Laman

Minggu, 28 Maret 2010

PENGANTAR PROPOSAL DOKTORAL MANAJEMEN

PENGARUH STYLE KEPEMIMPINAN, JENIS INSTITUSI, GENDER TERHADAP MOTIVASI/KEPUASAN KERJA KERYAWAN

PENGANTAR PROPOSAL DOKTORAL MUHAMMAD ALWI SE,.MM

PENDAHULUAN

“Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang,

Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan,

Melainkan sebuah kebiasaan”.

Aristoteles

Taburlah gagasan, tuailah perbuatan, taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan, taburlah kebiasaan, tuailah karakter, taburlah karakter, tuailah takdir”.

Stephen R. Covey

Sebentar lagi mau atau tidak mau, suka atau tidak suka pasar bebas akan segera berlaku. Dimana dunia menjadi tidak besar lagi, bahkan menjadi global village, kata Kenichi Ohmae dalam bukunya The borderless world (1991). Dimana persaingan semakin ketat, tidak ada lagi pembagian biaya tetap dan variabel, karena semuanya menjadi biaya tetap (fixed asset). Investasi penelitian akan semakin diperlukan, karena cepatnya pasar berubah, pilihan akan semakin bervariasi, selera akan mudah sekali berubah-ubah dan darur hidup produk (product live sicle) akan semakin pendek.

Ketidakpastian umum, revolusi tehnologi, pesaing baru dan selera yang berubah-ubah, menciptakan keluaran (outcame) –ketidak pastian, lebih banyak pilihan, dan lebih besar kerumitan, serta berakhirnya kemassalan. Akibatnya para pemenang organisasi sekarang dan yang akan datang adalah mereka yang lebih tanggap, lebih kecil, lebih datar dan lebih berorientasi pada manusia. (Tom Peter, Triving on Chaos, 1987:37). Karena manusialah sebagai pelaku yang melaksanakan organisasi, suatu kegiatan yang akan terjadi atau tidak akan terjadi. Dengan ini maka manajemen sumber daya manusia akan lebih diperlukan lagi dimasa masa mendatang. Karena inilah kunci dari pengelolaan manusia pada organisasi atau perusahaan.

Arthur D. wainwrright, pemenang Malcolm Baldrige National Quality (1994) mengatakan; Orang adalah aset penting bagi kami, phrase ini sering dikatakan tetapi tidak banyak dipraktekkan dalam perusahaan. Rancana apapun baiknya tidak akan berhasil dengan baik, bila tidak dijalankan sesuai rencana. Dan rencana itu akan dijalankan dengan baik bila ia memiliki dampak kepada orang-orang yang menjalankannya (dalam pembuatannya, manfaat hasilnya dan resiko-resiko kegagalan menjalankannya). Apa yang terbaik seharusnya tidak didefinisikan oleh segelintir orang-orang senior tertentu, tetapi melibatkan pengertian-pengertian yang ikut menjalankan rencana tersebut.

Wainwright dalam prakteknya menyarankan hal-hal --yang sudah dilaksanakan dalam perusahaannya yaitu; Pelatihan (harus benar-benar untuk mengembangkan manusia, bukan untuk menjadikan karyawan yang lebih baik saja), mengangani kesalahan (harus berorientasi pada perbaikan bukan evaluasi dan hukuman), berbagi informasi (penanganan masalah membutuhkan informasi, kekurangan informasi akan menghasilkan penanganan kurang memadai dan adanya kerahasiaan informasi mengindikasikan kurang kepercayaan), tujuan-tujuan dan indikator performa serta kepuasan karyawan (harus dicangkan bersama dan lebih memperhatikan keinginan karyawan dalam menangani atau menilai performanya), dan seterusnya (Journal Strategic Leadership, januari/februari 1997, “People must be the central core of strategic planing Process” hal 12-17)

Rensis Likert senada dengan diatas dengan pendekatan kuantitatif setelah membagi sistem-sistem dalam organisasi menjadi empat (4) sistem, mulai dari sistem satu (1) yang jarang melibatkan karyawan, kurang percaya pada karyawan, lebih banyak mengancam, memberikan rasa takut dari pada hadiah dll sampai sistem empat (4) yang percaya sepenuhnya pada karyawan, banyak melibatkan karyawan, banyak memberikan partisipasi, hadiah dan lain-lain. Menyarankan untuk menggunakan sistem 4. Walaupun kebanyakan hasil penelitiannya menunjukkan banyak manajer yang menggunakan sistem 1, 2 maksimal 3 jarang yang 4.

Pilihan sistem dan pendekatan kepemimpinan apa yang digunakan oleh seorang manajer atau atasan tergantung style manajer tersebut disamping juga dipengaruhi oleh keadaan-keadaan lainya seperti; kematangan bawahannya, sampai dimana kekuatan dan kekuasaan manajer tersebut dan faktor situasional lainnya. (Gary Yulk, “Kepemimpinan dalam Organisasi”, 1994, hal 14)

Ada banyak teori kepemimpinan, mulai dari yang paling tradisional sampai yang paling modern (Kotingensi). Walaupun demikian teori kepemimpinan yang merupakan fungsi dari Pemimpin, Pengikut dan variabel situasional (Paul Hersey & Ken Blanchard, 1992:99) sangatlah penting. Walaupun demikian penglihatan hanya pada faktor kepemimpinan sebagai motivator dalam performa bawahan tidak dapat dibenarkan. Collin Silverthorne (dari University of sanfransisco, USA) melakukan pengujian terhadap teori Kepemimpinan Path Goal (di Taiwan), -- menemukan bahwa; walaupun prilaku kepemimpinan adalah faktor motivasional dan juga sebagai sumber kepuasan, tetapi tidak semua level menerimanya. Dalam penelitian ini style kepemimpinan tidak motivasional bagi pekerja bawahan, juga bagi pekerja dengan derajat sama. (Journal of leadership, “pengujian Kepemimpinan Path Goal di Taiwan”).

Ini menunjukkan walaupun style kepemimpinan merupakan faktor motivasional, tetapi ada faktor-faktor lain yang menyebabkan motivasi seorang bawahan untuk melakukan sesuatu dengan senang hati. Seperti ditunjukkan oleh penelitian klasik Herzberg dengan teori dua faktornya

Disamping itu dengan semakin berkembangnya pekerjaan dan demografi penduduk yang terkadang tidak merata antara laki-laki dan wanita, maka unsur gender sekarang sudah masuk kategori dalam melihat suatu kejadian. Karena dari berbagai penelitian ada kecendrungan yang berbeda antara sifat-sifat laki-laki dan wanita.

Dalam banyak hasil studi diperoleh kenyataan bahwa kaum perempuan merupakan pemain yang lebih baik dibandingkan banyak pria dalam banyak keahlian (Fread Luthans; 2000: 92). Walaupun demikian masih banyak ditemukan ada diskriminasi gender antar laki-laki perempuan, yang biasa dalam literatur dikatakan dengan; “Glass Ceiling Effect”, efek atap kaca dimana istilah ini mengacu pada kaum wanita yang dihalangi dalam hal promosinya sampai level manajemen puncak. (Ibid, hal 73). Memang ada pembenaran-pembenaran akademis tentang ini, sekalipun pembenaran akademis tersebut sekarang sudah banyak dipertanyakan kebenarannya dan dikritik (Ibid, hal 92 )

Seperti juga ditunjukkan dalam penelitian Bernard Bass & Bruce Avolio, mengatakan; Wanita lebih menunjukkan kecondongan pada kepemimpinan Tranfarmasional (orientasi pengikut) daripada laki-laki yang lebih kepola kepemimpinan Transaksional (orientasi tugas) (Bernard Bass & Bruce Avolio, “Shatter the Glass Ceiling: Women May Make Better Managers,“ Human Resource Management, Vol. 33, No.4 (Winter 1994), pp 549-560, dalam Human Resource management 7th , Gary Dessler, 1997, hal 303).

Demikian juga masalah umur, seperti yang dikatakan oleh Shaun Tyson & Tony Jackson, waktu menerangkan masalah Karier transisi, yang berhubungan dengan Gender mengatakan; Wanita dalam pekerjaan manajerial terlihat lebih baik dalam menyesuaikan diri mereka terhadap meningkatnya ketidakpastian pasar dan peluang kerja. Hal ini berkebalikan dari manager pria yang berciri lebih rasionalistik dan umur makin tua memiliki perbedaan dalam hubungannya dengan orientasi kerja (The Essence of Organizational Behavior, hal147-148). Fred Luthans juga mengatakan; loyalitas dan komitmen yang kuat dalam perusahaan antara pekerja senior dan yunior, ada perbedaan. Pekerja senior (yang lebih tua) memiliki kesabaran yang luar biasa dan membawa ini kedalam dunia kerja. Loyalitas dan komitmen terhadap perusahaan seperti itu tidak dimiliki oleh kaum muda. Pekerja-pekerja muda tidak mempunyai pikiran untuk mengabdi pada satu perusahaan dalam waktu yang lebih lama (seumur hidup). (Ibid, Luthans, hal 73).

Di barat motivasi non materi, sekalipun banyak dilakukan penelitian, tetapi jarang sekali menyentuh faktor motivasi intrinsik keagamaan. Padahal kata Watt;

Bagi orang yang memandang agama mengandung suatu makna dan bukan sekedar ketaatan terhadap namanya semata, terdapat dua point yang dapat ditegaskaskan; Pertama, gagasan keagamaannya membengan kerangka intelektual dirinya darimana dia memandang segenap aktivitasnya berlangsung. Dari keterikatan ini, aktifitasnya dalam konteks yang lebih luas memperoleh arti penting, dan pertimbangan atas keterikatannya ini dapat mempengaruhi perencanaan umum terhadap kehidupannya secara lebih khusus. Kedua, karena agama membawa suatu kesadaran terhadap konteks aktifitasnya yang lebih luas seperti disebutkan diatas, dimana tujuan-tujuan yang mungkin bagi kehidupan manusia sudah ditentukan, maka hal itu kerap kali bisa membangkitkan motif yang melandasi aktifitas yang tentu saja tampa motif yang diberikan oleh agama beberapa aktifitas tidak bisa dilaksanakan. (W. Montgomery Watt, “Islamic Political Thought”, 1980:43-44).

Kecuali mungkin Tesis Max Weber, yang sekarang sudah out of date, yang mengatakan; “Ada hubungan antara Etika Protestan dan semangat kapitalisme, khususnya sekte Calvinian”. (Max Weber, The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism, New York 1958. terj Max Weber Etika Protestan dan semangat Kapitalisme, Surabaya 2000).

Disini kita bisa melihat adanya kemungkinan yang cukup bahwa ada hubungan antara orientasi keagamaan dan prilaku kerja. Dimana hal tersebut akan dielaborasi dan dilihat lebih jauh lagi dalam penelitian ini.

Apabila motivasi, kepemimpinan dan seterusnya diatas dihubungkan dengan institusi pendidikan, maka hasilnya hampir sama. Dalam terbitan berkala, Manajemen Pendidikan yang dikelola oleh Fakultas Ilmu pendidikan IKIP (yang sekarang menjadi Universitas Negeri) Malang, Bambang Budi Wiyono mengatakan; banyak faktor penyebab kurang berhasilnya sekolah diantaranya; Kurangnya kualitas guru, Motivasi, Fasilitas, Kepemimpinan Kepala Sekolah dll (Bambang Budi Wiyono, “Gaya Dasar Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kualitas Sekolah”, Manajemen Pendidikan FIP-IKIP, Th 9, No 1, Agustus 1999, hal 52-61). Dan hasil temuan penelitian Imron Arifin, mengindikasikan faktor-faktor yang membuat lembaga pendidikan berprestasi yaitu; 1) Fasilitas fisik serta peralatan yang baik; 2) guru-guru dan staf pendukung yang kompeten dam mempunyai komitmen tinggi, 3) pembelajaran yang berdiferensiasi; 4) harapan dan kepercayaan yang tinggi, dan dukungan yang kuat dari orang tua dan masyarakat sekitar, 5) organisasi yang rasional dan harmonis, 6) komitmen yang tinggi terhadap budaya lokal dan agama, 7) iklim kerja yang sehat serta motivasi dan semangat kerja yang tinggi, 8) keterlibatan kepala sekolah da guru-guru, 9) kepala sekolah yang efektif dan 10) dukungan figur-figur kreatif yang berwawasan luas dan kaya gagasan (Disertasi, Imron Arifin, IKIP Malang, 1998, tidak diterbitkan)

Disinilah perlunya mengambil pendalaman lebih, yang berhubungan dengan “ Style kepemimpinan, gender, jenis orientasi keagamaan institusi, terhadap Motivasi Karyawan dalam hubungannya dengan pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan.

Beberapa Penelitian faktor Kepuasan Kerja

Tin & Yuan (1997) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh karakteristik individu (Usia, pendidikan, ras, gender, nilai-nilai, kebutuhan, sikap dll), karakteristik pekerjaan (gaji, promosi, kejelasan tugas, signifikansi tugas dll) dan karakteristik organisasi (komitmen organisasi, hubungan dengan atasan /supervisor, teman kerja dll). Besser (1995) mengatakan, kemampuan dan usaha berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Selanjutnya bahwa kinerja karyawan berpengaruh secara signifikan terhadap penghargaan dan selanjutnya berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan.

Rice & McFarlin (1989) menunjukkan bahwa kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh upah, jaminan kesehatan, kesempatan promosi, hubungan dengan teman kerja dan atasan, kebebasan cara kerja, kesempatan belajar. Jurgensen (1978) dalam As’ad (1999) meneliti hubungan antara usia dan kepuasan kerja. Menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara usia dan kepuasan kerja dan ada perbedaan sikap antara karyawan pria yang berumur dua puluh tahun dan yang lebih tua. Karyawan yang berumur dua puluh tahun lebih menekankan pada teman-sekerja, jam kerja, upah, supervisi dan kondisi kerja, dan kurang memperhatikan pada faktor lingkungan, organisasi dan keamanan.

Praadep K. Tyagi (1990) melakukan penelitian terhadap prestasi kerja pada sales, dan hasilnya, bahwa motivasi intrinsik lebih kuat pengaruhnya terhadap prestasi dibanding kepemimpinan/motivasi ekstrinsik dari organisasi. Yacob (1998) menemukan bahwa variabel bebas karakteristik individu (jenis kebutuhan, sikap, minat), karakteristik pekerjaan (kecakapan, identitas tugas, derajat otonomi), dan karakteristik organisasi (kebijakan kultur, lingkungan kerja) secara bersama-sama berpengaruh dan signifikan terhadap kinerja karyawan.

Bambang Budi Wiyono mengatakan; banyak faktor penyebab kurang berhasilnya sekolah diantaranya; Kurangnya kualitas guru, Motivasi, Fasilitas, Kepemimpinan Kepala Sekolah dll (Bambang Budi Wiyono, “Gaya Dasar Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kualitas Sekolah”, Manajemen Pendidikan FIP-IKIP, Th 9, No 1, Agustus 1999, hal 52-61). Dan hasil temuan penelitian Imron Arifin, mengindikasikan faktor-faktor yang membuat lembaga pendidikan berprestasi yaitu; 1) Fasilitas fisik serta peralatan yang baik; 2) guru-guru dan staf pendukung yang kompeten dam mempunyai komitmen tinggi, 3) pembelajaran yang berdiferensiasi; 4) harapan dan kepercayaan yang tinggi, dan dukungan yang kuat dari orang tua dan masyarakat sekitar, 5) organisasi yang rasional dan harmonis, 6) komitmen yang tinggi terhadap budaya lokal dan agama, 7) iklim kerja yang sehat serta motivasi dan semangat kerja yang tinggi, 8) keterlibatan kepala sekolah da guru-guru, 9) kepala sekolah yang efektif dan 10) dukungan figur-figur kreatif yang berwawasan luas dan kaya gagasan (Disertasi, Imron Arifin, IKIP Malang, 1998)

1. Kepemimpinan

Siapapun dapat mengemudikan kapalnya, namun hanya pemimpinlah yang dapat menentukan arahnya. John C. Maxwell.

Manajer berhubungan dengan melakukan dengan benar (efisiensi), sedangkan Pemimpin berhubungan dengan melakukan yang benar (Efektif). Peter F. Drucker

Dunia sekarang ini ditandai oleh gelombang globalisasi, era tehnologi dan informasi, sehingga perubahan dalam hamper semua aspek terasa sangat cepat. Ada banyak istilah yang biasa disebutkan sebagai Turbulensi, supernova dan akhirnya Chaos. Dengan ini semua maka Kepemimpinan atau seorang pemimpin lebih diperlukan lagi dari pada sebelumnya, sebab kata Drucker; inti kepemimpinan/pemimpin adalah penemtu arah effektivitas, bukan effisiensi. Doing thing The right bukan Doing right the thing.

Menurut Handbook of Leadership “Kepemimpinan adalah suatu interaksi antara anggota suatu kelompok. Pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang prilakunya akan lebih mempengaruhi orang lain dari pada prilaku orang lain yang mempengaruhi mereka. Kepemimpinan timbul ketika suatu kelompok mengubah motivasi atau kompensasi anggota lainnya didalam kelompok”. (Bernard M. Bass, hal 21). George R. Terry, mengatakan, “kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela. Atau kata Harold Koontz & Cyril O’Donnel, “kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi orang-orang untuk ikut dalam pencapaian tujuan bersama”.

John P. Kotter, pakar Kepemimpinan di Harvard mengatakan, memimpin adalah menetapkan arah, mengorganisasikan dan menetapkan staf, menggalang orang, mengontrol dan memotivasi serta menyemangati. Hampir tidak dapat dipisahkan secara jelas antara Manajer dan Pemimpin (sehingga dalam tulisan inipun tidak dibedakan secara jelas-penulis). Kepemimpinan memotivasi manusia dengan memenuhi kebutuhan dasar manusiawi (John P. Kotter, Harvard Business Review, edisi Mei-Juni, 1990, dalam What Leaders Really Do, John P. Kotter,1999, hal 45 dan 51).

Bentuk-bentuk Kepemimpinan

1. MODEL VROOM-JAGO (REVISI)

Model ini menetapkan prosedur pengambilan keputusan kepemimpinankepemimpinan paling efektif dalam masing-masing dari beberapa situasi yang berbeda yaitu 1) Autokrasi --- dibagi menjadi ; AI (dimana pemimpin memutuskan sendiri), AII (mencari informasi dari bawahan dan memutuskan sendiri). 2) Konsultatif ---- dibagi menjadi ; CI (Pemimpin berbagi masalah dengan bawahan, mendapat ide dan usulan mereka, lalu pemimpin membuat keputusan), CII (sama hanya ada rapat kelompok bawahan dengan pemimpin sebelum membuat keputusan). 3) Satu bauran keputusan pemimpin dan kelompok yaitu GII (Pemimpin dan bawahan berbagi masalah bersama-sama, membangkitkan, mengevaluasi alternative-alternatif dan berusahan mencapai consensus).

2. TEORI ATRIBUSI KEPEMIMPINAN

Teori ini adalah suatu teori hubungan antara persepsi individu dan prilaku antar pribadi. Teori ini mengatakan bahwa pemahaman akan dan kemampuan memprediksi bagaimana orang akan bereaksi atas suatu peristiwa dapat ditingkatkan dengan mengetahui penjelasan sebab dari peristiwa itu.

Teori ini menyangkut ATRIBUSI PEMIMPIN --- dimana pemimpin harus dapat menggolongkan sebab dari prilaku pengikut/bawahan apa termasuk kategori: : manusia, kesatuan, atau konteks. Contoh peristiwa jeleknya kualitas. Ini apa disebabkan manusia (missal: kemampuan tidak memadai), Tugas (kesatuan administrasi, koordinasi bagian atau lainnya yang ada), atau beberapa kejadian unik yang mengelilingi kejadian (konteks).

ATRIBUSI TENTANG SEORANG PENGIKUT ---- dimana disini kejadian, tingkah laku bawahan digolongkan menjadi : Keistimewaan, konsistensi, dan Konsensus. Misalnya; seorang bawahan melakukan tugas sehingga kualitas hasil berkualitas jelek. Apa ini hanya pada tugas itu saja, tugas-tugas yang lainnya tidak jelek (keistimewaan). Apa sering ia melakukan kejelekan ini, dibagian tertentu sering, atau dibagian-bagian yang lainpun untuk bawahan ini sering (konsistensi). Apa bawahan yang lain untuk pekerjaan ini, dibagian ini, kualitasnya jelek (consensus).

Apakah sebab itu internal (kurangnya upaya bawahan) atau sebab eksternal (diluar kendali bawahan, misal: alatnya sudah tua, kondisi kerja yang tidak baik dll).

Bila pemimpin membuat atribusi internal maka gaya kepemimpinannya cenderung menghukum, kekerasan dll.:

3. KEPEMIMPINAN KARISMATIK

Karisma dari bahasa Yunani yang artinya "Bakat". Kepemimpinan Karismatik adalah kemampuan untuk mempengaruhi pengikut berdasarkan pada baker supranatural dan kekuatan yang menarik. Pengikut menikmati karismanya pemimpin karena mereka merasa memperoleh inspirasi, kebenaran dan penting.

Mereka biasanya bekerja berdasarkan visi dan dalam kondisi kritis

Perkembangan pemimpin karismatik:

  • Pertama --- pemimpin secara kontinyu menilai lingkungan, menyesuaikan dan merumuskan sebuah visi tentang apa yang harus dilakukan. Sasaran pemimpin dibentuk
  • Kedua ----- Pemimpin menyampikan visinya kepada para pendukung, menggunakan cara apapun yang perlu.
  • Ketiga ----- Dititik beratkan dengan bekerja berdasarkan kepercayaan dan komitmen. Mengerjakan hal-hal yang tak terduga, mengambil resiko dan menjadi ahli secara teknis.
  • Keempat ----- Pemimpin karismatik bekerja sebagai model dan motivator.

4. KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANFORMASIONAL

Kepemimpinan Transaksional adalah kepemimpinan dimana pemimpin membantu para pengikut mengenali apa yang disenangi dan diinginkan dan membantu mereka mencapai tingkat pelaksanaan yang menghasilkan penghargaan yang memuaskan dari pencapaian keinginan mereka. Pendekatan ini menggunakan konsep Path-goal sebagai kerangka kerjanya.

Contoh: Upah-prestasi, Jabatan-gaji dll.

Kepemimpinan Tranformasional adalah kepemimpinan dimana pemimpin memiliki kemampuan untuk memberikan inspirasi dan memotivasi para pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dari pada yang direncanakan secara orisinil/formal untuk imbalan internal.

Faktor-faktor kepemimpinan tranformasional dalam penelitian Bass (Leadhership Performance) adalah:

· Karisma ---- Pemimpin mampu menanamkan suatu rasa nilai, hormat, dan kebanggaan dan untuk mengutarakan sutau visi dengan jelas.

· Perhatian individual ---- Pemimpin memberi perhatian pada kebutuhan para pengikut dan menugaskan proyek-proyek berarti sehingga para pengikut tumbuh sebagai pribadi.

· Rangsangan Intelektual ---- Pemimpin membentu para pengikut berfikir kembali dengan cara-cara rasional untuk memeriksa sebuah situasi. Ia mendorong para pengikut agar kreatif.

· Penghargaan yang tak terduga ---- Pemimpin memberitahu para pengikut tentang apa yang harus dilakukan untuk menerima perhargaan yang lebih mereka sukai.

· Manajemen dengan pengecualian ---- Pemimpi pengijinkan para pengikut untuk mengerjakan tugas dan tidak mengganggu kecuali bila sasaran-sasaran tidak dicapai dalam waktu yang masuk akal dan biaya yang pantas.

C. TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN

  1. TEORI SIFAT

Teori ini berusaha mengidentifikasi karakteristik khas (fisik, mental, kepribadian) yang diasosiasikan dengan keberhasilan kepemimpinan. Diidentifikasi al:

· Intelegensia ---- Penyesuaian diri, mampu memutuskan, pengetahuan dan kelancaran bicara dll.

· Kepribadian ----- individualisme, kreatif (independent dalam melakukan respon), penyesuaian diri, kesigapan, integritas pribadi, percaya diri dan keseimbangan emosional dan kemandirian control (non-conformity) dll, dianggap cirri kepmimpinan yang baik/effektif.

· Karakteristik Fisik ----- lenih besar dan tinggi diasosiasikan memiliki peluang yang lebih untuk memimpim dibandingkan lainnya.

· Kemampuan ----- Kemampuan untuk mendapatkan kerjasama, Populer dan berpengaruh, Sosiabilitas, partisipasi sosial, taktis dan diplomatis.

Teori ini dikritik karena: 1) daftar sifat takterbatas hanya itu, 2) Skor tes yang dilakukan mengandung subjektifitas ada jalinan pengaruh lain 3) pola prilaku effektif sangat bergantung pada situasinya.

  1. TEORI PRIBADI-PRILAKU

Teori ini mencari tahu bagaimana prilaku pemimpin menentukan effektifitasnya. Ada beberapa penelitian disini:

· Studi dari universitas of Michigan, ada dua kategori yaitu 1) Kepemimpinan yang berpusat pada pekerjaan ---- disini pemimpin mengawasi secara ketat pekerjaan dan kinerja bawahan. 2) Pemimpin berpusat pada Karyawan ----pemimpin hanya mengawasi secara umum pekerjaan orang lain. Ia berusaha agar orang lain merasakan otonoi dan dukungan

. Kritik pada teori ini adalah siplifikasi, hanya dua kategori saja.

· Studi dari Ohio State University, ada dua kategori yang dilihat dari pemimpin yaitu 1) Membentuk struktur ---- Tindakan dari kepemimpinan berarti pembentukan struktur tugas dan tanggung jawab dari pengikut. 2) Konsiderasi --- Tindakan dari pemimpin yang menunjukkan dukungan bagi pengikutnya dalam suatu kelompok.

  1. TEORI SITUASIONAL

Suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya,sifat-sifat bawahannya dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostic dalam perilaku manusia.

Pemimpin yang effektif disini harus menyesuaikan terhadap perbedaan-perbedaan bawahan dan situasinya.

  1. MODEL KONTINGENSI

Teori ini mengatakan effektifitas kepemimpinan tergantung dari interaksi gaya kepemimpinan dan situasi yang mendukung. gaya kepeimpinan, Dalam GAYA KEPEMIMPINAN yang dilihat seperti : 1) Berpusat pada karyawan dan pekerjaan (pencetusnya Likert) ---- ini menghasilkan peningkatan produksi namun dalam waktu lama menimbulkan penekanan dan penolakan, melalui absensi, turn-over karyawan ---- Gaya terbaik berpusat pada karyawan. 2) Membentuk Struktur dan Konsiderasi (pencetusnya: Fleisman, Stogdill dan Shartle) ---- kombinasi dari menciptakan struktur dan konsiderasi dalam situasi menentukan effektifitasnya. Dalam SITUASI yang dilihat adalah: 1) Hubungan Pemimpin-Anggota --- ini mengacu pada derajat keyakinan, kepercayaan dan rasa hormat yang didapatkan pemimpin dari pengikutnya. 2) Struktur tugas ---- ini mengacu pada bagaimana terstrukturnya tugas dengan mempertimbangkan persyaratan, alternative pemecahan masalah dan unpan balik pada keberhasilan kerja. 3) Kekuasaan Posisi --- ini mengacu pada kekuatan inheren dalam posisi kepemimpinan.

  1. MODEL PATH-GOAL (jalur tujuan)

Teori ini beranggapan bahwa seorang pemimpin perlu mempengaruhi persepsi pengikutnya mengenai tujuan kerja, tujuan pengembembangan diri dan cara-cara pencapaiannya.

Disini disimulasikan ada 4 prilaku pemimpin yaitu; 1) Direktif – cenderung membiarkan bawahan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. 2) Suportif – memperlakukan bawahan dengan derajat yang sama. 3) Partisipatif – meminta pendapat bawahan dan mempertimbangkan saran dan ide mereka sebelum mencapai suatu keputusan. 4) Orientasi pada prestasi – menetapkan tujuan-tujuan yang menantang, mengharapkan bawahan untuk memberikan prestasinya pada tingkat yang paling tinggi, dan secara terus menerus melakukan perbaikan prestasi.

Tiga (3) sikap bawahan yaitu 1) Kepuasan kerja, 2) penerimaan terhadap pemimpin dan 3) pengharapan terhadap hubungan usaha- prestasi- penghargaan.

Hasil studi empiris menemukan: Ketika struktur tugas (pengulangan dan rutinitas pekerjaan) tinggi, prilaku pemimpin yang direktif berhubungan negative terhadap kepuasan. Juga, ketika struktur tugas rendah, perilaku kepemimpinan direktif berhubungan positif terhadap kepuasan. Ketika struktur tugas tinggi, kepemimpinan Supportif berhubungan positif terhadap kepuasan, dst.

  1. TEORI KEPEMIMPINAN SITUASIONAL HERSEY- BLANCHARD

Penekanan teori ini pada pengkut dan tingkat kematangan mereka. Disini Pemimpin harus dapat menilai secara benar atau intuitif mengenai tingkat kematangan pengikut-pengikutnya kemudian menyesuaian gaya kepemimpinannya dengan kematangan pengikut-pengikutnya.

Disini Hersey-Blanchard menggunakan studi Ohio State dan mengembangkan empat (4) gaya kepemimpinan, yaitu :

· Mengatakan/Telling ---- Pemimpin mendefinisikan peran-peran yang dibutuhkan untuk melakukan tugas dan mengatakan pada pengkutnya apa, dimana, bagaimana dan kapan untuk melakukan tugas-tugasnya.

· Menjual/Selling ----- Pemimpin menyediakan intruksi-intruksi terstruktur bagi pengikutnya, tetapi juga suportif

· Berpartisipasi/Participating ----- Pemimpi dan pengikut saling berbagi dalam keputusan-keputusan mengenai bagaimana yang paling baik untuk menyelesaikan suatu tugas dengan kualitas tinggi

· Mendelegasikan/Delegating ----- Pemimpin menyediakan sedikit pengarahan secara seksama, spesifik atau dukungan pribadi terhadap pengikut-pengikutnya.

Problem disini adalah: Apakah orang dalam posisi kepemimpinan semudah ini untuk menyesuaikan?

  1. PENDEKATAN HUBUNGAN BERPASANGAN VERTIKAL

Teori ini mengatakan bahwa tidak ada hal seperti perilaku kepemimpinan yang konsisten terhadap seluruh bawahan. Tiap hubungan satu-satu memiliki keunikannya sendiri-sendiri.

Disini dibedakan dua kelompok yaitu; 1) kelompok dalam ---- dimana keterbukaan, kultur,dan peluang mobilitas keatasnya lebih berpotensi. Biasanya kelompok ini menerima tugas-tugas yang menantang dan imbalan yang berarti. 2) Kelopok luar----- dimana keterbukaan, kultut dan mobilitas keatas lebih rendah, karena tidak dipilih oleh pemimpin sebagai setipe.

SUBSTTUSI KEPEMIMPINAN

Ini adalah karakteristik tugas, organisasional, dan bawahan yang dapat menggantikan prilaku kepemimpinan. Seorang pemimpin akan memiliki sedikit atau tidak sama sekali pengaruh bila ada situasi ini. Misalnya: Pegawai yang berpengalaman, terlatih secara baik, berpengetahuan tidak membutuhkan seorang pemimpin untuk menstruktur tugas (bagi seorang pemimpin yang berorientasi pada tugas). Dll.

1.1. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin

Dalam organisasi atau institusi sekolah, yang menjadi pemimpin adalah kepala sekolah. Secara garis besar, menurut Sergionvani (1987) tugas dan peran Kepala Sekolah adalah sebagai pemimpin pendidikan (education leadership) dan sebagai manajer sekolah (school manager). Roe dan Drake (1974), membedakan tugas kepala sekolah dengan Tugas Administrasi dan Tugas Pemimpin Pendidikan.. (Ibid, Imron Arifin, “Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah yang efektif”, Manajemen Pendidikin, FIP-IKIP, hal 62-69)

1.2. Sekolah dan Kepala Sekolah yang efektif

Menurut Lipsitz (1980) sekolah yang efektif adalah; 1) kualitas lulusan yang diakui oleh institusi lain; 2) para guru merencanakan pelajaran secara memadai; 3) sekolah mempunyai program perayaan hari besar nasional dan keagamaan; program kegiatan ekstrakulikuler yang menarik bagi murid; moral lembaga tinggi; dan 4) orang tua menerima hasil studi anaknya secara baik;. Banyak paneliti lain dengan indikator lain-lain, tetapi intinya sama seprti; Hoy dan Ferguson (1985), Robbons (1983) dll.

Sedangkan Efektifitas kepala sekolah, menurut penelitian Bernard (dikutip oleh McPherson, 1986) memiliki tujuh karakteristik yaitu; 1) tampa pamrih, 2) suka kerjasama, 3) Suka berkomunikasi, 4) mempunyai Otoritas, 5) Piawai memproses keputusan, 6) mempunyai dinamika keseimbangan dan 7) eksekutif yang bertanggung jawab.

Banyak Teori-teori dan peneliti-peneliti lainnya yang berbeda-beda melihat sifat-sifat dan karakteristik yang semestinya dimiliki oleh seorang pemimpin (Kepala sekolah).

1.3. Teori-teori Kepemimpinan

Banyak teori-teori dan bentuk kepemimpinan yang dikemukanan, mulai yang paling tradisional sampai ke yang modern.

A. Teori sifat dan Kharismatik

Dalam dua teori ini (Teori Sifat, trait dan Karismatik), keberhasilan kepemimpinan sebagaian besar ditentukan oleh sifat-sifat kepribadian tertentu seperti diatas (kecerdasan, kejujuran, kreatifitas dll). sebaliknya pemimpin dikatakan tidak efektif bila ia memiliki sifat-sifat yang sebaliknya. Teori ini banyak dikritik karena; 1) daftar sifat yang sangat penting bisa sangat banyak dan tak terbatas, 2) skor tes yang dilakukan mengandung subjektifitas, dan tidak secara konsisten meramalkan keefektifan pemimpin, 3) pola prilaku efektif kepemimpinan tergantung situasi yang dihadapinyan (Gibson, dkk, ibid, hal 12 ). Dan berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa kriteria sifat sebagai penentu ketepatan kepemimpinan seseorang kurang terbukti dengan baik. (Robert Owen G, “Organizational Behavior in Education, 1991, hal 133-134, juga ibid Bambang Budi Waluyo, hal 54) Selanjutnya para ahli mengembangkan teori kepemimpinan yang bertolak dari prilaku.

B. Teori Prilaku

Teori ini mencari tahu bagaimana prilaku pemimpin menentukan effektifitasnya. Teori ini memiliki dua kategori besar yaitu penelitian;

1. Studi Kepemimpinan Universitas Michigan dan Ohio

Kedua teori ini pada dasarnya sama, hanya penyebutannya yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan orientasi tugas (task oriented) dan orientasi hubungan manusia (people oriented), ada yang menyebut dengan istilah Inisiasi dan konsiderasi. Ada yang menyebut orientasi produk (production oriented) dan perhatian pada manusia (employee oriented), juga ada (Hoy & Miskel, 1982) menyebutkan dengan perhatian pada organisasi (concern fororganizational) dan perhatian pada hubungan individual (concern for individual relationship). (Ibid, Bambang Budi Wiyono, hal 53)

Ciri-ciri gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas adalah; 1) banyak memberikan penjelasan, 2) banyak mengemukakan ide, 3) memastikan keterlibatannya dipahami anggota, 4) membuat onggota tahu apa yang diharapkan organisasi, 5) mengadakan komunikasi searah, 6) merancang tugas-tugas secara terinci, 7) membuat perencanaan, 8) menetapkan jadwal, 9) menegakkan peraturan dengan keras, 10) mendorong anggota menggunakan prosedur yang seragam, 11) meminta anggota mengikuti aturan, 12) mengkoordinasikan kerja anggota, 13) mempertahankan standar performa tertentu, 14) mendorong anggota bekerja optimal, 15) mengkritik kerja anggota yang kurang optimal.

Sedangkan ciri-ciri gaya kepemimpinan yang berorientasi hubungan manusia adalah; 1) melakukan pendekatan terhadap anggota, 2) membuat mudah dipahami anggota, 3) bersikap baik, 4) memudahkan anggota berkomunikasi, 5) meluangkan waktu mendengarkan anggota, 6) bersikap terbuka, 7) menyenangkan anggota, 8) menganggap anggota sama dengan dirinya, 9) mengadakan konsultasi dalam bertindak, 10) menerima ide-ide, 11) menerima saran-saran anggota, 12) meminta persetujuan anggota dalam bertindak, 13) mengusahakan kesejahteraan anggota, 14) berkemauan membuat perubahan organisasi.

Setelah melihat model diatas (orientasi tugas dan hubungan), A.K. Korman mengatakan, kepemimpinan situasional didasarkan pada hubungan-hubungan antara 1) kadar bimbingan dan arahan (prilaku tugas) yang diberikan pemimpin, 2) kadar dukungan sosioekonomis (prilaku hubungan) yang disediakan pemimpin dan 3) level kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan oleh pengikut sangatlah penting.

2. Kepemimpinan Situasional Hersey-Blanchard

Teori situasional ini mengatakan bahwa tingkah laku kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi oleh prilaku sang pemimpin, tetapi juga bawahannya, kondisi lingkungan, kekuasaan sang pemimpin dll.

Teori ini mengatakan effektifitas kepemimpinan tergantung dari interaksi-interaksi gaya kepemimpinan dan situasi yang mendukung gaya kepemimpinan itu.

Ada empat gaya kepemimpinan melihat ketiga komponen diatas (pemimpin, level kematangan bawahan dan kadar dukungan sosioekonomis); yang dikemukakan oleh Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, yaitu;

a) memberitahukan (telling), dimana pengikut kurang matang (tinggi tugas dan rendah hubungan),

b) Menjajakan (selling), dimana pengikut sedang kematangannya (tinggi tugas, sedang hubungan),

c) Mengikut sertakan (participating), dimana (sedang tugas, tinggi hubungan),

d) Mendelegasikan (delegating), dimana pengikutnya tinggi kematangannya ( tinggi hubungan, tinggi tugas).

(Paul Hersey & Ken Blanchard, Manajemen Prilaku Organisasi: Pendayagunaan Sumber daya Manusia, 4th, 1992)

Gaya kepemimpinan yang digunakan oleh seorang pemimpin, sekalipun mereka juga melihat pengikutnya, tetapi persepsi antara pemimpin dan pengikut tidak selamanya sama, bahkan sangat mungkin berbeda. Misalnya pengikut merasa mereka sudah matang sehingga mereka menginginkan diperlakukan dengan delegating ataupun participating, ternyata pemimpin memperlakukan dia dengan selling bahkan telling. Kesingkrunan dan kecocokan gaya kepeminpinan itu ditangkap oleh pengikut dapat dilihat sampai sejauh mana mereka para pengikut itu puas dan termotivasi dalam berhubungan dengan pemimpinnya untuk mencapai tujuan organisasi.

Setelah melihat teori-teori diatas, maka hampir semua teori mengarah kepada hubungan antara pemimpin dan pengikut (dengan variasi dan penekanannya sendiri-sendiri)

Penekanan pada pemimpin dan pengikut, sekalipun banyak variabel situasional (seperti; pemimpin, pengikut, atasan, sejawat, organisasi, desakan pekerjaan, waktu dll) dibenarkan oleh Fillmore H. sanford “sebagai faktor yang paling penting dalam setiap kepemimpinan.” (Paul hersey & Ken Blanchard, hal 105)

Senada dan mendukung pernyataan diatas, menurut hasil penelitian Hemphill, Orientasi Tugas dan Orientasi hubungan, merupakan dimensi pokok dalam perilaku kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang baik adalah gaya kepemimpinan yang tinggi orientasi tugas dan tinggi orientasi hubungan manusia (Carver dan Sergiovani) yang dibenarkan oleh penelitian ulang Universitas Michigan (Hoy dan Miskel, 1982) juga hasil studi RG Fast (Clerence Newel, “human Behavior in education Administrasi, 1978, hal 233).

Dari hasil-hasil ini, kita bisa melihat keberhasilan suatu organisasi tidak hanya ditentukan oleh gaya kepemimpinannya saja. Ada variabel-variabel lain yang mesti dilihat dalam menentukan kepuasan dan gaya kepemimpinan serta efektifitas organisasi.

2. Motivasi

2.1. Motivasi dan Kepuasan

Disini tidak dipisahkan dengan jelas antara kepuasan dan motivasi, sebab itu saling menggantikan. Apabila kondisi memuaskan akan memberi motivasi, sedangkan apabila memiliki motivasi maka akan mudah terpuaskan. Seperti diperlihatkan dengan dengan teori dua faktor herzberg.

Fred Luthans mengatakan, Motivasi adalah proses psikologis dimana tindakan dimulai --kebutuhan atau dorongan, perangsang-- untuk melakukan aktivitas atau mencapai tujuan (Fread Luthans, 2000: 249). Sedangkan Robbins, mengatakan motivasi sebagai kesediaan mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individu (Stephen P. Robbins, “Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Application, 7th , 1996, hal 198). Gibson dkk, mengatakan Motivasi sebagai konsep yang digunakan sebagai untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau didalam seseorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan prilaku (Ibid, Gibson, hal 185).

Proses dari terjadinya motivasi, tidaklah muda untuk ditelusuri, ada rangkaian rumit yang jalin menjalin sehingga terjadinya motivasi itu. Secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut;

Dalam hidup kita selalu melakukan Eksternalisasi yaitu upaya menghubungkan diri kita ke dunia luar. Proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis disebut Persepsi (Gibson dkk, jilid 1, hal 134).

a) Hasil Persepsi kita akan sesuatu memberikan arti tersendiri terhadap rangsangan itu. Individu “meliha” hal sama dengan cara yang berbeda, (Walter R. Nord, 1976) sehingga menghasilkan tanggapan yang berbeda pula. Dari persepsi akan menghasilkan Sikap yaitu pernyataan evaluatif—baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan—mengenai objek, orang, peristiwa.( Stephen P. Robbin, 1996, jilid 1, hal 169), Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. Misalnya; pernyataan, “saya menyukai pekerjaan saya”. ini adalah ungkapan sikap terhadap pekerjaan itu. Sikap juga ditentukan oleh nilai-nilai yang dimiliki. Nilai adalah keyakinan-keyakinan dasar bahwa “suatu modus atau cara perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas lebih dapat disukai secara pribadi atau sosial dari pada suatu modus perilaku atau keadaan-akhir eksistensi yang berlawanan atau kebalikannya” (M. Rokeach, 1973, hal 5, dalam ibid, hal 164). Atau seperti kata Gibson, “tuntutan atau kepercayaan bahwa seseorang menggunakan kalau bertemu dengan situasi dimana putusan harus diambil”. (Ibid, hal 149). (Lihat tabel 2) atau dapat juga diartikan sebagai konstelasi dari suka, tidak suka, titik pandang, keharusan, inklinasi dalam, penilaian rasional, irasional, prasangka dan pola asosiasi yang menentukan pandangan dunia seseorang (E. Spranger, “Type of Men”, 1982, dalam Gibson dkk, jilid 1, hal 149). Bentuk kepemimpinan yang diambil tidak diperkenankan bertentangan dengan “struktur kebutuhan” atau “orientasi nilai” bawahan. (Fred E. Fiedler:1967).

Sedangkan Kepuasan Kerja kata Robbin adalah suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang; atau selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seseorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Ibid, Robbin, hal 26). Apabila stimulus atau rangsangan dari luar memiliki kekesuaian dengan nilai-nilai dalam diri individu, yang menyebabkan persepsi tentang sesuatu itu positif, maka akan memberikan sikap yang positif, mengiyakan dan bersifat afirmatif. Dengan ini maka kepuasan akan lebih mudah terpenuhi. Bila kepuasan terpenuhi atau didapatkan maka dorongan (motivasi) untuk melakukan sesuatu yang memuaskan itu akan lebih besar. Keadaan inilah yang disebut dengan keadaan termotivasi. Ada keadaan-keadaan yang menentukan kepuasan kerja juga yang memotivasi kerja (mengacu pada Teori Dua Faktor Herzberg).

Disinilah nilai-nilai yang dianut oleh seseorang sangat penting untuk diperhatikan. Sebab stimuli (rangsangan), tidak akan banyak gunanya bila bertentangan dengan nilai-nilainya. Contoh: Seorang muslim yang taat, walau kebutuhan biologis, Rasa aman atau Sosialisasi diri, dll sangat tinggi. Sangat mungkin akan mereka abaikan bila itu bertentangan dengan nilai-nilai agamanya.

Teori-teori Motivasi

Ada banyak teori motivasi, dimana secara umum dapat dibagi menjadi dua (2) yaitu;

A. Teori kepuasan atau teori isi (contens) yang memusatkan perhatian pada faktor-faktor didalam individu yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan prilaku. Menentukan kebutuhan apa yang memicu prestasi yang diinginkan, berusaha dan memberikan kemampuan untuk menawarkan imbalan yang berarti membantu pekerja memuaskan kebutuhan, mengetahui kapan, untuk apa tawaran imbalan itu, berapa yang layak untuk mengoptimalkan prilaku pekerja dll (ibid, Ivancevich & Matteson, hal 150, Fred Luthans, hal 260, Gibson, hal 188).

Dalam teori kepuasan ini ada berbagai macam teori antara lain;

1.1. Hirarkhi Maslow yang membagi kebutuhan menjadi kebutuhan- kebutuhan; Fisiologis, Rasa aman, Rasa memiliki, sosial, Penghargaan dan Aktualisasi diri .

1.2. Teori ERG-Eldelfer, dimana teori ini percaya dengan teori Maslow hanya membaginya menjadi tiga dari lima pembagian maslow yaitu; 1) Eksistensi (makanan, udara, air, gaji, kondisi pekerjaan dll). 2) Keterkaitan (hubungan sosial dan hubungan interpersonal yang berarti). 3) Pertumbuhan (menciptakan kontribusi yang kreatif, produktif dll).

1.3. Teori dua faktor Herzberg dimana ia membagi kepuasan atau motivasi berasal dari adanya dua motivator yaitu

a) Faktor Ekstrinsik dimana keberadaan kondisi-kondisi ini terhadap kepuasan karyawan, tidak selalu memotivasi mereka, tetapi ketidak beradaannya menyebabkan ketidak puasan karyawan. Kondisi-kondisi ini adalah; kebijakan dan administrasi perusahaan, penyeliaan, hubungan dengan penyelia, kondisi kerja, gaji, hubungan dengan rekan sekerja, hidup pribadi, hubungan dengan bawahan, status dan keamanan. Dalam literatur biasanya disebut faktor Higiene.

b) Faktor Intrinsik dimana tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Seperti; Prestasi, Pengakuan, jenis kerja itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan, pertumbuhan, dst. Dalam literatur biasanya dinamakan faktor Motivator.

Tetapi semuanya teori-teori itu, mengacu ke Hirarkhi Maslow (lihat perbandingan empat teori kepuasan motivasi), hanya dimampatkan, dipilah-pilah atau diberi nama lainnya. Walau secara empiris teori Maslow kurang ilmiah tetapi penggunaan praktisnya tidak diragukan.

B. Teori Proses menerangkan, menganalisis, bagaimana prilaku didorong, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan. Membahas bagaimana pembelajaran, pengkondisian, pengkondisian operan serta pembelajaran sosial ikut dan menentukan bagaimana prilaku dibentuk dan diarahkan serta dihentikan. (Gibson, Ivancevich, Donelly, “Organisasi, prilaku, struktur dan proses”, 1996:180-209).

Banyak yang termasuk teori ini, walau tidaka akan dianalisa disini seperti;

2.1. Teori Penguatan

Teori ini berasal dari penelitian B.F. Skinner dengan binatang yang merupakan pengkondisian operan. Artnya manusia dapat diberikan pembelajaran individu dengan penguatan. Baik penguatan Positif atau Negatif. Suatu peristiwa merupakan menguatan negatif hanya kalau peniadaan sesudah suatu tanggapan meningkatkan prestasi dari tanggapan tersebut. Peredaan adalah turunnya tingkat tanggapan karena tidak adanya penguat. (Ibid, Gibson,226-227, E. Koeswara, 1989: 130. Sarlito Wirawan,1994:20-21)

Ini semua berdasarkan hukum dari Thorndike yaitu;

“Dari beberapa tanggapan atas situasi yang sama, tanggapan yang disertai atau diikuti erat dengan kepuasan (penguatan) … akan berkemungkinan besar terulang; sedangkan tanggapan yang disertai dan diikuti ketat oleh ketidaknyamanan (hukuman) … kemungkinan kecil terjadi (untuk diulang-Penulis).”

2.2. Teori Harapan

Dalam kondisi kerja, individu mempunyai harapan prestasi – upaya. Yang menunjukkan persepsi individu akan kesulitan mencapai sesuatu itu (misal: prilaku menyelesaikan tugas tepat waktu). Harapan ini memiliki peluang mulai dari 0 (nol) yaitu tidak mungkin mampu diselesaikan sampai 1 (satu) artinya pasti dapat diselesaikan.

Harapan yang diinginkan oleh seorang individu memberikan dorongan motivasi untuk melakukan hal tersebut. Dalam pekerjaan itu ia dapat menyelesaikan (dengan berbagai variasi; sangat lambat, agak lambat, sedang, cepat, dan sangat cepat). Mana diantara itu yang diinginkan dan diharapkan oleh individu. Itulah yang memberikan dorongan/motivasi terbesarnya.

Abdurrahim mengatakan; sesuatu yang pasti terjadi (dapat diperoleh) tidak memberikan dorongan yang kuat. Demikian sesuatu yang hampir pasti tidak dapat diperolehnya, juga memberikan dorongan yang kecil. Dorongan akan timbul dengan kuat jika antara sukses dan gagal adalah 50%. (Ibid, Imaduddin abdurrahim)

2.3. Teori Keadilan

Teori ini mempelajari perbedaan karyawan sesudah orang membandingkan rasio masukannya dibanding dengan referensi karyawan lain. Jika terjadi keadilan. Maka itu akan memberikan motivasi untuknya, demikian juga sebaliknya.

Dengan formula yang dirumuskan dalam Gibson sebagai berikut;

OP/IP = OPR/IRP è Keadilan

OP/IP <>è Ketidakadilan

OP/IP > ORP /IRP è Ketidakadilan

Keterangan:

OP = Keluaran dari seseorang

IP = Masukan dari seseorang

OPR = Keluaran dari orang pembanding

IPR = Masukan dari orang Pembanding

2.4. Teori Penetapan Tujuan

Locke menyatakan bahwa penetapan tujuan merupakan suatu proses kognitif dari beberapa penggunaan praktis. Menurut pandangannya, tujuan secara sadar dari seseorang dan maksudnya merupakan penentu utama dari prilaku.

Sehingga dalam menyelesaikan sesuatu seharusnya karyawan diajak untuk menetapkan tujuan suatu masalah tersebut, sehingga dengan itu akan lebih termotivasi untuk melakukannya.

2.3. Pengukuran dan cara menentukan kepuasan kerja

Penilaian (assesement) seorang karyawan terhadap betapa puas atau tidak puas akan pekerjaan merupakan penjumlahan yang rumit, menyangkut sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit. Lalu bagaimana mengukurnya? ada dua pendekatan yang umum dipakai seperti yang dikatakan oleh Robbin yaitu;

1) Angka Nilai Global (single global rating), yaitu meminta individu-individu untuk menjawab satu pertanyaan dengan rating 1 sampai 5. Misalnya; bila semua hal dipertimbangkan betapa dipuaskan anda oleh pekrjaan anda?. Jawabannya mulai dari sangat puas (5), puas (4) cukup (3) kurang puas (2) sampai sangat tidak puas (1).

2) Skor Penjumlahan (summation score). Metode ini mengenali unsur-unsur utama dalam suatu pekerjaan, dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsur (Robbins, jilid 1, hal179).

Faktor-faktor yang biasa diukur biasanya adalah; keadaan kerja, upah, kesempatan promosi, dan hubungan dengan rekan kerja. Dan banyak lain hal-hak yang biasa diukur dalam menentukan kepuasan/motivasi. Faktor-faktor ini dinilai-angka pada suatu skala baku dan kemudian dijumlahkan untuk menciptakan skor kepuasan kerja keseluruhan. (J.L. Price & C.W. Meuller, 1986). Mana yang lebih unggul. tidak dapat ditentukan dengan baik, walau secara intuisi tampak pemjumlahan respon-respon terhadap sejumlah faktor pekerjaan akan mencapai evaluasi yang akurat. tetapi riset tidak mendukung hal itu (V. Scarpello & J.P. Campbell, 1983). Terkadang kesederhanaan lebih dapat diandalkan dalam kepraktisan tindakan (Ibid, Robbinson, hal 179)

2.4. Faktor-faktor penentu Kepuasan kerja

David Sirota, “Management & Worker Discontent dalam Dialogue, Vol II/1978, No 4, hal 17-20 ; Mengatakan; usaha untuk mengidentifikasi apa yang paling banyak menjadi motivasi para pekerja praktis dapat dikatakan membuang-buang waktu saja. Para pekerja menghendaki segala yang terbaik. (David Sirota, “Manajemen dan Ketidakpuasan pekerja”, jurnal Ulumul Qur’an, Vol II.1990 / 1411 H)

Tetapi dari banyak hasil penelitian, ada faktor-faktor yang biasa digunakan sebagai ukuran penentuan kepuasan/motivasi seperti; keadaan kerja, penyelia, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja. Studi Work American National, (Wyatt Company 1989), mengidentifikasi 12 dimensi kepuasan; 1) Organisasi kerja, 2) kondisi kerja, 3) komunikasi, 4) kinerja pekerjaan dan tinjauan ulang pekerjaan, 5) rekan sekerja, 6) penyeliaan, 7) manajemen perusahaan, 8) upah, 9) tunjangan, 10) pengembangan karir dan pelatihan, 11) isi dan kepuasan pekerjaan, serta 12) citra perusahaan dan perubahan. Sedangkan International Survey Research Corp, mengidentifikasi menjadi 9 komponen yaitu; 1) Tim Kerja, 2) Rekan sekerja, 3) tunjangan, 4) diperlakukan dengan hormat dan adil, 5) keamanan kerja, 6) peluang menyumbangkan gagasan, 7) upah, 8) pengakuan akan kinerja, dan 9) kesempatan untuk maju. Dave Francis dan Mike Woodcock, setelah melakukan analisis faktor dan telah dilakukan pengujian berulang ulang menemukan faktor-faktor motivasi antara lain; Lingkungan kerja, imbalan, Rasa aman, perkembangan pribadi, keterlibatan serta minat dan tantang, sebagai faktor dominan motivasi karyawan. (50 kegiatan untuk mengembangkan diri, 1986, hal 47).

3. Gender

Dengan semakin berkembangnya pekerjaan dan demografi penduduk yang terkadang tidak merata antara laki-laki dan wanita, maka unsur gender sekarang sudah masuk kategari dalam melihat suatu kejadian. Karena dari berbagai penelitian ada kecendrungan yang berbeda antara sifat-sifat laki-laki dan wanita.

Dalam banyak hasil studi diperoleh kenyataan bahwa kaum perempuan merupakan pemain yang lebih baik dibandingkan banyak pria dalam banyak keahlian mendasar yang diperlukan untuk mencapai kepemimpinan yang efektif dan prestasi manajemen. Secara khusus, perempuan ditemukan menjadi lebih hebat dibandingkan dengan rekan pria mereka dalam masalah keterampilan interpersonal, persepsi isyarat-isyarat sosial, keterlibatan kerja, prilaku yang fleksibel, dampak pribadi dan kebebasan dari prasangka buruk terhadap ras yang berbeda dan kelompok-kelompok sosial lainnya. (Fread Luthans; 2000: 92)

Walaupun demikian masih banyak ditemukan ada diskriminasi gender antar laki-laki perempuan, yang biasa dalam literatur dikatakan dengan; “Glass Ceiling Effect”, efek atap kaca dimana istilah ini mengacu pada kaum wanita yang dihalangi dalam hal promosinya sampai level manajemen puncak. (Ibid, hal 73 ). Memang ada pembenaran-pembenaran akademis tentang ini, sekalipun pembenaran akademis tersebut sekarang sudah banyak dipertanyakan kebenarannya dan dikritik ( Ibid, hal 92 )

Seperti juga ditunjukkan dalam penelitian Bernard Bass & Bruce Avolio, mengatakan; Wanita sesungguhnya bisa menjadi manajer yang lebi baik dari pada pria, kecendrungan ini dikarenakan dewasa ini manajemen mengarah ke tim kerja dengan keterlibatan tinggi, pengambilan keputusan konsensus, dan pemberdayaan, jenis gaya kepemimpinan yang sudah ditunjukkan wanita jauh lebih cocock daripada pria. Hasil ini ditunjukkan bahwa skor wanita lebih tinngi daripada pria dalam kepemimpinan Transformasional “… mendorong pengikut untuk berjalan lebih jauh dari minat pribadi mereka terhadap perhatian-perhatian atas kelompok atau organisasi mereka. Mereka membantu pengikut kearah potensial yang lebih tinggi. .. sedangkan pria lebih tinggi skornya dalam kepemimpinan Transaksional, yang pada dasarnya dengan memuji pengikut jika mereka patuh atau mendisiplinkan mereka jika mereka tidak patuh. (Bernard Bass & Bruce Avolio, “Shatter the Glass Ceiling: Women May Make Better Managers,“ Human Resource Management, Vol. 33, No.4 (Winter 1994), pp 549-560, dalam Human Resource management 7th , Gary Dessler, 1997, hal 303).

Walaupun demikian para peneliti menyimpulkan; pemilahan ini kurang bisa dianggap pasti karena banyak hal lain yang mempengaruhi prilaku dan gaya kepemimpinan seseorang, penjelasan yang lebih masuk akal adalah, wanita akan lebih baik dikarenakan kecendrungan wanita memberi perhatian pada orang dan secara sosial lebih peka (ibid, Bass., p 556). U.J. Weirma, mengenai faktor-faktor motivasional antara laki-laki dan wanita, mengatakan; pria memberikan nilai lebih tinggi pada gaji, pencapaian prestasi individu, motivasi dan mengarahkan orang lain. Sementara wanita menekankan hubungan interpersonal yang baik, pekerjaan yang menarik, pertumbuhan profesional. (U.J Weirma, “Gender Difference in attribute Prefenence:Work Home Role conflict and job level as mediating Variable, journal of Occupational Psychology, vol 63, 1990, pp.231-243” dalam Gibson, Ivancevich, Donnelly,1997, jilid 1, hal 204).

Perbedaan Jenis kelamin dalam Manajemen:

Hasil-hasil terseleksi

Dimensi

Prilaku

Berorientasi Tugas

Berorientasi Orang

Rating Keefektifan

Respon terhadap pelaku yang beruk

Startegi pengaruh

Motivasi

Komitmen

Respon Bawahan

Hasil

Tak ada perbedaan

Tak ada perbedaan

Perbedaan Stereotype dalam evaluasi manajer pada penelitian laboratorium. Kaum pria mendukungnya. Tak ada perbedaan palam evaluasi sebenarnya

Perbedaan stereotype: pria menggunakan norma kepatutan (equity), sementara perempuan menggunakan norma kesetaraan (equality)

Perbedaan stereotype: pria menggunakan rentangan strategi yang lebih luas, strategi yang lebih positif. Tetapi perbedaan ini akan hilang jika manajer perempuan itu memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Tak ada perbedaan dalam beberapa penelitian

Bukti-bukti tidak konsisten adanya perbedaan

Tidak ada perbedaan yang sebenarnya

Gary N. Powell, “one more time: Do famale and Male Managers Differ? Academy of Management Executive, Agustus 1990, pp. 68-75.

Disamping itu, Shaun Tyson & Tony Jackson, waktu menerangkan masalah Karier transisi, yang berhubungan dengan Gender mengatakan; Wanita dalam pekerjaan manajerial terlihat lebih baik dalam menyesuaikan diri mereka terhadap meningkatnya ketidakpastian pasar dan peluang kerja. Hal ini berkebalikan dari manager pria yang berciri lebih rasionalistik (The Essence of Organizational Behavior, hal147-148). Disamping itu usia juga mempengaruhi bagaimana kerja dan kepuaasannya. Usia pertengahan kata Tyson memilki empat karakter dibanding sebelumnya (yang lebih muda); yaitu; Pertama, emosi muncul karena menyadari kematian dan waktu yang terbatas, hal tersebut mengarah ke stres yang potensial bagi beberapa individu, kedua, …., ketiga, perubahan hubungan dengan pasangan hidup dan anak-anak, terutama jika anak-anak menjadi dewasa, keempat (terakhir), kecemasan yang datang karena menyadari terbatasnya peluang organisasional. Saat semakin tua, untuk sebagaian besar dari kita ada penurunan jumlah pilihan dan peluang karier(ibid, Tyson, hal 147).

Fred Luthans juga mengatakan; loyalitas dan komitmen yang kuat dalam perusahaan antara pekerja senior dan yunior, ada perbedaan. Pekerja senior (yang lebih tua) memiliki kesabaran yang luar biasa dan membawa ini kedalam dunia kerja. Loyalitas dan komitmen terhadap perusahaan seperti itu tidak dimiliki oleh kaum muda. Pekerja-pekerja muda tidak mempunyai pikiran untuk mengabdi pada satu perusahaan dalam waktu yang lebih lama (seumur hidup). (Ibid, Luthans, hal 73).

Dengan data diatas, diharapkan akan didapat perbedaan tingkat kepuasan dan motivasi kerja antara laki-laki dan wanita. Juga menyangkut umur dan tanggungan yang dimilikinya.

Sangat sedikit riset tentang hubungan antara banyaknya tanggungan yang dipunyai karyawan dengan absensi, pergantian, kepuasan kerja dengan produktivitas. Namun ada bukti yang kuat, menyatakan bahwa banyaknya anak dari seseorang karyawan mempunyai korelasi yang positif dengan absensi dan kepuasan kerja. (Dwi Ermayanti Susilo, 2001, hal.38. Ibid Robbins, jilid 1, hal 81)

4. Konsep/Persepsi Keagamaan

Pembahasan Motivasi non materi, cukup rumit untuk ditelaah, disamping karena besarnya pengaruh psikologi behavioristik, juga sulitnya menelaah faktor intrinsik eksistensi manusia, makna agama atau kepercayaan. Sekalipun demikian kata Watt;

Bagi orang yang memandang agama mengandung suatu makna dan bukan sekedar ketaatan terhadap namanya semata, terdapat dua point yang dapat ditegaskaskan; Pertama, gagasan keagamaannya membengan kerangka intelektual dirinya darimana dia memandang segenap aktivitasnya berlangsung. Dari keterikatan ini, aktifitasnya dalam konteks yang lebih luas memperoleh arti penting, dan pertimbangan atas keterikatannya ini dapat mempengaruhi perencanaan umum terhadap kehidupannya secara lebih khusus. Kedua, karena agama membawa suatu kesadaran terhadap konteks aktifitasnya yang lebih luas seperti disebutkan diatas, dimana tujuan-tujuan yang mungkin bagi kehidupan manusia sudah ditentukan, maka hal itu kerap kali bisa membangkitkan motif yang melandasi aktifitas yang tentu saja tampa motif yang diberikan oleh agama beberapa aktifitas tidak bisa dilaksanakan. (W. Montgomery Watt, “Islamic Political Thought”, 1980:43-44).

Tesis Max Weber, yang sekarang sudah out of date, yang mengatakan; “Ada hubungan antara Etika Protestan dan semangat kapitalisme, khususnya sekte Calvinian”. (Max Weber, The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism, New York 1958. terj Max Weber Etika Protestan dan semangat Kapitalisme, Surabaya 2000). Mungkin merupakan analisi paling berpengaruh dan mengilhami penelitian-penelitian selanjutnya, mengenai motif agama/kepercayaan dalam bertindak. Penelitian ini diteruskan oleh Robert N. Bellah di Jepang, untuk melihat apakah kemajuan jepang yang spektakuler itu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam ajaran kredo saat itu yang dinamakan, “Tokugawa Religion” (Robert N. Bellah, “Religi Tokugawa”, Disertasi di Harvard University (1955) yang diterbitkan sebagai buku, dengan judul yang sama, 1992)

Etos (yang mungkin bisa disamakan dengan nilai-Penulis) kata Clifford Geertz adalah “Sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Etos adalah aspek evaluatif, yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini bisa ditanyakan; apakah kerja, dalam hal yang lebih khusus, usaha komersial, dianggap sevagai suatu keharusan demi hidup, atau sutau imperatif dari diri, atau suatu yang terikat pada identitas diri yang telah bersifat sakral? Identitas diri dalam hal ini adalah suatu yang telah diberikan oleh agama. (Hans Mol, Identity and the Sacred, 1976, dalam Taufik Abdullah, ed, “Agama, Etos kerja dan Perkembangan Ekonomi, 1993, LP3ES, hal 3) Beberapa contoh bisa dilihat secar empiris teori ini, bagaimana “pemimpin-pemimpin perusahaan”, “pemilik modal”, dll kebanyakan Protestan bukan Katolik, juga yang terjadi di Indonesia, (kebanyak konglimerat Indonesia bukan Katolik tetapi Protestan-penulis). ( Ibid, hal 6) Sekalipun proposisi adanya hubungan antara ajaran agama dengan prilaku ekonomi sampai sekarang masih menjadi perdebatan dan penelitian empiris. (Ibid, hal 4-5)

Hampir sama tetapi dengan bentuk yang berbeda, ahli kepemimpinan dan ketua Principle-Centered Leadership, Stephen R. Covey mengatakan;

Prilaku seseorang ditentukan oleh oleh persepsinya terhadap sesuatu itu, sehingga darinya menghasilkan tindakan, Persepsi mempengaruhi tindakan, tindakan yang dilakukan terus menerus menghasilkan kebiasaan, kebiasaan yang diulang-ulang menghasilkan karakter, karakter seseorang (itu) yang menentukan jadi apa ia atau takdirnya. (Stephen R. Covey, The Seven Habits of Highly Effective People, 1994:35).

4.1. Konsep kepercayaan ( nilai-nilai ) dalam Psikologi

Pembahasan tentang persepsi keagamaan cukup rumit dan belum jelas secara teoritis. Sebab dalam prilaku organisasi, dimana masukan dari ilmu-ilmu lain yang mendukung yaitu psikologi, kebanyakan Psikologi Behavioristik Di mana ilmu ini menganggap manusia sebagai Homo Mechanicus, manusia mesin (Jalaluddin Rahmat, “Psikologi Komunikasi”, 1994, hal 19). Behavioris hanya menganalisa prilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Belakangan teori ini bahkan lebih dikenal dengan nama Teori Belajar. Karena menurut mereka seluruh perilaku manusia—kecuali insting—adalah hasil belajar. Mereka hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dipengaruhi oleh masukan, stimulus dari lingkungannya. (Ibid. Rahmat, hal 21). Disamping Psikologi Behavior diatas ada tiga pendekatan lagi yaitu Psikoanalisis, Psikologi Kognitif dan yang paling modern (terakhir) adalah Psikologi Humanistik. Kelemahan teori ini (behavioristik) adalah;

· Ia gagal memasukkan data dari pengalaman subjektif individu—seperti kesadaran diri—yang sangat berarti baginya.

· Ia gagal menjelaskan prilaku manusia yang lebih komplek, seperti cinta, keberanian, keimanan, harapan dan putus asa;

· Ia gagal secara keseluruhan, memahami maslah nilai dan makna dalam eksistensi manusia dan masalah bagaimana harus berhubungan dengan satu sama lain; terakhir, ia gagal mengatasi masalah pengarahan diri. Untuk yang terakhir ini, behaviorisme telah membuang “kebebasan memilih” dan “penentuan diri” (self-determination) dari manusia (Coleman, 1976). Kita harus menambah satu lagi kata Jalaluddin Rahmat dalam pengantarnya dalam buku SQ, Spiritual Intelligence (Danah Zohar & Ian Marshall: 2001, hal xvii) : Behaviorisme gagal untuk memper-hitungkan bukan saja kesadaran umum manusia, melainkan juga motif-motif tak-sadarnya.

James W. Fowler tokoh Psikologi agama (yang mengembangkan konsep psikologi agama dari psikolog-psikolog seperti; Freud, Psikoanalis; Jean Piaget, Psikologi Perkembangan kognitif-kontruktivisme dan Lawrence Kholberg, Perkembangan Moral serta Erikson) mengatakan tentang kepercayaan;

Kepercayaan atau faith adalah suatu “cara” pengenalan dan cara berada atau lebih tepatnya “suatu cara berada yang muncul dari cara pandang dan mengenal”. Atau lebih lengkapnya Kepercayaan adalah Pertama; Cara seseorang pribadi (atau kelompok) melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa diri bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan pengertian yang dimiliki bersama. Kedua; Kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam segala lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan komplek. Ketiga; Kepercayaan sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas yang paling akhir dan pasti bagi diri dan sesama. Disini ditentukan mana “gambaran penuntun” mengenai yang ultim yang akhirnya dapat menggerakkan dan menjadi acuan hidup. Apakah itu berupa kesehatan, kekuasaan, kekayaan, karier, sukses, kesenangan, kebebasan, kreativitas, rasa aman, keamanan, melayani sesama dan seterusnya. (James W. Fowler, “Teori Perkembangan Kepercayaan”, 1995, hal 23)

4.2. Nilai-nilai dan Budaya Organisasi

Peter F. Druker dalam Executive Digest (Juli 1989, hal 38) mengatakan;

Jelaslah bahwa krena sasaran manajemen itu adalah masyarakat manusia yang diikat bersama oleh ikatan kerja demi mencapai tujuan bersama. Maka manajemen senantiasa berurusan dengan tabiat manusia, dan (sebagaimana semua kita telah pelajari dan alami dalam kehidupan sehari-hari) dengan kebaikan dan kejahatan. … Ini berarti bahwa manajemen harus berlandaskan nilai-nilai, komitmen, keyakinan, dan bahkan semangat. Tampa itu semua, tidak akan ada prestasi dan tidak ada hasil. Sesungguhnya, karena manajemen berurusan dengan dan mengurusi manusia, dan bukan benda, maka manajemen tampa nilai, tampa komitmen dan tampa keyakinan, hanya akan menghasilkan bencana. (M.Imaduddin Abdurahim, “Sikap Tauhid dan Motivasi Kerja”, Jurnal Ulumul Qur’an Vol.II.1990/1411H).

Nilai adalah keyakinan-keyakinan dasar bahwa “suatu modus atau cara perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas lebih dapat disukai secara pribadi atau sosial dari pada suatu modus perilaku atau keadaan-akhir eksistensi yang berlawanan atau kebalikannya” (M. Rokeach, 1973, hal 5, dalam Robbinson jilid 1, hal 164). Atau seperti kata Gibson, “tuntutan atau kepercayaan bahwa seseorang menggunakan kalau bertemu dengan situasi dimana putusan harus diambil”. (Ibid, Gibson, hal 149). (Lihat tabel 2) atau dapat juga diartikan sebagai konstelasi dari suka, tidak suka, titik pandang, keharusan, inklinasi dalam, penilaian rasional, irasional, prasangka dan pola asosiasi yang menentukan pandangan dunia seseorang (E. Spranger, “Type of Men”, 1982, dalam Gibson dkk, jilid 1, hal149).

Geert Hofstede mengatakan; Kebudayaan merupakan suatu kode pemikiran kolektif yang membedakan anggota-anggotanya dari suatu kelompok/masyarakat yang lainnya. Meskipun pada dasarnya kebudayaan kebudayaan terdapat dalam pemikiran masyarakat, dalam prosesnya ia akan mengendap atau mengkristal dalam bentuk institusi-institusi dan merupakan hasil nyata masyarakat, yang pada gilirannya akan memperkuat program-program mental. (Geert Hofstede, “Cultural Dimensionals in Management and Planing,” The Asian pasific Journal of Mangement, Januari 1984 dalam Ahmad S. Adnanputra, “Nilai-nilai Islam dan Budaya Korporat”, Ibid Jurnal Ulumul Qur’an). Selanjutnya Hofstede mengatakan; Manajemen dalam masyarakat sangat ditentukan oleh konteks kebudayaannya, karena tidak mungkin dapat mengkoordinasi kegiatan-kegiatan manusia tampa mengerti mengenai nilai-nilai, kepercayaan dan ekspresi-ekspresi mereka.

Manajemen mengikuti jalan pikiran ini, terselenggara dalam bingkai budaya suatu lingkungan, yang kemudian mengejawantah dalam institusi yang dikelola. Jika institusi itu bergerak dalam jalur bisnis --dalam bentuk suatu korporat atau lainnya-Penulis—nilai-nilai budaya itulah yang kemudian disebut sebagai “Budaya Korporat/budaya Organisasi”, yaitu budaya atau nilai-nilai dalam wujud suatu sistem rancangan kehidupan dijabarkan melalui collective programing of mind, tampil dalam bentuk sikaplaku yang berbeda dibandingkan dengan korporat/organisasi lain.

Stan Shih, Chairman dan chief executive officer ACER Group mengatakan kesuksesannya dalam mengelola organisasinya karena upayanya memadukan nilai-nilai Tao, kebajikan sebagaimana diajarkan oleh Confusius. Dimana dengan ajaran ini orang-orang cina menganut pendirian lebih baik menjadi kepala seekor ayam daripada menjadi buntut seekor sapi. Maknanya, lebih baik jadi boss diperusahaan sendiri, yang kecil sekalipun, daripada menjadi bawahan ditempat lain, perusahaan raksasa sekalipun. Sehingga ia (Stan Shih) menggunakan pola kepemimpinannya dengan small boss acheivement strategi (memberikan wewenang seluas-luasnya kepada bawahan sehingga mereka merasa sebagi boss, daripada sebagai karyawan biasa) (Ibid, Ahmad S. Adnanputra)

Pentingnya nilai-nilai dalam keberhasilan organisasi/korporasi, terungkap dalam kerangka yang dikemukakan oleh konsultan dunia McKinsey’s yang biasa disebut dengan Mc Kinsey’s 7-S frame Work yaitu;


Pola 7-S MicKinsey’s

Dari sini diharapkan, dengan adanya orientasi keagamaan institusi (dimana akan berimbas secara langsung atau tidak langsung, baik mulai perekrutan --individu-individu memiliki nilai yang sama-- maupun sosialisasi orientasi dan misi lembaga) akan berakibat secara positif dalam motivasi dan tingkat kepuasan kerja.

B. Hipotesa

Dari penjelasan dan semua teori-teori diatas, maka dapat ditarik beberapa hipotesa pendahuluan untuk mengarahkan penelitian selanjutnya, dan memberikan jawaban tentatif terhadap permasalahan yang diangkat sebagai berikut;

Motivasi

§ Ada banyak hal yang mempengaruhi motivasi karyawan; lingkungan Kerja, Imbalan, rasa aman, perkembangan pribadi, keterlibatan dan minat dan tantangan mempengaruhi secara positif motivasi karyawan.

§ Imbalan dan keterlibatan merupakan faktor kepuasan yang paling dominan, dibandingkan dengan yang lain.

Kepemimpinan

§ Style kepemimpinan memiliki pengaruh terhadap kepuasan karyawan

§ Style orientasi hubungan, akan memberikan tingkat motivasi yang lebih dibandingkan dengan orientasi tugas.

Gender

§ Wanita memiliki kepuasan lebih tinggi dibandingkan pria

§ Umur lebih tua dan tanggungan lebih banyak akan memiliki kepuasan yang lebih baik

Persepsi Keagamaa

§ Karyawan-karyawan yang bekerja disekolah berbasis keagamaan memiliki kepuasan lebih tinggi dibandingkan lainnya. Dengan urutan Swasta keagamaan, sekolah negeri dan sekolah swasta umum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik ed. 1993. Agama, etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Cetakan V. LP3ES.

Abdurrahim Msc, Dr. Muhammad Imaduddin. 1990. Sikap Tauhid dan Motivasi Kerja. Journal Ulumul Qur’an. Nomor 6. Vol II. 1990/1411H.

Arifin, Imron, 1999. Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif. Journal Manajemen Pendidikan, Th 9, Nomor 1, Agustus 1999. FIP (fakultas Ilmu Pendidikan) IKIP Malang.

Arifin, Imron.1998. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah dasar Berprestasi. Disertasi Program Pasca Sarjana IKIP Malang (tidak diterbitkan).

Ary, Donald, Lucy Cheser jacobs, Asghar Razavieh. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, tampa tahun. Penerbit Usahan Nasional, Surabaya-Indonesia.

Bellah, Robert N, 1992. Religi Tokugawa akar-akar Budaya Jepang. Cetakan I, Gamedia Jakarta.

Berger, Peter L, 1990. Revolusi Kapitalis. Cetakan 1, LP3ES.

Cooper, Donald. R. & C. William Emory. 1996. Metode Penelitian Bisnis, Jilid 1 dan II. Cetakan I, Penerbit Airlangga.

Covey, Stephen R. 1994. 7 Kebiasaan Manusia Yang sangat Efektif. PT Gramedia Asri Media.

Covey, Stephen R. 1997. Principle Centered Leadership. Binarupa Aksara

Davis, Duane & Robert M. Cosenza.1988. Bussiness Research For Decision Making. Third Edition. Wadsworth Publishing Company Belmont California.

Dessler, Gary.1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 1&2. Penerbit PT Prenhallindo, Jakarta.

Fowler, Jamws W, 1995. Teori-teori Perkembangan Kepercayaan. Cetakan I, Kanisius Yogyakarta.

Francis, dave & Mike Woodcock.1986. 50 Kegiatan untuk Mengembangkan Diri. Cetakan I. Penerbit Gramedia Jakarta.

Gibson, James L, John. M. Ivancevich & James H. Donelley, Jr.1997. Organisasi; Prilaku, Struktur dan Proses. Edisi Kedelapan. Penerbit Binarupa Aksara.

Greer, Charles R. 2001. Strategic Human Resource Management, A General managerial Approach. Second Edition. Upper Saddie River, New Jersey.

Guthrie, James W & Rodney J. Reed. 1991. Education Administration and Policy, Effective Leadership from Amirican Edication. Second Edition. Allyn Bacon.

Hanson, E Mark. 1991. Education Administration and Organization Behavior. Allyn Bacon.

Hersey Paul & Ken Blanchard. 1992. Manajemen Prilaku Organisasi: pendayagunaan Sumber daya Manusia. Cetakan III. Penerbit Airlangga.

Kamela, Ice M. 2001. Pengaruh Keterlibatan Kerja, Kepuasan Kerja dan Iklim Organisasi terhadap Komitmen karyawan. Tesis Magister Manajemen, Universitas Brawijaya Malang, (Tidak diterbitkan).

Ivancevich, John M. & Micheal T. Matteson. 2002. Organization Behavior and Management. International Idition. Irwin Mcgraw-Hill.

Kimbrough, Ralph B. & Charles W. Burket. 1990. The principalship concept and Practices. Prentice-Hall, Inc, Englewood cliffs, New Jersey.

Koeswara, E. 1989. Motivasi teori dan Penelitiannya. Cetakan I, Angkasa Bandung.

Kontjaraningrat, editor. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Penerbit Gramedia Jakarta.

Kotter, John P, 1999. John P. Kotter on What Leaders Really Do, A harvard Business Review Book, Airlangga, Jakarta.

Likert, Rensis. 1986. Organisasi Manusia Nilai dari Manajemen. Penerbit Airlangga.

Luthans, Fred. 2001. Organizational Behavior. Ninth Edition. Irwin McGraw-Hill.

Mangkuprawira, Dr Ir Tb Sjafri. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Ghalia Indonesia.

Maxwell, John C. 2001. The 21 Irrefutable Law of leadership. Interaksara.

Newel, Clerence A. 1978. Human Behavior in Education Administration. Prentice-Hall. Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.

Ohmae, Kenichi, 1991. Dunia Tampa Batas, kekuatan dan strategi di dalam ekonomi yang saling mengait. Bina Aksara, Jakarta.

Owens, Robert G. 1991. Organizational behavior in education. Fourth Edition. International Edition. Prentice-Hall.

Pambudi, Teguh. S. 2001. Orang-orang (yang kembali) terpilih. Majalah SWA No. 05/XVII/8-21 Maret 2001.

Powell, Gary N. 1990. One More Time: Do Female and Male Managers Differ? Academy of Management Executive, Agustus 1990, pp. 68-75.

Putra, MA, MS, DBA. Ahmad S. Adnan. 1990. Nilai-nilai Islam dalam Budaya Korporat. Journal Ulumul Qur’an Nomor 6. Vol II 1990/1411H.

Rahmat, Jalalluddin, 1986, Psikologi Komunikasi, Cetakan ke II. Remadja Karya CV Bandung.

Robbins, Stephen P.1996. Prilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Jilid 1& 2. Penerbit Airlangga.

Sirota, David. 1990. Manajemen dan Ketidakpuasan Kerja. Journal ulumul Qur’an Nomor 6. Vol.II. 1990/1411H.

Susilo, Dwi Ermanto. 2001. Pengaruh Motivasi terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada kantor Perum Perhutani Unit II Surabaya. Tesis Magister Manajemen, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang (tidak diterbitkan).

Tyson Shaun & Tony Jackson. 2001. The Essence of Organizational Behaviori. Cetakan II. Penerbit ANDI Yogyakarta.

Umar, Husein. 2001. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Cetakan IV, edisi revisi dan perluasan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Walker, James W. 1992. Human Resource Strategi. International edition. Mc GRAW-Hill in Management.

Waseso, Drs Mulyadi Guntur, editor. 1986. Dimensi-dimensi Psikologi Sosial. PT Hadinata Yogyakarta

Watt, W. Montgomery.1988. Politik Islam dalam Lintasan Sejarah. Diterbitkan P3M (Perhimpunan pengembangan Pesantren dan Masyarakat).

Weber, Max. 1958. The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism, New York. Terj Max Weber Etika Protestan dan semangat Kapitalisme, Surabaya 2000.

Winarno. 2001. Pengaruh Karakteristik Individu, karakteristik Pekerjaan dan Karakteristik Organisasi terhadap Kepuasan kerja. Tesis Magister Manajemen Universitas Brawijaya Malang (Tidak Diterbitkan)

Wirawan, Dr Sarlito. 1994. Teori-Teori Psikologi Sosial. CV Rajawali Jakarta.

Wiyono, Bambang Budi, 1999. Gaya dasar Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kualitas sekolah. Journal Manajemen Pendidikan, Th 9, Nomor 1, Agustus 1999. FIP (fakultas Ilmu Pendidikan) IKIP Malang.

Yulk, Gary.1994. Kepemimpinan dalam Organisasi. PT. Prenhallindo, Jakarta.

Zohar, Danah & Ian Marshal, 2001. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan spiritual dalam berfikir Integralistik untuk mamaknai kehidupan. Cetakan 1. Mizan Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar