami. Makna dari pengalaman itu telah termuat dalam pengalaman itu sendiri. Makna itulah yang mengkonstitusi struktur pengalaman (membuat pengetahuan kita tentang pengalaman menjadi mungkin). Keseluruhan struktur pengalaman inilah yang menjadi kategori makna.

Makna memiliki kesahihan intersubjektif, makanya pengalaman hidup seseorang dapat dikomunikasikan dengan pengalaman hidup orang lain dan membentuk pengalaman ‘bersama’ (yaitu sahih secara intersubjektif dan mengikat kuallitas simbolik yang sama bagi sekelompok subjek yang saling berkomunikasi dengan bahasa yang sama). Otobiografi tidak hanya pengalaman individu, tetapi memiliki sisi intersubjetif yang dapat dipahami secara bersama. Dasar dari intersubjektifitas ini adalah bahasa. Melalui perantara bahasa, makna dialami bersama tidak hanya secara kognitif, tetapi juga afektif dan normatif. Jika makna bersifat intersubjektif, identitas ego juga ditandai dialog. Pertama ego berdialog dengan orang lain dan dengan pemahaman diri sendiri.

Ada perbedaan cuckup besar antara pemahaman hermeneutis dan ilmu-ilmu alam dalam memahami makna. Jika ilmu alam mengungkapkan makna lewat teori, dan bebas dari unsur subjektif dan bahasa formal, logika dapat menerangkan pengalaman konkret secara memadai. Pehamana hermeneutis justru tergantung bahasa sehari-hari untuk menerangkan konteks hidup konkret. Dan konteks hidup konkret dapat diungkapkan melalui; ‘ekspresi hidup’ (ekspresi linguistik, tindakan dan ekspresi pengalaman) dan bahasa sehari-hari. Ketiganya dalam ekspresi hidup itu menjadi objek pemahaman hermeneutik.

1) Ekspresi linguistik yaitu upaya manusia mengungkapkan konteks kehidupan konkret. Ini merupakan rumusam simbolis-linguistik dari penghayatan manusia. Ekspresi ini hanya mengungkap sebagian kecil dari kenyataan dan bisa terpisah dari kehidupan konkret. Eskpresi ini ‘sejati’ bila yang mengungkapkan sekaligus memahami (komunikasi tanpa distorsi). Jika ekspresi makin terikat dengan konteks kehidupan konkret, maka makin dialogal. Dialog tidak monolog murni atau dialog murni, karena selalu ada kesenjangan antara konteks kehidupan konkret dan ekspresinya melalui kata-kata. 2) konteks kehidupan konkret dapat dieksplisitkan dengan Tindakan. Tindakan dapat melengkapkan makna yang diungkapkan lewat bahasa. Tindakan dengan maksud tertentu (tindakan komunikatif). Seperti ekspresi linguistik, tindakan komunikatif tak dapat mengungkapkan sepenuhnya maksud subjek. Ada kesenjangan komunikasi verbal dan tindakan komunikatif, sehingga perlu dijembatani dengan pemahaman hermeneutik. 3) dapat juga diekplisitkan dengan mimik atau ekspresi tubuh seseorang (perubahan raut muka, tawa dll). Ekspresi ini merupakan tanda dari maksud yang tidak dinyatakan, juga tanda dari hubungan yang tidak stabil antara ego dan objektivasi-objektivasinya. Ekspresi ini lebih lekat dengan konteks kehidupan karena bersifat spontan dari pada 1 dan 2. tetapi karena spontanitasnya, ekspresi ini kurang mengandung isi kognitif atau isi mental yang dapat diterjemahkan dalam kata-kata atau tindakan. Ekspresi ini tidak dapat dikatakan benar atau salah, hanya bisa diketahui asli atau tidak. Dengan bentuk ke 3 ini, pemahaman hermeneutik diperkaya. Dan untuk melakukan hermeneutik kita harus mengaitkan ke 3 nya secara integral.

Pemahaman hermeneutik menurut Dilthey maju secara melingkar, “lingkaran Hermeneutik” (induksi dan deduksi. Untuk memahami puisi, kita mengabstraksi bermacam-macam puisi, sebaliknya untuk mengidentifikasi ‘x’ adalah puisi, kita kembali ke konsep puisi umum). Menurut Dilthey, hanya dengan cara melingkat ini ilmu budaya memahami objeknya.[25]

Sampai disini, habermas mengatakan; jika pemahaman hermeneutik sebagai metode ilmu budaya dapat memperoleh kemajuan dengan mengaitkan bahasa dan praxis, analisis bahasa dan pengalaman, lingkaran hermeneutik itu sejajar dengan proses belajar kumulatif dari logika penelitian Pierce.

Fungsi dailog antar pemahaman hermeneutik dan proses penelitian Pierce tampak bahwa keduanya terkait dengan suatu tindakan. Keduanya dilakukan untuk menjaga gangguan-gangguan relasi-relasi rutin kita baik dengan alam maupun dengan manusia lain. Seperti logika penelitian, pemahaman hermeneutik dimaksudkan untuk melenyapkan keraguan dan menetapkan cara-cara tingkah laku yang mantap: menetapkan kepercayaan. Tapi ada perbedaan yaitu 1) jika penelitian, masalah muncul jika terjadi kegagalan tindakan rasional-bertujuan. Dalam hermeneutik terletak pada gangguan konsensus. 2) proses penelitian bertujuan mengganti aturan teknis yang tidak cocol dengan ‘yang nyata’, pemahaman hermeneutik bertujuan menafisrkan ekspresi kehidupan yang tidak dapat dipahami dan menghalangi pencapaian konsensus. 3) penelitian mencoba memperhalus penguasaan teknis dan prakmatis kita terhadap alam dan kehidupan sehari-hari, hermeneutik merupakan bentuk ilmiah dari kegiatan menafsirkan kehidupan sehari-hari pada taraf pra-ilmiah. Bisa ditambahkan dari kesimpulan Habermas, 4) Jika hermeneutik sebagai metode ilmu budaya terkait dengan sistem tindakan subjek yang berinteraksi (sistem tindakan komunikatif), ilmu-ilmu alam terkait dengan sistem tindakan intrumental. [26] 5) jika metode ilmu alam digunakan untuk memahami atau menyingkap kenyataan agar manusia dapat mengontrol alam secara teknis diberbagai kondisi spatio-temporal, metode hermeneutik dimaksudkan untuk menjaga saling memahami antar-subjek dalam hidup sehari-hari menurut norma-norma umum.

Kata habermas; “metode hermeneutik memungkinkan bentuk konsesus yang bebas dari paksaan dan memungkinkan semacam intersubjektif terbuka dimana tindakan komunikatif tergantung”.[27] Hermeneutik berfungsi menghindari bahaya-bahaya kemacetan komunikasi dan ini mencakup (komunikasi didalam sejarah hidup individu sendiri maupun tradisi sosial tempat individu hidup, juga memperantarai tradisi-tradisi yang berbeda-beda dari individu-individu, kelompok-kelompok dan kebudayaan-kebudayaan. Fungsi ini penting karena menjaga survival (gangguan padanya bisa berakhir dengan kekerasan dan tindakan saling membinasakan). Jadi hermeneutik-pun dibimbing dan diarahkan oleh suatu kepentingan, ‘kepentingan konstitutif-pengetahuan’ , atau ‘kepentingan kognitif’. Gangguan pada komunikasi akan mengganggu survival, maka kepentingan kognitif yang mengarahkan pemahaman hermeneutik adalah untuk mencapai konsensus. Kepentingan kognitif ini mengarahkan pemahaman dan tingkah laku praktis dari tindakan-tindakan komunikatif dalam masyarakat, makanya Hebermas menyebut ‘Kepentingan Kognitif Praktis’ atau kepentingan praktis (praktis ini diartikan interaksi, bukan kerja). Kata Habermas, seperti kepentingan teknis ilmu alam, kepentingan praktis ini bersifat apriori dan transendental disamping sifat empirisnya. Dengan cara yang sama, sekali lagi kepentingan ini mengarahkan dan menentukan kerangka kerja ilmu-ulmu historis-hermeneutik.

Menurut habermas, seperti kepentingan teknis, kepentingan praktis tidak melemahkan ‘objektivitas ilmu budaya meskipun membuat pengetahuan terkait dengan praxis hidup manusia dan masyarakat. “Karena hanya kepentingan konstitutif-pengetahuanlah yang menentukan syarat-syarat objektif yang memungkinkan pengetahuan”. Kepentingan konstitutif-pengetahuan mendorong itulah yang menentukan bagaimana ilmu-ilmu pengetahuan membuka kenyataan bagi kita. Dengan didorong dari dalam oleh kepentingan teknis, manusia sepabagi spesies yang bertindak dengan rasionya mengarahkan diri pada tindakan-tindakan rasional-bertujuan. Kepentingan teknis ini menghasilkan proses belajar yang kumulatif, melalui trial and error, yang kita kenal sekarang sebagai ilmu empiris analitis. Dengan didorong dari dalam oleh kepentingan praktis, manusia rasional berinteraksi untuk mencapai pemahaman timbal balik dalam sistem tingkah laku tindakan komunikatif. Kepentingan praktis ini menghasilkan proses belajar interaktif-simbolik melalui trial and error yang disistematikkan sebagai ilmu-ilmu historis-hermeneutik.[28]

Seperti Pierce juga Dilthey tidak berhasil memahami objektivitas dalam kontek kepentingan kognitif. Meskipun mereka telah menunjukkan keterkaitan ilmu pengetahuan dengan konteks hidup, mereka cenderung jatuh pada objektivisme positivistik. Pragmatisme Pierce memutlakkan sintesis kelompok peneliti dan Dilthey memindahkan cita-cita objektif ilmu-ilmu alam kedalam metode hermeneutik ilmu-ilmu budaya.

4.4. Kepentingan Emansipatoris ilmu-ilmu Kritis

pierce lewat pragmatisme-nya menunjukkan kontinuitas penelitian empiris-analitis dengan proses belajar yang pada taraf pra-ilmiah berlangsung dalam kerangka sistem tingkah laku tindakan instrumental. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan secara teknis. Dilthey menunjukkan kaitan ilmu historis-hermeneutik dengan praxis hidup manusia sehari-hari. Tujuannya adalah menghasilkan pengetahuan yang secara praktis bersifat efektif. Ilmu ini merupakan kontinuitas dari proses belajar pada taraf pra ilmiah yaitu : interaksi simbolis untuk menghasilkan saling pemahaman konsensus.

Hasil dari keduanya menurut Habermas, telah sampai pada titik dimana pertautan antara pengetahuan dan kepentingan kognitif tertentu menjadi tampak. Ilmu empiris (teknis), ilmu budaya (praktis), tapi belum sampai pada bagaimana keterkaitan itu. Sebab kaitan itu terlihat belum bersifat langsung. Klaim kedua ilmu itu untuk menghasilkan pengetahuan taraf teori murni, sebenarnya upaya untuk membebaskan diri dari kondisi empiris yang berubah-ubah. Habermas mencoba memberikan bentuk pengetahuan ke 3 (selain Empiris-analitis dan Historis-hermeneutik) yaitu pengetahuan yang mau mengaitkan pengetahuan dan kepentingan langsung. Teori dan praxis langsung. Bentuk pengetahuan tentang diri yang dihasilkan oleh refleksi-diri. Kata habermas;

“Dalam refleksi-diri, pengetahuan demi pengetahuan menjadi serupa dengan kepentingan akan otonomi dan tanggung jawab”.[29]

Disini dengan refleksi diri, Habermas membicarakan bentuk pengetahuan tentang Proses pembentukan diri (proses sejarah kebudayaan = , semacam, pendidikan kepribadian), sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial historis.. bentuk pengetahuan ke 3 ini dibimbing oleh ‘kepentingan emansipatoris’ (dimana kepentingan ini bersifat derifatif dan mendasar, dibanding 2 lainnya). Kalau ilmu 1dan 2 dibimbing oleh kepentingan teknis dan praktis, dan dibimbing oleh upaya rasio untuk membebaskan diri dari kendala alamiah dan kendala interaksi sosial. (dalam masa purba membebaskan diri dari nafsu dan kondisi empiris yang berubah ubah, dalam masa pencerahan, rasio berusaha membebaskan diri dari metafisika dan dogmatisme. Atau dengan kata lain kepentingan kita paling mendasar adalah membebaskan kendala kerja dan interaksi. Dalam arti ini kepentingan Teknis dan praktis (interaksi) diturunkan dari kepentingan emansipatoris. Padahal pada saat kepentingan itu membeku menjadi ideologi (semacam poritivisme), kepentingan emansipatoris membimbing refleksi diri untuk menghancurkan dogmatisme dan ideologi dalam berbagai perwujudannya. Inilah kepentingan rasio sesungguhnya.

Untuk kepentingan teknis dan praktis, ilmunya adalah ilmu alam dan hermeneutik. Sedangkan untuk emansipatoris, ilmunya adalah ilmu-ilmu kritis. (contohnya adalah kritik ideologi Marx dan frued psikoanalisis, dengan mengabaikan upaya ilmu itu menjadi saintisme).

1. Kesatuan Rasio dan kepentingan dalam Refleksi-diri.

Upaya rasio membebaskan dari mitos, tampak dari ucapan Kant; “Pencerahan adalah pembebasan manusia dari pengawasan yang diadakan sendiri. Pengawasan adalah ketidakmampuan manusia untuk mempergunakan pengertiannya tampa bimbingan orang lain. Yang diadakan sendiri adalah pengawasan ini bila penyebabnya terdapat bukan pada kurangnya rasio melainkan pada kurangnya ketegasan dan keberanian untuk mempergunakan rasio itu tanpa bimbingan orang lain. Sapere aude!’ beranilah mempergunakan pikiranmu sendiri!’ inilah semboyan pencerahan.”[30]

Dari sini terllihat bahwa, rasio itu bukan kesadaran murni melainkan kehendak untuk menjadi rasional, yaitu membebaskan kesadaran dari kungkungan dogmatisme dan mencapai otonomi dan tanggung jawab. Bukan rasio netral dikosongkan dari kehendak kita, melainkan justru merupakan rasio yang memihak, melawan dogmatisme.[31] Tapi ini tidak dikembangkan oleh kant, nanti oleh Fichte dikembangkan. Kant menunjukkan bahwa kepentingan mengandaikan adanya kebutuhan dan sebaliknya. Berdasar ini kant membedakan 2 kepentingan; 1) kepentingan murni atau praktis (dapat kita rasakan saat melakukan kebaikan moral yang bersifat praktis, kepuasan karena telah melakkukan kewajiban, tidak ditentukan oleh kecendrungan subjektif, tapi rasio yang bebas. Disini kehendak tidak karena kecendrungan tapi karena rasio) dan 2) kepentingan empiris atau patologis (menunjukkan ketergantungan kehendak pada kecendrungan subjektif, demi keuntungan. Kepentingan empiris, tita tidak tertarik pada tindakan, tetapi pada objek tindakan yang memuaskan kita). Jika kepentingan murni menyadarkan kita akan kebutuhan, kepentingan empiris, muncul karena kebutuhan. Rasio murni adalah rasio yang menjalankan ilmu pengetahuan dan memahami objeknya tanpa dicampuri oleh kepentingan empiris apapun. Rasio praktis adalah justru merupakan kemampuan rasional kita untuk mengetahui apa yang harus kita lakukan (faktor kehendak memainkan peranan). Masalahnya bagaimana rasio murni menjadi praktis. Kant sulit menjawab ini (ia hanya memberikan adanya ‘kepentingan murni’, yaitu kepentingan yang terlepas dari pengalaman empiris dan memiliki status transendental).

Habermas memberi tawaran adanya kepentingan yang diantara (tidak murni, tapi sekaligus tidak empiris, yaitu kepentingan konstitutif. Jika rasio murni ingin menjawab ‘apa yang dapat saya ketahui’, rasio praktis, ingin menjawab, ‘apa yang harus saya lakukan’, maka pengetahuan kritis yang didorong oleh kepentingan kognitif (kepentingan konstitutif-pengetahuan) ingin menjawab, ‘apa yang dapat saya harapkan’. Pertanyaan pertama menuntut jawaban teoritis dan spekulatif dan terlaksana dalam ilmu pengetahuan. Pertanyaan ke 2 menuntut jawaban praktis, dan ini terlaksana dalam etika. Pertanyaan ketiga menuntut jawaban praktis sekaligus teoritis, dan disini rasio murni berkaitan dengan rasio praktis. (usaha ini dilakukan oleh Fichte).

Jawaban fitche agak membingungkan,[32] kata fitche bahwa semua pengetahuan secara hakiki mengandaikan kebutuhan akan pembebasan yang memungkin manusia mencapai otonominya dan tanggung jawab. Rasio berupaya untuk itu, walau rasio juga berada pada hambatan dogmatisme (kesadaran alamiah sehari-hari yang tidak direfleksikan atau kesadaran yang tidak disadari).

“kepentingan tertinggi dan dasar dari seluruh kepentingan adalah kepentingan akan diri sendiri....kepentingan yang secara tak kelihatan membimbing seluruh pemikiran adalah kepentingan untuk tidak kehilangan kedirian (self) nya dalam berfikir logis tetapi menjaga dan mempertahankannya.”[33]

Dengan refleksi diri, maka rasio praktis bekerja dalam kegiatan rasio murni atau dengan kata lain, rasio spekulatif dan rasio praktis identik didalam kegiatan kognitif. Dalam refleksi-diri, tindakan rasio yang menyebabkan ego dapat membebaskan diri dari dogmatisme atau kesadaran palsu. Dalam refleksi ego menjadi transparant terhadap dirinya sendiri dan terhadap asal usulnya kesadarannya sendiri. Dengan refleksi diri ego tidak hanya memiliki kesadaran baru tentang diri kita sendiri, melainkan juga bahwa kesadaran baru itu mengubah hidup eksistensial kita sendiri. Tindakan mengubah hidup itu adalah tindakan emansipatoris. Dalam refleksi diri kesadaran dan tindakan emansipatoris itu menyatu., dalam kegiatan refleksi rasio kita langsung menjadi praktis. “Refleksi adalah intuisi sekaligus emansipasi, pemahaman sekaligus pembebasan dari ketergantungan dogmatis.[34] Dalam refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu”[35]. Tetapi dalam fitche juga Hegel (dari kesadaran sehari-hari sampai pengetahuan absolut) refleksi-diri memperoleh penafsiran idealistik sebagai aktivitas rasio belaka. Habermas ingin memberi tambahan bobot materialistik (ala Marx). Sehingga dapat turun dalam masyarakat, dengan itu kepentingan emansipatoris yang membimbing refleksi juga terwujud dalam praxis sosial. Praxis sosial ini dapat dibedakan dalam Kerja dan komunikasi.

Kepentingan kognitif (emansipatoris dari rasio) itu timbul untuk mempertahankan hidup, dilakukan dengan kepentingan teknis (menaklukkan alam, membebaskan manusia dari kendala alamiah-empirie) dan kepentingan praktik (interaksi-komunikatif) membebaskan dari kendala sosial komuniaksi (penguasaan sosial).

2. Psikoanalisis sebagai Kritik dan Kritik Ideologi Marx.

Kepentingan emansipatoris, pada taraf metodologis, membimbing sesluruh refleksi termasuk filsafat dan ilmu-ilmu kritis. Ilmu kritis adalah;

“ilmu pengetahuan sistematis tentang tindakan sosial (ekonomi, sosilogi, politik) memiliki tujuan, seperti ilmu empiris-analitis, untuk menghasilkan ilmu nomologis. Suatu ilmu sosial tak puas dengan ini. Ilmu kritis memusatkan diri melampaui tujuan ini......mengungkapkan hubungan ketergantungan yang dibekukan secara ideologis yang pada prinsipnya dapat diubah.”[36]

Tujuan ilmu kritis adalah memudahkan proses refleksi diri secara metodis dan menghancurkan kendala-kendala proses pembentukan diri manusia sebagai makhluk sosial maupun individual. disini ilmu kritis bertugas menentukan kapan praxis sosial, termasuk penelitian ilmiah dan hermeneutik interaksi, membeku menjadi penindasan yang menghambat proses pembentukan diri. Contoh konkret ilmu seperti ini adalah Psiko-analisis Frued dan Kritik-ideologi Marx.

Pada mulanya ilmu ini (psikoanalisa) semacam penafsiran metodis atas struktur-struktur simbolik, seperti Tingkah laku mimpi, kata-kata seseorang, hingga dapat dibandingkan dengan ilmu hermeneutik. Hermeneutik menghadapi teks yang memuat ingatan subjek tentang sejarah hidupnya dalam kondisi normal. Penulis teks dianggap sadar diri, sehingga penafsir (hermeneutikan) berupaya memahami teks itu ‘dari dalam’ untuk memahami apa yang dimaksud sipenulis. Makna struktur simbolik dipelajari dengan kecurigaan hanya terhadap intervensi tak sadar dari kondisi eksternal, misalnya; konteks sejarah si penafsir. Sedangkan psikoanalisis yang dicurigai adalah teks-teks segi internal penulis. Struktur simbolik yang diungkapkan telah terdistorsi dari maksud sesungguhnya oleh penyakitnya. Psikoanalisis menghadapi language game yang kacau. Psikoanalisis adalah ‘Hermeneutika dalam’ (teifenhermeneutik) kata Habermas.

Dalam kehidupan sehari-hari, ‘teks’ yang dimaksud adalah ungkapan subjek tentang dirinya, tentang proses pembentukan-dirinya. Dalam kondisi normal, struktur simbolik (ekspresi linguistik, pola tindakan dan ekspresi kehidupan) saling melengkapi menjadi language game yang dapat dianalisis dengan hermeneutika biasa. Dalam psikoanalisis ini kacau, dan tujuan hermeneutika dalam adalah berusaha menerjemahkan teks kacau itu, sampai dipahami baik oleh orang lain maupun subjek sendiri. Atau Hermeneutika dalam berusaha menerjemahkan ketidaksadaran menjadi kesadaran.

Proses psikoanalisis dapat digambarkan dengan tafsir mimpi (karena mimpi adalah model normal kondisi patologis). Mimpi adalah teks yang ditulis si pemimpi, tetapi saat sadar, ia tak kenal dengan teks itu. Makanya kata frued teks itu harus disingkap rahasianya, dengan tafsir mimpi. Analis harus masuk kebalik isi teks yang diungkapkan untuk menangkap maksud tersembunyi dibalik ungkapan mimpi itu. Analis tidak hanya berusaha memahami teks yang terdistorsi, melainkan juga makna distorsi teksi itu sendiri.[37] Disini analisis mimpi adalah proses refleksi yang bertolak dari teks mimpi dan menembus sampai asal usul kejadian teks itu.

Lapisan paling luar yang diingat oleh pemimpi, lapisan yang lebih dalam berisi pengendapan pengalaman-pengalaman pemimpi sebelumnya. Lapisan ini padat dengan simbol-simbol. Makna simbol ini taklain dari pengalaman resistensi dari subjek terhadap pengalaman. Resistensi ini menunjukkan adanya konflik. Ingin sesuatu tetapi ada kekuatan pencegah (malu, dilarang dll), konflik ini diakhiri dengan kompromi (subjek menyatakan sesuatu yang diinginkan, tetapi dengan cara yang tidak seperti yang diinginkan), sehingga terjadi distorsi dalam struktur-struktur simbolis yang dihasilkan.[38]

Bahasa dari teks mimpi adalah campuran dari bahasa normal dan bahasa yang diprivatisasikan (karena kompromi tadi, tekanan sosial dst). Sehingga keluar simbol-simbol privat, inilah ekspresi. Inilah asal usul mengapa kadang kejadian teks mimpi itu aneh. Ini juga bisa dianalisis pada keadaan terjaga, seperti Histeria, neurosis, fobia dan berbagai prilaku menyimpang lain. Dalam lingkup sosial terjadi pembatasan-pembatasan dalam komunikasi karena adanya hubungan kekuasaan. Sepintas teknik analisis ini mirip perekjaan arkeolog; yaitu merekontruksi kejadian masa lampau. Analis merekontruksikan hal-hal yang dilupakan (karena direpresi) oleh pasien berdasarkan mimpi-mimpinya, asosiasinya dan pengulangan-pengulangannya atas kata-kata tertentu, sementara subjek atau pasien itu mengingat peristiwa hidupnya dalam terang rekontruksi tadi. Arkeolog mulai dan mengahiri tugasnya dengan rekontruksinya, sedangkan analis mulai dari rekontruksinya dan mengakhiri dengan ingatan pasien kembali.

Ada 3 hal bahwa pengetahuan analisis merupakan refleksi diri yaitu 1) pengetahuan ini kritik dan didorong untuk kebutuhan perubahan praktis. Keadaan patologis pasien tak lain adalah kesadaran palsu dan dapat dihancurkan dengan kehendak (passion for critique). Kepentingan pasien untuk sembuh, kepentingan emansipatoris merupakan syarat sukses terapi (pasien), jadi refleksi pasien yang dibanti terapis itulah syarat sembuh. 2) terapi menekankan bahwa sakit itu bukan fisik atapi self. Yaitu proses ego pasien mengenal dirinya sebagai kedirian yang terasing karena penyakit, dan ia harus mengidentifikasikan diri dengan kedirian yang terasing itu. Disini rasio teoritis dan praktis tak dapat dipisahkan karena terapi merupakan suatu moral insight. 3) dalam proses terapi, analis membuat dirinya sendiri sebagai alat pengetahuan, tidak dengan menyingkirkan subjektivitasnya, melainkan dengan suatu pelaksanaan yang terkendali. Terapis harus sungguh terlibat secara mendalam di dalam pengalaman pasiennya.

Dengan proses analisis diatas, tampak bahwa pengetahuan analisis bukan tanpa kepentingan karena terapi diperoleh sejauh pasien didorong oleh kepentingan emansipatoris untuk sembuh dan sebaliknya, analis didorong kepentingan yang sama untuk membebaskan pasien. Sebagai refleksi-diri, psikoanalisis menyatukan kognidi, afektif, rasio teoritis dan rasio praktis dan akhirnya pengetahuan dan kepentingan. Psikoanalisis ini adalah contoh ilmu kritis dalam level individu.

Seorang individu, patologis atau tidak, terlihat dari penyimpangan atau tidak dari model komunikasi dan interaksi dalam konteks masyarakat. Artinya harus ada pembanding ideal (komunikasi masyarakat tanpa represi). Tetapi mana masyarakat ideal tanpa represi itu? Bisa jadi seseorang dianggap abnormal karena dilihat oleh masyarakat tertentu, masyarakat yang lain tidak, dst. Disinilah makanya cukup relevan menerapkan proses analisis dalam konteks proses pembentukan-diri masyarakat kita.[39]

Dalam hal represi dll Frued, dalam Marx juga mirip. Kekuatan represi itu tergantung 2 faktor; 1) perkembangan penguasaan teknis atas kekuatan alam dan 2) penataan proses produksi dan distribusi dari barang-barang yang dihasilkan. Semakin maju 2 hal itu, represi makin lemah, melemahnya represi sosial menyebabkan kemungkinan integrasi ego-id-superego.[40]bila ada represi maka konflik itu terjadi, dan biasanya diatasi dengan neurosis kolektif dengan pranata masyarakat. Sehingga pranata-pranata itu memiliki ciri patologis dst.

5. KRITIK-IDEOLOGI DAN KRITIK PENGETAHUAN

Pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi saling terkait pada praxis kehidupan. Pengetahuan (erkenntnis) merupakan aktivitas, proses, kemampuan dan bentuk kesadaran manusia, sedangkan ilmu pengetahuan (wissenschaft) merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang direfleksikan secara metodis. Bila pengetahuan dan ilmu pengetahuan membeku menjadi delusi atau kesadaran palsu[41] yang merintangi praxis sosial manusia untuk merealisasikan kebaikan, kebenaran, kebahagiaan dan kebebasannya, keduanya telah berubah menjadi ‘ideologis’. Teori kritis berusaha membebaskan sekaligus menyembuhkan masyarakat yang mendekam dalam kungkungan ideologis itu melalui kritik ideologis.

Kritik ilmu pengetahuan

Habermas telah menunjukkan bahwa postivisme logis sudah berubah menjadi ‘ideologis’ dengan klaim-klaim metodologisnya yang tak berpihak, murni dll. Refleksi ini memungkinkan menunjukkan keterkaitan internal dalam diri subjek pengetahuan antara pengetahuan yang mungkin, language-games yang mungkin dan komitmen dunia praktis yang mungkin. Dalam refleksi ini diperlihatkan bahwa ilmu takdapat dipersatukan dalam satu metodologi karena memilki the conditions of possibility yang berbeda.

Syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan dan praxis manusia itu adalah kepentingan-kepentingan yang mengarahkan pengetahuan (erkenntnisleitende). 1) manusia sebagai spesies memiliki kepentingan teknis untuk mengontrol lingkungan eksternalnya melalui perantara kerja dan kepentingan mewujudkan dirinya dalam pengetahuan informatif yang secara metodis disistematisasikan menjadi ilmu-ilmu empiris-analitis. 2) manusia sebagai spesies memiliki kepentingan praktis untuk menjalin saling pemahaman timbal-balik melalui perantaraan bahasa dan kepentingan itu mewujudkan dirinya didalam pengetahuan interpretatif yang disistimatisasikan secara metodis menjadi ilmu-ilmu historis-hermeneutik. 3) manusia sebagai spesies memiliki kepentingan emansipatoris untuk membebaskan dirinya dari hambatan-hambatan ideologis melalui perantaraan kekuasaab dan kepentingan ini mewujudkan dirinya dalam pengetahuan ‘analitis’ yang disistimatisasikan secara metodis menjadi ‘ilmu-ilmu sosial yang kritis’ atau kritk-ideologi.

Medium Kerja

Dimensi kerja

Medium bahasa

Dimensi komunikasi

Medium kekuasaan

Dimensi kekuasaan

Kepentingan

teknis

praktis

Emansipatoris

Pengetahuan

informatif

interpretasi

Analitis

Tindakan

Tindakan-rasional-bertujuan

Tindakan komunikatif

Tindakan revoluisoner-emansipatoris

Ungkapan Linguistis

Proposisi deduktif nomologis (monologal)

Bahasa sehari-hari, language game, ungkapan-ungkapan dialogal

Pembicaraan emansipatoris

Metodologi

Empiris-analitis

Historis-hermeneutik

Refleksi-diri

Sistematika metodis

Ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu pengetahuan alam)

Ilmu-ilmu historis-hermeneutik (ilmu pengetahuan sosial-budaya)

Ilmu-ilmu kritis (Teori Kritis)

*) Diambil dari pidato pengukuhan Habermas, “Knowledge and Human interest”, hal 313.

Ini tak dapat direduksikan satu dengan yang lain, karena memang beda. Secara objek yang dilihat (IPA, ilmu ke-alaman, objetivasi bisa total, yang dilihat punya keteraturan nomologis, IPS tidak. IPA tidak menghadapi sejarah yang terulang, IPS menghadapi sejarah yang tak dapat diprediksi nomologis. Juga IPS antara Subjek dan objek tidak dapat dipisahkan total, subjek menyejarah juga objeknya dst).

Kritik-Ideologis

Marx memberi habermas 2 kategori sintesis yaitu melalui kerja dan Komunikasi. Dengan kateogi kerja maka terlihat pertautan antara pengetahuan dan praxis. Hubungan dialektik ini bersifat kritis karena menghubungkan kehendak manusia dan pengetahuan. Konsep yang mampu menampung hubungan ini adalah ‘kepentingan rasio’ (inter-esse ; ber-ada-diantara; kutub empiris dan transendental). Kutub empiris berhubungan dengan sosio-historis sebagai spesies yang berkehendak, kutub transendental bersangkutan dengan pengetahuan yang bersifat normatif-ideal. Kritik-ideologi bekerja dalam dua tataran ini, mencari pertautan antara keduanya, manakala pemikiran masyarakat membeku disalah satu kutub. Bekkunya pemikiran ini karena subjek tidak menyadari kepentingan-rasio sebenarnya. Yaitu kepentingan membebaskan diri dari alam atau hambatan sosial seperti ‘alam’. Disini kritk-ideologi menjernihkan kembali kepentingan rasio sebenarnya yaitu emensipatoris.

Habermas mengatakan bahwa psikoanalisa sama dengan kritik ideologi karena 4 hal (diterangkan oleh Paul ricour)[42]. 1) psikoanalisa merupakan proses penyembuhan dan pengenalan diri. Dialog antara pasien dan terapis tentang pengenalan diri mewarnai seluruh proses dan merupakan tujuan yang ingin dicapai dengan menyingkirkan resistensi. Ideologi adalah sistem resistensi karena memungkiri pengenalan-diri. Pengenalan itu penting tapi emansipatoris, upaya kesadaran mau melepaskan diri ini yang lebih penting. 2) dalam psikoanalisis keduanya distorsi-distorsi dn emansipasinya terjadi dalam proses komunikasi. Karena ‘perjuangan kelas’ dalam Marx terjadi pada taraf komunikasi tempat terjadinya konflik-konflik kekuatan dan kekacauan. 3) distorsi distorsi ini bersifat sistematis. Distorsi sistematis tidak dapat dilakukan dengan komunikasi biasa, melainkan membutuhkan teknik dan teori dan kadang menggunakan penafsiran sebab-akibat.[43] Ke 3 alasan itu dapat menjadi alasan paradigmatis ilmu-ilmu kritis. Tetapi 4) adanya kesejajaran, yaitu bahwa baik kritik ideologis maupun psikoanalisis memiliki model struktural yang diturunkan dari situasi konkret. Psikoanalisis dengan model id-ego-superego-nya, kritik ideologi Marx dengan model ‘basis-super-struktur-nya. Ini diabstraksikan dari situasi konkret sedemikian hingga direifikasikan dan menjadi ‘ideologis’ karena tidak pas dengan situasi yang dihadapi. Ini problem (makanya Habermas sendiri kurang puas dengan dua model itu). [44]

Menjadi jelas bahwa sasaran ilmu kritis sebagai kritik ideologi adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Komunikasi ini menyimpang dalam 2 hal. 1) taraf bahasa (komunikasi yang busuk itu menggunakan ‘aturan-aturan’ yang menyimpang dari sistem aturan linguistis yang lazim. 2) taraf tingkah laku (language-gama yang menyimpang ini nampak dalam rupa kekakuan dan prilaku repetitif yang berpola akibat paksaan). Bila dalam komunikasi wajar, kedua taraf itu kongruen satu sama lain, dalam komunikasi ‘ideologis’ terjadi kesenjangan yang mengejutkan antara taraf bahasa, tindakan dan isyarat-isyarat yang menyertainya.[45] Komunikasi ideologis itulah yang perlu disembuhkan lewat dialog-dialiog emansipatoris yang menghasilkan insight dan pencerahan dalam diri subjek-subjek yang berkomunikasi.[46] Akhirnya habermas untuk memenuhi keinginannya, mengembangkan kritik bahasa (llinguistik-analisis). Yaitu Teori kompetensi komunikatif yang berusaha untuk merekontruksi prasyarat-prasyarat umum bagi komunikasi bebas dari penguasaan.[47] Habermas akhirnya mencoba melanglang lagi, dengan mengintegrasikan teori Austin dan Searle tentang Speech-Act, dengan segala problemnya.



[1] Hampir semua filosof setelahnya sepakat, untuk masalah bahwa pengetahuan bukan idealisme atau realime, bukan empirisme dan rasionalisme tapi gabungan. Uraian tentang Kant, lihat K. Bertens, ”Ringkasan Sejarah Filsafat”, hal 60-62.

[2] Untuk penjelasan ini, dan kritik filosof Islam (walau menurut penulis, MA hampir sama, hanya sedikit redaksional Kant dan Islam yang beda), lihat, Murthadha Muttahari. ”Fitra”, Lentera, Jakarta, 1998. bab 1, ’Manusia dan Fitrah’, hal 31-42, khususnya hal 32-35.

[3] Hardiman, 114.

[4] Habermas, Knowledge and human Interest, hal 8

[5] Lihat bagaimana pengetahuan berjalan, setapak demi setapak, menurut filosof Islam. Dengan konsep kepastian dasar awwal yaitu ”Ilmu Khuduri”. Awal mulainya ada satu pengetahuan yaitu ’keyakinan saya ada’. Bukan ’saya berfikir saya ada’ (Descartes). Pengandaian berfikir berarti tahu bahwa ’ada’. Lihat Mehdi Hairi Yazdi, ”Ilmu Khuduri”, Mizan, Bandung. Taqi Mizbah Yazdi. ”Daras Filsafat Islam”, Mizan Bandung. Taqi Mizbah Yazdi, ”Meniru Tuhan, Terj dari falsafe ahklaq”, Al Huda, Jakarta.

[6] Hardiman, hal 118.

[7] Titik tolak kenyataan bagi idealisme adalah Roh atau Rasio. Alam materi dipahami sebagai perwujudan dari rasio atau pikiran yang mengasingkan dirinya, atau mengobjektivasikan dirinya. Dengan kata lain, bagi idealisme, objek tak lain dari subjek sendiri. Objek pada dirinya tidak ada, karena kenyataan pada dasarnya adalah sang subjek.

[8] Hardiman, hal 122-123.

[9] Epistemologi adalah filsafat pengetahuan atau kritik pengetahuan (dalam arti kantian) merefleksikan semua pengetahuan yang mungkin, sedangkan filsafat ilmu pengetahuan hanya merefleksikan cara kerja ilmu pengetahuan modern yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin.

[10] Positivisme juga Empirisme, memiliki anggapan bahwa objektivitas atau kebenaran adalah corespondensi antara pengetahuan dan fakta indrawi, maka keduanya menganut the copy thory of truth atau correspondence of truth. Teori kebenaran sebagai kesesuaian fakta dan pikiran ini ditolak oleh Madzab Frankfurt dan Habermas. [Karena disini diandaikan Subjek tidak menyejarah dan Objek tinggal diketahui. Padahal ada interconnectisitas antara Subjek dan Objek].

[11] Ini sangat penting, karena ‘fakta; menjadi ’fakta’ karena pengamat. Pengamat menentukan secara arbiter mana yang akan diamati dan nantinya mana yang menjadi fakta, bahkan pengamat dapat menyusun, mengurutkan, menyeleksi fakta sesuai dengan apa yang terselip dalam ’kepentingan’nya.

[12] Habermas, Knowledge and Human Interest, hal 92.

[13] Logika formal meneliti kesahihan proposisi-proposisi atau argument-argument, sedangkan logika transendental mencari syarat-syarat dalam diri subjek yang memungkinkan kesahihan pengetahuan sebagaimana tampil dalam argument-argument atau proposisi-proposisi.

[14] Hardiman, hal 134. Ini sama dengan konsep gabungan Fenomenologi dan Epistemologinya Raimond Popper. Popper, Karl. R ,“The Logic of Scientific Discovery, New York, London, Harper & Row, 1968. Bandingkan dengan ’gambaran saya’ dalam buku saya, ”Islam dan Psikologikal Ber-Kebenaran’ (akan terbit).

[15] Hardiman, ibid. disini Habermas menggunakan Pierce untuk mendukung teorinya tentang kebenaran sebagai konsensus. Habermas tidak menolak bahwa untuk mencapai kebenaran ilmiah perlu dicapai konsensus untuk memetakan proses belajar manusia, tetapi ia menolak bahwa konsesus itu dapat dicapai dalam logika penelitian. Sebab ilmu alam bekerja dalam sistem tindakan instrumental, ilmu itu berusaha menguasai, memanipulasi, monologal (dengan alam). Dengan demikian simbol-simbol lingustik yang dicapai untuk mengungkapkan hubungan itu tetap harus merupakan monologal. Sehingga per se DIA (deduksi, Induksi dan Abduksi) itu bersifat monolog. Lihat hal 25. bukankah bahasa yang digunakan penelitian adalah silogisme? Untuk mengungkapkan kebenaran ilmiah butuh silogisme, tetapi ia tidak dapat digunakan untuk ’dialog’ (sebagai upaya mencapai kesepakan intersubjektif). lihat hardiman, hal 145. inilah celah Pierce dan yang diupayakan ditutupi oleh Habermas untuk membangun teorinya.

[16] Sama dengan Raimond Popper. Lihat Ibid, juga Alfon Taryadi, “Epistemologi Pemecahan Masalah menurut Karl R. Popper”, cet. II, Gramedia, 1991.

[17] Hardiman, 137. Secara umum, pengetahuan berjalan dari melihat kejadian-kejadian (induksi), lalu membuat generalisasi, dan generalisasi itu dijadikan hukuk untu dilakukan deduksi. Abduksi adalah Deduksi yang diperoleh dari Induksi, karena dia yakin kesimpulan itu belum final. Sebab induksi tidak akan pernah lengkap, sehingga deduksi (premis awal yang dianggap sahih, tidak final), lalu dideduksi lagi dst.

Pertanyaan Pierce ini (diatas) adalah pertanyaan umum sintesis, atau khususnya ‘sintesis-apriori’ ( Contoh: ’segala kejadian ada sebabnya’). Predikatnya (ada sebabnya) menambah hal baru pada subjek (segala kejadian), sehingga bersifat sintetis, tetapi predikat itu tidak didapatkan dari pengalaman dan tidak merupakan analisis atas subjek. Pertanyaannya mengapa sintesis apriori ini mungkin? Jawabnya karena dalam akal budi manusia sudah ada hal-hal itu yang disebut ‘kategori-kategori’ yang bersintesis dengan data indrawi yang disebut unsur aposteri. Lihat hal 20. [Muhammad Alwi].

[18] Hermeneutik sebagai metode ilmu budaya adalah bagaimana menafsirkan bahasa sehari-hari. Bahasa yang terdiri dari ekspresi linguistik, tindakan dan ekspresi pengalaman. Lihat hal 28.

[19] K. Bertens, “Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman”, hal 90.

[20] Ibid, hal 227-229. kita lihat, kita pernah dengan bahwa; “bacalah qur’an itu, seolah-olah turun untuk dirimu’. Inilah contoh verstehen. Pandangan dengan verstehen dengan cara reproduksi, mengandaikan orang pada masa ini dapat berempati terhadap orang pada masa lampau. Teori empati diltey ini banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher, walau dengan modifikasi, tidak psikologisme-nya (empati). Lihat Hardiman, hal 149-150.

[21] Kutipan dalam Habermas, “Knowledge and Human Interests”, hal 148.

[22] Ibid, hal 149.

[23] Ini nampaknya bermasalah, sebab seakan dapat menjadi Subjek-objek berpisah. Jatuh kepada keilmu-alam-an [MA]. Jatuh pada Objetivisme., kata Habermas.

[24] Habermas, ibid.

[25] Lihat, K. Bertens, Op cit, hal 90.

[26] Lihat, hardiman, 160, dengan modifikasi.

[27] Habermas, op cit, hal 176.

[28] Hardiman, hal 162.

[29] Habermas, op cit, hal 197.

[30] T.A. McCarthy, “The Critical Theory of Jurgen Habermas”, hal 77.

[31] Mengapa Rasio punya sifat seperti itu? Jawabnya ini transendental, sifat asli ’rasio’. Inilah mungkin dalam dogma agama, ada kepercayaan bahwa rasio itu punya sifat condong pada kebenaran (anugrah pembuat rasio itu, yaitu Tuhan).

[32] Lihat Muttahari, ‘Fitrah’, op cit. Kalau kita melihat kritik filsuf islam terhadap kant, akan dapat penyelesaian ini (mirip dengan Fitche, dengan kelengkapan cukup).

[33] Habermas, “Knowledge and Humant interests”, hal 206. Hardiman, hal 172.

[34] Ibid, 208.

[35] Ibid, 209.

[36] Ibid, hal 310.

[37] Ini sangat penting bila digunakan menganalisis sejarah Islam. Mengapa pengarang x, meninggalkan nama y atau topik z padahal sangat melimpah pada zamannya, sangat penting pada pembahasannya dst. Dengan analisis model ‘hermeneutik dalam’, mungkin kita dapat merekontruksi sejarah Islam, tidak seperti ulama tradisional, hanya dengan mengurutkan kejadian demi kejadian, dengan kutipan-kutipan sana-sini, yang sarat ’kepentingan’ dirinya. Dengan kemampuan pengungkapan sejarah ’ideal-sebenarnya’, kita mampu mengungkap mitos yang menyelubungi data sejarah, yang akhirnya mempengaruhi keberagama-an kita. Kita lihat bagaimana madzab besar Islam (Syi’ah, Akhlsunnah, Wahabi dengan seluruh derivasinya dan Liberalis, dengan seluruh komponennya) terjebak oleh pemahaman Islam, lewat teks demi teks tanpa analis lebih dalam. Sebab menurut kami [MA], Islam akan ’progresif’ bila melakukan 3 hal sekaligus; 1) dalam suasana, Ukhuwwah islamiyyah, 2) melakukan pencarian islam yang Islam, dan 3) Mengadop kemajuan Barat dengan antusias-kritis. Wallahu al a’lam.

[38] Ini menarik bila kita melihat teks-teks klasik tentang sejarah Islam. Bagaimana dalam satu sisi; ”semua sahabat dikatakan semuanya adil, tidak perlu ada kritisisasi”, dilain pihak sejarah yang sama, menulis gejolak, kejelekan sahabat dalam perebutan kekuasaan dll. Lihat buku-buku dengan logika ‘kacau’, Al Akhkam Sultaniyyah, Mawardi dll.

[39] Hardiman, hal, 176 – 179. tetapi ini bermasalah, sebab terapi berhasil, dominant bila sang pasien yakin dia ingin sembuh. Bila dia tidak merasa sakit maka ini menjadi masalah. Masyarakat barat lahirnya teori kritik ideologi dll karena yakin kondisinya sakit. Tapi bila mereka membandingkan dengan masyarakat lain mungkin tidak merasa sakit (Perlu diskusi lebih lanjut). Barat merasa punya problem melihat dirinya sendiri, atau dilihat oleh orang timur. Barat merasa timur itu sakit dst. Inilah menariknya dan analis bisa memulain dengan membongkar dulu seperti madzab frankfurt, baru bila kondisi lebih terang, maka pisau ‘analisis’ dapat digunakan. Ini penting digunakan pada islam, sebab secara umum masyarakat islam yakin kondisinya sakit.

Kata frued; individu tidak dapat begitu saja memuaskan dorongan nalurinya karena sensor sosial, konflik ini dapat menimbulkan neurosis individu ataupun kolektif. Masyarakat adalah sistem pemeliharaan-diri kolektif dan senantiasa berada pada bahaya ancaman dorongan naluri individu. Makanya masyarakat memaksakan tuntutan institusional dalam lingkup keluarga yang diwakili oleh orang tua. Ini sangat menarik bila kita bawa pada sejarah islam, dimana ada represi antara ‘jamaah’ dan ‘keadilan’. Jamaah adalah masyarakat dan keadilan adalah individu. Lihat bagaimana represi Muawiyyah terhadap ‘keluarga nabi’, muncul dalam bentuk-bentuk lain. Represi keluarga (orang tua) muncul statemen, “semua sahabat (orang tua) adalah adil (tidak boleh dilawan). Dosa bila diganggu dst. Bahkan banyak (histeria, neurosis, fobia) dalam sejarah islam. Ketakutan membahas Tuhan, sejarah awal, sejarah penulisan qur’an dst. Banyak argumen aneh, tidak masuk akal tapi diterima umum (Neurosis) dst. Contoh dalam Syi’ah, Imam mahdi akan turun bila dunia dipenuhi ‘kekacauan, kejelekan dst’ dan tidak akan turun bila masyarakat tidak syiap menerimanya. “Tidak diizinkan mendirikan negara Islam (kecuali Imam 12, Imam mahdi), karena itu hak imam (jelas ini neorosis kolektif, mungkin karena kekalahan-kekalahan terus menerus pengikut Syi’ah, atau karena kekalahan antara Ulama dengan Umara, penguasa). Tetapi konsep ini di ‘hancurkan’ oleh khomeini di Iran. Lihat bagaimana ‘penutupan pintu ijtihat’ dilakukan. Dll konsep dalam Islam yang perlu dianalisis dengan ‘hermeneutika-dalam’. Hadist-hadist seringkali digunakan sebagai tameng untuk pembenaran konsep suatu kelompok dst.

[40] Memiliki problem, sebab dengan “kemajuan-kemajuan” itu, seperti ditunjukkan oleh Marcus, masyarakat menjadi “one-dimention”. Artinya keseragaman ada, karena penataan masyarakat diterima.

[41] ‘false consciousness’ suatu bentuk kesadaran (yaitu seperangkat kepercayaan, sikap-sikap, disposisi-disposisi batin, motivasi-motivasi, preferensi-preferensi, dst) disebut palsu bila secara epistemis mengklaim dirinya satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar, secara fungsional melanggengkan, menstabilkan atau melegitimasikan domunasi, dan secara genetis berasal dari kepentingan-kepentingan penguasaan tertentu. Hardiman, cacatan kaki 175. hal 191.

[42] Paul Ricour, “Lectures on Ideology and Utopia”, New York, Columbia University Press, 1986. hal 244-245.

[43] Ibid, hal 229.

[44] Hardiman, hal 198.

[45] Sekali-lagi ini sangat menarik bila kita lihat sejarah Islam. Bagaimana antara ideal tipe tokoh tertentu (nabi, sahabat, tabiin, Islam, syariah dll) sangat mengejutkan antara yang dikatakan (bahasa), tindakan (sangat bergejolak, perang satu dengan yang lain), juga isyarat-isyarat (hadist-hadist ramalan dll).

[46] Lihat Kritik Muhammad Arkoun, yang mengatakan; saya lihat diskusi Sunnah-Syiah ulama-ulama sekarang, tidak berubah cara, argument dll, seperti ratusan tahun lalu antara Al Hiili dan Ibn Taymiyyah. Tidakkah ada perubahan dengan ilmu, kritik sejarah dll yang berkembang saat ini? Lihat bukunya; Arkoun, Muhammad, “Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru”, terjemahan Rahayu S. Hidayat, INIS, 1994.

[47] J.B. Thompson, “Critical Hermeneutic”, hal 90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar