Laman

Minggu, 21 Maret 2010

ISLAMUNA-ISLAMUKUM

PROBLEMA BERKEBENARAN DALAM BERAGAMA

Seringkali sesama kita (Ummat manusia, Ummat Islam) “bentrok”, padahal bertujuan “sama”. Seringkali kita bertujuan sama dengan strategi, dan cara berfikir serta upaya perealisasiannya yang berbeda, juga seringkali bentrok hanya karena skala prioritas yang berbeda. Ini khususnya sering terjadi dalam pemahaman Islam. Pemahaman dua kelompok besar apabila kita boleh mendikotomikan mereka,

Kelompok Modernis dan Kelompok Tradisionalis.

Problem Utama dalam "Pemahaman Beragama" (Tradisionalis dan Modernis).

Salah satu problem terpenting dalam beragama adalah mengatasi yang Transenden dan Imanen ( Tuhan yang tak terbatas dan Manusia yang terbatas). Mengatasi problem antara Wahyu dan Akal, mengatasi Partikularitas, perubahan-perubahan (ciri dari manusiawi, alamiah, imanen) dan universAlitas, ketetapan/kestabilan (ciri dari yang transenden, Tuhan, adikodrati).

Dalam melihat agama, manusia dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu; KAUM TRADISIONALIS (tidak punya konotosi negative); dimana mereka melihat hal-hal yang berupa nash itu tetap tak berubah dan paten, pasti. Mereka mengangkat kategori "nash" walau dalam kategori "manusiawi" (imanen, profane) menjadi "semi-adikodrati", (transenden, sacral, tetap). Asumsi kelompok ini walau jarang dikemukakan secara eksplisit adalah harus ada yang transenden, adikodrati, tetap. Ini semua untuk menjamin kepastian, keyakinan dan menghalangi bahaya plurAlisme tanpa acuan. Dan secara psikologis memang (cara pikir ini) lebih membuat ketenangan walau terkadang membuat kurangnya kreatifitas, diskusi, dialog intersubjektif untuk menemukan "kebenaran" atau dalam bahasa fenomenologi melihat bareng, sehingga wesen, hakekat itu muncul kepada kita.

Kelompok-kelompok ini mengangungkan banyak hal baik "Teks", "pre-Teks", "Personifikasi "kebenaran"" dst. Dan memberikan mereka kategori semi-keTuhanan. Tak tersentuh, selalu benar dan kata akhir dalam apapun problem. Bahkan kalau tidak memilikinya (atau menemukan kategori itu), mereka menggunakan dan mencari teori untuk mendudukkan orang yang layak untuk menyandang kedudukan "semi-tuhan' itu. Apakah ini salah? Disini kita tidak sedang membahas mana yang benar dan salah, karena kajian itu sangat luas dan "mungkin tak terbatas". Bahkan mungkin wilayah Sengketa (karena asumsi dasarnya "tidak mungkin" disamakan) kata Francis-Lyotrad (tokoh StrukturAlis-Posmodernisme). Sehingga bukan wilayah "diskusi" lagi.

Mereka dengan ini menjembatani antara Tuhan (adikodrati, transenden, takterbatas), dan Manusia biasa (Profane, Imanen, berubah dan sarat akan kemungkinan salah) dengan Manusia-manusia Pilihan (setengah manusia, setengah tuhan. Ya dikodrati ya manusiawi. Manusia karena ya manusia, tapi tidak pernah salah, tahu apapun). Sehingga terkadang dalam bentuk penyelesaian model ini, mereka agak kesulitan menyelesaikan masalah; "bagaimana kebebasan mereka?, sebab bila punya jawaban pasti, tuggal, maka manusia itu tidak punya pilihan lagi. Apa ini bebas? (elaborasi lengkap masalah ini pada EksistensiAlisme-J.P. Satre). Bahkan tanpa menyebut "ketuhanan", sebenarnya kelompok ini sama dengan memiliki "Tuhan yang Imanen", semacam Yesus-Kristus (Manusia-Tuhan) dalam pandangan Kristen. Dan memang ada yang mengatakan walau dengan sedikit perbedaan, kalau Kristen punya Trinitas (Allah-Ruh Qudus-Yesus), Islam Punya Trinitas (Allah-Jibril-Muhammad). Muhammad adalah "Tuhan" dibumi. Lihat saja hadist-hadist semacam "Nur Muhammad" dst. Walau memang dalam Islam kata Frithjof Schoun (Muhammad Isa Nuruddin) lebih mengutamakan "kebenaran" bukan "Kehadiran", (Apakah ini juga yang terjadi dalam Islam Sunnah-Syi'ah?) Sehingga tidak sampai menyebut Tuhan pada Muhammad.

KAUM MODERNIS (tidak punya konotosi positif). Definisi yang diangkat dalam tulisan ini tentang modernisme adalah "berkurangnya kooptasi langit terhadap bumi". Maka jelas sekali dari definisinya, mereka sadar atau tak sadar bisa kita runut kemasa pencerahan, Aufklarung dengan bapaknya Imanuel Kant atau Ibnu Sina (mungkin analogi ini tidak cukup pas, tapi arah itu "jelas"), Mu'tazilah dan lain-lain.. Mereka percaya kemampuan manusia untuk mandiri, otonom, sepere aude kata Imanuel Kant, mengapa harus "cepat-cepat" doa (kata Ibnu Sina).

Mereka tahu ada problem antara Adi-kodrati, Tuhan dan Manusia, antara Wahyu dan Akal, antara Teks dan penafsiran dst. Tetapi mereka lebih mengandalkan kemampuan manusia. Mereka siap dengan plurAlisme "kebenaran", karena disamping kompleknya permasalahan, memang mereka tidak menuntut "kemutlakan "kebenaran"" itu. Kalau klaim kaum TradisionAlis mengatakan; "kalau kita punya perselisihan, siapa kata akhirnya, arbiter dari problem itu?", Tuhan, dan Orang-orang pilihannya? Kalau Tidak ada? Harus dicari !? Sebab tanpa mereka Agama ini tidak "benar", tidak menjamin kepastian dan secara psikologis dan rasional akan berbahaya. Kenapa ? kata mereka (Modernis), Bukankah kita punya "akal" dan "kebebasan"?. Bila kita sudah memaksimalkan keduanya cukup. Tidak perlu harus "benar", karena yang dituntut oleh-NYA hanya upaya, memaksimalkan akal dan usaha kita? Tidak perlu memaksakan harus ada "Manusia Setengah Tuhan", toh pengkatagorian manusia itupun dari kita. Tapi kata kaum (TradisionAlis), bukankah kamu juga punya keputusan-keputusan yang "manusiawi setengah adikodrati". Lihat saja, semua masalah akan selesai, dan dianggap benar bila sudah dimusyawarahkan, voting, lewat dialog demokratis, dan lain-lain.

Lain kata mereka (kaum Modernis), sebab kami yakin itu tidak " mutlak "kebenaran"nya", dan kami tidak memberikan "SAKRALITAS' padanya. Sehingga jelas sangat manusiawi, karena akallah yang menuntut itu, yaitu kaidah "Akal-Praktis", yang mengatakan; ""kebenaran" tertinggi, sekalipun tidak mutlak, maka menuntut ketaatan mutlak".

Siapa yang menuntut kita taat pada yang lain? Tanya kaum modernis. Kata kaum tradisionAlis (Tuhan lewat teks Nash). Kata kaum Modernis (Akal, lewat syarat-syaratnya. Misalnya lebih pandai, wara' dan lain-lain. Intinya "nilainya sesuatu itu tertinggi", maka kita harus ikut dengannya). Sama saja, kamipun juga, nash menentukan syarat-syarat itu (kaum TradionAlis). Lain kata kaum Modernis. Sebab pada kami tidak ada "SakrAlitas", sehingga diskusi, dialog, beda pendapat dan lain-lain tidak masuk dalam kategori agama (ada suara sakrAlitas, langit), tetapi dalam dataran ilmu. Sebab kalau sesuatu itu sudah dianggap "Agama" (maka didalamnya tidak hanya unsur ""kebenaran" rasional" yang jalan, tapi Psikologis, Ketenangan-jiwa, social-politik dan lain-lain yang jalan). Sehingga beda pendapat, diskusi akan disikapi dengan beda pandangan dst. Maka upaya untuk menganggap perbedaan, diskusi sesuatu hal yang biasa sulit.

Tetapi kami juga menggunakan Akal dan mendapat Jaminan dari yang Transenden. Benar kata kaum modernis, tapi yang kami persoalkan adalah ""kebenaran" dan kemaslahatan-manusia", artinya kita sama-sama ingin menjadi baik dan benar, tetapi baik dan benar itu untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Sebab tuhan tidak butuh kita, dan kitapun diciptakan untuk kebaikan kita sendiri. Sehingga kategorinya mestinya mengarah kepada "manusia dengan kemanusiaannya" bukan kelangit. Jangan sampai ada penumpahan darah, menyakiti orang lain, kafir-mengkafirkan dengan "kategori agama", "atas nama agama" itu aneh. Disinilah keinginam kita untuk tidak mudah membuat kategori menjadi agama, karena unsur sakrAlitasnya akan sangat kental. Dengnan itu maka fleksibilitas, akseptabilitasnya menjadi kurang objektif, sekalipun secara psikologis memang akan sangat berguna walau memiliki dua mata ganda, (cepat diteriman, menenagkan tapi bisa menina-bobokkan).

Baiklah. Disinilah kata kaum tradisionAlis perlunya kita sering bertemu dan "berdialog "kebenaran"". Sebab kami yakin kami dan kamu-pun ingin kebaikan dan kemaslahatan secara individu dan umum, hanya perspektif dan preferensi yang sarat akan pengalaman belajar kitalah yang membuat kita memiliki pandangan-pandangan yang seakan-akan berbeda dan bertolak belakang.

Mudah-mudahan kita semua juga bisa meneladani dua kelompok diatas dalam mencari "apa yang diinginkan oleh-NYA". Tidak mengatakan milik kita benar karena yang lain salah, atau pandangan kitab-kitab mereka yang aneh. Kita mestinya tidak menjadi orientAlis dalam agama kita sendiri, yaitu dengan melihat kitab-kitab kelompok lain lalu kita mengkonstruk masyarakat kelompok itu dan mengklaim kita mengerti mereka. Kita mestinya juga turun kebawah sebab ada kontras antara "agama-kitab" dan "agama-masyarakat". Lihat saja masyarakat NU (Syafi'i) disekitar kita, mereka secara umum tidak ikut syafi'i murni (kitab-kitab mereka). Demikian juga hampir tidak ada seorangpun dari Ahlus-sunnah yang Determinisme ("Asyariyyah-kolot") sebab mereka secara umum percaya keharusan ikhtiyar, usaha dan sholat serta amalannya menentukan atau juga menentukan posisi dan tempat mereka di akhirat, dan lain-lain. Milik mereka "salah" tidak otomatis milik kita "benar", bisa salah dua-duanya dst (disinilah perlunya inward looking tidak hanya outward looking. Perlu autokritik tidak hanya puas dan yakin dengan melihat kesalahn orang lain).

Dialog, ketemu dengan mereka (dialog intersubjektif) seperti dilakukan dua kelompok diatas sangat membantu dalam berdialog antar agama atau antar madzab. (jangan sampai kita terkena kritikan Arkoun yang mengatakan; "saya melihat dialog sunnah-syi'ah antara Al-Hilli dan Ibn Taymiyyah ratusan tahun yang lalu, dalil yang digunakan, masalah yang diangkat dan argument yang dikemukan serta disodorkan ternyata sama dengan dialog sunnah-syi'ah ulama-ulama saat ini. Tidak adakah perkembangan baik ilmu, metode, pendekatan dan cara-pandang terhadap masalah-masalah agama selama ratusan tahun ini. Aneh!) Sebab ada keyakinan umum, "kita semua menginginkan melakukan seperti yang diinginkan dan dimau oleh-NYA".

Siapa yang mengizinkan kita membawa stempel dan jadi satpam-satpam akidah tanpa izin resmi dari yang memiliki "kebenaran" itu. Sehingga kita mengatakan Kafir, Zindiq, Munafik, Munharif bahkan kepada manusia-manusia "suci', dan selalu menyebut kalimat "la ila ha illa-allah Muhammad Rasullallah", juga "Maksumin imam-imam kita". Padahal apapun yang kita tahu hanyalah perspektif dan preferensi kita yang sarat akan batasan kerak-kerak pemikiran karena dominasi lingkungan dan pendidikan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar