Laman

Jumat, 19 Maret 2010

Kecerdasan Emotional


Kecerdasan Emosional
Muhammad Alwi

Akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasanya emosi memancing tindakan, tampak jelas bila kita mengamati binatang atau anak – anak; hanya pada orang – orang dewasa yang “beradab” kita begitu sering menemukan perkecualian besar dalam dunia makhluk hidup. (lihat ; Paul Ekman, University of California di San Francisco.)
Emosi sangat berhubungan dengan fisiologis kita. Naiknya alis mata sewaktu terkejut (misalnya) memungkinkan diterimanya bidang penglihatan yang lebih lebar dan juga cahaya yang masuk ke retina. Reaksi ini membuka kemungkinan lebih banyak informasi tentang peristiwa tak terduga, sehingga memudahkan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan menyusun rencana rancangan tidakan yang terbaik. Dalam artian yang sesungguhnya, kita memiliki dua pikiran, satu yang berpikir dan satu yang merasa.
Kita dapat melihat pembunuhan dengan mutilasi (yang “tanpa” direncanakan, karena panic takut diketahui dst), bagaimana pembunuhan atau pembakaran anak oleh orang tuanya sendiri? (panic, dan timbul penyesalan sesaat setelah kejadian), bagaimana seorang suami mengajak ketiga anaknya bunuh diri, karena jengkel dengan mertuanya. Bagaimana petinju Mick Tyson saat menggigit Evander Holifeld, atau Zidane, saat menanduk Camarrosa (difinal piala dunia, antara Italia dan Prancis), juga wartawan Iraq yang melempar sepatu ke presiden AS George W. Bush. Dan masih banyak yang lain, ledakan-ledakan emosi sesaat yang kadang kurang rasional. Lihat bagaimana Nashim Hamid, Muhammad Ali sering mengalahkan lawannya bukan karena kemampuan pukulannya, tetapi karena kemampuan mempermainkan emosi lawan-lawannya. Emosi cenderung menggurangi daya kritis dan kemampuan logika kita.
Ledakan emosional semacam itu merupakan pembajakan saraf. Bukti menunjukkan bahwa pada saat – saat tersebut, pusat dalam otak limbik mengumumkan adanya keadaan darurat, sambil menghimpun bagian – bagian lain otak untuk mendukung agendanya yang mendesak. Pembajakan tersebut berlangsung seketika, dan memicu reaksi atas momen penting sebelum neokorteks, bagian otak yang berpikir, memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi, misalnya memutuskan apakah tindakan itu merupakan gagasan yang baik. Ciri utama pembajakan semacam itu adalah begitu saat tersebut berlalu, mereka yang mengalaminya tidak menyadariapa yang baru saja mereka lakukan.
Pembajakan, kudeta saraf yang, sebagaimana akan kita lihat, berasal dari amigdala, sebuah pusat di otak limbik. Amigdala berfungsi sebagai semacam gudang ingatan emosional, dan dengan demikian makna emosional itu sendiri; hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali. Air mata, suatu tanda emosi khas manusia, dirangsang oleh amigdala dan oleh struktur di dekatnya yaitu gyrus cingulatus; digendong, dibelai – belai, atau dihibur dengan cara lain akan menyenangkan wilayah – wilayah otak yang sama ini, dan menghentikan isak tangis.
Amigdala berperan seperti perusahaan sekuriti dengan operator – operator yang siap siaga mengirimkan panggilan – panggilan darurat ke dinas pemadam kebakaran, polisi, dan tetangga, kapan saja sistem pengamanan rumah memberi isyarat bahaya. Bila amigdala membunyikan, misalnya, tanda bahaya rasa takut, organ itu mengirimkan pesan – pesan mendesak ke setiap bagian otak yang penting: organ tersebut memicu diproduksinya hormon bertempur-atau-kabur dalam tubuh, memobilisasi pusat pusat gerak, dan mengaktifkan sistem pembuluh darah dan jantung, otot, serta isi perut. Sirkuit – sirkuit lain amigdala memberi isyarat dikeluarkannya sejumlah kecil hormon norepinefrin untuk mempertinggi reaktivitas wilayah – wilayah otak yang penting, termasuk wilayah – wilayah yang membuat indra lebih waspada, pada pokoknya membuat otak siap siaga.
Tambahan sinyal dari amigdala memerintahkan kepada batang otak untuk menampilkan ekspresi wajah ketakutan, membekukan gerakan otot – otot yang tak ada hubungannya, mempercepat detak jantung dan meningkatkan tekanan darah, memperlambat pernapasan. Yang lain – lainnya memancangkan perhatian ke arah sumber rasa takut itu, dan mempersiapkan otot – otot untuk bereaksi sebagaimana layaknya. Secara serentak, sistem ingatan korteks diaduk – aduk untuk mendapatkan berkas pengalaman yang cocok dengan keadaan darurat yang sedang dihadapi, sambil menyingkirkan jalur – jalur pemikiran lain. (Analisis ini berdasarkan pada Jerome Kagan, Galen's Prophecy (New York: Basic Books, 1994)
LeDoux mengungkapkan bagaimana arsitektur otak memberi tempat istimewa bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu membajak otak. Penelitiannya telah membuktikan bahwa sinyal – sinyal indra dari mata atau telinga telah lebih dahulu berjalan di otak menuju talamus, kemudian—melewati sebuah sinaps tunggal—menuju ke amigdala; sinyal kedua dari talamus disalurkan ke neokorteks, yang mengolah informasi melalui beberapa lapisan jaringan otak sebelum otak sepenuhnya memahami dan pada akhirnya memulai respons yang telah diolah lebih dulu. (wawancara Goleman dengan Joseph LeDoux dalam The New York Times terbitan 15 Agustus 1989. Lihat juga Joseph LeDoux, “Emotional Memory Systems in the Brain”, Behavioral Brain Research, 58, 1993; Joseph LeDoux, “Emotion, Memory and the Brain”, Scientific American, Juni, 1994; Joseph LeDoux, “Emotion and the Limbic System Concept”, Concepts in Neuroscience, 2, 1992).
Apabila hippocampus mengingat fakta – fakta mentah, amigdala menyisipkan nuansa emosional yang melekat pada fakta – fakta itu. Seandainya kita mencoba menyalip sebuah mobil di jalan dua arah dan hampir mengalami tabrakan langsung, maka hippocampus menyimpan rincian peristiwa tersebut, misalnya penggal jalan manakah yang kita lewati itu, siapa yang bersama kita, seperti apakah rupa mobil lainnya itu. Tetapi, amigdala-lah yang kemudian terus – menerus akan mengirimkan gelombang kecemasan kepada kita kapan saja kita mencoba menyalip sebuah mobil dalam keadaan yang serupa.
Di bawah beban stres (atau kecemasan, atau bisa jadi bahkan dalam kegembiraan yang meluap – luap), suatu saraf yang menghubungkan otak ke kelenjar – kelenjar adrenalin di puncak ginjal akan memicu sekresi hormon epinefrin dan norepinefrin, yang mengalir ke seluruh tubuh agar tubuh siap menghadapi keadaan darurat. Hormon – hormon ini menggiatkan reseptor – reseptor di saraf vagus; ketika saraf vagus membawa pesan – pesan dari otak untuk mengatur jantung, saraf tersebut juga membawa sinyal – sinyal kembali ke otak, yang dirangsang oleh epinefrin dan norepinefrin. Amigdala adalah tujuan utama sinyal – sinyal ini dikirim ke otak; sinyal – sinyal itu menggiatkan neuron – neuron di dalam amigdala untuk memberi sinyal ke wilayah – wilayah lain di otak guna memperkuat ingatan tentang apa yang sedang terjadi. (lihat pembahasan James McGaugh, PhD, peneliti dari Universitas California di Irvine diatas).
LeDoux meninjau peran amigdala dalam masa kanak – kanak untuk mendukung apa yang telah lama menjadi prinsip dasar pemikiran psikoanalisis: bahwa interaksi – interaksi tahun – tahun awal dalam kehidupan menjadi dasar serangkaian pembelajaran emosi berdasarkan pada kebiasaan dan gangguan yang ada dalam hubungan antara bayi dan pengasuhnya. Pembelajaran emosi ini demikian kuat pengaruhnya namun begitu sulit dipahami dari sudut pandang kehidupan orang dewasa karena, menurut LeDoux, pembelajaran tersebut disimpan dalam amigdala sebagai cetak biru yang mentah dan tanpa keterangan apa pun dalam kehidupan emosianal. Karena ingatan emosional paling awal ini terbentuk pada saat bayi belum mempunyai perbendaharaan kata dalam pengalaman mereka, maka ketika ingatan emosional ini dipicu dalam kehidupan di kemudian hari, tidak ada rangkaian pikiran terartikulasi yang cocok dengan respons yang menguasai kita. Dengan demikian, salah satu alasan kita dapat begitu dibingungkan oleh ledakan emosi kita adalah karena ledakan itu sering kali berasal dari masa – masa awal kehidupan kita, ketika segala sesuatunya begitu membingungkan dan kita belum mempunyai perbendaharaan kata untuk memahami peristiwa – peristiwa yang terjadi. Barangkali kita mempunyai perasaan kacau tersebut, tetapi tidak memiliki kata – kata bagi ingatan yang membentuknya. (Pembahasan yang paling mendetail tentang tahun – tahun awal serta akibat – akibat emosional perkembangan otak dalam Allan Schore, Affect Regulation and the Origin of Self (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1994).
Itulah sebabnya mengapa bila kita sedang kacau secara emosional, biasa disebut “tidak bisa berpikir jernih”—dan mengapa kemurungan emosional terus – menerus dapat menciptakan kecacatan pada kemampuan intelektual seorang anak, sehingga melumpuhkan kemampuan belajarnya.
Dr. Antonio Damasio, seorang ahli neorologi pada University of Iowa College of Medicine, telah melakukan studi yang saksama tentang apakah sebetulnya yang cacat pada pasien – pasien yang menderita kerusakan sirkuit prefrontal-amigdala. Sistem pengambilan keputusan mereka cacat berat—dan toh mereka tidak menunjukkan penurunan IQ atau kemampuan kognitif sama sekali. Kendati kecerdasan mereka utuh, mereka membuat keputusan – keputusan yang menimbulkan bencana dalam kegiatan usaha dan kehidupan pribadi mereka, dan bahkan dapat terus – menerus terobsesi akan suatu keputusan yang amat sederhana seperti kapan membuat janji pertemuan. (Korteks prefrontal: Antonio Damasio, Descartes' Error: Emotion Reason and the Human Brain (New York: Grosset/Putnam, 1994)
*
Setinggi – tingginya, IQ menyumbang kira – kira 20 persen bagi faktor – faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan – kekuatan lain. Seorang pengamat menyatakan, “Status akhir seseorang dalam masyarakat pada umumnya ditentukan oleh faktor – faktor bukan IQ, melainkan oleh kelas sosial hingga nasib baik.” (Howard Gardner, “Cracking Open the IQ Box”, The American Prospect, Winter 1995).
Kecerdasan emosional: kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih – lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Meskipun ada orang – orang yang mengatakan bahwa IQ tidak dapat banyak diubah oleh pengalaman atau pendidikan, banyak ahli lain saat ini memperlihatkan bahwa kemampuan emosional yang penting itu benar – benar dapat dipelajari dan dikembangakan pada anak – anak—apabila kita berusaha untuk mengajarkannya.
Kehidupan emosional merupakan wilayah yang, sama pastinya dengan matematika atau kemampuan baca, dapat ditangani dengan keterampilan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan membutuhkan seperangkat keahlian tersendiri. Dan seberapa cakap seseorang dalam keahlian ini sangatlah penting untuk memperoleh gambaran mengapa seseorang bisa berkembang dalam kehidupan, sementara orang lain—dengan kecerdasan yang sama—mengalami kemandekan: keterampilan emosional adalah meta-ability, menentukan seberapa baik kita mampu menggunakan keterampilan – keterampilan lain mana pun yang kita miliki, termasuk intelektual yang belkum terasah.
Dengan mendorong anak – anak mengembangkan semua kemampuan yang nantinya sungguh – sungguh akan mereka perlukan untuk mencapai sukses, atau sekedar untuk memenuhi apa yang mereka kerjakan, sekolah menjadi ajang pendidikan yang melatih keterampilan menghadapi kehidupan. Kita harus mengurangi waktu kita untuk mengurutkan kepandaian anak dan lebih banyak meluangkan waktu untuk menolong mereka menemukan bakat dan kecakapan alamiah mereka dan memupuknya. Ada beratus – ratus cara untuk berhasil dan banyak, amat banyak, kemampuan yang berbeda – beda yang akan menolong Anda mencapai sukses.” (wawancara dengan Howard Gardner tentang teori kecerdasan gandanya dalam “Rethinking the Value of Intelligences Test”, dalam The New York Times Education Supplement (3 November 1996).
Kesimpulan Gardner adalah bahwa “skala kecerdasan Stanford-Binet tidak meramalkan kinerja yang sukses bila dibandingkan atau didasarkan pada subset yang konsisten pada kegiatan – kegiatan Spectrum”. Sebaliknya, nilai Spectrum memberi bimbingan jelas kepada orangtua dan para guru tentang wilayah – wilayah yang secara spontan akan diminati oleh anak – anak ini, dan yang merupakan bidang di mana mereka akan dapat mengembangkan minat sehingga pada suatu hari akan membuat mereka bukan hanya cakap melainkan amat ahli.
Ada satu dimensi kecerdasan pribadi yang secara luas dirujuk dalam elaborasi Gardner tetapi kurang dijelajahi: peran emosi. Barangkali hal ini dibiarkan demikian karena, sebagaimana dinyatakan model pikiran sains-kognitif. Oleh karena itu, pandangan tentang kecerdasan menekankan kognisi—pemahaman seseorang dan orang lain dalam hal motif, kebiasaan kerja, dan menempatkan pemahaman itu untuk dimanfaatkan dalam menghadapi hidup dan pergaulan dengan orang lain. Tetapi, sama halnya dengan wilayah kinestetik, yang padanya kecemerlangan jasmaniah menampakkan diri secara nonverbal, wilayah emosi ini pun meluas melampaui jangkauan bahasa dan kognisi.
“Banyak orang ber-IQ 160 bekerja pada orang – orang ber-IQ 100, apabila yang pertama kecerdasan intrapribadinya buruk dan yang terakhir kecerdasan intrapribadinya tinggi. Dan, sehari – hari, tak ada kecerdasan yang lebih penting daripada kecerdasan atarpribadi. Apabila Anda tidak memilikinya, Anda akan memilih hal – hal yang keliru mengenai siapa yang akan Anda nikai, pekerjaan yang akan Anda ambil, dan seterusnya. Kita harus melatih anak – anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi di sekolah.”
Tes murni IQ -tinggi (artinya menegesampingkan kecerdasan emosional ) hampir melupakan karikayur kaum intelektual, terampil di dunia tetapi canggung di dunia pribadi. Profil-profilnya sedikit berbeda untuk kaum pria dan wanita. Pria ber-IQ tinggi bercirikan tak mengherankan dengan serangkaian luas kemampuan dan minat intelektual. Penuh ambisi dan produktif, dapat diramalkan dan tekun, dan tidak dirisaukan oleh urusan-urusan oleh dirinya sendiri. Cenderung bersikap kritis dan meremehkkan, pilih-pilih dan malu-malu, kurang menikmati seksualitas dan pengalaman sensual, kurang ekspresif dan menjaga jarak, dan secara emosional membosankan dan dingin.
Sebaliknya, kaum pria yang tinggi kecerdasan emosionalnya, secara sosial mantab, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau gelisah. Mereka berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang – orang atau permasalahan, untuk memikul tanggung jawab, dan mempunyai pandangan moral; mereka simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan mereka. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar; mereka merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dunia pergaulan lingkungannya. Kaum wanita yang semata-mata ber-IQ tinggi mempunyai keyakinan intele yang tinggi, lancar mengukapkan gagasan, menghargai masalah – masalah intelektual, dan mempunyai minat intelektual dan estetika yang amat luas. Mereka juga cenderung mawas diri, mudah cemas, gelisah, dan merasa bersalah, dan ragu-ragu untuk mengukapkan kemarahan secara terbuka(meskipun melakukannya secara tidak lansung).
Kaum wanita yang cerdas secara emosionalnya cenderung bersikap tegas dan mengukapkan perasaan mereka secara langsung, memandang dirinya sendiri secara positif; kehidupan memberi makna bagi mereka. Sebagaimana kaum pria, mereka mudah bergaul dan ramah, serta mengukapkan perasaan mereka dengan takaran yang wajar (misalnya dengan meledak-ledak yang nanti akan disesalinya); mereka mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Kemantapan pergaulan mereka membuat mereka mudah menerima orang – orang baru; mereka cukup nyaman dengan dirinya sendiri sehingga selalu ceria, spontan dan terbuka terhadap pengalaman sensual. Berbeda dengan kaum wanita yang semata-mata ber-IQ tinggi, mereka jarang merasa cemas atau bersalah atau tenggelam dalam kemurunggan.
*
Metakognisi untuk menyebut kesadaran tentang proses berpikir, dan metamood untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Goleman menyebut istilah kesadaran diri, dalam artian perhatian terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Dalam kesadaran refleksi-diri ini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman termasuk emosi.
Menurut John Mayer, kesadaran diri berarti “waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati”. Respons yang muncul secara alami pada kita adalah tanda kecenderungan sikap mental perhatian kita bila menghadapi tekanan.
Aleksitimia, yang berasal dari Bahasa Yunani a- berarti “tidak memiliki”, lexis berarti “kata”, dan thymos berarti “emosi”. Orang semacam itu tidak memiliki perbendaharaan kata atas perasaan mereka. Sungguh, tampaknya mereka sama sekali tidak mempunyai perasaan, meskipun barangkali sebenarnya ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkan emosi, bukan karena tiadanya emosi sama sekali. “Mereka betul-betul ganjil, mirip makhluk asing, yang berasal dari dunia yang lain sama sekali, yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang dikuasai perasaan,” itulah gambaran yang diberikan oleh Dr. Peter Sifneos, psikiater dari Harvard yang pada tahun 1972 mencetuskan istilah aleksitimia.
Penderita aleksitimia jarang menangis, misalnya, tetapi seandainya menangis, air matanya mengucur deras. Namun, mereka akan kelabakan bila ditanya apa sebabnya mereka menangis. Salah seorang pasien aleksitimia begitu marahnya setelah menyaksikan film yang menceritakan seorang wanita dengan delapan anak yang disongsong maut karena kanker, sehingga pasien itu menangis sendiri sampai tertidur. Ketika terapisnya mengatakan bahwa barangkali pasien itu marah karena film tersebut mengingatkannya akan ibunya sendiri yang betul-betul sekarat karena kanker, wanita itu duduk terpaku, bingung dan diam. Ketika terapisnya kemudian menanyakan bagaimana perasaannya pada saat itu, ia menjawab bahwa ia merasa “tidak enak”, tetapi tidak dapat menjelaskan perasaannya lebih dari itu. Dan , ia menambahkan, dari waktu ke waktu ia sering menangis, tatapi tak pernah tahu pasti apa yang ditangisinya. (Deskripsi aleksitimia berasal dari Peter Sifeneos, “Affect, Emotional Conflict, and Deficit: An Overview”, Psychotherapy-and-Psychosomatics 56 (1991), pp. 166-22).
Kekacauan dasariah akan perasaan seperti itu tampaknya sering kali membuat mereka mengeluhkan masalah kesehatan yang tidak jelas padahal sebenarnya mereka sedang mengalami tekanan emosional—gejala yang dikenal dalam ilmu psikiatri sebagai somatisasi, yaitu keliru menafsirkan sakit emosional sebagai sakit fisik (dan dibedakan dari penyakit psikosomatis, di mana masalah emosional menyebabkan timbulnya penyakit medis yang sesugguhnya). Harus diakui bahwa sebagian besar minat psikiatri terhadap penderita aleksitimia adalah untuk memilah mereka dari orang-orang yang memang datang untuk berobat, sebab para penderita itu cenderung mengejar diagnosis medis dan pengobatan yang lama—dan sia sia—untuk hal yang sebenarnya merupakan masalah emosional.
Apa yang menyebabkan aleksitimia, Dr. Sifneos berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh putusnya hubungan antara sistem limbik dengan neokorteks, terutama pusat-pusat verbal, yang amat cocok dengan yang kita ketahui tentang otak emosional.
Antonio Damasio, ahli neurologi yang dikunjungi Elliot, terkejut karena ada salah satu unsur yang hilang dari repertoar mental Elliot: meskipun tidak ada yang salah pada logika, ingatan, perhatian, atau kemampuan kognitif lainnya, Elliot praktis tidak mengetahui apa perasaannya atas hal-hal yang terjadi pada dirinya. (Damasio, dalam Descartes' Error). Bila perasaan yang kelewat kuat dapat menciptakan kekacauan dalam penalaran, tiadanya kesadaran perasaan dapat pula menjadi bencana, terutama dalam mempertimbangkan keputusan-keputusan yang amat menentukan nasib kita selanjutnya. Misalnya; karier yang akan dikejar, apakah bertahan pada pekerjaan yang aman-aman saja atau berpindah kepekerjaan yang lebih beresiko tetapi lebih menarik, teman yang mesti diakrabi atau teman yang akan dikencani atau dengan siapa dia akan kawin. Hal-hal semacam ini tidak mungkin hanya menggunakan logika saja, tetapi hal-hal yang memerlukan emosi. Isyarat intuitif yang menuntun kita pada momen-momen semacam itu muncul dalam bentuk dorongan yang digerakkan oleh limbik dari ruang batin yang oleh Damasio disebut “penanda somatik”—secara harfiah, suara hati. Penanda somatik adalah sejenis alarm automatis, biasanya untuk menarik perhatian ke arah bahaya potensial yang berasal dari serangkaian tindakan tertentu. Kadang-kadang penanda ini membimbing kita menjauhi pikiran yang telah diperingatkan oleh pengalaman kepada kita, meskipun penanda-penanda itu dapat pula membuat kita jeli akan adanya peluang emas.
Menurut logika ilmu saraf, apabila tiadanya suatu sirkuit saraf menimbulkan cacat pada suatu kemampuan, maka kekuatan atau kelemahan relatif sirkuit yang sama pada orang yang otaknya utuh seharusnya memiliki tingkat kecakapan yang sebanding dalam kemampuan tersebut. Karena itulah sebagian kita ada yang lebih mudah sadar-diri disbanding yang lain.
Sebagaimana dijelaskan oleh Freud, sebagian besar kehidupan emosional berada dalam alam bawah sadar; perasaan-perasaan yang bergejolak dalam diri kita tidaklah senantiasa melintasi ambang kesadaran. Pembuktian empiris aksioma psikologis ini berasal, misalnya dari percobaan-percobaan terhadap emosi bawah sadar. Contohnya, penemuan menakjubkan yang memperlihatkan orang membentuk rasa suka yang jelas untuk hal-hal yang bahkan tanpa mereka sadari telah mereka lihat sebelumnya. Setiap emosi dapat—dan sering kali—di bawah sadar.
*

Penguasaan diri; Kata Yunani kuno untuk kemampuan ini adalah sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali”, sebagaimana diterjemahkan oleh Page DuBois, seorang pakar Bahasa Yunani. Dalam kalkulus perasaan, rasio antara emosi positif dan negatif-lah yang menentukan rasa sejahtera itu—setidak-tidaknya begitulah kesimpulan studi yang mengkaji suasana hati dimana ratusan kaum pria dan wanita membawa radio panggil yang sewaktu-waktu “memanggil” untuk mencatat emosi mereka saat itu. Intinya, bukan menjauhi perasaan tak menyenangkan agar selalu bahagia, namun tidak membiarkan perasaan menderita berlangsung tak terkendali sehingga menghapus semua suasana hati yang menyenangkan. (Tentang detail-detail mengenai perbandingan antara perasaan dan kesejahteraan yang positif dan yang negatif, lihat Ed Diener dan Randy J. Larsen, “The Experience of Emotional Well-Being”, dalam Michael Lewis dan Jeannete Haviland, eds., Handbook of Emotions (New York: Guilford Press, 1993). Studi-studi ini juga menegaskan terpisahnya kecerdasan emosional dari kecerdasan akademi, dan menemukan kecilnya hubungan antara nilai tes prestasi akademik atau IQ dan perasaan sejahtera emosional seseorang.
Benjamin Franklin dapat merumuskannya dengan bagus. “Amarah itu tak pernah tanpa alasan, tetapi jarang yang alasannya benar.” Mengingatkan akar masalah terletak pada respons bertempur-atau-kabur, tidaklah mengherankan apabila Zillmann menemukan bahwa pemicu amarah yang universal adalah perasaan terancam bahaya. Kesedihan memaksa orang untuk beristirahat dari kesibukan duniawi, dan merenungkan hikmahnya, dan pada akhirnya membuat penyelesaian psikologis serta menyusun rencana-rencana baru yang akan memingkinkan hidup kita terus berjalan.
*

Seligman mendefinisikan optimisme dalam kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan dan kegagalan mererka, orang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil dalam masa-masa mendatang; sementara orang yang pesimis menerima kegagalan bagai kesalahannya sendiri, menanggapnya berasal dari pembawaan yang telah mendarah daging yang tak dapat mereka ubah.
Ujian masuk perguruan tinggi mengukur, bakat sedangkan gaya pemaparan penjelasan mengunkapkan pada anda siapa yang akan menyerah. Kombinasi antara bakat nalar dan kemampuan untuk pantang mundur kala dihadang kekalahan inilah yang membawa keberhasilan. Yang tidak ditemukan pada tes-tes kemampuan adalah motivasi. Apa yang anda perlu ketahui tetang seseorang adalah apakah mereaka pantang meyerah takala segala sesuatunya mengecewakan. Yang perlu diingat bahwa untuk tingkat kecerdasan tertentu, prestasi aktual anda merupakan fungsi yang bukan bakat saja, melainkan juga kemampuan untuk bertahan bila kalah. (LIHAT BUKU BERANI GAGAL)
Keyakinan seseorang seseorang akan kemampuannya berpengaruh besar terhadap kemamapuan itu. Kemampuan bukanlah sesuatu yang terpatok mati; ada keragaman besar kepada bagaimana kinerja anda. Orang yang memiliki kepekaan pendayagunaan diri akan bangkit kembali dari kegagalan; mereka melakukan pendekatan pada semua hal dengan kerangka berpikir bagaimana menangani hal-hal tersebut, bukannya merisaukan apa yang mungkin tidak beres. (The new york times (8 mei 1988). Strategi yang digunakan oleh banyak sekolah yang mempraktekkan model kecerdasan ganda Gardner berkisar di seputar bagaimana menemukan profil keterampilan alamiah seorang anak serta mempertajam kelebihan-kelebihannya sekaligus berusaha mengatasi kelemahannya. Seorang anak yang secara alamiah berbakan musik atau olah gerak, misalnya, akan lebih mudah masuk ke dalam flow pada bidang tersebut daripada di bidang yang kurang mampu ditanganinya. Mengetahui profil seorang anak dapat menolong seorang guru menyesuaikan dengan tepat cara penyajian suatu topik kepada si anak dan memberikan pelajaran-pelajaran pada tingkat—mulai dari permulaan sampai tingkat lanjut—yang membuka kemungkinan adanya tantangan yang optimal. Cara ini akan membuat belajar menjadi lebih menyenangkan, tidak menakutkan atau membosankan. “Harapannya adalah agar ketika anak-anak mencapai flow dalam belajar, mereka akan berani menghadapi tantangan di bidang-bidang baru,” kata Gander, sambil menambahkan bahwa pengalaman menunjukkan bahwa memang demikian halnya.

*

Psikopati, yaitu ketidakmampuan untuk merasakan empati atau belas kasihan dalam bentuk apapun, atau sentuhan nurani paling tipis sekalipun, merupakan salah satu dari cacat emosional yang sangat membingungkan. Permasalahan utama tak berperasaannya psikopat tampaknkya terletak pada ketidakmampuannya untuk menjalin hubungan emosi, selain hubungan yang paling dangkal. Penjahat-penjahat yang kejam seperti pembunuh-pembunuh sadis berantai yang menikmati penderitaan korban-korbannya sebelum korban-korban itu tewas, merupakan contoh psikopati. (Sifat-sifat psikopati itu dilukiskan secara lebih mendetail dalam The New York Times terbitan 7 juli 1987).
Penelitian pada para psikopat menunjukkan; gelombang otak manusia diukur sewaktu mereka berusaha untuk menguraikan kata-kata yang telah diacak. Kata-kata itu ditayangkan dengan sangat cepat, kurang lebih hanya selama sepersepuluh deti. Reaksi sebagian besar orang akan berbeda terhadap kata-kata emosional seperti membunuh daripada terhadap kata-kata netral seperti kursi. Mereka dapat lebih cepat memutuskan jika kata emosional yang diacak, dan otak mereka memperlihatkan suatu pola gelombang khas sebagai respon terhadap kata emosional tadi, tetapi tidak terhadap kata-kata yang netral. Tetapi, psikopat tidak memberi respon keduanya. Otak mereka memperlihatkan pola khas dalam merespon kata-kata emosioal, dan mereka pun tidak memberi respon yang lebih cepat terhadap kata-kata itu. Hal ini menyiaratkan rusaknya sirkuit-sirkuit antara korteks verbal yang mengenali kata tersebut, dengan otak limbik yanga memberi makna.
*

Mengangani emosi orang lain—seni yang mantap untuk menjalin hubnungan—membutuhkan kematangan dua keterampilan emosi lainnya yaitu menejemenkan diri dan empati. Dengan landasan ini, “Keterampilan berhubungan dengan orang lain” akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain; tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapakan dalam dunia sosial atau berulangnya bencana antarpribadi. Sesungguhnya, karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang otaknya paling encer-pun dapat gagal dalam membina hubungan mereka, karena penampilannya angkuh, mengganggu, atau tak berperasan. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman.
Didikan dalam hal tata krama tampilan ini lebih sering dilakukan melaluli contoh tindakan: anak-anak belajar berbuat sesuatu melalui apa yang dilihatnya dilakukan orang. Dalam pembelajaran perasaan, emosi adalah medium sekaligus pesan. Apabila seorang anak disuruh “tersenyum dan mengucapkan terima kasih” oleh orangtuanya dengan cara yang, pada saat itu, kasar, memaksa, dan tak mempedulikan perasaan—yang menyampaikan pesannya dengan mendesiskan bukannya membisikkannya dengan lembut—anak itu kemungkinan besar mendapat pelajaran dengan cara yang amat berbeda, dan menanggapi kakeknya dengan cemberut serta ucapan “terima kasih” yang pendek dan datar. Pengaruh respons ini terhadap si kakek amat berbeda: pada kasus pertama, ia bahagia (meskipun disesatkan); dalam kasus kedua, ia merasa terluka akibat pesan campuran itu.
Emosi itu menular. Sebagian besar penularan emosi jauh lebih tak kentara, merupakan bagian dari “transmisi” yang diam-diam berlangsung dalam setiap perjumpaan. Bila dua orang melakukan interaksi, arah perpindahan suasana hati adalah dari orang yang lebih kuat dalam mengungkapkan perasaannya menuju ke orang yang lebih pasif. Tetapi, beberapa orang rentan terhadap penularan perasaan, kepekaan bawaan mereka membuat sistem saraf (penanda kegiatan emosional) lebih mudah dipicu. Kelabilan ini tampaknya membuat mereka leibh mudah terpengaruh; iklan-iklan sentimentil membuat mereka menangis, sementara percakapan singkat dengan seorang yang sedang bergembira dapat menyenangkan hati mereka (hal ini dapat juga membuat mereka bersikap lebih empatik, sebab mereka lebih mudah dipengaruhi perasaan orang lain).
Biasanya, pendatang-pendatang baru (dalam suatu kelompok) sekadar melihat-lihat dulu sejenak, kemudian bergabung pelan-pelan pada awalnya, kemudian menunjukkan keberadaannya dengan langkah yang amat hati-hati. Yang paling menentukan apakah seorang anak diterima atau tidak adalah bagaimana kemampuannya memasuki kerangka acuan kelompok tersebut, meraba-raba jenis permainan apa yang sedang berlangsung, apa yang tidak berkenan bagi kelompok tersebut. Dua kesalahan besar yang hampir selalu menimbulkan penolakan adalah terlampau cepat mencoba menunjukkan keberadaan diri dan tidak menyelaraskan diri dengan kerangka acuan kelompok. Tetapi, justru cara ini yang cenderung dilakukan oleh anak-anak yang kurang populer: mereka memaksakan kehendaknya ke dalam kelompok, berusaha mengubah subjek dengan mendadak atau terlampau dini, atau menawarkan pendapat orang-orang lain—semuanya merupakan usaha terang-terangan untuk menarik perhatian kepada diri sendiri.
*

flooding—keterjepitan—untuk kerawanan terhadap beban stres emosional yang kerap terjadi ini; suami atau istri yang terjepti menjadi begitu terkungkung oleh keburukan pasangan mereka serta reaksi mereka sendiri atasnya, sehingga mereka dilumpuhkan oleh perasaan kacau yang tak terkendalikan. Orang yang terjepit tidak dapat mendengar tanpa adanya distorsi atau merespons dengan pikiran jernih; mereka merasa sulit untuk mengatur pikirannya, dan mereka terperangkap untuk menggunakan reaksi-reaksi primitif. Mereka menghendaki agar segala sesuatunya selesai, atau ingin lari atau, terkadang, ingin membalas. Flooding merupakan pembajakan emosi yang memantapkan diri. Ada orang yang ambang floding-nya tinggi (kuat menahan amarah dan penghinaan), ada yang rendah. Deskripsi teknis flooding dapat dilihat dari naiknya detak jantung dari tingkat normal. (Flooding: Gottman, What Predicts Divorce). Flooding mulai terjadi pada kurang lebih tambahan detak jantung 10 denyutan per menit di atas keadaan istirahat seseorang;
Alasan bahwa kaum pria begitu gampang membisu, menurut Gottman, adalah untuk melindungi diri mereka sendiri dari flooding; penelitian membuktikan bahwa begitu mereka mulai membisu, laju detak jantung mereka turun kurang lebih 10 denyut per menit, menyebabkan timbulnya perasaan nyaman subjektif. Kaum pria perlu berhati-hati agar jangan sampai memotong pertengkaran dengan menawarkan suatu penyelesaian praktis yang terlampau dini—lazimnya, penting bagi istri bahwa ia merasa suaminya bersedia mendengarkan keluhannya dan berempati terhadap perasaannya mengenai masalah yang dibicarakan (meskipun suami tidak harus sepakat dengnan Istrinya).
*

Hary Levinson, seorang psikoanalis yang menjadi konsultan perusahaan, memberi nasihat berikut tentang seni menyampaikan kritik, yang secara rumit dapat terjalin dengan seni.
1) Langsung pada sasaran. Sodorkan insiden yang nyata, suatu kejadian yang menggambarkan masalah utama yang membutuhkan perubahan atau pola baru untuk suatu kekurangan, misalnya ketikdakmampuan dengan baik. Orang akan patah semangat bila sekadar diberitahu bahwa mereka melakukan “sesuatu” yang keliru tanpa mengetahui apa permasalahan sesungguhnya yang dapat mereka perbaiki. Kritik harus difokuskan langsung pada sasaran, memaparkan apa yang sudah dilakukan dengan baik, apa yang masih kurang, dan bagaimana memperbaikinya. Jangan berbelit-belit atau berputar-putar atau berusaha menghindar; tindakan tersebut hanya akan mengaburkan pesan sebenarnya. Tentu saja, nasihat ini serupa dengan nasihat bagi pasangan suami istri yang suka mengeluh dengan model “XYZ” sebaiknya ungkapkan apa masalah sesungguhnya, apa yang keliru atau bagaimana perasaan Anda, dan apa yang dapat diperbaiki.
2) Tawarkan suatu solusi. Kritik, seperti halnya umpanbalik yang bermanfaat, seharusnya mengajukan cara untuk memperbaiki masalah itu. Kalau tidak, maka kritik akan membuat yang terkena kecewa, patah semangat, atau kehilangan motivasi. Kritik dapat membukakan pintu ke arah kemungkinan-kemungkinan dan alternatif-alternatif yang tidak disadari oleh orang tersebut atau sekadar menggugah kekurangan-kekurangan yang perlu diperhatikan—tetapi kritik harus meliputi saran-saran tentang bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan.
3) Lakukan secara tatap muka. Kritik, seperti halnya pujian, akan sangat efektif apabila dilakukan secara tatap muka dan suasana pribadi. Orang yang merasa tidak enak untuk mengkritik—atau memuji—cenderung mengurangi ketidakenakannya dengan melakukan kritik secara tidak langsung, misalnya dengan memo. Tetapi, ini membuat komunikasinya kurang mempribadi, dan menghapus peluang orang yang menerimanya untuk memberi respons atau penjelasan.
4) Peka. Peka merupakan unsur berempati, untuk memahami pengaruh yang Anda katakan dan bagaimana Anda mengatakannya pada orang yang menerima. Para manajer yang empatinya rendah, kata Levinson, sering kali menyampaikan umpanbalik dengan cara yang menyakitkan hati, misalnya dengan cara yang meruntuhkan semangat. Efek kritik semacam itu bersifat destruktif: bukannya membuka jalan menuju perbaikan, kritik semacam itu menciptakan reaksi yang keliru dalam bentuk rasa benci, sakit hati, sikap defensif, dan menjauh.

Akar prasangka (antar-etnis, agama, madzab). Tingginya tingkat loyalitas secara psikologis terhadap kelompok dapat merupakan antipati terhadap kelompok lain, terutama apabila ada riwayat panjang permusuhan antarkelompok tersebut. “Emosi prasangka terbentuk dimasa kanak-kanak, sedangkan keyakinan untuk pembenarannya muncul belakangan,” begitu penjelasan Thomas Pettigrew, sorang ahli psikologi sosial pada University of California di Santa Cruz. Bila bias yang sudah mendarah daging tak dapat disingkirkan begitu saja, yang dapat diubah adalah apa yang mereka lakukan berdasarkan bias tersebut. Tindakan sederhana yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah tindakan berprasangka atau dengan melarang melakukannya pada saat itu juga akan menciptakan atmosfer sosial yang tidak menghendaki adanya bias; sikap diam berarti menyetujui bias. (lihat Fletcher Blanchard, “Reducing the Expression of Racial Prejudice”, Psychological Science (vo. 2, 1991).
Lebih praktis untuk berusaha menekan ekspresi prasangka daripada berusaha untuk menyingkirkan sikap itu sendiri, pendapat stereotip berubah amat lambat, bila memang berubah. Sekadar mencampurkan kelompok-kelompok yang berbeda untuk mengupayakan tercapainya sikap tenggang rasa, manfaatnya hamper tak terasa atau bahkan samasekali tidak ada gunanya. Kelompok kerja yang memiliki kelebihan dan perspektif yang beraneka ragam, apabila kelompok itu mampu bekerja dengan harmonis, cenderung memiliki pemecahan yang lebih baik, lebih kreatif, dan lebih efektif daripada kelompok yang bekerja secara terpisah.
Di penghujung abad ini, sepertiga dari angkatan kerja Amerika akan diisi oleh “pekerja pintar”, orang yang produktivitasnya ditandai dengan bertambahnya nilai pada informasi—entah sebagai analis pasar, pengarang, atau pemrogram komputer. Peter Drucker, pakar bisnis terkemuka yang mencetus istilah “pekerja pintar”, mengutarakan bahwa kemahiran pekerja-pekerja semacam itu betul-betul terfokus, dan bahwa produktivitas mereka bergantung pada upaya mereka yang dikoordinasikan sebagai bagian dari tim organisasi: pengarang bukanlah penerbit, pemrogram komputer bukanlah distributor perangkat lunak. Walaupun orang biasanya selalu bekerja bersama-sama, kata Drucker, dengan kerja pintar, “tim menjadi unit kerja yang utuh, bukan individu itu sendiri.” (Peter Drucker, “The Age of Social Transformation”, The Atlantic Monthly (November 1994).
Kapan pun orang berkumpul untuk bekerja sama, baik dalam rapat perencanaan eksekutif atau dalam tim yang bekerja untuk menyatakan adanya IQ kelompok, yaitu total himpunan bakat dan keterampilan orang-orang yang terlibat. Dan, seberapa baik mereka menyelesaikan tugasnya ditentukan oleh tingginya IQ itu. Unsur tunggal paling penting pada kecerdasan kelompok, ternyata, bukanlah IQ rata-rata dalam artian akademis, melainkan “IQ” dalam artian kecerdasan emosional. Kunci bagi IQ-kelompok yang tinggi adalah keselarasan sosial. Kemampuan untuk menyelaraskan diri inilah, dengan asumsi segala sesuatunya setara, akan membuat suatu kelompok menjadi amat berbakat, produktif, dan sukses, sedangkan kelompok lain—dengan anggota-anggota yang bakat serta keterampilannya setara untuk segi-segi lain—akan gagal. Orang yang terlampau berhasrat untuk ikut ambil bagian justru menjadi penghambat kelompoknya, sehingga menurunkan kinerja kelompok secara keseluruhan; mereka yang amat bernafsu itu terlampau mengurusi ini itu atau menguasai. Orang-orang semacam itu agaknya kurang menguasai unsur-unsur dasar kecerdasan sosial, yaitu kemampuan untuk mengenali apa yang pas dan apa yang tidak pas dalam hubungan saling memberi-dan-menerima. Faktor buruk lainnya adalah sikap diam, anggota-anggota yang tidak mau berperan serta. Pandangan yang lebih canggih terhadap jaringan informal memperlihatkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga variasi jaringan informal: jaringan komunikasi—siapa berbicara dengan siapa; jaringan keahlian, berdasarkan pada siapa yang diminta nasihat; dan jaringan kepercayaan. Orang-orang yang menonjol dalam suatu organisasi sering kali adalah orang-orang yang mempunyai hubungan-hubungan yang erat di semua jaringan, entah itu jaringan komunikasi, keahlian, atau kepercayaan.
*

Bagi pasien, setiap perjumpaan dengan pesawat atau dokter berarti adanya peluang untuk memperoleh informasi yang menenangkan, rasa nyaman, dan pelipur lara—atau, apabila salah penanganan, berarti undangan untuk berputus asa. Tentunya, tidak dalam setiap kasus atau setiap kondisi. Tetapi, melihat data dari beratus-ratus kasus, terdapat peningkatan manfaat medis secara rata-rata yang menandakan bahwa intervensi emosional layak dijadikan sebagai bagaian dari standar perawatan medis untuk penyakit-penyakit berat. Ada pula ideologi yang sama tidak produktifnya pada sisi yang berlawanan: yaitu anggapan bahwa orang dapat menyembuhkan dirinya sendiri bahkan dari penyakit yang paling berbahaya dengan sekadar membuat dirinya bahagia atau memikirkan hal-hal positif, atau bahwa entah bagaimana mereka harusnya disalahkan karena mengidap penyakit.
Robert Ader, seorang ahli psikologi, menemukan bahwa sistem kekebalan tubuh, seperti halnya otak, mampu belajar. Hasilnya amat mengejutkan; pendapat yang umum berlaku dalam ilmu kedokteran adalah bahwa otak dan sistem saraf pusat yang mampu menanggapi pengalaman dengan mengubah perilaku mereka. Mudah marah adalah alat prediksi terjadinya kematian pada usia muda yang lebih akurat daripada faktor-faktor risiko lain seperti merokok, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi. Dalam The Merry Adventures of Robin Hood, Robin menasihati seorang pengikut muda: “Ceritakanlah kesulitanmu dan bicaralah dengan terbuka. Mengalirkan kata-kata senantiasa meringankan hati yang duka; seperti mengeluarkan debu yang menyumbat penggilingan.”
Kesehatan dan ilmu kedokteran mestinya memanfaatkan kecerdasan emosional dengan;
1) Membantu orang-orang untuk pandai mengelola perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan –amarah, kecemasan, depresi, pesimisme dan kesepian –sebagai suatu bentuk pencegahan penyakit.
2) Banyak pasien memperoleh manfaat besar apabila kebutuhan psikologisnya terpenuhi seiring dengan terpenuhinya kebutuhan murni medisnya.
*

Ada ratusan penelitian yang memperlihatkan bahwa cara orangtua memperlakukan anak-anaknya—entah dengan disiplin yang keras atau pemahaman empatik, entah dengan ketidakpedulian atau kehangatan, dan sebagainya—berakibat mendalam dan permanen bagi kehidupan emosional si anak. Sejumlah ayah dan ibu sama seperti Ann dan Carl: suka memaksa, kehilangan kesabaran menghadapi ketidakmampuan anaknya, meninggikan suara dengan nada mencemooh atau putus asa, bahkan ada yang mencap anaknya “tolol”—pendek kata, menjadi mangsa kecenderungan-kecenderungan yang sama ke arah penghinaan dan kebencian yang menggerogoti kehidupan perkawinan. Namun, orangtua lainnya bersikap sabar terhadap kesalahan yang dibuat anaknya, membantu anak mencoba permainan itu menurut caranya sendiri, bukannya memaksakan kehendak mereka.
Tiga gaya mendidik anak yang secara emosional pada umumnya tidak efisien adalah:
1) Samasekali mengabaikan perasaan. Orangtua semacam ini memperlakukan masalah emosional anaknya sebagai hal kecil atau gangguan, sesuatu yang mereka tunggu-tunggu untuk dibentak. Mereka gagal memanfaatkan momen emosional sebagai peluang untuk menjadi lebih dekat dengan anak, atau untuk menolong anak memperoleh pelajaran-pelajaran dalam keterampilan emosional.
2) Terlalu membebaskan. Orangtua ini peka akan perasaan anak, tetapi berpendapat bahwa apa pun yang dilakukan anak untuk menangani badai emosinya sendiri itu baik adanya—bahkan misalnya dengan cara memukul. Seperti orangtua yang mengabaikan perasaan anaknya, orangtua jenis ini jarang berusaha memperlihatkan kepada anaknya respons-respons emosional alternatif. Mereka mencoba menenangkan semua kekecewaan dan, misalnya, akan menggunakan tawar-menawar serta suap agar anak berhenti bersedih hati atau marah.
3) Menghina, tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak. Orangtua semacam ini biasanya suka mencela, dan menghukum keras anak mereka. Misalnya, mereka mencegah setiap ungkapan kemarahan anak dan menjadi kejam bila melihat tanda kemarahan paling kecil sekali pun. Mereka adalah orangtua yang akan berteriak dengan marah pada anak yang mencoba menyampaikan alasannya, “Jangan membantah!”.

Anak-anak, kata Brazelton, “perlu memahami bagaimana tindakan mereka dapat membantunya membangkitkan keyakinan, rasa ingin tahu, kenikmatan belajar, dan memahami batas-batas”—hal-hal yang menolong anak-anak untuk meraih sukses dalam kehidupan. Sukses di sekolah sebagian besar sangat bergantung pada watak-watak emosional yang terbentuk selama tahun-tahun sebelum seorang anak masuk sekolah. Kesempatan pertama untuk membentuk unsur-unsur kecerdasan emosional terletak pada tahun-tahun paling awal, meskipun kemampuan ini terus terbentuk sepanjang masa sekolah. Kemampuan emosional yang diperoleh anak dalam kehidupannya di kemudian hari bergantung pada kemampuan paling awal itu. Dan, kemampuan ini, merupakan dasar sangat penting bagi semua pelajaran. Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukanlah diramalkan oleh kumpulan fakta seorang anak atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku apa yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk, dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhannya saat bergaul dengan anak-anak lain. (Peramal emosional untuk keberhasilan di sekolah: Herart Start.)
Kesiapan seorang anak untuk masuk sekolah bergantung pada hal yang paling dasar di antara semua pengetahuan, yaitu bagaimana belajar. Laporan itu mendaftar tujuh unsur utama kemampuan yang sangat penting ini—semuanya berkaitan dengan kecerdasan emosional.
1. Keyakinan. Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia; perasaan anak bahwa ia lebih cenderung berhasil daripada tidak dalam apa yang dikerjakannya, dan bahwa orang-orang dewasa akan bersedia menolong.
2. Rasa ingin tahu. Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan kesenangan.
3. Niat. Hasrat dan kemampuan untuk berhasil, dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun. Ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.
4. Kendali diri. Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia; suatu rasa kendali batiniah.
5. Keterkaitan. Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada perasaan saling memahami.
6. Kecapakapan berkomunikasi. Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan, dan konsep dengan orang lain. Ini ada kaitannya dengan rasa percaya pada orang lain dan kenikmatan terlibat dengan orang lain, termasuk orang dewasa.
7. Koperatif. Kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan berkelompok. (Unsur-unsur kehdupan bersekolah: Heart Star, p.7)

Tiga atau empat tahun pertama dalam hidup merupakan periode di mana otak anak tersebut tumbuh hingga kurang lebih dua pertiga ukuran normal usia dewasa, dan berkembang kerumitannya dengan laju yang lebih cepat daripada yang pernah akan terjadi setelahnya. Selama periode ini, jenis-jenis proses pembelajaran penting berlangsung lebih mudah daripada periode berikutnya dalam kehidupan—yang paling utama di antaranya adalah pembelajaran emosi. Selama periode ini, ketegangan yang hebat dapat merusak pusat-pusat belajar di otak (dan dengan demikian merusak kecerdasan). Meskipun, seperti akan kita lihat, kerusakan ini dapat diobati sampai tahap tertentu oleh pengalaman-pengalaman kemudian hari dalam kehidupan, pengaruh pembelajaran dini ini sangat mendalam. Seperti disimpulkan oleh sebuah laporan, proses pembelajaran emosi sangat penting pada empat tahun pertama kehidupan: akibat-akibat permanennya akan besar sekali:

seorang anak yang tidak bisa memusatkan perhatiannya, yang curiga bukannya percaya, sedih atau marah bukannya optimis, merusak bukannya menghormati, dan yang dikuasai oleh kecemasan, akan disibukkan oleh khayalan-khayalan mengerikan dan pada umumnya merasa tidak bahagia akan dirinya sendiri—anak semacam itu mempunyai sedikit sekali peluang, apalagi mempunyai peluang yang sama, untuk menganggap bahwa pilihan-pilihan di dunia ini tersedia untuknya. (Pelajaran-pelajaran permanen empat tahun pertama: Heart Start, p.13)
*
Gangguan stres pascatrauma, atau PTSD (post traumatic stress disorder). Pada intinya, kata Dr. Spencer Eth, psikiater anak yang mengambil spesialisasi PTSD pada anak, trauma itu adalah “masuknya ingatan akan tindak kekerasan yang menjadi fokus utama: pukulan akhir dengan kepalan tangan, tusukan sebilah pisau, tembakan senapan. Ingatan merupakan pengalaman persepsi yang hebat—penampakan, bunyi, dan bau mesiu; jeritan atau diamnya korban secara tiba-tiba; muncratnya darah; dan sirene polisi.”
Momen mengerikan yang hidup ini, menurut para ahli saraf, menjadi ingatan yang menghiasi jaringan sirkuit emosi. Sebetulnya gejala-gejalanya itu adalah tanda-tanda amigdala yang terlalu banyak tergugah sehingga memaksa ingatan yang hidup akan suatu peristiwa traumatis terus-menerus menerobos kesadaran. Dengan demikian, ingatan traumatis itu menjadi pemicu-rambut mental, siap membunyikan tanda bahaya bila ada isyarat paling lemah bahwa momen yang menakutkan itu terjadi sekali lagi. Fenomena pemicu-rambut ini merupakan ciri khas berbagai macam trauma emosional, termasuk akibat penganiayaan fisik secara terus-menerus pada masa kanak-kanak.
PTSD merupakan setelan saraf tanda bahaya yang terlampau rendah sehingga merugikan, membuat orang yang menderitanya akan menanggapi momen yang biasa-biasa saja dalam kehidupan seolah-olah merupakan masa-masa kritis. Dasar persarafan bagi ingatan-ingatan ini tampaknya adalah perubahan besar-besaran dalam susunan kimiawi otak yang dipicu oleh satu contoh ketakutan yang amat besar. (LeDoux menyusun bukti ilmiah bahwa ingatan-ingatan ini sangat tahan lama dalam “Indelibility of Subcorrtical Emotional Memories”, Journal of Cognitive Neuroscience (1989), vol. 1, 238-43). Perasaan bahwa hidup Anda berada dalam bahaya dan tak ada apa pun yang dapat Anda lakukan untuk menghindarinya—itulah saat otak mulai berubah. PTSD—dapat dijelaskan dari perubahan-perubahan pada sirkuit limbik yang terpusat pada amigdala. Sejumlah perubahan utama terletak di lokus seruleus, struktur yang mengatur sekresi otak untuk dua jenis bahan yang disebut katekolamin: yaitu adrenalin dan noradrenalin. Bahan-bahan kimia saraf ini memobilisasi tubuh untuk menghadapi keadaan darurat; lonjakan katekolamin mencetak ingatan-ingatan dengan kekuatan istimewa. Dalam PTSD, sistem itu menjadi sangat aktif dan melepaskan bahan-bahan kimia otak dengan dosis berlebihan sebagai tanggapan terhadap situasi-situasi yang tidak mengancam atau sedikit saja ancamannya tetapi entah bagaimana menjadi pemicu ingatan akan trauma asli—seperti murid-murid Cleveland Elementary School yang merasa gugup saat mendengar sirine ambulans yang mirip dengan sirine yang pernah mereka dengar di sekolah sesudah penembakan tersebut. (Kisah terbaik tentang perubahan otak yang melandasi PTSD, dan peran amigdala dalam perubahan tersebut, terdapat pada Dennis Charney et al., “Psychobiologic Mechanisms of Posttraumatic Stress Disorder”, Archieves of General Psychiatry 50 (April 1993), 294-305).
Perubahan-perubahan lain terjadi dalam sirkuit yang menghubungkan otak limbik dengan kelenjar pituitari, yang mengatur pelepasan CRF, suatu hormon stres utama yang dikeluarkan tubuh untuk memobilisasi hormon respons darurat bertempur-atau-kabur. Perubahan-perubahan menyebabkan hormon ini dikeluarkan dalam jumlah yang terlalu banyak—terutama di amigdala, hippocampus, dan locus seruleus—menyiapsiagakan tubuh untuk menghadapi keadaan darurat yang sebetulnya tidak ada. (Otak, yang mencoba menurunkan laju sekresi CRF, mengimbanginya dengan menurunkan jumlah reseptor yang melepaskannya. Salah satu tanda khusus bahwa inilah yang terjadi pada penderita PTSD berasal dari sebuah studi di mana delapan pasien yang diobati untuk penyakit tersebut diinjeksi dengan CRF. Hasilnya, injeksi CRF memicu banjirnya ACTH, hormon yang mengalir dalam tubuh untuk memicu katekolamin. Tetapi, pada pasien PTSD, berbeda dengan sebuah kelompok pembanding orang-orang yang tidak menderita PTSD, tak ada perubahan yang dapat dibedakan dalam kadar ACTH—suatu tanda bahwa otak mereka telah menutup reseptor-reseptor CRF karena reseptor-reseptor itu telah terlampau jenuh dengan hormon stres tersebut. Riset itu dilukiskan kepada Coleman oleh Charles Nemeroff, seorang psikiater di Duke University).
Perubahan ketiga terjadi pada sistem opioid otak, yang mengeluarkan endorfin untuk menumpulkan rasa nyeri. Sistem ini pun menjadi terlalu aktif. Sirkuit saraf ini sekali lagi melibatkan amigdala, kali ini bersama dengan suatu wilayah di dalam korteks serebral. Opioid adalah zat kimia otak yang merupakan zat pemati rasa yang ampuh, seperti opium dan narkotika lainnya yang merupakan bahan kimia sekerabatnya. Apabila kadar opioid (“morfin yang dimiliki otak”) tinggi, orang akan memiliki toleransi tinggi terhadap rasa sakit—efek yang telah dicatat oleh para dokter bedah di medan pertempuran, yang menemukan bahwa para prajurit yang terluka parah membutuhkan dosis narkotika lebih rendah untuk menangani kesakitan mereka daripada orang-orang sipil yang mengalami luka yang jauh lebih ringan.
Wilayah penting diotak yang belajar, mengingat, dan melaksanakan respon takut adalah sirkuit antara talamus, amigdala, dan lobus prefrontal—jalur pembajakan saraf.
*
Jerome Kagan, ahli psikologi perkembangan terkemuka di Havard University dari penelitiannya, mendapatkan kesan bahwa orang-orang (seperti X, yang mudah merasa takut), dilahirkan dengan susunan neurokimiawi yang membuat sirkuit ini gampang dibangkitkan, dan dengan demikian mereka menghindari hal-hal yang tidak dikenal, menjauhkan diri dari hal yang tidak pasti, dan menderita kecemasan. Anak-anak yang, (seperti Y, yang tidak mudah takut), mempunyai sistem saraf yang terkalibrasi dengan ambang perangsangan amigdala yang jauh lebih tinggi, menjadi orang yang tidak mudah merasa takut, lebih gampang bergaul secara wajar, dan memiliki hasrat untuk menjelajahi tempat baru dan menjumpai orang-orang baru. Anak-anak yang penakut, menurut dugaan Kagan, barangkali secara kronis telah mewarisi kadar tinggi norepinefrin atau bahan-bahan kimawi otak lainnya yang mengaktifkan amigdala, dan dengan demikian menimbulkan ambang gugahan yang rendah, sehingga menyebabkan amigdala lebih mudah terpicu. Kagan menduga bahwa diamnya seorang penakut dalam menghadapi hal baru atau ancaman yang dirasakannya merupakan tanda giatnya sirkuit saraf yang terdapat antara otak depan, amigdala, dan struktur limbik di dekatnya, yang mengendalikan kemampuan berbicara (dalam keadaan stres, sirkuit ini membuat kita “bungkam”).
Richard Davidson, seorang ahli psikologi dari University of Wisconsin. Ia menemukan bahwa orang yang mempunyai kegiatan yang lebih besar pada lobus frontal kirinya—dibandingkan dengan sebelah kanannya—mempunyai temperamen riang gembira, biasanya mereka menyukai orang lain dan apa yang disajikan oleh kehidupan kepada mereka; mereka bisa bangkit dari kegagalan (contoh cerita coleman dalam Emotional Intellegence, hal 311-312).
Mengapa ketegasan mengakibatkan berkurangnya rasa takut? Kagan menduga bahwa ada sesuatu yang dipelajari saat seorang bayi terus-menerus merangkak menuju benda yang kelihatan menarik baginya (tetapi bagi ibunya benda yang berbahaya) disela dengan peringatan si ibu, “Jangan pegang!” Bayi itu tiba-tiba dipaksa menghadapi ketidakpastian ringan. Pengulangan tantangan ini beratus-ratus kali selama tahun-tahun pertama kehidupan memberi bayi tersebut latihan terus-menerus, dalam dosis-dosis kecil, untuk menghadapi hal yang tak terduga dalah kehidupan. Bagi anak-anak yang penakut, justru pola hubungan inilah yang harus dikuasainya dengan dosis yang dapat diatur tepat untuk mempelajari hal tersebut. Apabila pola hubungan itu berlangsung dengan orangtua yang, meskipun penuh kasih sayang, tidak bergegas mendekap dan menenangkan si anak setiap kali merasa terganggu, si anak lambat-laun belajar menangani sendiri saat-saat seperti itu. Pada umur dua tahun, ketika anak-anak yang dahulunya penuh rasa takut ini dibawa kembali ke laboratorium Kagan, mereka menjadi jauh berkurang kecenderungan untuk menangis bila seorang asing mengernyitkan kening kepada mereka, atau bila seorang peneliti memasang gelang tekanan darah ke sekeliling lengan mereka.
Rasa takut—atau temperamen lain apa pun—dapat merupakan bagian fakta biologis kehidupan emosional kita, tetapi tidak dengan sendirinya kita dibatasi pada menu emosi tertentu oleh ciri-ciri bawaan kita. Bahkan di dalam batas-batas genetis pun ada serangkaian kemungkinan. Sebagaimana diamati oleh ahli genetika tingkah laku, gen-gen saja tidaklah menentukan tingkah laku; lingkungan kita, terutama apa yang kita alami dan kita pelajari sewaktu tumbuh, menentukan bagaimana bakat temperamen akan mengungkapkan dirinya sendiri sewaktu kehidupan itu terbentang. Kemampuan emosional kita bukanlah harga mati; dengan pelajaran yang tepat, kemampuan itu dapat diperbaiki. Alasannya terletak pada bagaimana otak menjadi matang.
*
Urie Bronfenbrenner, ahli psikologi perkembangan terkemuka dari Cornell University melakukan penelitian perbandingan international terhadap kesejahteraan anak-anak berkata; “Dengan tiadanya sistem pendukung yang baik, tekanan dari luar menjadi begitu besar sehingga bahkan keluarga-keluarga yang kuat pun akan hancur berantakan. Kesibukan hebat, ketidakmantapan, dan tidak aktifnya kehidupan keluarga sehari-hari telah meluas di semua sisi masyarakat kita, termasuk yang berpendidikan tinggi dan yang kaya. Yang dipertaruhkan tak lain adalah angkatan berikutnya, terutama kaum pria, yang sewaktu tumbuh menjadi dewasa sangat rawan terhadap kekuatan merusak semacam, misalnya efek menghancurkan dari perceraian, kemiskinan, dan pengangguran. Keadaan anak-anak dan keluarga-keluarga Amerika sungguh menyedihkan... kita sedang merampas karakter moral dan keterampilan berjuta-juta anak.” ( ceramah Urie Bronfenbrenner pada suatu simposium di Cornell University (24 September 1993).
Penelitian yang melacak anak-anak sejak masa taman kanak-kanak sampai ke masa remajanya menemukan bahwa anak kelas satu yang suka mengganggu, tidak mampu bergaul dengan anak lain, tidak patuh kepada orangtua mereka, dan membandel terhadap guru, hingga separonya akan menjadi penjahat remaja pada masa pubertas mereka. (Lihat, misalnya, Dan Offord et al., “Outcome Prognosis, and Risk in Longitudinal Follow-up Study”, Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry 31 (1992). Bakat untuk bersikap agresif dibenarkan dalam pikiran mereka oleh keyakinan seperti, “Boleh-boleh saja memukul seseorang bila kita sedang panas-panasnya”; “Bila kita takut berkelahi, orang akan mengganggap kita pengecut”; dan “Orang yang kena banyak pukulan sebetulnya tidak merasa sakit-sakit amat”. (Ronald Slaby dan Nancy Guerra, “Cognitive Mediators of Agression in Adolescent Offenders”, Development Psychology 24 (1998).
Dr. Frederick Goodwin, ketika itu menjabat direktur National Institute of Mental Health, menduga, “Telah terjadi erosi besar-besaran terhadap keluarga inti—berlipat gandanya angka perceraian, makin sedikitnya waktu yang disediakan orangtua bagi anak-anak, dan meningkatnya mobilitas. Anda tidak lagi tumbuh besar sambil mengenal dengan baik kelaurga besar Anda. Hilangnya sumber stabil bagi jatidiri ini mengakibatkan makin meningkatnya kerawanan terhadap depresi.”
Dr. David Kupfer, ketua bagian psikiatri pada fakultas kedokteran University of Pittsburgh menunjuk pada kecenderungan lain: “Dengan meluasnya industrialisasi setelah Perang Dunia II, dalam arti tertentu tidak ada lagi orang yang tinggal di rumah. Semakin banyak keluarga yang “menjalankan” sikap tak peduli orangtua terhadap kebutuhan anak sewaktu anak bertumbuh kembang. Ini bukanlah penyebab langsung depresi, melainkan persiapan menuju kerawanannya. Penekan emosional dini bisa menghambat pertumbuhan neuron, yang dapat mengarah pada depresi bila Anda mengalami stres berat bahkan berpuluh-puluh tahun kemudian.”
Martin Seligman, ahli psikologi dari University of Pennsylvania, mengemukakan: “Selama 30 atau 40 tahun terakhir ini, kita menyaksikan meningkatnya individualisme dan lenyapnya keyakinan yang lebih luas terhadap agama, serta terhadap dukungan masyarakat dan keluarga besar. Ini berarti hilangnya sumber yang dapat menopang Anda dari kekalahan dan kegagalan. Sejauh Anda melihat kegagalan sebagai sesuatu yang berlangsung terus dan yang Anda perbesar hingga mewarnai apa saja dalam kehidupan Anda, Anda menjadi lebih gampang membiarkan kekalahan-sementara menjadi sumber keputusasaan abadi. Tetapi, seandainya Anda mempunyai sudut pandang yang lebih luas, seperti keyakinan terhadap Tuhan dan hidup kekal, lalu Anda kehilangan pekerjaan, Anda hanya akan menganggapnya sebagai kekalahan sementara.
Cara menafsirkan kekalahan hidup secara pesimistik tampaknya meperbesar rasa tak berdaya dan putus asa pada inti depresi anak. anak yang paling mudah terkena kesedihan memiliki kecenderungan ke sudut pandang pesimistik ini sebelum mereka menderita depresi. Ada bukti bahwa mengajarkan cara yang lebih produktif untuk melihat kesulitan dapat menurunkan risiko depresi pada anak. [Pada anak-anak, berbeda dengan orang dewasa, obat bukanlah alternatif yang bagus untuk terapi atau pendidikan pencegahan dalam menangani depresi; anak memetabolisis obat dengan cara yang berbeda. Antidepresan trisiklat, yang seringkali manjur pada orang dewasa, dalam penelitian pada anak-anak ternyata gagal terbukti leibih baik daripada plasebo yang tidak aktif. Obat depresi baru, seperti Prozac, sampai sekarang belum diuji penggunaannya untuk anak. Dan, desipramin, salah satu trisiklat yang paling lazim (dan paling aman) digunakan orang dewasa, sampai saat penulisan ini menjadi fokus penelitian FDA karena dicurigai menjadi penyebab kematian pada anak.]
Suasana hati seperti rasa cemas, sedih, dan marah bukan semata-mata diwariskan kepada kita tanpa sedikit pun bisa kita kendalikan, melainkan bahwa kita dapat mengubah perasaan kita dengan mengubah apa yang kita pikirkan,” begitu kata ahli psikologi Martin Seligman. Putus sekolah merupakan risiko terbesar bagi anak yang ditolak dalam pergaulan. Ada anak-anak yang menggunakan alcohol atau narkoba untuk menentramkan kerisauannya. Salah satu penanda biologis bagi pola ini adalah kurangnya sekresi GABA, neurotransmiter yang mengatur kecemasan—terlalu sedikit GABA akan menyebabkan orang mengalami ketegangan tingkat tinggi. Sebuah penelitian menemukan bahwa anak laki-laki yang ayahnya pecandu alkohol mempunyai kadar GABA sedikit dan sangat merasa cemas, tetapi bila anak itu minum alkohol, kadar GABA-nya meningkat dan kecemasan mereka turun. (Tingkat ketegangan pada anak-anak yang orangtuanya pecandu alkohol: Howard Moss et al., “Plasma GABA-like Activity in Response to Ethanol Challenge in Men at High Risk of Alcoholism”, Biological Psychiatry 27(6) (Maret 1990)). Daripada memaklumkan lebih banyak “perang” semacam itu (perang pada alcohol, narkoba bahkan kehamilan diluar nikah), yang sekarang kita butuhkan adalah mengikuti logika pencegahan, dengan memberikan anak kita keterampilan menghadapi kehidupan sehingga meningkatkan peluang mereka menjauhi setiap dan semua takdir kehidupan ini. Keterampilan itu adalah keterampilan emosional.
Keterampilan emosional itu mencakup kesadaran diri; mengidentifikasi, mengungkapkan dan mengelola perasaan; mengendalikan dorongan hati dan menunda pemuasan; serta menangani stres dan kecemasan. Sebuah kemampuan penting untuk mengendalikan dorongan hati adalah mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan, dan belajar membuat keputusan emosional untuk bertindak, kemudian mengidentifikasikan tindakan alternatif serta konsekuensinya sebelum bertindak. Banyak keterampilan yang merupakan keterampilan antarpribadi: membaca isyarat emosional dan sosial, mendengarkan, mampu menahan pengaruh buruk, menerima sudut pandang orang lain, dan memahami tingkah laku mana yang dapat diterima dalam situasi tertentu.
*
Karen Stone McCown, pengembang kurikulum Self Science dan direktur Nueva, “Proses belajar tidak berlangsung terpisah dari perasaan anak. Dalam proses belajar, kemahiran emosi sama pentingnya dengan petunjuk mempelajari matematika dan membaca.” (Karen Stone McCown dalam The New York Times (7. November 1993). Contoh menarik peran suatu sekolah untuk mengembangkan keterampilan social; Bila anak-anak berkelahi di kantin sekolah, mereka akan dikirim ke temannya yang jadi juru damai, yang duduk bersama mereka dan menyelesaikan konflik mereka dengan teknik melihat dari sudut pandang yang sama, yang telah mereka pelajari di kelas. Pelatih akan menggunakan teknik tersebut untuk menangani konflik di tempat bermain. Kami mengadakan kelas untuk orangtua dalam menggunakan metode ini dengan anak di rumah.” (kata Tim Shriver, Directur Sosial Competence Program, Sekolah New Haven, AS).
SOCS (Situation, Option, Consequence, Solution): sebuah metode empat langkah; katakanlah apa situasinya dan bagaimana perasaanmu terhadap situasi itu; pikirkanlah pilihan-pilihanmu untuk memecahkan situasi tersebut dan apakah akibat-akibatnya yang mungkin; ambillah sebuah pemecahan dan laksanakanlah.
*
Dalam makna paling harfiah, Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Coleman dalam Emotional Intellegence; menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Alasan bahwa ada beberapa emosi inti, sampai tahap tertentu, bertumpu pada penemuan Paul Ekman dari university of California di San Francisco yang menyatakan bahwa ekspresi wajah tertentu untuk keempat emosi (takut, marah, sedih, dan senang) dikenali oleh banyak bangsa di seluruh dunia dengan budayanya masing-masing, termasuk bangasa-bangsa buta huruf yang dianggap tidak tercemar film dan televisi—sehingga menandakan adanya universalitas perasaan tersebut.
*
Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional. Pola persepsi yang cepat ini mengorbankan ketepatan demi kecepatan, dengan mengandalkan kesan-kesan pertama, bereaksi terhadap gambaran kasar atau sisi-sisi yang paling menonjol. Sesungguhnya, simbol dan upacara keagamaan tak banyak artinya dari sudut pandang rasional; simbol dan upacara tersebut diungkapkan dalam bahasa hati. Joseph Campbell berkata; “Mimpi adalah mitos pribadi; mitos adalah mimpi banyak orang”. Seymout Epstein mengajukan pendapat bahwa bila akal rasional melakukan hubungan logis antara sebab dan akibat, maka akal emosional itu tidak pilih-pilih, karena menghubungkan hal-hal yang sekadar mempunyai ciri-ciri yang mencolok. ( Epstein, 1993, p.55).
****
Rujukan:
Antonio Damasio, “Descartes’s Error”, 1994. Terj: “Memahami Kerja Otak”, 2009. Baca.
Daniel Goleman, “Emotional Intelligence”, 1997. Gramedia.
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, 1985.
Wawancara dengan Howar Gardner, 2003, Interaksara.
Robert J. Sternberg, “Cognitive Psychology”, 2006.
Jalaluddin Rahmat, “Meraih Kebahagiaan”, Simbiosa Rekatama Media. 2004
Napoleon Hill, “Think and Grow Righ”, Terj: Berfikir dan Menjadi Kaya”, Binarupa Aksara, 1996.
Bill P.S. Lim, “Berani Gagal”, Delapratasa, 2003.
Norman Vincent Peale, “Berfikir Positif”, Binarupa Aksara, 1996.
Dale Carnegie, “How to Win Friend and Influence People”, 1978.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar