Laman

Minggu, 28 Maret 2010

MANUSIA BERFIKIR DAN BERKEBENARAN

MANUSIA BERFIKIR DAN BERKEBENARAN

Oleh: Muhammad Alwi, SE,.MM[1]

Akal dan Kemampuan Berkebenaran[2]

Manusia adalah mahluk berpengertian. Pengertian merupakan syarat mutlak untuk bahagia, karena manusia hanya senang kalau ia mengerti kesenangannya, seseorang hanya dapat memiliki sesuatu jika ia mengerti. Tanpa pengertian, tidak ada kepunyaan (milik) yang formal bagi manusia. Selanjutnya tanpa pengertian, tidak lagi mungkin ada kesusilaan, kemerdekaan, transendensi, otonomi atau kemandirian rohani.[3] Oleh karena itu lepas dari ketidaktahuan dan kebodohan adalah suatu yang membahagiakan. Sebab ketidaktahuan dan kebodohan adalah kegelapan, sumber dari banyak penderitaan. Pengertian akan kebenaran akan membebaskannya. Akhirnya kebenaran yang sempurna akan membebaskan manusia dari segala deritanya, dan membuatnya bahagia selamanya. Inilah akhir tertinggi dari manusia.[4]

Untuk mencari pengertian sehingga diperoleh kebenaran perlu berfikir yang baik, yakni berfikir logis dialektis. Yaitu tidak hanya memperhatikan kebenaran bentuk atau hokum-hukum, tetapi juga harus mengindahkan kebenaran materi pemikiran serta kriterianya. Hukum-hukum berfikir dirumuskan dalam logika, sedangkan kebenaran materi dan kriterianya dicari dimasing-masing bidang. Aristoteles-lah yang mengeksplisitkan hokum-hukum logika formal.[5]

Manusia punya dua macam kemampuan kognitif (kemampuan mengerti) yaitu; Indra dan Intelek. Indra merupakan kemampuan organis, artinya indra secara intrinsic bergantung pada organ badani tertentu yang didalamnya dan dengannya indra bekerja. Indra bisa eksternal dan internal. Intelek adalah kemampuan inorganic, yakni kemampuan yang tidak bergantung pada sesuatu organ badani. Intelek hanya satu, tetapi kemampuannya dapat; menangkap, membuat konsep, membuat keputusan, melakukan refleksi, mengabstraksi, menyimpulkan dan lain-lain.

Manusia hanya mempunyai pengetahuan yang “sempurna” dengan melalui keputusan, yaitu aksi intelek. Kegiatan indra hanyalah menangkap (dalam arti mengalami) tanpa membuat keputusan. Indra (sebagaimana juga intelek, yang bukan tabula rasa merupakan kesadaran aktif, maka juga bekerja sesuai dengan lingkaran interpretasi yang kita kenal) mengumpulkan bahan mentah untuk intelek guna dikerjakan oleh intelek menjadi keputusan.[6]

Manusia adalah mahluk rohani-jasmani. Rohani dan jasmani bukanlah dua ada yang keberadaannya sekadar berdampingan, tetapi keduanya bersatu dalam kesatuan substansial. Maka menurut kodrat harus terdapat kontinuasi atau penghubung keduanya.[7] Apa yang menghubungkan dari jasmani kerohani atau sebaliknya mungkin? [8]

Pada manusia ada kemampuan mengolah “kesan” (apa yang ditangkap oleh indra dari materi). Kemampuan tersebut adalah intelectus agens ( nous poitikos) kata Aristoteles. Kemampuan ini adalah kemampuan mengabstraksi. Sedangkan kemampuan tahu manusia, yakni yang kita kenal sebagai akal budi (intelek), dinamakan intelectus-possibilis (nous pathetikos).

Kemampuan mengabstraksi menggarap, menerangi “kesan” tadi dan melepaskan dari semua seginya yang material, tetapi tetap mempertahankan hal-hal yang hakiki, dan niscaya yang kini “diangkat” dari unsure ruang dan waktu. Jadi abstraksi adalah proses imaterialisasi. Tetapi; Pengetahuan abstarksi ini, menurut asal dan isinya, tetap bergantung kepada indra, dan berhubungan dengnan realitas.

Sekarang “kesan” tersebut sesudahnya diangkat dari materi, menjadi cakap, dan secara actual ( in actu) dapat (sanggup) diketahui, atau memasuki level of intelligibility. Berkat aktivitas ini, yang dalam istilah teknis disebut aprehensi sederhana psikologis muncul species intelligibilis impressa. Species intelligibilis impressa tersebut, berkat aktivitas intellectus agent, kini bertindak sebagai pembantu (penggerak, ken-feterminant) kemampuan tahu intelektual manusia, yakni intellectus possibilis. Sedangkan proses menyadari species intelligibilis impressa ini disebut apherensi sederhana logis. Maka muncullah konsep atau idea. Yang membuat kita tahu atau menangkap suatu disebut konsep mental, sedangkan apa yang kita tangkap tentang objek yang disodorkan konsep mental kepada akal budi, disebut konsep objektif.[9]

Bentuk-bentuk immaterialisasi

Intelek hanya mau terhadap sesuatu yang immaterial, tetapi abstraksi (proses imaterialisasi) itu bertingkat-tingkat. Ada yang sangat bersih dari materi ada yang dekat dengan materi.

1) Tingkat abstraksi fisis à Setelah kita melihat benda-benda, kita abstraksikan hal-hal itu. Misalnya konsep Kuda, mangga, Suara dan lain-lain. Konsep-konsep ini kebendaannya masih sangat kentara. Pembayangan (konsep mentalnya) kerealitas konkret sangat mudah.

2) Tingkat Abstraksi Matematis à Disini yang dihilangkan tidak hanya cirri-ciri konkret individualnya, tetapi juga cirri-ciri kualitasnya. Yang dilihat hanya kuantitas sejauh bisa diukur. Seperti; ½ , 8, Lingkatan, diagonal, segitiga dan lain-lain. Walau masih dapat dibayangkan tingkat kongkretnya, tetapi hampir hilang ke-kongkret-an itu.

3) Tingkat abstraksi metafisi à dalam imaterialisasi tingkat ini, tidak hanya ciri-ciri individu dan kekongkretan serta kualitas-kualitas indrawi yang dihilangkan, tetapi juga kuantitas. Tangkapan sama sekali bersih dari kejasmanian, meskipun asal dan isinya tetap tergantung pada indra. Misalnya; Sebab-akibat, eksistensi, Kebenaran, Keadilan dan lain-lain.[10]

Kebersihan indrawi ini juga menentukan tingkat kepastian “kebenaran” suatu ilmu. Misalnya; Sians kebenaran lebih “tinggi (baca = pasti) dibandingkan ilmu social. Sains kebenarannya dibawah Matematika, sedangkan matematika, Geometri kebenarannya paling tinggi, dan Metafisika kebenarannya tertinggi ( paling pasti).[11]

Abstraksi dan Substansi Realitas

Abstraksi memang peng-imaterialan sesuatu yang kongkret, sehingga ia lebih “konsesten dan pasti serta punya sifat umum”. Ada perbedaan mendasar Plato dan aristoteles dalam masalah ini. Plato yang real itu idea, sehingga yang real itu bukan si-ali, si ahmad, tetapi , manusia. Sedangkan Aristoteles mengatakan sebaliknya; kita hanya melihat si-ali, si-ahmad dan lain-lain, dengan kemampuan intelektual kita, kita mampu menghilangkan unsusr-unsur yang rincian dan mengambil konsep umumnya yaitu manusia. Pengabstraksian itu tidak lepas dari substansi realitas. Artinya apabila pemahaman tentang realitas itu setengah-setengah maka Abstraksi kita juga tak akan penuh dan “salah” (tidak mengacu ke realitas yang ditunjuk).[12]

Agar substansi realitas benar-benar terungkap kedalam konsep secara jitu, manusia harus mengamati dan meneropong benda-benda itu dari berbagai segi agar dapat memperoleh pengertian yang lengkap tentang inti isinya. Salah satu yang terpenting penelanjangan realitas pada masa sekarang adalah “metode fenomenologi”[13]. “Kesan” (apapun yang masuk lewat indra, baik dalam maupun luar) yang ditangkap manusia, yang merupakan bahan mentah bagi intelek, secara strukturan adalah tidak lengkap atau dalam bahasa lain struktur pengalaman itu histories (menyejarah), kata metode yang terakhir ini (metode Fenomenologi).

Struktur Historikal Pengalaman

Kendati abstraksi lekat pada eksistensi manusia, perlu senantiasa disadari struktur historical dari pengalaman manusia. Manusia tidak berada di dalam waktu, tetapi secara ontologis manusia adalah mewaktu, historikal. Manusia de fakto tidak dapat ada tanpa menjadi bagian dari sejarah. Maka pengalaman manusia juga tidak terpatah-patah dalam momen-momen ‘masa kini’ melainkan berstruktur historical. Masalah historical ini terkacaukan (dan terlupakan) karena opini umum tentang ‘waktu’ yang dikonsepsikan secara matematis, dilambangkan dengan huruf t (time, scientific time), diukur dengan jam dan kronometer. Berhubung alat ukur itu berupa benda-benda dan berada dalam ruang, maka waktu digambarkan sebagai medium homogen yang merentang dan terdiri dari satuan-satuan pembakuan seperti; tahun, hari, jam, menit, detik. Sedangkan sejarah seringkali diartikan orang sebagai ‘hal yang sudah lewat’ sudah selesai, ‘masa lalu’.

Dengan konsepsi ini, maka waktu dan sejarah diperlakukan sebagai vorhandenes (sebagai benda), karenanya statis. Maka diabaikanlah historikalitas sebagai kategori fundamental pemikiran manusia yang justru membuka kemungkinan perjumpaan, dialog dengan yang otentik, dengan pengalaman integral sebagaimana de facto terjadi.

Pengalaman kita memang terjadi kini, tetapi ‘kini’ tersebut mencakup masa lalu yang tidak terbatas dan masa datang yang terbuka lebar. Setiap ‘kini’ mengenggam yang sudah lewat dan sekaligus menunjuk masa depan yang masih akan datang. Dalam bahasa Husserl[14], setiap saat ber-retensi (atau ber-reaktivitas) dan berpotensi, yakni menggenggam masa lalu dan menjangkau masa datang. Retensi tidaklah mengingat-ingat yang sudah silam dan kini tiada, tetapi keterarahan yang dulu itu ke yang kini, was gewesen ist (Heiddegger)[15]. Masa lalu hadir dimasa kini. Secara prinsip, masa lalu berkaitan erat dengan masa kini. Demikianlah pula halnya dengan masa datang. Keterarahan yang kina dan yang akan datang tidaklah sesuatu yang berada diluar kini. Masa kini mengandaikan masa lalu dan masa datang. Pengalaman menunjukkan bahwa masa datang, sebagaimana masa lalu, secara actual hadir dimasa kini. Masa lalu dan masa datang tersebut secara nyata ikut menentukan yang kini kita kerjakan.[16]jadi historikalitas adalah;

1) Hakikat manusia yang menunjuk kenyataan bahwa manusia tidak dapat direduksi menjadi atau disamakan dengan benda alami.

2) Pengalaman juga tidak statis, melainkan merupakan perjumpaan, suatu dialog yang tak habis-habisnya dengan suatu dunia yang nampak pada kita sebagai suatu cakrawala yang membuka perspektif-perspektif yang tak terbatas jumlahnya, dan hal ini pula yang memungkinkan terjadinya intersubjektivitas dari berbagai kesadaran yang berbeda.

3) Menunjukkan kenyataan bahwa persepsi tidak pernah dapat disederhanakan menjadi kehadiran yang memberi kesan indrawi yang saling tidak berhubungan, karena yang riel senantiasa mengartikan yang lain, saling menjelaskan.

4) Secara fundamental menunjukkan kenyataan bahwa kebenaran secara ontologism, bagaimanapun, adalah suatu peristiwa, maka kebenaran hakikatnya terbatas, tidak lengkap, dan sementara, maka juga tidak pernah definitive, tidak pernah merupakan kata akhir. Kebenaran yang lebih benar selalu mungkin terungkap terus. [17]

Bahasa dan Berkebenaran[18]

Pikiran dan bahasa, sesungguhnya, merupakan tempat terjadinya peristiwa realitas. Dengan berpikir manusia menyelesaIkan peristiwa tersebut. Berpikir berarti membiarkan realitas terjadi sebagai peristiwa bahasa. Realitaslah yang lebih dulu pada mula pertamanya merupakan sumber dan asal mula pikiran. Oleh sebab itu berpikir adalah menerima, dan berterima kasih

Tugas pemikir adalah menjaga terjadinya peristiwa realitas dengan penuh kesayangan. Dalam berpikir manusia bukan penguasa, tetapi pengawal realitas. Tiada kata final bagi realitas. Realitas tetap senantiasa merupakan suatu proses kedatangan ser­ta suatu proses pemberian, sedangkan berpikir senantiasa merupakan suatu proses berterima kasih. Proses perjalanan kebahasa adalah juga proses perjalanan ke berpikir. Kenapa begitu?

Karena realitas adalah dan tetap senantiasa berupa ‘hal yang tak kunjung habis dipikirkan’ dan ‘hal yang tak kunjung selesai dikatakan’. Demikianlah berpikir bukan pilihan semaunya pihak pemikir. Pikiran bahkan bukan pertama-tama perbuatan kita, tetapi sesuatu, yang menerpa, menjumpai kita manakala realitas mengungkapkan diri pada pikiran kita..

Jadi pada dasarnya berpikir adalah suatu tanggapan. Realitas butuh manusia. Tetapi manusia bukan penguasa realitas, melainkan gembala dan pengawal realitas. Pikiran kita diundang realitas untuk menjawabnya..

Jadi realitas sebagai pembangkit kegiatan berpikir merupakan bahasa yang sejati. Kegiatan berpikir sebagai jawaban terhadap kata suara realitas mencari ungkapannya yang tepat sehinga realitas dapat menjadi bahasa, dan selanjutnya dapat dikomunikasikan. Bahasa adalah jawahan manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.

Dalam berkata yang benar-benar, realitas di-kata-kan. Dengan berpikir dan berkata, manusia meng-kata-kan realitas, dan baru di dalarm peng-kata-an inilah realitas dapat tampil dan tampak. Begitulah pikiran-bahasa dan realitas senantiasa tidak berjauhan, senantiasa berkumpul. Tiada pikiran dan bahasa tanpa realitas, tiada realitas tanpa pikiran dan bahasa.

Demikianlah konsep tentang berpikir yang tidak dibatasi oleh dinding-dinding konvensi. Berpikir yang pada hakikatnya bersifat membangun (konstruktif) tidak.berhenti pada pola-pola, pada teori-teori, pada tembok-tembok system. System-sistem justru sering harus diterobos untuk dapat mendengar suara realitas secara lebih cermat.

Sistem (juga sistem yang terbuka) mempunyai ciri totalisasi transformasi, dan autoregulasi (cf. Jean Piaget)[19] yang memiliki logika validasi dan pola justifikasi yang tertentu pula. Perlu disadari kiranya bahwa setiap sistem tidak menyukai keterbukaan, ia hakikatnya tertutup. Maka untuk benar-benar berpikir, ketentuan ketentuan tersebut perlu terus dipertanyakan dan diterobos.

Meskipun memperhatikan, pikiran yang benar-benar berpikir tidak terikat pada jawaban-jawaban tertentu. Pikiran, bilamampun, harus dipertahankan kemerdekaannya untuk ‘membedah’ sistem, untuk menganalisa serta menguji keteguhan prinsip yang dipakai dengan orientasi; urusan pokok dalam bérpikir adalah tampak dan tampilnya realitas. Sistem bukan ha! yang membuat sesuatu benar. Suatu benar (baik) bukan karena ditetapkan, tetapi karena benar (balk) maka ditetapkan.

Maka sesuatu itu benar (baik) bukan karena dibeni sistem Bahkan hanya sesudahnya dilakukan pandangan yang mendasa terhadap realitas, suatu sistem yang sesuai ditumpangkan. Hal in pun senantiasa harus ditinjau kembali, sebab pandangan (mendasar) tentang realitas tidak pernah final. Dimensi-dimensi baru, hal-ha baru yang lebih tepat, senantiasa dapat tampak dan tampil. Maka sistem yang ada juga harus dibongkar. Begitu seterusnya, demi terungkapnya realitas secara semakin lebih tuntas, yang hakikat nya juga berarti semakin terungkapnya kadar realitas eksistensi manusia sendiri.

Manusia hendaknya tunduk kepada pikiran yang lebih balk karena pikiran yang lebih baik lebih meng-kata-kan realitas, lebih mengungkapkan kadar kebenaran realitas.

Adanya kebenaran formal tidak boleh diingkari. Pengingkaran terhadap setiap kebenaran formal adalah suatu anarki. Tetapi hendaknya selalu diinsafi bahwa realitas tidak pernah habis dipikirkan dan tidak pernah habis dikatakan. Senantiasa ter­dapat suatu dunia yang lebih balk yang menanti untuk dibangun.

Apakah hakikat berpikir?

Bilamana pembicaraan di atas telah diikuti dengan saksama, maka berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan ber­pikir dengan menghitung yang hakikatnya pemikiran hanya berhenti pada aspek kuantitatif dan realitas, pada aspek utilistik instrumental dari realitas. Dalam terminology sehari-hari dipakal istilah ratio, yang berasal dari kata Latin reor yang berarti ‘menghitung’. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dan realitas tidak mungkin ten­jangkau lewat berpikir dengan menghitung. Berpikir yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan, membayangkan. Dalam berpikir dengan menvisualisasikan terkandung asumsi bahwa segala hal dapat dibuat visual (yang jelas tidak mungkin), terkandung persepsi dasar bahwa the real is the physical..

Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir menjeIaskan, karena defacto berpikir dengan menjelaskan sekadar gerak pikiran di antara batas-batas yang sudah ditetapkan. Rasionalitas, logika validasi, metode-metodenya, sudah pasti. Seluruh usaha adalah sekadar menggiring pikiran ke jalur tersebut.

Berpikir dengan menghitung, berpikir dengan mem­visualisasikan, berpikir dengan menjelaskan, adalah bentuk-bentuk berpikir, tetapi sekadar tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir. Berbagai realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan karena kadar kebenaran banyak hal tidak akan tampak dalam gaya-gaya berpikir secara menghitung, memvisualisasikan atau secara menjeIaskan.

Anti realitas tidak mungkin dapat dipikirkan dengan semestinya. Reahtas itu sendiri tidak dipikirkan. Ketiga gaya pemikiran tersebut tidak memungkinkan untuk memikirkan pertanyaan tentang hakikat realitas, hakikat manusia. Jelas kiranya bahwa berpikir yang benar-benar berpikir bukan bergerak diantara batas-bata yang sebelumnya sudah dipastikan, tidak bertujuan untuk meregam, menguasal, memaksakan kekuasaan (teori-teori, metode.metode, sistein-sistem, dan sebagainya) pada realitas.

Realitas bukan hasil pikiran, dan bahasa bukan alat. Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa reaitas. Berpikir adalah tanggapan, jawaban, bukan sikap objektivistik dan sikap mengambil jarak. Dan bahasa berkaitan erat dengan peristiw menyampaikan arti. Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya

Berpiklr tidak konseptual

Bagaimana kita berfikir tidak konseptual? Bukankah itu contradiction in terminis. Bukankah kata pada dasarnya tidak terpisahkan dari konsep? Memang itu ada benarnya, tetapi bila kita berfikir konseptual maka sekalipun sebagai orientasi, kearah perspektif atas fenomena, konsepsi atau konseptualisasi, karena ditentukan batas-batasnya secara cermat dan rasional de facto senantiasa membendung peristiwa penyingkapan realitas. Bicara benar (vere loqui) akhirnya menjadi hanya bicara lurus, sesuai dengan batas-batas (recte loqui). Kesulitannya berfikir tidak konseptual, karena umum memandang bahasa sebagaia alat, sebagai objektivasi. Padahal ada fungsi lainnya.

Idealisme yang mengatakan; yang ada adalah yang dimengerti (esse est percipi), tidak dimengerti adalah yang tidak dipikirkan berarti ada ada. Maka konsep atau ekspresi konseptual adalah (yang) ada itu sendiri. Ide adalah realitas dan realitas adalah ide. Pola empiris, karena kesadaran manusia adalah tabula rasa, maka konsep, atau juga pengetahuan konseptional adalah pencerminan realitas, atau Copy. Bendasarkan pertimbangan pragmatis, kebenaran suatu teori tidak hanya terdiri dan suatu peng­gambaran kenyataan secara tepat, tetapi juga diarahkan pada kegu­naan praktis. Rasionalitasnya: pengetahuan adalah pasti manakala Anda dalam praktek dapat memakainya. Benar adalah bila opera­sional; pengetahuan adalah suatu alat, dibutuhkan untuk berbuat tanpa mempunyal pretensi lebih lanjut. Demikianlah minat orang tidak terarah kepada peristiwa tam­pak dan tampilnya realitas lewat pikiran dan bahasa yang defacto tidak pernah selesaj atau final, tetapi terpusat pada kesibukan memikirkan kesesuaian dunia; ideanya dan dunia sebagai titik akhir perjumpaan yang hakikatnya selalu berbeda. Lalu apa berpikir tidak konseptual itu?

Berpikir tidak konseptual[20] berarti tidak memikirkan bahasa sebagai terdiri dan atau sebagai senantiasa mencari konsep yang dilbatasi dengan-jelas-dan-secara-rasional-ditetapkan. Dengan mengartikan bahasa sebagai konsep-yang-dibatasi ­artinya secara-jelas dan ditetapkan-secara rasional, maka serba statis dan terkotak..kotak dengan sendirinya kejelasan dapat dijamin. letapi berpikir seperti itu adalah berpikir secara pemaksaan pada realitas. Inisiatif realitas ditiadakan.

Perlu selalu disadari bahwa pikiran bukan pertama-tama per­buatan kita, tetapi sesuatu yang menerpa menjumpai kita manakala realitas mengungkapkan diri pada pikiran kita. Di dalam kenyataan, suatu konsep adalah peristiwa kejernihan atau penyelubungan suatu hal. Dengan demikian sejarah (historikalitas) merupakan hahekat suatu konsep. Realitas bukanlah suatu konsep yang pasti, melainkan suatu peristiwa yang terjadi pada kita, sesuatu yang menjadi terang pada diri kita. Berbaga! pandangan tentang realitas yang telah dipakai selama berabad-abad niscaya merupakan hasil cara realitas menam­pakkan diri dalam berbagai kesempatan. Ekspresi konseptual seharusnya tidak dipandang dan diperlakukan sebagai ekspresi sempurna dari terminus perjumpaan (karenanya menjadi konseptualisasi statis yang siap untuk dianalisa), tetapi niscaya dipandang dan diperlakukan sebagai suatu perspektif (abschattung), sebagai artikulasi realitas dalam prosesnya untuk membahasa. Kegiatan berpikir adalah jawaban terhadap kata suara realitas, mencari konsep ungkapannya yang tepat sehingga realitas dapat menjadi bahasa. Arti senantiasa lebih luas dan yang mungkin diungkapkan dalam ekspresi konseptual atau diungkapkan secana verbal. Dalam ekspresi konseptual, segala sesuatu yang tercakup di dalamnya bergerak dan menari berdasarkan petunjuk-petunjuk ra­sional cermat si konseptor misalnya ilmuwan. Ekpresi konseptual tidak dihuni oleh kenyataan-kenyataan yang benar-benar riel, tidak dihuni oleh manusia-manusia yang hidup menyejarah terdiri dan daging dan darah dengan segala emosi dan intuisinya.

Demikianlah secara sangat singkat dan padat pembicaraan kita tentang hakikat bahasa dan pikiran. Kendati kita telah terpolakan dalam cara-cara berpikir dan logika tertentu, berpikir yang benar-benar berpikir pantang dilupakan. Orientasi-onentasi di atas mutlak perlu disadari di dalam praksis cara-cara berpikir dan logika yang hanya tukilan dari ben­pikir yang benar-benar berpikir. Jika tidak, taruhannya terlalu serius.



[1] Penulis adalah, Peminat Filsafat dan Psikologi, mantan mahasiswa Kedokteran Umum Univ Airlangga Surabaya, alumni Pasca Sarjana Brawijaya. Sekarang Dosen dan guru Matematika di Pasuruan, serta Kepala Sekolah SMP/SMA-plus Al-Ma’hadhul Islam (YAPI) Bangil-Pasuruan.

[2] Disini tidak dibahas kebenaran-kebenaran “Wahyu dan Intuisi”. Dan untuk definisi-definisi mengacu pada buku, Louis O. Kattsoff, “Pengantar Filsafat”, Tiara Wacana, Yogya, Cet-V, 1992. dan Loren bagus, “Kamus Filsafat”, Gramedia, Jakarta, 1996.

[3] Drs. W.Poespoprodjo,L.Ph.,S.S. “Logika Sientifika”, Remadja Karya, Bandung, 1985, hal 3.

[4] Ibid, hal 5.

[5] Logika ini hanya menyangkut “prosedur” kebenaran bukan isi kebenarannya. Sebagai contoh; 1) Semua manusia pasti mati (Benar), Si ali manusia (Benar), maka kesimpulannya; Si ali pasrti mati (benar). 2) Setiap yang ada ciptaan tuhan (banar), Kejahatan atau Keburukan itu ada (benar), maka kesimpulannya; Keburukan atau kejahatan ciptaan Tuhan (Apa ini Benar?). Inilah masalah dalam logika formal, karena dia tidak mengindahkan isi dari pernyataan-pernyaan itu. Untuk kritik dan penjelasannya, lihat Hossein Ziai, “Suhrawardi & Filsafat Iluminasi, Pencerahan Ilmu Pengetahuan”, Khususnya bab II, Logika dalam filsafat Illuminasi, Zaman, Bandung, 1998.

[6] Secara sederhana, Manusia itu tidak mungkin dapat mengetahui, kalau dia tak punya pikiran atau intelek. Dan ia tak mungkin tahu bahwa ia tahu dan mampu mngetahui kalau dia tidak sadar akan dirinya. Jadi pernyataan Descartes; “saya berfikir maka saya ada”, sebenarnya kurang tepat. Sebab saya berfikir, sebenarnya sudah mengasumsikan “ke-saya-annya (sadar dirinya ada). Oleh karena itu yang benar adalah; kita ada (sebagai kesadaran langsung, terberikan, Istilah filsafat islamnya, “Ilmu Khuduri). Kemudian untuk mengaktifkan intelek selanjutnya, perlu dukungan, support dari indra (baik eksternal atupun internal). Lihat, Mehdi Ha’iri Yazdi, “Ilmu Khuduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Mizan, Bandung, 1994.

[7] Ibid, Poespoprodjo, hal 55.

[8] Banyak teori tentang ini. Salah satunya adalah “kemungkinan perubahan dari materi ke non-material” adalah dengan cara “gerakan evolusi substansial”, atau “al harakhar al jauharriyyah” Mullah sadra. “tidak ada dinding atau selaput antara yang alami dan adi-alami, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi wujud material untuk berubah menjadi wujud ekstramaterial (nonmaterial) nelalui suatu evolusi bertahap. Kakikat hubungan kehidupan dan materi, atau antara ruh dan jasad, adalah lebih alamiah dan lebih substansial ketimbang yang mereka (Palto dan aristoteles) duga. Hubungan keduanya adalah seperti hubungan antara suatu wujud dengan tahap perkembangannya terhadap wujud yang sama dengan tahap perkembnagan yang lebih lemah dan lebih rendah tingkatannya. Atau lebih tepatnya, seperti hubungan antara satu demensi terhadap demensi lainya. Maksudnya, materi dalam tranformasi dan evolusinya berkembang dalam suatu arah baru selain dari tiga demensi fisik atau ruang dan selain dari demensi waktu yang dengannya gerak essensial dan substansial dikuantifikasi. Arah beru itu terlepas dari keempat arah lainnya, arah ruang-waktu… materi menemukan arah baru dimana ia sepenuhnya melepaskan sifat materialitasnya. Seri Muttahari, Murtadha Muttahari, “Ruh, Materi dan Kehidupan”, Mizan, Bandung, 1993, hal15-16. Kritik terhadap teori ini dan pembahasan falsafah gerak, lihat Baqir Sadr, “Falsafatuna”, Mizan, Bandung, 1991, tentang, “Gerak Perkembangan”, hal 152 -171, khususnya hal 157. Sedangkan dari Immaterial ke Material, diterangkan oleh Ibn Sina dengan akal ke 10-nya.

[9] Op cit, hal 55.

[10] Bagaimana dengan konsep Tuhan? Apakah isinya tetap tergantung pada indra? Apakah tidak mungkin ada konsep yang lepas sama sekali dari indra? Dia (Allah) adalah Muhalafatu lil hawadish (berbeda dengan apapun dialam). Bahkan surga dan neraka saja dikatakan, tidak pernah manusia pikirkan, bayangkan. Bagaimana bahasa Tuhan bisa sampai dan terfahami oleh manusia? Apa masalahnya? Lebih jelas lihat, Muhammad Ja’far, “Wahyu, Bahasa, dan Paradoks Eksistensial”, Jawa Pos, 16/03/2003. juga buku-buku Fritcouf Schoun (Muhammad Isa Nuruddin), “Understanding Islam”, dan lain-lain.

[11] Lihat secara lengkap dalam; Dissertasi Osman Bakar, “Khirarki Ilmu, Membangun Kerangka Pikir Islamisasi Ilmu”, Mizan, cet-Intelek, 1997. hal 106-110.

[12] Dimana sebagaian besar mensyaratkan itu sebagai kebenaran. Kebenaran didefinisikan sebagai kesesuaian Subjek yang mengetahui atau menunjuk dengan objek yang diketahui atau ditunjuk. Lihat Loren bagus, “Kamus Filsafat”, Gramedia, Jakarta, 1996. Entri “K” , Kebenaran, hal 412.

[13] Definisi dan pembagian-pembagiannya, Bagus, op cit, entri “Fenomenologi”, hal 234.

[14] Edmund Husserl dan Fenomenologi, lihat K. Bertens, “Filsafat Barat Abad XX (Inggris-Jerman), Gramedia, Jakarta, 1990, hal 94. Maurice Merleau-Ponty dan Fenomenologi, juga K. Berten, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II (Prancis), Gramedia, Jakarta, 1996, hal 124.

[15] Bagus, op cit, hal 237.

[16] Apa yang kita alami sekarang, pasti kita hubungkan, dipengaruhi kesannya, intrepretasinya, sudut pandangnya oleh masa lalu, juga oleh proyeksi, kesempatan, target, keinginan dan lain-lain masa datang. Artinya apa yang kita alami sekarang, menunjukkan jejak-jejak masa lalunya dan mengantisipasi arah masa depannya.

[17] Poespoprodjo, hal 63.

[18] Diringkaskan dari buku Ibid, hal 66-74, dengan berbagai modifikasi dan komentar.

[19] Lihat buku j. Piaget, “Strukturalisme”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, kata pengantar hal viii, dan bab 1, hal 1-12.

[20] Idea adalah kata dari bahasa Yunani eidos, yang berarti 'yang orang lihat', 'penampakan', 'bentuk', 'gambar', 'rupa' yang dilihat. Intelek (akal budi) manusia melihat benda melalui 'gambar'-nya yang terdapat didalam intelek tersebut. Oleh karena itu representasi atau wakil benda yang terdapat didalam intelek disebut idea. Jadi melalui dan didalam idea intelek melihat onjek. Sedangkan hal yang kita ketahui ( id quod per se primo intelligitur) adalah idea atau konsep onjektif.

Sedangkan konsep berasal dari kata latin: concipere, yang artinya mencakup, mengandung, mengambil, menyedot, menangkap. Dari kata concipere muncul kata benda conceptus yang berarti tangkapan. Intelek manusia, apabila menangkap sesuatu, terwujud dengan membuat konsep. Jadi konsep dan idea itu sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar