Laman

Minggu, 21 Maret 2010

Pendidikan dan Psikologi-Filsafat "Kontruktivisme" Piaget

PENDIDIKAN &

FILSAFAT KONSTRUKTIVISME

Oleh: Muhammad Alwi SE,. MM[1]

Viktor E. Frankl mengutup kata-kata Nietzsche; He who has a why believe for can bear whith almost any how (‘Dia yang memiliki mengapa untuk hidup, akan bisa bertahan dalam hampir semua bagaimana”)

Was du erlebst, kann keine Macht der Welt dir rauben (Tidak ada satu kekuatan pun dibumi ini yang bisa merampas darimu pengalaman hidup yang sudah kamu jalani).( Nietzsche)

Affectus, qui passio est, desinit esse passio simulatque eius claram et distinctam formamus ideam.Emosi yang sedang menderita, tidak akan lagi menderita setelah kita membuat gambaran yang jelas dan benar dari penderitaan tersebut (Spinoza)

Filsafat Pengetahuan atau epistemology adalah filsafat yang mempertanyakan; 1) apa pengetahuan itu, 2) bagaimana kita memperoleh pengetahuan, bagaimana kita tahu tentang sesuatu, juga mempertanyakan 3) apakah kebenaran itu?” (Bodner, 1986; Ryan & Cooper, 1992).

Kontruktivisme salah satu dari FIlsafat Pengetahuan beranggapan bahwa pengetahuan kita itu merupakan kontruksi (bentukan) dari kita yang mengetahui sesuatu. Seseorang yang belajar itu membentuk sesuatu, bukan apa yang diberikan oleh buku ataupun gurunya. Menurut gagasan ini, pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Pengetahuan itu mengandung proses, bukanlah fakta yang statis. Dalam artian ini, pengetahuan itu tidak lepas dari orang yang mengetahuinya.[2] Contoh-nya adalah perkembangan optic Geometri. Sebelum Newton, orang memandangnya sebagai cahaya yang berjalan lurus, gambaran ini benar, tetapi tidak sepenuhnya, khususnya masalah pembiasan, Newton mengusulkan gambaran baru, yaitu cahaya sebagai partikel bulat yang bergerak lurus. Gambaran ini benar, menyempurnakan pengetahuan sebelumnya, tetapi juga belum lengkap. Thomas Young menjelaskan cahaya sebagai gelombang karena punya sifat-sifat gelombang, selanjutnya gambaran itu dilengkapi oleh Planck serta Einstein dalam penjelasan Foto-listrik, yang menemukan gambaran baru bahwa cahaya terdiri dari paket energi.

Ingat bahwa Fakta yang diamati sama, yaitu cahaya, tetapi pengamatannya yang berbeda. Dalam pengamatan itu tidak ada fakta baru yang diciptakan. Apa yang baru adalah cara fakta-fakta itu dikontruksi atau diorganisasikan. Pengertian cahaya sebagai sinar, partikel, gelombang atau paket listrik adalah abstraksi yang dikontruksikan. Bahkan Shapiro mengatakan pengetahuan itu kontruksi spasial, artinya pengetahuan perlu diterima oleh masyarakat ilmiah.

Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikontruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses itu berjalan terus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971).

Para kontruktivis menjelaskan bahwa satu satunya alat atau sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahu sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium dan merasakan. Dengan itu mereka membangun gambaran dunianya. Para Kontrutivis percaya bahwa Pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengatahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak (guru) ke kepala orang lain (murid). Pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunianya dari pada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur konsepsi tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bagi kontrutivis, pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministic, tetapi suatu proses menjadi tahu.

Misalnya saja, pengetahuan kita akan “kucing”, tidak sekali jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu. Pada waktu kecil dengan melihat kucing, mejamahnya dan bergaul dengan kucing dirumah, kita membangun pengertian akan kucing, sejauh yang kita tangkap secara bebas. Dalam perjalanan, kita melihat kucing disekeliling rumah kita, warna-warninya, bentuk tubuh dan ekornya dst. Dengan itu semua, pengetahuan kita akan kucing makin lengkap, makin lengkap. Kontrutivisme menyatakan bahwa pengetahuan itu bentukan seseorang seumur hidupnya, sehingga mereka (para kontruktivis) tidak percaya kemungkinan transfers pengetahuan bahkan secara prinsipil.

Dalam proses kontruksi, menurut von Glasersfeld diperlukan kemampuan; 1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang lain.

Mengapa kita perlu mengetahu sesuatu? Menurut Shapiro (1994) tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan “pengetahuan” yang cocok dengan pengalaman hidup manusia, sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman yang baru.[3]

Realitas dan Kebenaran

Pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Kontruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur kontruksi kita akan sesuatu objek. Menurut Bettencourt (1989), memang kontruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. "Realitas" bagi kontruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas "disana" yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya. Kalau ditanyakaan; "Apakah yang kita ketahui itu memang sesungguhnya kenyataan yang ada?", kaum kontruktivisme akan menjawab, kami tidak tau itu bukan urusan kami." Lalu bagaimana dengan Kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita kontruksikan itu benar? Bagi kaum kontruktivisme, kebenaran diletakkan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomen dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.

Dalam kaitan ini, pengetahuan itu bertaraf-taraf; ada yang cocok dengan banyak fenomen, ada yang cocok dengan hanya beberapa fenomen aja. Artinya pengetahuan itu bukan barang mati, melainkan suatu proses yang terus berkembang.[4]

Bettencourt (1989) menyebutkan beberapa hal yang menghambat kontruksi pengetahuan manusia; 1) Kontruksi pengetahuan kita yang lama, 2) Domain pengalaman kita, 3) Jaringan struktur kognitif kita.

Hasil dan proses kontruksi pengetahuan kita yang lama, dapat membatasi dan menghambat konstruksi pengetahuan yang baru, juga bagaimana kita mengatur, mengorganisasikan dan aturan main yang kita gunakan dalam susunan itu, punya-pengaruh terhadap pengetahuan kita berikutnya. Juga seperti pengalaman bentrok dengan TNI, digigit hewan saat awal berkenalan dan lain-lain, turut mempersulit dan membuat konsep bahwa "TNI, hewan itu tidak bersahabat" sangat besar. Pengalaman yang terbatas, juga menghambat konstruksi pengetahuan selanjutnya.

Struktur kognitif merupakan system yang saling berkaitan. Konsep, gagasan, gambaran, teori dsb yang membenruk struktur koknitif saling berhubungan satu dengan yang lain. Inilah yang disebut Toulmin (1972) dengan ekologi konseptual. Setiap pengetahuan yang baru harus juga cocok dengan ekologi konseptual tersebut, karena manusia cenderung untuk menjaga kestabilan system ekologi tersebut. Kecendrungan ini dapat menghambat perkembangan pengetahuan (Bettencourt, 1989).

Factor-faktor yang memungkinkan perubahan pengetahuan; 1) Konteks Tindakan (pengetahuan akan diteguhkan atau dipaksa untuk dipertanyakan dan diubah, bila dalam praktek tindakan atau dioperasionalkan mengalami banyak masalah). 2) Konteks membuat masuk akal (pengetahuan akan berubah, diubah atau tidak, bila dipertanyakan, secara logis dapat memberikan jawaban), 3) Konteks Penjelasan (bila orang memberikan penjelasan, cenderung membuat kontruksi-kontruksi baru yang sesuai, dan terfahami). 4) Konteks pembenaran (justifikasi), bila pengetahuan dihadapkan pada anomali-anomali, dan tidak dapat memberikan pembenaran, maka konstruksi baru cenderung dibuat.

Piaget menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu relaitas, seperti organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya.

Konseptual Teori Kontrutivisme Piaget

Skemata

Adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitar. Skemata itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skemata adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, kontruksi hipotetis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan dan naluri. Skemata digunakan untuk memproses dan mengidentifikasi rangsangan yang datang. Skemata tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Contoh: seorang anak melihat kucing, ayam, kambing, semut dan lain-lain, juga melihat Televisi, radio, piring, sendok, garpu, buku tulis dst….dst. Maka terbentuklah skemata tentang binatang, juga mungkin terbentuklah schemata tentang buku tulis dst. Makin banyak pengalaman, makin bagus dan rinci skemata tentang binatang itu. Artinya kucing yang dilihat banyak maka pengetahuan/schemata tentang kucing makin baik, makin rinci. Skemata itu adalah abstraksi tentang binatang tadi dari sekian banyak atau kecil pengalaman – pengalaman yang seseorang punya. Bila anak itu melihat suatu yang aneh, misalnya dalam skemata binatang itu bermata 2, atau berkaki 4, ternyata setelah dewasa ia melihat ada hewan yang berkaki lebih dari 4, berubahlah skemata itu.

Contoh lain: setelah melihat hal-hal diatas timbul pengelompokan-pengelompokan sendiri, dan tiap kelompok, tiap bagian, tiap rincian diperhalus, diperlengkap sampai seumur hidup. Misalnya menemukan konsep kucing, selalu akan diperhalus mana yang merupakan cirri-ciri khusus kucing itu dan apa yang membedakan dengan binatang yang lain. Konsep binatang berkaki 4 atau 2, akan diperhalus, diperinci terus….apalagi kalau ternyata kemudian hari melihat binatang berkaki banyak dst.

Asimilasi

Adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Dengan asimilasi tidak merubah skemata, hanya menyebabkan perkembangannya.

Apabila seseorang menemukan pengalaman baru dari skemata awalnya, maka ia mengalami asimilasi skemata-nya. Artinya konsep-konsep awal itu diperhalus, diperluas. Contoh; seorang anak menemukan konsep “balon”, kemudian ia meniupnya sampai meletus, maka letusan itu menambah atau memperhalus konsepnya tentang balon tadi. Inilah bentuk-bentuk asimilasi.

Akomodasi

Pengalaman-pengalaman baru itu terkadang cocok, terkadang tidak dengan skemata yang seseorang punya, untuk itu perlu mengadakan akomodasi bila kurang sesuai; dengan 1) membentuk skemata baru dapat cocok dengan rangsangan yang baru, atau 2) memodifikasi skemata y ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Equilibrium

Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang. Dalam perkembangan intelek seseorang, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Proses itu disebut equilibrium, yakni pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan asimilasi dan akomodasi.

Equilibrium membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang dipicu mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi.

Teori Adaptasi Intelek

Bagi Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual yang dengannya pengalaman –pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui oleh seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengertian yang baru (Shymansky, 1992).

Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal (skemata). Setiap skemata berperan sebagai suatu filter dan fasilitator bagi ide-ide dan pengalaman-pengalaman yang baru. Skemata mengatur, mengkoordinasi, dan mengintensifkan prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi. Bila pengalaman baru itu masih bersesuaian dengan skema yang dipunyai seseorang, maka skemata itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi. Bila pengalaman baru itu tak cocok dengan skemata lama, sehingga skemata lama tak cocok lagi menghadapi pengalaman baru, skemata yang lama diubah sampai ada keseimbangan lagi, inilah proses akomodasi. Dan begitu-begitu seterusnya. Skemata–Asimilasi –Akomodasi –untuk mencapai Equilibrium.

Menurut Piaget, skemata berkembang seturut perkembangan intelektual khususnya dalam taraf operasional formal. Piaget membedakan empat taraf perkembangan kognitif seseorang : 1) Taraf sensori-motor (berkembang pada anak sejak lahir sampai umur 2 tahun. Selam taraf ini, seseorang anak belum berfikir dan menggambarkan suatu kejadian atau objek secara konseptual meskipun perkembangan kognitif sudah mulai ada, yaitu mulai membentuk skemata. 2) Taraf Pra-operasional (yang berkembang dari umur 2-7 tahun, mulailah berkembang kemampuan bahasa dan beberapa bentuk pengungkapan. Penalaran pra-logika juga mulai berkembang. 3) taraf Operasional-kongkret, pada umur 7-11 tahun. Anak memperkembangkan kemampuan menggunakan pikiran logis dalam berhadapan dengan persoalan-persoalan kongkret. 4) Taraf Operasional-formal (anak umur 11-15 tahun, anak pada usia ini sudah memperkembangkan pemikiran abstrak, dan penalaran logis untuk macam-macam persoalan. Dalam taraf keriga kognitif diatas skemata seseorang berkembang.

Karena skema berkembang pada taraf perkembangan kognitif seseorang, maka dapat dimengerti mengapa pengertian anak beda dengan guru atau orang tua. Tidak ada “salah” dalam skema anak, tetapi mungkin itu “tidak cocok” untuk taraf pemikiran lebih tinggi.

Bagi Piaget, kenyataan bukanlah suatu yang eksternal dan sudah jadi, bukan predeterminasi, melainkan diperoleh melalui kegiatan kontruksi yang menghasilkan skemata baru. Baginya kenyataan adalah fenomena yang kita alami melaui kontruksi. Perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget mempunyai 3 unsur: isi, fungsi dan struktur. Isi adalah apa yang diketahui oleh seseorang. Ini menunjukkan kepada tingkah laku yang dapat diamati –sensori motor dan konsep yang mengungkapkan aktivitas intelek. Isi intelegensi berbeda-beda dari umur ke umur dan dari anak ke anak. Fungsi, menunjuk kepada sifat dari aktivitas intelektual –asimilasi dan akomodasi –yang tetap terus menerus dikembangkan sepanjang perkembangan kognitif. Struktur menunjuk pada sifat organisator yang dibentuk (skemata) yang menjelaskan terjadinya perilaku khusus. Piaget lebih tertarik pada struktur intelegensi dari pada fungsi dan isi (Wadsworrth,1989).

Skema pemikiran ini menuntut anak untuk bertindak aktif terhadap lingkungannya jika perkembangan kognitif jalan. Perkembangan struktur kognitif hanya berjalan bila anak mengasimilasikan dan megakomodasikan rangsangan dalam lingkungannya. Ini hanya mungkin bila nakar anak dibawa kesituasi lingkungan tertentu. Baru bila seseoarang bertindak terhadap lingkungannya, bergerak dalam ruang, berinteraksi dengan objek, mengamati dan meneliti, serta berfikir, ia berasimilasi dan berakomodasi terhadap alam. Perbuatan ini mengakibatkan perkembangan skemata dan juga pengetahuan. Pengetahuan yang akurat tidak dapat diturunkan langsung dari membaca atau dari mendengarkan orang bicara. Sebab pengetahuan adalah kontruksi seseorang. Bila benda-benda dan lingkungan yang anak-anak hadapi sama, ada kemungkinan bahwa kontruksi anak-anak itu ada kesamaan.

Teori Pengetahuan menurut Piaget

Piaget menyebut epistemologinya sebagai epistemology genetic. Epistemologo genetis mencoba menjelaskan pengetahuan khusunya pengetahuan ilmiah berdasarkan sejarah, sosiogenesis, dan asal psikologis dari pengertian-pengertian dan operasi-operasi yang mendasarinya. Dalam menjelaskan pengetahuan epistemology genetis selalu menggunakan unsur psikologis dan juga formalisasi logis.

Piaget beranggapan bahwa ada kesejajaran antara kemajuan yang dibuat dalam organisasi logis dan rational dari pengetahuan dan proses formatif psikologis. Dan juga pengetahuan manusia pada dasarnya aktif. Mengetahui adalah mentranformasikan realitas untuk dapat mengerti bagaimana suatu keadaan tertentu itu terbentuk. Maka pengetahuan bukanlah tiruan pasif dari realitas. Mengetahui sesuatu adalah bertindak atas sesuatu itu. Yaitu membentuk system tranformasi yang dapat menjelaskan objek. Mengerti realitas adalah membentuk system tranformasi yang berkaitan dengan realitas tersebut.[5]

Beberapa prinsip kontruktivisme yang diambil dalam pendidikan; 1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara individu maupun social. 2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali murid itu sendiri yang aktif untuk menalar. 3) murid aktif mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah, 4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi siswa berjalan mulus.

Teori Perubahan Konsep.

Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, menyatakan bahwa sains lebih dicirikan oleh paradiqma para ilmuan. Paradiqma adalah suatu skema konseptual yang dengannya seseorang ilmuan memandang persoalan-persoalan dalam suatu disiplin tertentu.

Menurut Posner dkk (1982), dalam proses belajar ada juga proses perubahan konsep yang mirip dengan yang terjadi di filsafat sains. Tahap pertama adalah asimilasi (dengan ini siswa menggunakan konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dan tahap kedua adalah akomodasi (dengan ini siswa dapat mengubah-ubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi). Akomodasi juga disebut perubahan konsep secara radikal.

Supaya terjadi perubahan konsep secara radikal (akomodasi) dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat seperti; 1) harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Siswa mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman dan gejala baru. 2) Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena baru. 3) konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. 4) Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan baru.

Menurut poster dkk, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomaly. Bila seseorang diberikan anomali-anomali, maka mereka menurut Chinn (1993) bereaksi dengan; 1) Mengabaikan dan menolaknya. 2) mengecualikan data itu dari teori yang telah ada, 3) Mengartikan kembali data itu, 4) Mengartikan kembali data itu dengan sedikit perubahan, dan 5) Menerima data itu dan mengubah teori atau konsep sebelumnya.

Bila menerima data itu dengan 3 dan 4, maka ini cenderung hanya mengasimilasi aja, tetapi bila penerimaan itu pada kategori 5, maka cenderung mengadakan perubahan (akomodasi). Karena itu dalam dalam pelajaran, anak sering membuat teorinya sendiri (pengalaman langsung, Vogetsky), dan ini cenderung sempit dan salah secara ilmiah (pemikiran orang dewasa), tetapi seharusnya; seorang guru, pendidik tidak cepat-cepat menegur konsep itu, walau salah itu lebih sesuai untuk sementara dengan pengalaman anak, skema anak. Seorang guru seharusnya membimbing mereka menemukan yang sesuai dengan pemikiran ilmiah (orang dewasa). Langsung menyalahkan dan menyodorkan penyelesaian ilmiah, cenderung tidak akan dimengerti anak didik, karena pada dasarnya ilmu itu tak dapat ditranfer secara pasif, semuanya perlu dikontruksi oleh si pembelajar.

Teori Belajat bermakana Ausubel

Menurut Ausubel, Novak dan Hanesian (1978) ada dua jenis belajar; 1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan 2) Belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar.

Bila konsep-konsep itu belum ada dalam struktur kognitif seseorang, informasi itu harus dipelajari lewal belajar menghafal. Belajar dengan mengasosiasikan dengan apa yang anak atau seseorang punya itu bila kedekatan-kedekan konsep dan skema seseorang itu punya. Bila tidak, maka tidak mungkin seseorang belajar dengan bermakna (meaningful learning).

Teori Skema

Menurut teori skema, pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari kontruksi mental gagasan kita. Skema suatu objek, kejadian, atau ide terdiri dari suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Atribut juga membuat hubungan-hubungan dengan skema lain. Hubungan antara skema inilah yang memberikan makna dan arti kepada gagasan kita. Misalnya skema tentang mobil akan memuat macam-macam atribut seperti setir, ban, jok, lampu dan lain-lain. Sedangkan skema tentang mobil sendiri, berkaitan dengan skema yang lebih luas seperti alat transportasi, demikian juga ban dan lain-lain. Menurut teori ini, pikiran manusia punya macam-macam skema mengenai macam-macam hal, dan skema-skema itu ada yang saling berkaitan dan membentuk suatu kerangka pemikiran seseorang. Bagaimana orang mengembangkan, merubah dan memperluas skemanya adalah merupakan “Proses Belajar”-nya.

Menurut Jonassen dkk (1993), dasar teori skema adalah bahwa ingatan seseorang itu dianalisis secara semantic. Skema disusun dalam suatu jaringan hubungan konsep-konsep. Jaringan ini dikenal sebagai jaringan semantic kita. Jaringan ini menguraikan apa yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari semantic yang telah ada.

Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu.[6] Dengan melihat peta konsep itu seseorang pendidik dapat melihat pemikiran seseorang siswa dalam memahami suatu hal yang sedang dipelajarinya. Sekaligus dengan melihat peta itu dapat dilihat salah pengertian ataupun pengertian alternative siswa tentang suatu hal. Bila peta pikiran atau kosep itu dibuat beberapa kali selama proses belajar, maka akan dapat dianalisis bagaimana seseorang siswa itu mengembangkan dan mengubah skema pikirannya. Itulah sebabnya bahwa peta-map banyak digunakan dalam studi salah pengertian, perubahan konsep, dan juga bagaimana memperkembangkan konsep anak didik.

Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar

Makna belajar menurut kaum Kontrutivisme adalah proses aktif pelajar mengkontruksi apa itu teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Proses ini dicirikan dengan;

1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari pengalaman mereka. Kontrusi pengetahuan baru itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punya.

2) Kontruksi (pemaknaan) itu terjadi terus menerus, asimilasi, akomodasi dan lain-lain baik secara kuat atau lemah.

3) Belajar bukanlah mengumpulkan fakta, melainkan membuat pengertian baru yang dihubungkan dengan apa yang dia punya.

4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.

5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.

6) Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar. Waktu pertama kali datang kekelas, siswa sudah membawa makna tertentu tentang dunianya. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat mengembangkan pengetahuan yang baru. Juga mereka membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, social, emosional, dan cultural. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti oleh pengajar agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih ilmiah.

Makna Mengajar menurut Kontrutivisme, bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan kegiatan bagimana murid sendiri dapat membangun pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.

Guru dalam pembelajaran Kontrutivisme hanya dan berupaya hanya sebagai mediator dan fasilitator. Pengetahuan yang meraka punya awal adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena itu, guru perlu mengerti pada taraf manakah pengetahuan mereka. Apapun jawaban murid adalah jawaban yang masuk akan bagi mereka saat itu. Dinilai salah sangat mengecewakan murid (terutama awal-awal), berikanlah jalan kepada mereka untuk menginterpretasikan pertanyaan. Dengan itu diharapkan jawabannya akan lebih baik. Dan guru sedikit banyak akan tahu peta konsep mereka (dengan mengurai interpretasi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan itu). Jawaban bukanlah salah, jawaban yang salah dikatakan bahwa jawaban itu, bila konsisiten akan tak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan lainnya yang sesuai. Seperti sejarah penemuan sains-sains yang ada, juga dimulai dari kesalahan-kesalahan, tetapi mereka tidak dikatakan salah, hanya cakupannya kurang luas, dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan atau fenomena-fenomena baru yang berkesesuaian.

Problem yang dihadapi guru adalah, pengajaran dengan ini (Kontrutivisme) akan memakan waktu lama, untuk sampai anak menemukan sendiri jalan, cara dan mengkontruk pengetahuan baru dengan asosiasi pengetahuan lamanya. Tetapi untuk kebutuhan matematika dan sains, memang itu yang diperlukan. Sekali anak memahami, mampu mengkontruk pengetahuan baru itu, mereka akan menguasai konsep itu dan variasi soal, modifikasi-modifikasi soal akan mampu mereka selesaikan dengan baik. Mereka (para guru) harus memahami bagaimana pengetahuan itu masuk kepada anak lewat asimilasi dan akomodasi. Mereka semestinya dituntut tahu tentang sejarah sains, konteks ilmu itu dengan sejarah dan kehidupan lainnya. Pengajaran dictator, dan anak dianggap tabula rasa sangat ditentang oleh Kontrutivisme.

PERAN MURID/PELAJAR

Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka (Betterncourt, 1989; Shymansky, 1992; Watts & Pope, 1989). Menurut konstruktivisme, pelajar sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertiannya yang lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui serta menyelesaikan ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.

Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda. Pelajar harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru. Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Belajar-yang-berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu memperbarui tingkat pemikiran yang tidak lengkap (Fosnot, 1989).

Setiap pelajar mempunyai cara mereka sendiri untuk mengerti dan memahami isi pelajaran. Oleh karena itu pelajar dibantu oleh pihak lain diharapkan mengerti kekhasannya, juga keunggulan dan kelemahnnya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemaukan cara belajar yang lebih tepat buat mereka sendiri, menemukan cara paling cocok untuk mengkontruksi pengetahuan yang bias sangat berbeda-beda antara satu pelajar dengan lainnya. Satu model belajar-mengajar saja tidak akan banyak membantu siswa.

Waktu pertama kali datang ke kelas, siswa sudah membawa makna tertentu tentang dunianya. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat mengembangkan pengetahuan yang baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial, emosional, dan kultural. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal tentang siswa, sangat penting dimengerti oleh pengajar agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih tinggi.

Dalam pembelajaran kelompok, perlu dimengerti tentang bagaimana melihat dan mencoba menyelesaikan masalah. Teman lainnya belum memiliki jawaban yang siap misalnya, akan meningkatkan keberanian siswa untuk mencoba dan mencari jalan. Sekaligus, jika ia menemukan jawaban, itu akan mendorong yang lain untuk menemukannya juga. Ketidakkonsistenan dan kesalahan yang ditunjukkan oleh teman dianggap kurang meyakinkan dibandingkan bila ditunjukkan oleh guru akan meningkatkan harga diri mereka (von Glasersfeld).

Menurut Driver dkk. (1994), konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antarpribadi. Belajar merupakan proses masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang yang terdidik. Dalam hal ini pelajar tidak hanya memerlukan akses ke pengalaman fisik, tetapi jug konsep-konsep dan model-model ilmu pengetahuan konvensional. Oleh sebab itu, guru berperan penting karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan prasarana masyarakat ilmiah bagi siswa. Dalam konteks ini kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan lembaga-lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dan dengan masyarakat pengguna hasil ilmiah akan sangat memb dan merangsang mereka untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka.



[1] Penulis adalah mantan Mahasiswa Kedokteran Umum, Univ Airlangga Surabaya, Alumni Pasca Sarjana Brawijaya Malang (Human Resource Management). Alumni FIP Univ Negeri Malang, “Strategi Pengajaran”, Sekarang Direktur Full Day and Boarding School SMP-SMA Al-Ma’hadhul Islam (YAPI), Bangil-Pasuruan, dan dosen STIE-YADIKA Pasuruan.

[2] Disini diasumsikan dan dipercaya, ada hubungan dialektika antara S (Subjek) yang mengetahui dan O (objek) yang diketahui. S dan O, tidak saling terpisah sepenuhnya.

[3] Ini mirip dan memiliki kesamaan dengan “Logoterapi Viktor E. Frankl” dimana mereka mengatakan “menemukan makna hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut dalam hidup. Makna adalah pengenalan tempat-tempat segala sesuatu didalam suatu system. Pengenalan seperti itu terjadi jika relasi sesuatu yang lain dalam system tersebut menjadi terjelaskan atau terpahamkan. Husein Syed Muhammad Naquib al-Alatas dalam, “Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (Mizan, 1984). Spinosa dalam bukunya “Ethics” mengatakan; “Affectus, qui passio est, desinit esse passio simulatque eius claram et distinctam formamus ideam.Emosi yang sedang menderita, tidak akan lagi menderita setelah kita membuat gambaran yang jelas dan benar dari penderitaan tersebut. Ini memang masuk akal; tetapi banyak orang yang meninggalkan “makna” kejelasan dalam system karena kenikmatan yang didapat (lihat saja orang yang korupsi awal-awal, terjebak dalam system), biasanya orang itu akan “merasa bersalah”, kemudian meningkat menjadi “rasionalisasi” tindakan walaupun rasionalisi bisa diartikan (upaya singkronisasi system), tetapi kadang system itu terpatah-patah, tetapi tetap akan dibuat. Lihat saja upaya “tidak rasional argument” karena upaya rasionalisasi kesalahan.

Contoh lain; waktu orang menginginkan sesuatu misalnya cita-cita (ingin jadi dokter, ulama dan lain-lain), lalu gagal. Maka biasanya untuk pertahanan diri atau apa ia membuat “rasionalisasi’ sehingga tindakannya yang sekarang bisa masuk system makna. Misalnya toh dengan berdagang saya bisa kaya (pengganti dokter yang akan kaya), dan tetap bisa bermanfaat untuk umat dengan shodaqoh dan lain-lain (pengganti keinginan ulama). Bedakan dengan Viktor E. Frankl, “Man’s Search For Meaning”, 2004

[4] Kontruktivisme sangat mudah terseret dan dekat dengan relativisme.

[5] Abstraksi itu diperoleh dari mana? Atau ilmu-ilmu seperti logika dan matematika itu diabstarksikan dari apa? Jawaban ini ada 2, Pertama, Dari dunia kongkret dan kedua, Dari operasi-operasi, koordinasi, relasi dari dunia kongkret. Seperti setelah kita bolak-balik 7 kelereng, kita dapat ilmu, komutatif, asosiatif dan lain-lain, mungkin.

[6] Ini mirip dengan Piaget mengenai asimilasi dan akomodasi. Konsep-konsep ini pula yang sangat mungkin mendasari konsep belajar dengan membuat “Peta konsep” atau “peta pikiran”, dari Tony Buzan. Lihat buku-buku; “Quantum Learning”, “Learning Revolution”, Karya Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos, 1999, “ Accelerated Learning”, karya Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl cetakan ke 3, tahun 2002, dan lain-lain

Ini sangat penting dalam pembelajaran, khususnya tentang hal-hal yang seakan sangat sulit difahami siswa, padahal sebenarnya secara kemampuan mereka “seharusnya faham”. Sebagai contoh; pengalaman penulis sendiri dalam mengajar Matematika. Anak sekan kerepotan dengan soal-soal yang semestinya kategori kesulitan (untuk anak kelas 1 atau 2 SMP) mudah. Padahal dia kelas 2 SMU. Dengan mengurut peta konsep berulang-ulang, kita dapat mengetahui problemnya dimana, dan sedikit banyak kita tahu, bagian mana (atau konsep-konsep apa saja) yang semesrinya diberikan dahulu, sebelum anak tersebut disuruh melakukan test-test tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar