Laman

Minggu, 21 Maret 2010

Psikologi Pencarian Kebenaran

PROBLEM PSIKOLOGIKAL "KEBENARAN"

A. PENDAHULUAN

Setiap agama, pemikiran agama, madzab dan apapun yang dianut oleh seseorang "selalu" mengklaim itu benar. Sehingga sangat sedikit sebenarnya (kecuali menusia-manusia dengan kentingan-kepentingan tertentu) orang itu ingkar pada "kebenaran" (Kafir = ingkar). Sehingga dengan pemahaman ini. Ada sebagian pemikir yang mencari-cari dalil rasional atau rasionalisasi bahwa kalau ia tunduk pada "kebenaran", maka sebenarnya ia (orang itu) muslim (Muslim = menyerah) tanpa harus atau tidak mesti ia mengikuti agama "kebenaran" (Islam).[1] Jalan menuju Tuhan itu banyak, hanya garis lurus (Sirathal Mustaqlm) adalah jalan terpendek menuju suatu titik (Dalil Matematika). Lalu pertanyaannya mengapa manusia itu berbeda-beda, pemikiran, madzab, agama dst.

Contoh Masalah:

Problem Utama dalam "Pemahaman Beragama" (Tradisionalis dan Modernis).

Salah satu problem terpenting dalam beragama adalah mengatasi yang Transenden dan Imanen ( Tuhan yang tak terbatas dan Manusia yang terbatas). Mengatasi problem antara Wahyu dan Akal, mengatasi Partikularitas, perubahan-perubahan ( ciri dari manusiawi, alamiah, imanen) dan universAlitas, ketetapan/kestabilan (ciri dari yang transenden, Tuhan, adikodrati).

Dalam melihat agama, manusia dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu; KAUM TRADISIONALIS (tidak punya konotosi negative); dimana mereka melihat hal-hal yang berupa nash itu tetap tak berubah dan paten, pasti. Mereka mengangkat kategori "nash" walau dalam kategori "manusiawi" (imanen, profane) menjadi "semi-adikodrati", (transenden, sacral, tetap). Asumsi kelompok ini walau jarang dikemukakan secara eksplisit adalah harus ada yang transenden, adikodrati, tetap. Ini semua untuk menjamin kepastian, keyakinan dan menghalangi bahaya plurAlisme tanpa acuan. Dan secara psikologis memang (cara pikir ini) lebih membuat ketenangan walau terkadang membuat kurangnya kreatifitas, diskusi, dialog intersubjektif untuk menemukan "kebenaran" atau dalam bahasa fenomenologi melihat bareng, sehingga wesen, hakekat itu muncul kepada kita.

Kelompok-kelompok ini mengangungkan banyak hal baik "Teks", "pre-Teks", "Personifikasi "kebenaran"" dst. Dan memberikan mereka kategori semi-keTuhanan. Tak tersentuh, selalu benar dan kata akhir dalam apapun problem. Bahkan kalau tidak memilikinya (atau menemukan kategori itu), mereka menggunakan dan mencari teori untuk mendudukkan orang yang layak untuk menyandang kedudukan "semi-tuhan' itu. Apakah ini salah? Disini kita tidak sedang membahas mana yang benar dan salah, karena kajian itu sangat luas dan "mungkin tak terbatas". Bahkan mungkin wilayah Sengketa (karena asumsi dasarnya "tidak mungkin" disamakan) kata Francis-Lyotrad (tokoh StrukturAlis-Posmodernisme). Sehingga bukan wilayah "diskusi" lagi.

Mereka dengan ini menjembatani antara Tuhan (adikonrati, transenden, takterbatas), dan Manusia biasa (Profane, Imanen, berubah dan sarat akan kemungkinan salah) dengan Manusia-manusia Pilihan (setengah manusia, setengah tuhan. Ya dikodrati ya manusiawi. Manusia karena ya manusia, tapi tidak pernah salah, tahu apapun). Sehingga terkadang dalam bentuk penyelesaian model ini, mereka agak kesulitan menyelesaikan masalah; "bahagaimana kebebasan mereka?, sebab bila punya jawaban pasti, tuggal, maka manusia itu tidak punya pilihan lagi. Apa ini bebas? (elaborasi lengkap masalah ini pada EksistensiAlisme-J.P. Satre). Bahkan tanpa menyebut "ketuhanan", sebenarnya kelompok ini sama dengan memiliki "Tuhan yang Imanen", semacam Yesus-Kristus (Manusia-Tuhan) dalam pandangan Kristen. Dan memang ada yang mengatakan walau dengan sedikit perbedaan, kalau Kristen punya Trinitas (Allah-Ruh Qudus-Yesus), Islam Punya Trinitas (Allah-Jibril-Muhammad). Muhammad adalah "Tuhan" dibumi. Lihat saja hadist-hadist semacam "Nur Muhammad" dst. Walau memang dalam Islam kata Frithjof Schoun (Muhammad Isa Nuruddin) lebih mengutamakan "kebenaran" bukan "Kehadiran", (Apakah ini juga yang terjadi dalam Islam Sunnah-Syi'ah?) Sehingga tidak sampai menyebut Tuhan pada Muhammad.

KAUM MODERNIS (tidak punya konotosi positif). Definisi yang diangkat dalam tulisan ini tentang modernisme adalah "berkurangnya kooptasi langit terhadap bumi". Maka jelas sekali dari definisinya, mereka sadar atau tak sadar bisa kita runut kemasa pencerahan, Aufklarung dengan bapaknya Imanuel Kant atau Ibnu Sina (mungkin analogi ini tidak cukup pas, tapi arah itu "jelas"), Mu'tazilah dan lain-lain.. Mereka percaya kemampuan manusia untuk mandiri, otonom, sepere aude kata Imanuel Kant, mengapa harus "cepat-cepat" doa (kata Ibnu Sina).

Mereka tahu ada problem antara Adi-kodrati, Tuhan dan Manusia, antara Wahyu dan Akal, antara Teks dan penafsiran dst. Tetapi mereka lebih mengandalkan kemampuan manusia. Mereka siap dengan plurAlisme "kebenaran", karena disamping kompleknya permasalahan, memang mereka tidak menuntut "kemutlakan "kebenaran"" itu. Kalau klaim kaum TradisionAlis mengatakan; "kalau kita punya perselisihan, siapa kata akhirnya, arbiter dari problem itu?", Tuhan, dan Orang-orang pilihannya? Kalau Tidak ada? Harus dicari !? Sebab tanpa mereka Agama ini tidak "benar", tidak menjamin kepastian dan secara psikologis dan rasional akan berbahaya. Kenapa ? kata mereka (Modernis), Bukankah kita punya "akal" dan "kebebasan"?. Bila kita sudah memaksimalkan keduanya cukup. Tidak perlu harus "benar", karena yang dituntut oleh-NYA hanya upaya, memaksimalkan akal dan usaha kita? Tidak perlu memaksakan harus ada "Manusia Setengah Tuhan", toh pengkatagorian manusia itupun dari kita. Tapi kata kaum (TradisionAlis), bukankah kamu juga punya keputusan-keputusan yang "manusiawi setengah adikodrati". Lihat saja, semua masalah akan selesai, dan dianggap benar bila sudah dimusyawarahkan, voting, lewat dialog demokratis, dan lain-lain.

Lain kata mereka (kaum Modernis), sebab kami yakin itu tidak " mutlak "kebenaran"nya", dan kami tidak memberikan "SAKRALITAS' padanya. Sehingga jelas sangat manusiawi, karena akallah yang menuntut itu, yaitu kaidah "Akal-Praktis", yang mengatakan; ""kebenaran" tertinggi, sekalipun tidak mutlak, maka menuntut ketaatan mutlak".

Siapa yang menuntut kita taat pada yang lain? Tanya kaum modernis. Kata kaum tradisionAlis (Tuhan lewat teks Nash). Kata kaum Modernis (Akal, lewat syarat-syaratnya. Misalnya lebih pandai, wara' dan lain-lain. Intinya "nilainya sesuatu itu tertinggi", maka kita harus ikut dengannya). Sama saja, kamipun juga, nash menentukan syarat-syarat itu (kaum TradionAlis). Lain kata kaum Modernis. Sebab pada kami tidak ada "SakrAlitas", sehingga diskusi, dialog, beda pendapat dan lain-lain tidak masuk dalam kategori agama (ada suara sakrAlitas, langit), tetapi dalam dataran ilmu. Sebab kalau sesuatu itu sudah dianggap "Agama" (maka didalamnya tidak hanya unsur ""kebenaran" rasional" yang jalan, tapi Psikologis, Ketenangan-jiwa, social-politik dan lain-lain yang jalan). Sehingga beda pendapat, diskusi akan disikapi dengan beda pandangan dst. Maka upaya untuk menganggap perbedaan, diskusi sesuatu hal yang biasa sulit.

Tetapi kami juga menggunakan Akal dan mendapat Jaminan dari yang Transenden. Benar kata kaum modernis, tapi yang kami persoalkan adalah ""kebenaran" dan kemaslahatan-manusia", artinya kita sama-sama ingin menjadi baik dan benar, tetapi baik dan benar itu untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Sebab tuhan tidak butuh kita, dan kitapun diciptakan untuk kebaikan kita sendiri. Sehingga kategorinya mestinya mengarah kepada "manusia dengan kemanusiaannya" bukan kelangit. Jangan sampai ada penumpahan darah, menyakiti orang lain, kafir-mengkafirkan dengan "kategori agama", "atas nama agama" itu aneh. Disinilah keinginam kita untuk tidak mudah membuat kategori menjadi agama, karena unsur sakrAlitasnya akan sangat kental. Dengnan itu maka fleksibilitas, akseptabilitasnya menjadi kurang objektif, sekalipun secara psikologis memang akan sangat berguna walau memiliki dua mata ganda, (cepat diteriman, menenagkan tapi bisa menina-bobokkan).

Baiklah. Disinilah kata kaum tradisionAlis perlunya kita sering bertemu dan "berdialog "kebenaran"". Sebab kami yakin kami dan kamu-pun ingin kebaikan dan kemaslahatan secara individu dan umum, hanya perspektif dan preferensi yang sarat akan pengalaman belajar kitalah yang membuat kita memiliki pandangan-pandangan yang seakan-akan berbeda dan bertolak belakang.

Mudah-mudahan kita semua juga bisa meneladani dua kelompok diatas dalam mencari "apa yang diinginkan oleh-NYA". Tidak mengatakan milik kita benar karena yang lain salah, atau pandangan kitab-kitab mereka yang aneh. Kita mestinya tidak menjadi orientAlis dalam agama kita sendiri, yaitu dengan melihat kitab-kitab kelompok lain lalu kita mengkonstruk masyarakat kelompok itu dan mengklaim kita mengerti mereka. Kita mestinya juga turun kebawah sebab ada kontras antara "agama-kitab" dan "agama-masyarakat". Lihat saja masyarakat NU (Syafi'i) disekitar kita, mereka secara umum tidak ikut syafi'i murni (kitab-kitab mereka). Demikian juga hampir tidak ada seorangpun dari Ahlus-sunnah yang Determinisme ("Asyariyyah-kolot") sebab mereka secara umum percaya keharusan ikhtiyar, usaha dan sholat serta amalannya menentukan atau juga menentukan posisi dan tempat mereka di akhirat, dan lain-lain. Milik mereka "salah" tidak otomatis milik kita "benar", bisa salah dua-duanya dst (disinilah perlunya inward looking tidak hanya outward looking. Perlu autokritik tidak hanya puas dan yakin dengan melihat kesalahn orang lain).

Dialog, ketemu dengan mereka (dialog intersubjektif) seperti dilakukan dua kelompok diatas sangat membantu dalam berdialog antar agama atau antar madzab. (jangan sampai kita terkena kritikan Arkoun yang mengatakan; "saya melihat dialog sunnah-syi'ah antara Al-Hilli dan Ibn Taymiyyah ratusan tahun yang lalu, dalil yang digunakan, masalah yang diangkat dan argument yang dikemukan serta disodorkan ternyata sama dengan dialog sunnah-syi'ah ulama-ulama saat ini. Tidak adakah perkembangan baik ilmu, metode, pendekatan dan cara-pandang terhadap masalah-masalah agama selama ratusan tahun ini. Aneh!) Sebab ada keyakinan umum, "kita semua menginginkan melakukan seperti yang diinginkan dan dimau oleh-NYA".

Siapa yang mengizinkan kita membawa stempel dan jadi satpam-satpam akidah tanpa izin resmi dari yang memiliki "kebenaran" itu. Sehingga kita mengatakan Kafir, Zindiq, Munafik, Munharif bahkan kepada manusia-manusia "suci', dan selalu menyebut kalimat "la ila ha illa-allah Muhammad Rasullallah", juga "Maksumin imam-imam kita". Padahal apapun yang kita tahu hanyalah perspektif dan preferensi kita yang sarat akan batasan kerak-kerak pemikiran karena dominasi lingkungan dan pendidikan kita.

B. PERMASALAHAN

Pertanyaannya adalah mengapa sampai terjadi beda bentuk pemahaman sedemikian rupa, sehingga tidak sedikit yang berperang antar agama dan saling membubuh dalam satu agama karena beda pemikiran dan pemahaman dalam beragama. Untuk menjawab ini maka kita perlu membuat definisi umum tentang apa itu "kebenaran" yang secara umum diperjuangkan oleh "mereka" dengan apapun yang mereka miliki.

C. KERANGKA TEORI

Teori-teori "kebenaran"

Ada beberapa macam definisi "kebenaran" yang bisa kita peroleh antara lain; 1) Teori "kebenaran" Wahyu, dimana disini, “suatu hal bisa dikatakan benar/ salah, tergantung apakah sesuatu itu berkesesuaian dengan wahyu atau tidak”, atau dengan bahasa yang lebih sederhana, apakah suatu masalah itu ada/ tidak dalam wahyu. Sebagai sebuah contoh, perdebatan antara Syech Ja’far Subhani dengan Mufthi Saudi Arabia tentang syirik, dimana si mufthi mengatakan, “pada dasarnya menyembah batu itu syirik, tetapi menyembah Ka’bah, yang pada dasarnya batu itu, tidak apa-apa karena diperintahkan/ ada dalam wahyu (al-Qur’an)”. (untuk lebih jelasnya tentang perdebatan ini lihat (Ja’far Subhani, “Tauhid dan Syirik”, Mizan bab 1 dan 2, cet. III, 1993). Sehingga disini kita bisa mengatakan, menyembah Ka’bah itu esensinya seharusnya syirik, tetapi karena diperbolehkan wahyu, berarti benar/ boleh perbuatan tersebut. Apabila kita mengikuti pendefinisian di atas, akan timbul pertanyaan: “apakah sesuatu itu haram/ diperbolehkan/ dibenarkan melakukan sesuatu tersebut/ sesuatu itu benar, karena esensinya, dzatiyah-nya benar/ diperbolehkan, ataukah karena diperbolehkan/ dibenarkan oleh wahyu”. (kita tidak akan membahasnya lebih lanjut, karena itu diluar tujuan tulisan ini).

2) Teori Koherensi, teori ini mengatakan bahwa “suatu/ sesuatu pernyataan dianggap benar, apabila pernyataan itu/ sesuatu itu, bersifat koheren atau konsisten antara pernyataan satu dengan pernyataan lain”. Sebagai contoh, “semua manusia pasti mati” (pernyataan pertama), apabila ini dianggap benar, lalu “si fulan adalah manusia” (juga dianggap benar), maka “si fulan pasti mati” (juga dianggap benar). Sebab pernyataan antara satu dengan yang lain konsisten/ memiliki urutan logis/ berkoherensi dengan pernyataan yang lain. Contoh lain; A=B, B=C maka A=C (Jujun S. Suriasumantri, 1993:56-57).

3) Teori Korespondensi, mengatakan; "Suatu pernyataan adalah benar, jika “materi” pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut”. Contoh sederhana, apabila kita mengatakan “ini gelas”, maka yang kita katakan tersebut dianggap benar, bila “ini” yang kita tunjuk tadi benar-benar/ berkorespondensi dengan “gelas” (Jujun S :57).

4) Teori Pragmatisme, yang dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit tahun 1878 dengan judul “How to make our ideas clear”, yang kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis. Disini teori ini mengatakan, bahwa “suatu pernyataan dianggap benar, apabila pernyataan tersebut memiliki kegunaan secara praktis/ fungsional dalam kehidupan praktis”. Artinya, suatu pernyataan itu benar atau salah dilihat dari bermanfaat/ berguna atau tidak dalam kehidupan praktis.

Disini kami tidak ingin membahas mana yang lebih baik dari defini-defini itu, tetapi dari keempat defini itu semuanya mengarah pada "definisi korespondensi" (dan defini ini yang akan kami ulas dalam tulisan ini) yaitu "kebenaran" adalah kesesuaian antara Subjek (yang mengetahui) dan Objek (yang diketahui). Subjek adalah manusia, sedangkan Objek adalah apapun diluar manusia (termasuk manusia yang lain).

Untuk mengetahui "kebenaran" itu ada beberapa cara yaitu Induksi, Deduksi dan Intuisi. Dengan alat-alat yang kita miliki dan diberikan oleh yang Maha Kuasa yaitu Insting/Fitrah, Indra, Akal dan Qalb (Hati). Tetapi hanya dua yang perlu dan akan diulas disini yaitu Indra dan Akal. Sebab Fitrah dan Hati/Qalb itu pendefinisiannya "tidak jelas" dan bila sudah terartikulasi dalam tindakan atau kata-kata maka tolok ukur "kebenaran"nya mengikuti struktur bahasa, dan dinilai dengan logika rasional.

Problem Memahami "kebenaran" dalam Masyarakat "berkelas"

Secara sederhana dan umum, suatu masyarakat dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu "kelas atas", "kelas menengah" dan "kelas bawah" (Jangan disamakan, walau mirip dengan pemikiran Cliford Geerzt --priyayi, santri dan abangan. Atau teorinya C.A. Van Paursen dengan masyarakat Mitologi, Ontologis dan Fungsionalis).

Dalam beragama, secara social, mereka (tiga golongan diatas) memiliki perbedaan yang sangat mencolok dalam memahami, melihat dan merespon agama dan mereka sangat menentukan dalam pembentukan masyarakat. Masyarakat itu "sehat" atau "tidak sehat" tergantung komposisi mereka dan peranan masing-masing untuk melakukan tugasnya.

Sebab dalam beragama yang intinya adalah keimanan dan kepercayaan, sedangkan kepercayaan perdefinisi adalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti, otoritas, pengalaman atau intusisi (Kohler, et al,. 1978:48). Bila kita percaya bahwa penyakit cacar karena mahluk halus, maka kita akan cenderung menolak vaksinasi. Bila kita percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, maka KB tidak akan berhasil kecuali mereka memperoleh kepercayaan yang baru. Menurut Solomon E. Asch (1959:565-567), kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan.

Karena ketiga kelompok itu, pengetahuan, kepentingan dan kebutuhannya berbeda-beda, maka kepercayaannya juga beragam. Kelompok pertama, kelas bawah, kita katakan "kelompok Islam rendah", Biasanya punya kecendrungan dengan ikatan komunal, kesukuan atau semi-suku. Masih kuat kepercayaannya pada wAli, garis guru-murid dan perkumpulan tarekat. Mereka biasanya memandang agama sebagai "pelarian" dari kesengsaraan mereka, sebagai penghindaran sementara lewat suasana fana yang dirangsang dengan kesufian, tarekat, tokoh karismatik dan wibawa kewAli-wAlian (Gellner;1994). Kita lihat sebagai contoh berapa banyak orang yang ikut acara-acara keagamaan; mereka datang dari jauh dengan kendaraan rombongan dan lain-lain, padahal secara financial mereka pas-pasan. Mereka jarang datang sendirian, dan biasanya secara ilmu keagamaan mereka rendah bahkan sangat rendah. Mereka mencari barokah, minimal ketemu para guru, ulama dan lain-lain. Walau mereka tidak menyerap ilmu mereka (guru dan wali-wali tersebut).

Kalau Islam kelas bawah, mencari "pelarian" dalam agama, maka kelompok kedua, kelas atas, yang kita namakan "Islam tinggi" mencari "peneguhan" (confirmation) atas keadaan mereka yang "cukup" dan gaya hidup mereka yang "nikmat" baik sebagai pedagang, atau memiliki kenikmatan lainnya (kedudukan, status keustadan dan lain-lain). Biasanya mereka memandang agama secara "skripturAlis", menurut aturan, puritan, harfiah, antiekstase, dan lebih "legal-formal".

Biasanya mereka ini kelompok terdiri dari; kaum intelektual-intelegensia (ilmu spesiAlisnya tinggi tetapi wawasan keagamaannya rendah atau sangat rendah. Contoh ini banyak kaum fundamentAlism-berjenggot, Doktor-dogmatis dan lain-lain, biasanya mereka bukan sarjana keagamaan, banyak yang eksak daripada sosial). Atau pelajar agama, dimana mereka biasanya punya ilmu/kesalehan keagamaan cukup. Banyak kelompok ini adalah para ustad, baik produk local atau alumni timur-tengah. Kita lihat contoh perilaku kelompok ini adalah para ustad pengisi pengajian, baik yang kecil atau besar. Penguasa yayasan atau tidak. Punya stempel korp. "alumni" atau tidak, dan lain-lain. Biasanya mereka punya klaim, atau mengklaim memiliki pemahaman terhadap agama yang paling murni atau benar, minimal yang paling mendekati "kebenaran" (disini tidak dipermasalahkan klaim itu benar atau tidak). Kemampuan baca kitab kuning mereka baik atau cukup, walau kitab warna lain terkadang mereka tidak mengerti sama sekali atau minimal sangat kurang. Biasanya mereka ini tidak memiliki gelar kesarjanaan, ataupun kalau punya hanya gelar kesarjanaan "agama".

Kelompok ketiga, Kelas menengah, yang kita namakan "Islam tengah", mereka biasanya berada ditengah-tengah dua kelompok diatas. Bukan ustad, walau punya pemahaman agama yang lumayan baik, tetapi bukan masyarakat rendah, karena kedudukannya, wawasan, atau kepercayaannya. Biasanya mereka adalah orang-orang yang "menelaah" agama, tetapi tidak menjadi kelompok agamawan atau ustad. Tidak dipanggil atau berperangai ustad. Banyak dari mereka adalah sarjana, tetapi bukan intelektual-intelegensia (yang hanya pandai dibidangnya, dan tidak menggunakan akalnya diluar bidangnya). Mereka biasanya tidak puas dengan kalangan atas, atau membatasi "hegemoni" kekuasaan kelas atas kepada masyarakat bawah. Dengan kritisismenya, protes-protesnya dan lain-lain. Tetapi mereka ini biasanya tidak banyak punya pengikut dikelas bawah, yang memang lebih menginginkan contoh, figure dan kesalehan simbolik. Walau mereka (kelas ketiga ini) dihormati karena pemahaman dan wawasannya yang terkadang cukup terasakan oleh lapisan bawah.

Bentrok antara tiga golongan ini, dalam melihat agama, kepercayaan dan iman, hampir tidak mungkin dapat dihindari. Yang kami katakan disini karena "kesenjanagan cara berfikir" yang memang agak atau berbeda sama sekali.ini semua dikarenakan pemahaman subjek-objek yang berbeda.

D. PEMBAHASAN

Psikologi Hubungan "Subjek-Objek"

Dalam bertindak berlaku hukum-hukum psikologi (ini kajian ilmu social-empiris, bukan filsafat ontologism). Dalam psikologi diterangkan –secara panjang lebar dan diterima umum sebagai "kebenaran" Ilmiah (experimental)– bahwa Objek diluar diri manusia (Stimuli) masuk kedalam kesadaran manusia lewat proses-proses tertentu yaitu (Mengacu pada Rahmat,1986)

Sensasi dari kata "sense" artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. "Bila alat-lat indra mengubah informasi menjadi impuls-impuls saraf—dan dengan bahasa yang difahami oleh ("computer") otak—maka terjadilah proses sensasi, "kata Dennis Coon (1977:79). Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis atau konseptual, dan terutama berhubungan dengan kegiatan alat indra. (Benyamin B. Wolman 1973:343). Apa saja yang menyentuh atau menginformasikan alat indra kita disebut STIMULI. Stimuli bisa dari luar atau dari dalam.

Banyak yang mempengaruhi stimuli seperti; mata hanya bisa menangkap stimuli dengan panjang gelombang cahaya 380-780 nanometer. Telinga hanya 20-20.000 herzt. Manusia hanya mampu menerima temperature 10-45 'C. disamping factor-faktor luar diatas, penerimaan stimuli juga dipengaruhi factor manusianya.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Desiderato, 1976:129). Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Penafsiran ini dipengaruhi oleh tidak saja stimulinya tetapi juga attention (perhatian), ekspektasi, motivasi dan lain-lain. Persepsi juga dipengaruhi oleh personal (orangnya) dan factor situasional.

Factor eksternal penarik perhatian (attention) à gerakan, intensitas stimuli (kemenonjolan stimuli), kebaruan (novelty) dan perulangan.

Factor internal penarik perhatian (attention) à factor-faktor biologis (rasa lapar akan lebih perhatian pada makanan daripada rasa kenyang), factor sosiopsikologis, juga motif soiogenis (misal: dalam perjalanan naik gunung; ahli geologi akan memperhatikan batuan, ahli biologi akan memperhatikan bunga-bunga, ahli zoology, binatang dan seniman mungkin warna dan bentuk dst.

Dalil persepsi dari Crutchfield yaitu;

1. Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Artinya objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Contoh; pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang. Bila orang lapar dan orang haus perrgi ke restoran, maka yang lapar akan melihat nasi lebih dahulu yang kedua akan melihat limun atau minuman lainnya.

2. Medan Perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya.

3. Sifat-sifat perceptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Artinya; jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaannya, dengan efek yang berupa asilmilasi atau kontras. Jika x (orang miskin) berpakaian jelek akan dikatakan "ia berpakaian kusut dan kotor". Tapi bila Y (ulama) berpakaian yang sama, akan dikatakan pakaian kezuhutan, biar lusuh tapi ditambal dengan rapi dan bersih/tidak najis".

4. Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.

Sikap adalah kecendrungan bertindak, berpersepsi, berfikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi merupakan kecendrunagan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi atau kelompok. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ia relative lebih menetap. Mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.

Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan. Kebiasaan mungkin merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulang seseorang berkali-kali.

Dari sini sangat jelas, tanpa berpanjang-panjang lagi, bahwa masuknya objek (O) kedalam diri Subjek (S) sangat dipengaruhi oleh keduanya. Bagaimana adanya Objek itu (O) dan bagaimana Subjek (S) melihat Objek (O).

Karena pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan yang disebabkan oleh persepsi, sikap dan kebiasaan yang beda, maka kepercayaan dan tindakannya akan juga berbeda. Sedangkan secara agak umum, "kebenaran" didefinisikan dengan kesesuaian antara Subjek (yang mengetahui) dan Objek (yang diketahui). Subjek adalah manusia, sedangkan Objek adalah apapun diluar manusia (termasuk manusia yang lain). Apabila persepsi, kebiasaan, sikap terhadap objek berbeda, maka akan sukar kalau tidak "sangat sukar" untuk dengan mudah menemukan ""kebenaran" bersama".[12]

Bentrok pemikiran, perbedaan pendapat antara ketiga kelompok-kelas (umumnya hanya dua, yaitu kelas atas dan tengah, kelas bawah kebanyakan hanya digunakan oleh kedua kelas itu) ini hampir merupakan "kemestian-sejarah", tanpa dapat dihindari kecuali hanya diperkecil kesenjangannya. Bila "bentrok "kebenaran"" ini diserap dengan bijak dan tidak ada mekanisme pengontrol yang represip baik hukuman, stempel "public enemy", musuh masyarakat dan lain-lain. Maka terbentunya masyarakat yang dicita-citakan akan lebih cepat terbentuk.

Bukan otoritas keagamaanlah yang akan menyelesaikan bentrok ketiga kalangan ini, tetapi schering-pendapat tentang apa yang dimau masing-masing kelompoklah yang akan menyelesaikan masalah itu. Biasanya kaum "agamawan" mengatakan mereka-mereka kelompok menegah itu (yang biasanya "cenderung modernis") sebagai kebablasan, kebarat-baratan dan bahkan terkadang dianggap antek-antek kepentingan kapitalisme global (dengan simbolisasi barat, AS-Israel) atau lainnya. Sedangkan kelompok menegah, (yang terkadang "cenderung modernis" tadi) mengatakan kaum agamawan itu kolot, jumud, tradisionalis dan menyebabkan Islam mandek dan mundur serta kalah dengan dunia non-Islam (disini kita tidak membahas hati mereka bagaimana, itu urusan Tuhan).

Terkadang keluar kata-kata; "diskusi, beda pendapat itu boleh-boleh saja, asal tidak meresahkan masyarakat.” “Jangan masalah-masalah yang krusial, penting dan pelik dibawa keumum (masyarakat awam).” “Itu tidak maslahat.” Omongan ini biasanya keluar dari orang yang sok arief atau penguasa. Kita mungkin bisa mengatakan; tidak maslahat itu menurut siapa? kamu, saya, mereka, atau …? Problemnya adalalah dan terutama bila ada yang sudah berkuasa. Sebab dengan kekuasaannya mereka dapat membatasi, membredel, bahkan membungkam siapa saja yang menurut mereka tidak baik, dengan alasan dan dalil; meresahkan masyarakat, tidak maslahat dan lain-lain.[13] Disini bisa kami katakan; "Bila ada yang membunyikan lagu (dangdut misalnya), dan kita tidak suka, jangan kita datangi mereka dan kita matikan tape mereka, tetapi mestinya kita juga membunyikan tape dengan lagu yang kita sukai, sehingga dengan itu lagu mereka tidak kita dengar juga tidak didengar oleh orang lain, karena lagu kita yang lebih keras (kan itu semua tergantung merk tapenya, powernya, bassnya dan lain-lain)".

Bila ada yang menulis atau lainnya yang kita kurang sepakat dengannya, bukan bukunya kita bredel, kita caci-maki orangnya, tetapi kita perlu menulis dimedia-masa kita atau umum, alternative opini, kritikannya dan lain-lain. Apalagi bila kita lebih berkuasa; artinya kesempatan opini tandingan, alternative itu lebih banyak, sehingga "cukup-aneh" bila kita melarangnya untuk terbit atau menghujat dan meneror orangnya.

Sebab dengan itu semua (membiarkan atau memberikan kesempatan dan keleluasaan pada masing-masing kelompok) maka; kalangan “atas” terkontrol oleh "ngeyelisme" dan "skeptisme" gaya "kelas Islam menengah", dan kaum bawah atau "Islam bawah" akan tercerahkan karena pandangan kelompok tengah menjadi opini alternative disamping opini kelas atas. Demikian juga kalangan atas dapat mengerem kemungkinan kebablasan kelompok tengah, dan juga memberi alternative informasi kelas bawah. Dengan makin tercerahkannya kelas bawah (yang memang secara jumlah adalah mayoritas) karena ada opini-opini alternative, "jelas" akan lebih mudah dalam pembentukan "masyarakar yang baik".

Dengan ini semua (banyak alternative, pilihan dan pluralisme wacana "kebenaran"), maka kebebasan-kesadaran (yang sangat ditekankan dalam agama, dalam menilai baik atau buruknya seseoarang) sangat menentukan keberhasilan individu dan masyarakat dalam memilih tawaran itu semua. Disinilah kemungkinan akan "lebih mudahnya" terbentuk apa yang kita namakan "demokratisasi pemahaman", "demokratisasi "kebenaran"" yang akhirnya akan menjadi apa yang kita cita-citakan sebagai "Demokrasi Islam" dan "Masyarakat Islam".

"Dan selamanya "kebenaran" sebagaimana dia-ada dan-benar akan hanya dapat kita dekati tanpa dapat kita meraihnya".



[1] Harus dibedakan antara “Pasrah kepada kebenaran?” Seperti Rene Descartes (dalam bab1), dengan Ayat Al-Baqarah (2:62). Yang pertama memang ia Islam Hanif artinya ia adalah Islam ( baca pasrah kepada Allah = pasrah kepada kebenaran). Orang-orang seperti ini bisa masuk “surga”. Sedangkan ayat 2:62 itu artinya (diambil dari Tafsir Mizan, Allamah Thabataba’i) masuksudnya adalah klaim saya “Beragam Islam, Yahudi, Nasrani, Sabiin” itu tak ada artinya, yang dipentingkan adalah Iman, amal sholeh dan percaya hari akhir. Apakah disini orang boleh tak beragama Islam? Yang penting Iman, Amal Sholeh dan Percaya Hari akhir. Jawabnya tidak boleh (harus tetap didakwai supaya pindah agama). Sebab dalam agama Islam (Iman, Amal sholeh dan Percaya hari akhir itu dalam koridor Islam), agama lain salah.

Bila kita percaya seperti sebagian kelompok “pluralis-kurang bertanggungjawab” mengatakan semua agama sama, bisa masuk surga dengan tanpa ikut Islam, Kristen dan lain-lain. Jawabnya aneh. Apakah Muhammad SAWW tidak mendakwahi orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabiin waktu zamannya. Apakah nabi tidak menganjurkan mereka untuk pindah ke Islam? Apakah orang-orang itu boleh mengatakan; “saya tak percaya kamu (muhammad), saya tetap saja dalam agama saya saja, yang penting saya iman, amal sholeh dan hari akhir?” apakah orang seperti itu akan selamat? Jawabnya pasti tidak. Sebab dalam Islam diyakini bahwa keimanan Kristen, Yahudi dan lain-lain itu salah, ada kesyirikan. Kecuali ia tidak percaya “Islam” karena kebenaran itu belum sampai padanya. Sampai disini diartikan luas. Seperti kasus Rene Descartes diatas. Jadi dalil “Banyak jalan menuju Roma (Gereja, Vatikan, kebenaran kristen)”, itu kami [Muhammad Alwi] yakin dalam koridor satu agama. Banyak jalan ketuhan, tidak boleh diklaim Islam Syi’ah, Sunnah, Teologinya Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan lain-lain.. Filasafat, Teolog, Irfan, Sufi, Ahl Hadist, Ahl-Fiqg..semuanya punya hak dan jalan-jalan menuju Tuhan (kebenaran). Wallahu al a’lam.

[3] Jalaluddin Rahmat, “Psikologi Komunikasi”, Cet-II, Remadja Karya, 1986, hal 22-40.

[4] E. Koeswara, “Psikologi Kepribadian”, Eresco, Bandung, 1991, hal 77.

[5] Lihat secara agak lengkap dalam, “Ide-ide Filsafat dan Agama dulu dan sekarang”, Kanisius, 2000, hal 37

[6] Koeswara, Op Cit, hal 35-45, Bedakan dengan tulisan Sigmund Frued, “Memperkenalkan Psiokoanalisa”, Gramesia, Cet-VI, 1987, juga Kees Berteens, “Sekelumit Sejarah Psikoanalisa”, Gramesia, 1983.

[7] Mirip dengan “Kembalinya segala sesuatu”, Nietsczhe dalam Sabda Zarathustra.

[8] Ini mirip dengan konsep “skemata” dari psikologi kognitif J. Piaget.

[9] Koeswara, Ibid, hal 20-21.

[10] Rahmat, Op Cit, hal, 34. Disini dalam psikologi Kognitif, manusia bisa bebas, bisa tidak. Tetapi bila mengacu ke J. Piaget, maka secara umum manusia itu terdeterminasi oleh lingkungan. Lihat buku-bukunya, tentang konsep skemata, akomodasi equilibrium dan seterusnya.

[11] Lihat bab-bab sebelumnya, bab 2.1 dan 2.2. Secara umum, hanya psikologi inilah yang mempercayai manusia dengan kebebasannya.

Beberapa kritik yang dilontarkan, karena prinsip yang dianut ‘psokologi Eksistensial’ khususnya oleh kaum Behaviorisme (Watson dan Skinner) yaitu;

Pertama, psikologi eksistensial sama sekali menolak hukum sebab-akibat yang berasal dan ilmu alam yang digunakan oleh beberapa pendekatan psikologi. Menurut para tokoh psikologi eksistensial, hukum sebab-akibat itu tidak cocok untuk digunakan dalam psikologi, sebab manusia bukan benda atau objek yang pasif, melainkan subjek yang dinamis. Oleh karena itu, menurut mereka, yang cocok untuk digunakan di dalam psikologi adalah konsep motivasi, suatu konsep mengenai sumber dan proses kemunculan tingkah laku yang dimengerti dalam kaitan sebab-akibat, tetapi melihat partisipasi aktif manusia sebagai penyebab kemunculan tingkah laku itu. Perbedaan antara hukum sebab-akibat dengan konsep motivasi itu bisa diterangkan melalui contoh jendela yang terbuka oleh embusan angin dan jendela yang terbuka oleh manusia. Baik angin maupun manusia sama-sama menimbulkan akibat terhadap jendela, yakni jendela itu menjadi terbuka. Sebabnya adalah, baik angin maupun manusia sama memiliki daya dorong. Bagaimanapun, berbeda dengan angin, manusia membuka jendela tidak semata-mata karena memiliki daya dorong, tetapi juga karena memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapainya, umpamanya untuk memperoleh angin segar atau untuk menerangi ruangan. Dan dalam tindakannya mendorong jendela itu, manusia disertai proses-proses kognitifnya yang memungkinkan dia bisa menentukan di mana tangan harus diletakkan dan berapa besar tenaga harus dikeluarkan. Prinsip yang petama ini berkaitan dengan prinsip yang kedua.

Kedua, psikologi eksistensial berprinsip bahwa pengalaman atau tingkah laku manusia adalah hasil dari manusia itu sendiri sebagai suatu totatitas yang berkehendak, bukan semata-mata sebagai hasil dari stimulus internal (naluri-naluri atau dorongan-dorongan) dan atau stimulus eksternal (lingkungan). Menurut para ahli psikologi eksistensial, usaha memahami manusia dengan mengandaikan adanya kekuatan-kekuatan deterministik dan memandang kekuatan-kekuatan deterministik itu sebagai penyebab kemunculan tingkah laku adalah memutarbalikkan dan memecah belah keberadaan manusia serta mengingkari otonomi dan kebebasan manusia. Pendek kata, uraian mengenai tingkah laku dan keberadaan manusia dengan menggunakan istilah-istilah naluri, dorongan, energi psikis, maupun energi fisik tidak berlaku dalam psikologi eksistensial. Sebaliknya, dengan menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialisme dan metode fenomenologi, para ahli psikologi eksistensial mempelajari manusia melalui pengamatan langsung atas pengalaman atau tingkah laku manusia sebagaimana pengalaman atau tingkah laku itu muncul dalam kesegeraannya atau tampil sebagai fenomena, dan melukiskanya setepat mungkin. Dan deskripsi atau pelukisan fenomenologis bukanah penguraian sebab-akibat. (Van Kaam. 1966)

Ketiga, psikologi eksistensial mencurigai teori, sebab teori —banyak di antaranya — terlalu mempersoalkan hal-hal yang tak bisa diamati dan menganggap hal-hal tersebut sebagai penyebab kemunculan hal-hal yang bisa diamati. Yang dimaksud dengan hal-hal yang tak bisa diamati itu adalah struktur-struktur hipotetis yang dianggap ada pada manusia seperti ego, drive, dan semacamnya, sedangkan yang dimaksud dengan hal-hal yang bisa diamati adalah fenomena, dalam hal ini fenomena tingkah laku. Menurut para ahli psikologi eksistensial, fenomena itu bukan muka atau kutipan dari sesuatu yang lainnya, melainkan sesuatu yang hadir dalam kesegeraannya (tanpa diantarai). Para ahli psikologi eksistensial menekankan bahwa dalam mempelajani tingkah laku manusia, kita harus bebas dari praduga-praduga ilmiah yang biasa ditimbulkan oleh teori-teori, dan harus mengamati apa yang bisa diamati (fenomena tingkah laku), serta menjabarkan atau melukiskan fenomena yang diselidiki dalam penampilannya yang utuh dan dalam susunannya yang asli (Binswanger, 1963). Pada saat yang sama, para ahli psikologi eksistensial menentang pendekatan psikologi yang mengabaikan pengalaman-pengalaman-dalam (inner experiences) manusia dan yang melulu mempersoalkan tingkah laku yang nampak (overt behavior). Dalam pandangan psikologi eksistensial, pengalaman-pengalaman-dalam (ketakutan, kecemasan, pengharapan, rasa bersalah) itu sama vitalnya dengan tingkah laku-tingkah laku yang nampak.

Keempat, psikologi eksistensial menentang dengan gigih pendekatan psikologi yang memandang manusia seperti memandang batu atau pohon, dan yang memperlakukan manusia sebagai objek yang bisa dimanipulasi seperti memperlakukan hewan-hewan percobaan di dalam laboratonium. Menurut psikologi Eksistensial, pandangan dan perlakuan semacam itu tidak hanya merusak keutuhan manusia yang menghambat para ahli psikologi untuk memahami manusia secara penuh di dalam keberadaannya. tetapi juga mengakibatkan dehumanisasi manusia. Psikologi eksistensial masuk ke dalam arena kritik-kritik sosial dengan melancarkan serangan terhadap pengasingan dan fragmentasi manusia oleh teknologi, birokrasi, dan mekanisasi. Menurut para ahli psikologi eksistensial, apabila manusia dipandang sebagai suatu yang bisa diatur, dikendalikan, dibentuk dan dieksploitasi, maka manusia akan terhambat dalam mencapai kehidupan yang sungguh-sungguh dan manusiawi. Lihat E. Koeswara, Op Cit, hal 6-8.

[12] Sekali lagi disini tidak dibicarakan “kebenaran ontologisme”.

[13] Contoh jelas adalah dialog, beda pendapat tentang teologi Islam; antara Mur’jiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan lain-lain. Tetapi setelah penguasa ikut menentukan mana yang harus diikuti, mana yang benar (waktu itu Mu’tazilah yang dianut oleh penguasa), mereka membrangus beda pendapat, diskusi bahkan menghukum mati orang-orang yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah pelik itu (cabang-cabang usuluddin; semisal: apakah al-Qur’an itu mahluk atau bukan, apakah sifat dan dzat allah sama, apakah alam ini azali atau baru dan lain-lain). Setelah kejadian ini (yang merupakan “petaka kedua” terbesar dalam Islam. “Petaka Pertama”nya adalah pemilihan khalifah pertama dan sagifah), dendam kelompok lain, juga tidak adanya alternative opini kebenaran dan lain-lain, akhirnya Islam mulai mandul, dan terjadi pembalikan dendam tadi setelah penguasa Islam mengikuti maszab teologi yang bersebrangan dengan Mu’tazilah. Mu’tazilah dibrangus, dikatakan Majusinya umat Islam, dilarang buku-bukunya dibaca dan diajarkan dan lain-lain. Akhirnya serangan ke mu’tazilah itu dipamungkaskan oleh al-Ghazali, sehingga dalam Islam Mu’tazilah “cukup sulit” ditemukan apalagi akan menjadi pemikiran mayor lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar