Laman

Minggu, 21 Maret 2010

(3) Filsafat Psikologi ( JASPER DAN NIETZSCHE

FILSAFAT-PSIKOLOGI JASPER DAN NIETZSCHE


FILSAFAT EKSISTENSI KARL JASPER

Tujuan filsafat kata jasper adalah mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Baginya filsafat bukanlah “doktrin”, melainkan tindakan batin, cara berfikir yang membebaskan manusia. Itulah mengapa dia tidak berfilsafat sebagai system. Filsafatnya disebut filsafat eksistensi. Ia mengatakan; orang yang mau berfilsafat harus mulai dengan mempelajari ilmu-ilmu. Baru bila ilmu pengetahuan telah mencapai batas-batasnya maka mulailah ketidaktahuan, mulai juga tugas filsafat eksistensi. Dalam ketidaktahuan manusia terpaksa memilih. Ia harus mengisi kebebasannya dengan keputusan-keputusan. Melalui keputusan-keputusan itu manusia menentukan bagaimana ia akan menjadi dirinya sendiri. Filsafat Jasper menyelidiki dasar keputusan-keputusan manusia, serta keyakinan yang menjadi dasar hidupnya.

Karl Theodor Jasper, lahir di Oldenberg, Jerman Utara, 23 februari 1883. ia kuliah hukum, lalu kedokteran, psikiatri, psikologi dan filsafat. Ia mengagumi Aristoteles, Plato, Thomas Aquino, Hegel, Kant tetapi, ia lebih tertarik kepada Agustinus, Pascal, Kant, Kierkegaard dan Nietzsche yaitu filsuf-filsuf yang membangunkan katanya. System filsafat lebih menyerupai kepercayaan katanya.

Jasper menekankan, filsafat baru mulai setelah ilmu tidak sanggup lagi. Batas yang mau diselidiki filsafat bergeser bila ilmu pengetahuan bergeser. Filsafat baru relevan bila mulai ketidaktahuan, yaitu dimana manusia harus memutuskan dan menggunakan kebebasannya.

Ia mengarang buku tentang “dunia”, “Jiwa” dan “Allah”, kosmologi, psikologi dan teologi. Dalam Karya Jasper, istilah-istilah itu sepadan dengan; “Orientasi didunia”, “Penerangan eksistensi” dan Metafisika atau bacaan Chiffer-chiffer”.

Usaha-usaha untuk mengembalikan semua gejala kepada satu prinsip tunggal yang uniform, adalah sia-sia atau gagal dan menemui jalan buntu. Gambaran yang menyeluruh (positivis) adalah gambaran yang salah. Positivis katanya memiliki dogma bahwa “yang ada” sama dengan “yang diketahui oleh ilmu-ilmu positif”. Manusia selalu lebih daripada segala sesuatu yang diketahui mengenai dia melalui ilmu-ulmu.

Filsafat Eksistensi

Filsafat eksistensi adalah pemikiran yang memanfaatkan semua pengetahuan objektif tetapi juga mengatasi pengetahuan objektif itu. Melalui pemikiran itu manusia ingin menjadi dirinya sendiri. Pemikiran itu tidak mengenal objek-objek, melainkan menerangkan dan sekaligus mengerjakan adanya orang yang berfikir dengan cara itu. (Hamersma,1985;9).

Ber-eksistensi berarti berdiri dihadapan transendensi. Transendensi menyembunyikan diri, dan dengan demikian justru merupakan kebebasan manusia. Jasper setuju dengan Kant yang mengatakan; kebijakan Ilahi kelihatan bukan hanya dalam segala sesuatu yang diberikan kepada manusia, melainkan juga dalam apa yang disembunyikannya. Transendensi tersembunyi berbicara melalui sandi-sandi, chiffer-chiffer yang terbaca oleh manusia sejauh ia menjadi eksistensi. “manusia menjadi sebagai mana ia percaya. ”Keputusan-keputusan manusia menentukan bagaimana ia menjadi dirinya sendiri untuk selama-lamanya.

Filsafat eksistensi tidak memikirkan kebenaran, ia adalah praksis; yaitu menghayati kebenaran. Artinya: kebenaran cara berfikir manusia dibuktikan malalui tindakannya yang berdasarkan pemikiran itu.

Jasper menyebut dirinya Kristen. Ia percaya Allah, tetapi tak percaya Trinitas. Arti filsafat sebagai Philo-sophia adalah benar sekali. Karena kita tidak pernah memiliki kebenaran kita hanya pencari kebenaran. Filsafat tidak akan pernah selesai. Transendensi tidak dapat ditangkap, dan tidak dapat menjadi objek. Karenanya pemikiran tentang transendendi selalu bersifat kepercayaan.[1]

Eksistensi

Yang dalam bahasa mitis disebut jiwa dan Allah dalam bahasa filsafat disebut “eksistensi” dan “transendensi”. Eksistcnsi manusla merupakan bentuk “ada” yang memutuskan dalam waktu apakah dan bagaimanakah ia mau menjadi abadi. Eksistensi memang tidak “ada’:, hanya “dapat ada” dan “harus ada”. Adanya manusia termasuk dunia empiris; itu oleh Jaspers disebut bidang Dasein (bahasa Inggris: being-there). Namun “eksistensi” (Existenz) itu berupa “kemungkinan”, kemajuan, atau kemunduran dalam jalan menuju “ada” abadi. Eksistensi adalah kebebasan yang diisi. Eksistensi termuat dalam waktu tetapi sekaligus mengatasi waktu, karena keputusan-keputusan bebas eksistensi menentukan sesuatu untuk selama-lamanya.[2]

Dasein mencapai puncaknya di dunia ini, sedang eksistensi tidaklah demikian. Eksistensi hanya “menemukan dirinya sendiri di dunia ini”. Eksistcnsi berasal dari darah luhur. Eksistensi hanya dapat diterangkan melalui signa (tanda-tanda) tertentu, seperti pilihan, tobat, komunikasi, dan kebebasan. Kenyataan empiris menampakkan diri dalam ‘fenomin-fenomin”, sedang transendensi menampakkan diri dalam chiffer-chiffer, dan eksistensi menampakkan diri dalam signa. Manusia mengalami eksistensi sebagai sesuatu yang “diberikan” kepadanya. Eksistensi adalah hadiah dari transendensi.

Sebagai eksistensi, manusia mengalami kesatuan paradoksal antara waktu dan keabadian. Identitas waktu dan keabadian disebut “saat”, atau saat keputusan. Saat itu adalah “kehadiran abadi”. Yang mengejutkan ialah bahwa pada “saat”, yang termuat dalam waktu itu, sesuatu mendapat penentuan untuk selama-lamanya. Seandainya manusia mempunyai pengetahuan sempurna mengenai segala sesuatu, dan mengenai semua konsekuensi tindakannya serta pilihannya, maka ia tidak membutuhkan kebebasan. Peranan kehendak bebas mulai di mana pengetahuan tidak lagi ada. “Manusia harus memutuskan karena ia tidak tahu”.[3]

Melalui keputusan-keputusan ini eksistensi berkembang. Eksistensi tidak menyesali ketidaktahuannya karena justru disini dialaminya hubungannya dengan transendensi. Pada saat keputusan itu manusia berada dengan seluruh dirinya sendiri, dan justru pada saat itu ia merasa bahwa ia tidak hanya dirinya sendiri: di sini ia berdiri di hadapan transendensi.

Situasi-situasi Batas

Sebagai Dasein, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu. Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam “situasi-situasi batas”.

Situasi batas yang paling umum adalah faktisitas, dan nasib. Adanya manusia selalu sudah termuat dalam suatu konteks historis tertentu. Kebebasan manusia tidak mulai dari titik nol. Tidak semua kemungkinan terbuka bagi kita, banyak hal sudah ditentukan oleh historisitas kita, serta latar belakang sosial kita. Manusia lahir sebagai pria atau wanita, muda atau tua, dan lemah atau kuat. Banyak hal sudah merupakan fakta, lepas dan pilihan manusia sendiri. Namun juga terhadap faktisitas itu kehendak masih mempunyai peranan. Faktisitas dapat diterima atau ditolak.

Di samping situasi batas yang umum ini ada beberapa situasi batas khusus, yaitu kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan. Keempat ini bersama-sama membuka suatu perspektif terhadap seluruh Dasein yang menjadi suatu situasi batas lain lagi. Kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan memperlihatkan bahwa Dasein tidak pernah dapat menjadi lengkap.

Semua situasi batas itu mendua: kepada eksistensi diberikan kemungkinan untuk berkembang atau mundur, tergantung dar keputusan manusia sendiri. Ber-eksistensi, atau berdiri di hadapan transendensi, mencapai puncaknya dalam keputusan-keputusan yang diambil dalam situasi-situasi batas.

Nasib

Situasi batas yang paling umum, yaitu faktisitas historis, dialami sebagai “nasib”. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. Manusia bukan asal dari dirinya sendiri. Bukan dia yang memilih orang tuanya. Banyak hal yang ditentukan di luar kehendak manusia sendiri dialami sebagai “untung” atau “malang”. Nasib yang baik, “untung”, dalam bahasa mitis disebut fortuna. Orang yang beruntung itu fortunatus. Fortuna itu buta, datang dan menghilang tanpa alasan yang jelas. Tetapi di lain pihak juga ada kesadaran intuitif bahwa kita dapat mempengaruhi nasib yang baik atau nasib buruk. Misalnya dikatakan oleh Machiavelli bahwa fortuna itu seperti seorang wanita: ia mencintai dan mengabdi orang yang mengambilnya sebagai istri.

Saya dan nasib saya merupakan kesatuan. Nasib baik atau buruk bukan sesuatu yang asing bagi saya, melainkan sesuatu yang dianggap sebagai “milik” saya. Saya dapat menerimanya dan mencintainya atau mencoba untuk menolaknya. Hanya kcmungkinan pertamalah yang memberi kesempatan untuk berkembang.

Kematian

Kematian umum bukan situasi batas, situasi batas baru saya hadapi dalam kematian seseorang yang saya cintai atau kematian saya sendiri yang tidak dapat dihindari lagi. Kematian sesama, kekasih, atau saudara, mcrupakan luka paling berat yang mungkin diderita. “Setiap orang meninggal sendirian”: yang ditinggalkan tidak dapat ikut. Penderitaan karena keterpisahan, penderitaan karena komunikasi terhenti secara definitif, membuka “retak” dalam Dasein. Akibatnya manusia berdiri di hadapan Transendensi. Dengan itu Ia dapat berkembang sebagai eksistensi.

Penderitaan

Penderitaan juga suatu yang membangkitkan dasein (merusaknya) atau diterima sebagai upaya untuk lebih maju. Setiap yang menimpa dasein dapat disikapi dengan maju atau mundur. Dengan penderitaanpun kita dapat membuat itu menjadi bermakna.[4]

Perjuangan

Perjuangan diciptakan oleh manusia sendiri dan kemudian menjadi kesempatan untuk berkembang menjadi eksistensi. Perjuangan dasein adalah perjuangan untuk mengatasi hambatan-hambatan, sehingga eksistensi dapat mencapai sesuatu yang mungkin berdasarkan potensi yang dimiliki. Perjungan ini tak akan pernah selesai.

Kesalahan

Pilihan diharuskan karena itu adalah situasi batas, dalam memilih itu sangat mungkin terjadi kesalahan. Dan bila kita tidak memilihpun itu sebuah pilihan..jadi manusia harus melakukan pilihan dan siap dengan itu menerima kesalahan-kesalahan. Dasein akan berkembang atau ber-eksistensi bila ia siap melakukan pilihan, siap menanggung kesalahan atau bertanggung jawab terhadap kesalahan yang mungkin dipilihnya.

Kekurangan-kekurangan Dunia

Dalam situasi batas, kita melihat bahwa dunia ini tidak dapat sempurna. Segala sesuatu yang bernilai ternyata tergantung dari syarat-syarat yang dalam dirinya sendiri tidak bernilai. Kebebasan terikat pada ketergantungan, komunikasi tergantung pada kesepian, eksistensi terikat pada Dasein empiris. Tetapi bila manusia melarikan diri dan hanya menjadi penonton saja, tidak menjadi pemain dengan segala resikonya, mereka kehilangan kesempatan untuk berkembang sebagai eksistensi.

Ketidaksempurnaan seluruh dasein menimbulkan pertanyaan mengapa dasein memang ada. Manusia bertanya mengapa tidak ada kesempurnaan saja, keutuhan, kebahagiaan saja, atau Allah saja. Mengapa harus ada sesuatu yang penuh cacat. Pertanyaan ini mempermasalahkan dasein, dan menimbulkan situasi batas. Situasi batas ini timbul kalau disadari bahwa baik eksistensi maupun transendensi terikat pada historisitas dasein. Manusia hanya mengalami transendensi dan eksistensi melalui gejala-gejala di dunia dasein. Tanpa itu yang ada hanya kekosongan.

Kegagalan

Mengalami situasi batas dan “ber-eksistensi” itu sama. Hidup haruslah mengakatan “ya” kepada kenyataan pahit atau manis. Dan semuanya dimaknai bagaimana kita dapat menjadi sesuatu yang mungkin. Kegagalan dan keterbatasan memperlihatkan bahwa harus ada sesuatu yang tak terbatas. Transendensi “hanya kelihatan” melalui retak-retak dasein.

METAFISKA JASPER

Pada batas dasein dan pada batas-batas pemikiran, transendensi membukakan diri, tetapi transendensi itu juga hilang lagi. Untuk eksistensi (bukan dasein), objek-objek dapat menjadi “bahasa” atau sekurang-kurangnya gema transendensi. Dalam bahasa lain kita dapat mengetahui kilatan-kilatan Tuhan dalam eksistensi kita lewat tajallinya (penampakan-penampakan) dari objek-objek duniawi.

Jasper mengatakan Chiffer[5] sebagai transendensi yang imanen (= tajalliat, penampakan Tuhan dibumi). “kehadiran transendensi tanpa isi”, kehadiran dan ketidak hadiran jadi satu dalam Chiffer. Seperti konsep “nol” memainkan peranan penting dalam matematika, walaupun konsep ini tanpa isi. Penampakan itu ada yang jelas dan tidak. Chiffer hanya memberitahu bahwa Ia ada, bukan bagaimana Ia itu.

Transendensi (adalah mengatasi yang imanen), keilahian menampakkan dalam chiffer-chiffer. Manusia tidak mengenal yang transenden, tetapi melalui kebebasnnya ia berhubungan dengannya. Kehadiran transendensi tanpa ketersembunyiannya meniadakan kebebasan. Keilahian ingin manusia bebas: oleh karena itu ia tersembunyi.

Transendensi (Allah) tak dapat dipikirkan, dikatakan. Kata Augustinus; “Yang dapat disebut Tak-terkatakan, sudah tidak ter-katakan lagi”. Tetapi kata Jasper kita bisa melewati itu, ia mengatakan, manusia bisa memilki kesimpulan; “Manusia dapat memikirkan bahwa yang tak dapat dipikirkan itu ada” (Es ist denkbar dass es gibt, was nich denkbar ist)[6]. Penamaan Yang Transendental itu pasti berbau tautology.[7] Tetapi itu perlu karena manusia selalu berusaha untuk berkembang sebagai eksistensi.

Semua nama untuk keilahian merupakan Chiffer-chiffer, Chiffer ini merupakan naskah yang penuh dengan ketidakpastian. Kerananya pembacaan atau penafsiran chiffer terus menerus berubah, tergantung sikap eksistensi yang membacanya. Pembacaan ini ada empat kemungkinnan;

  1. Penyerahan dan Perlawanan

Manusia diperintah untuk menyerah pada Yang Transendental, tetapi Manusia karena haus akan kebenaran banyak yang tak mau menyerah begitu saja. Mereka minta penjelasan, rasionalisasi. Mengapa harus begini dan begitu, kadang manusia protes kepada Tuhan karena menurutnya itu salah, tak adil dan lain-lain. Keluarlah teodise (ajaran atau ilmu yang berupaya membenarkan cara-cara tuhan bagi manusia). Contoh; Gnosis, Manicheisme[8], Zoroaster dan lain-lain.

Teodise membuktikan bahwa manusia tidak mau menyerahkan diri terlalu cepat, dan Transendensi seakan-akan menginginkan penyerahan buta. Penyerahan harus lahir dari perlawanan.

  1. Naik Turun

Manusia dalam pergaulannya dengan Transendensi kadang naik (Baca untuk mempermudah imannya), kadang turun. Kadang jelas kadang kabur dan seterusnya.

  1. Hukum Siang dan Nafsu Malam

Tuhan punya dua wajah, “Baik”-“Buruk”. “Kuasa” dan “Adil”. Kita kadang ingin menggabungkan kedua sifat itu, walau tetap ada celah.[9]

  1. Kesatuan dan Kekayaan Keanekaragaman

Walau penampakan Transendensi ini banyak, maka sebenarnya “Yang Ilahi” itu satu kesatuan. Walau seakan awalnya adalah Politeisme tetapi dalam perkembangannya mereka Monoteisme.[10]

PERIECHONTOLOGI

Jasper mencoba untuk membedakan “Eksistensi” dan “Transendensi”, seperti katanya perbedaan anatara “kebenaran” dan “kenyataan”, antara “berfikir” dan “ada”. Mirip juga antara “rasio” dan “Yang Melingkupi”.

Ia banyak dipengaruhi oleh Kierkegaard dan Nietzsche. Bukan Berfikir = ada, tetapi Percaya = Ada: Manusia menjadi apa yang ia percayai.

Bagaimana manusia mencari kebenaran, bagaimana manusia harus berfikir mengenai “ada” diselidiki oleh Jasper. Seluruh pengetahuan manusia dilingkupi oleh cakrawala. Cakrawala ini belum merupakan “Yang Melingkupi” (baca= Tuhan, Transendensi, Allah), tetapi ruang dimana “Yang Melingklupi” mulai nyata. Ontology tak mungkin, yang mungkin adalah Periechontologi (Pengetahuan mengenai das Umgreifende, Yang melingkupi).[11]

Tujuh (7) bentuk dari “Yang Melingkupi”

  1. Dasein à Ada sebagai tubuh manusia.
  2. Bewusstsein Uberhaupt (kesadaran Umum) à hanya yang disadari “ada” bagi manusia, yang belum disadari belum ada.
  3. Geist (roh)
  4. Exintenz à beda dengan dasein, dasein adalah ada manusia secara materi (terikat oleh ruang, waktu, histirisitas dan lain-lain), eksistensi adalah manusia sebagaimana dia bertindak, mengambil keputusan, dengan kebebasannya. “Diri”, unik, dapat menerobos ikatan-ikatan ruang-waktu dan materi. Eksistensi tak terpisahkan dari geist. Geist membutuhkan eksistensi sebagai dasar, tetapi eksistensi tanpa geist itu tanpa isi.
  5. Welt (dunia) à seluruh gejala-gejala, diluar manusia. Manusia hidup dengan bebas dalam dunia dan juga bebas terhadap dunia.
  6. Transzendent à untuk dasein, Bewusstsein uberhaupt dan geist, dunia empiris merupakan “yang lain”. Tetapi manusia sebagai eksistensi, yang lain adalah Transzendenz. Transendenz adalah das Umgreifende alles umgreifende, “yang melingkupi segala sesuatu Yang melingkupi”. Kalimat negative adalah hal yang paling tepat untuk berbicara masalah Yang Transendenz.
  7. Vernunft à

Dalam Dasein, kebenaran ditemukan dalam tindakan yang sejati, dalam Kesadaran Umum, kebenaran ditemukan dalam ketepatan-ketepan keputusan, dalam Geist kebenaran ditemukan dalam keyakinan, dalam eksistensi kebenaran ditemukan dalam Iman. Dalam Chiffer-Chiffer dianggap benar bila itu merupakan symbol yang sesuai dari “ada” itu sendiri.

KEPERCAYAAN FILOSOFIS

Jasper percaya bahwa metafisika dan kepercayaan filosofis sangat penting dalam mempersatukan orang. Kepercayaan filosofis dapat menggantikan agama dan ilmu yang dogmatis (positif). “Percaya” tidak sama dengan “mengetahui”. Kepercayaan berarti hidup dengan berpangkal pada “Yang melingkupi”. Kepercayaan filosofis tidak menggunakan dogma-dogma, ia melayang, tetapi merupakan dasar tindakan, dasar keputusan dan dasar ketentraman manusia.

Menurut agama wahyu (Kristen), Allah menampakkan diri (dalam Yesus). Kata Jasper: hanya kenyataan empiris menampakkan diri dalam fenomin-fenomin (gejala-gejala); eksistensi dan transendensi tidak. Eksistensi menampakkan diri dalam signa (seperti kebebasan), dan Transendensi menampakkan diri dalam chiffer-chiffer. Keberatan Jasper adalah; agama wahyu tidak membedakan antara Chiffer transendensi dengan Transendensi itu sendiri[12]. Ia percaya bahwa Yesus sebagai manusia (Chiffer inkarnasi) yang unik dan sangat bernilai, tetapi ia tak percaya akan Yesus sebagai Kristus. Chiffer Trinitas itu yang paling aneh menurut Jasper, itu hanya kecendrungan untuk berfikir menurut struktur dialektis, dan hanya hasil pemikiran spikulasi.

FILSAFAT SEBAGAI TINDAKAN BATIN

Pada manusia, eksistensi mendahului esensi. Dalam segala sesuatu yang lain essensi dapat dipikirkan lepas dari essensi, dan sebagai sesuatu yang mendahului eksistensi. Essensi “rumah” dapat hidup dalam pemikiran kita lepas dari suatu rumah kongkrit. Hanya pada manusia essensi dibentuk sedikit demi sedikit selama hidupnya. Yang ada hanyalah orang yang unik dan kongkret itu. ‘manusia pada umumnya’ itu tidak ada, maka juga tidak dapat dikatakan bagaimana essensi manusia pada umumnya. Inilah pandangan umum kaum filsafat eksistensial.

Usulan kepercayaan filosofis Karl Jasper, banyak dikritik khususnya kaum beragama, juga Keirkegaard, bapak spiritual Eksistensialis. Walau banyak yang menerapkannya, utamanya kaum ilntelektual (ilmuan).[13]

Kebebasan

Menurut Sartre manusia bebas karena Allah tidak ada. Menurut Jasper manusia bebas karena Allah. Kebebasan itu “sama dengan eksistensi”, dan ‘tidak ada eksistensi tanpa transendensi”. Tetapi manusia hanya bebas selama Transendensi tersembunyi. Hanya boleh diketahui bahwa Allah ada. Kalau jarak antara Allah dan manusia dikurangi, seperti terjadi dalam agama wahyu (Kristen, dengan Yesus), maka bukan hanya Transendensi yang padam, tetapi kebebasan manusia pun dikurangi.[14] Kebebasan hanya ada bersama transendensi, dan kebebasan hilang juga bersama transendensi.

Paham kebebasan dalam filsafat Jasper (Kata Harry Hamersme, 1985:57) kelihatannya Paradoksal. Kadang tercipta kesan bahwa inisiatif hanya datang dari eksistensi, kadang justru dari transendensi. “Eksistensi memutuskan didalam waktu bagaimana ia mau menjadi abadi.” Tetapi “Kesadaran bahwa adanya kita merupakan sesuatu yang diberikan”. Manusia tidak mencipta dirinya sendiri, namun ia ikut menentukan nasibnya. Manusia “menemukan dirinya sendiri” dan sekaligus ‘menentukan dirinya sendiri”. Chiffer-chiffer (penampakan=tajalliat. Ayat-ayat Tuhan) ditulis oleh Transendensi, tetapi sekaligus benar bahwa eksistensi menentukan apakah sesuatu menjadi chiffer atau tidak. Pencarian Filsafat Jasper hampir sama dengan para sufi agama-agama; tema besarnya sama., itu yang disebut Philosophia Perrennis (Filsafat aabadi). Semua kelompok, semua manusia kembali-kembali kemasalah-masalah itu.

Menurut Aldous Huxley (1894-1963) ada empat prinsip filsafat abadi (Philosophia Perennis). 1) Bahwa dunia fenomenal (dunia gejala-gejala, dunia yang kelihatan) merupakan “manifestasi” (“penampakan”) dasar ilahi didunia. Segala sesuatu yang diamati oleh manusia mengambil bagian dalam kenyataan yang lebih tinggi daripada kenyataan fenomenal. 2) Bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu tentang dasar ilahi melalui pemikiran biasa, tetapi lebih-lebih melalui intuisi. 3) Bahwa manusia mempunyai kodrat sebagai ‘aku’ tetapi juga sebagai “diri” abadi. “Aku” termasuk fenomenal, “diri” abadi merupakan bunga api ilahi dalam jiwa. 4) Bahwa tujuan manusia adalah: menjadi satu dengan diri abadinya, dan memperoleh pengetahuan intuitif tentang dasar ilahi.

Empat prinsip diatas bisa kita temukan dalam jasper; 1) Kelihatan dalam distingsi antara dunia (Welt) dan Transendensi. Dunia biasa kata Jasper mendapat suatu dimensi kedua dalam Chiffer-chiffer, kenyataan bisa menjadi “bahasa Transendensi” . 2) Muncul dalam distingsi antara pengetahuan akal budi (Verstand) dan pengetahuan rasio (vernunft). 3) Kelihatan dalam distingsi antara manusia sebagai dasein dan manusia sebagai “Eksistensi”. 4) Terdapat dalam panggilan diri dalam waktu, yang terjadi melalui bacaan dan penghayatan chiffer-chiffer transendensi.

Tujuan abadi filsafat, The Perennial Scope of Philosophi (Karya Jasper) adalah kepercayaan bahwa manusia melebihi yang diketahui tentang dia dalam ilmu-ilmu, dan kepercayaan bahwa dunia ini tidak merupakan kenyataan terakhir. Singkatnya ada “eksistensi dan Transendensi”. Manusia harus menghayati kepercayaan ini melalui tindakan batin-nya. Karena manusia menjadi sebagaimana ia percaya (Ich werde wei ich glaube), manusia menjadi sebagaimana ia menentukan nilai-nilai (Ich werde wei ich werte), dan manusia ada sebagaimana ia mencintai (Ich bin wei ich liebe).

FILSAFAT NIETZSCHE

Oleh: Muhammad Alwi

“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran carilah.”

Nietzsche tidak pernah menulis dengan sistematis, bahkan ia mengkritik bentuk-bentuk itu yang mencoba membuat system. Dan gaya penulisannya dengan membuat aforisme-aforisme. Baginya system adalah penjara..dengan system orang harus menulis dengan premis-premis sebelumnya dst. Padahal premis-premis itu tidak dipersoalkan lagi bahkan asumsi-asumsi yang dipakai tak dapat dipertahankan (diandaikan begitu saja).

Tulisan filososf dia berupa eksperimen, yaitu upaya untuk menguak pengalaman manusia, bukan untuk mensistemasikan pengalaman-pengalaman yang penuh kontradiksi itu. Bahkan bila perlu filosof harus siap dan mau menyangkal pendapatnya yang dahulu.

Beberapa gagasan penting Nietzsche adalah; 1) Nihilismeà Runtuhnya semua nilai tertinggi yang ada dan kegagalan manusia untuk menjawab persoalan ‘intuk apa”. Dengan runtuhnya nilai-nilai itu orang dihadapkan pada persoalan bahwa “Segalanya menjadi tak bermakna” dan “Tak Bernilai”. Setelah membongkar semuanya; Kata Kaufmann (penafsir dan Ahli Nietzsche), Nietzsche mencoba untuk memberikar upaya eksperimental tawaran, dengan mencoba menjawab; 1) apakah kita dapat menemukan sanksi baru bagi nilai-nilai didunia ini; 2) apakah dapat ditemukan tujuan baru y memberikan arah hidup manusia? Dan 3) Apakah bahagia itu?

1) Nilai seni sebagai pengganti nilai Moral.

Awalnya adalah Kant, yang mencoba memberikan jawaban rasional dan pendasaran ontology tentang kemutlakan nilai-nilai moral (dalam bukunya Kritik der praktischen Vernunft). Pandangan ini dibangun atas dasar teori rasio praktis yang menunjukkan adanya imperative kategoris atas dasar tiga postulat yaitu; Kebebasan kehendak, Imortalitas jiwa dan adanya Allah. Nilai moral ini dikritik oleh Hegel dengan konsep Dialektika-nya. Nietzsche mengatakan bahwa baik Kant maupun Hegel tidak benar. Karena ada hal-hal yang tak dipertanyakan. Pada Hegel ia percaya akan keteraturan dunia rasional yang mengehendaki moralitas social sebagai batu loncatan untuk perkembangan agama, seni dan filsafat. Nietzsche mengkeritik juga moralitas yang dibangun berdasarkan agama )seperti; F.W.J. Schelling.

Nietzsche melihat bahawa pergaulan hidup adalah pergulatan orang untuk memadukan semanagan Dionisian dan apollonian[15]. Dan pergulatan itu berada pada lingkungan estetik bukan normative. Dengan kata lain, pergulatan hidup harus dipandang sebagai upaya untuk menciptakan keindahan. Seni adalah monument kemenangan manusia dalam menjawab hidup. Kata Nietzsche.[16]

2. Kegunaan dan Kerugian Sejarah

Ia mengatakan bahwa dalam mempelajari sejarah orang bisa mengafirmasi juga dapat menolak hidup. Menurut Nietzsche, baik yang histories maupun yang ahistoris diperlukan dalam sejarah. Maka belajarlah bagaimana melupakan pada saat yang tepat dan mengingat pada saat yang tepat. Kalau orang itu hanya mengingat hal-hal yang histories maka ia akan terjebak dalam ketidakberdayaan untuk hidup. Dengan melihat-lihat terus kebelakang orang akan tidak kreatif, dan terbelenggu karenanya. Sedangkan orang yang tidak mempunyai kesadaran masa lampau juga tidak normal. Akibatnya tidak dapat mengatur diri sendiri, merusak kesempatan-kesempatan untuk hidup terus. Adanya kebudayaan tanpa tradisi.

Nietzsche punya konsep histories, ahistoris dan supra-historis. Dimata Nietzsche manusia histories mempunyai keyakinan dan harapan masa depan. Namun manusia supra-historis, memandang keselamatan dan kebahagiaan dalam proses. Baginya dunia dipenuhi dan disempurnakan pada setiap saat[17]. Dari sini muncul adakah nilai-nilai yang sifatnya Supra-historis atau apakah semua nilai itu hanya merupakan gejala histories yang berlaku dalam tempat dan waktu tertentu? Nietzsche menawarkan nilai seni sebagai yang melampau sejarah…dan menawarkan Nihilisme untuk cepat-cepat membuat manusia keluar dari kekolotan nilai-nilai yang ahistoris, sehingga manusia bisa mengatakan Ya pada hidupnya denngan kebebasannya.

Nihilisme

Kata Nietzsche, apa saja yang dulu dianggap bernilai dan bermakna, kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Krisis ini akan berlangsung terus menerus secara tak terelakkan. Ini ditandai dengan kebudayaan yang seperti ini, dan mereka (eropa) tak sanggup lagi merenungkan dirinya dan takut merenung. Banyak aforisme Nietzsche yang menunjukkan ramalan masa depan nihilisme itu.

Nietzsche memaklumkan itu dengan berteriak-teriak bahwa tuhan (suatu postulat dari kebermaknaan apapun) sudah mati (Gott ist tot). Jaminan kepastian mulai dari Tuhan, Ilmu pengetahuan, prinsisp-prinsip logika dll sudah hancur dirumuskan dengan Gott ist tot.

Nietzsche mirip A. Comte (1798-1857) yang mengatakan hidup ini lewat tiga fase yaitu Teologi (mitologi) à semuanya serba Tuhan, , kemudian Metafisika à Tuhan diganti dengan hal-hal seperti substansi, kodrat dll. Pada tahap ketiga Ilmu Pengetahuan à dimana apapun harus eksperimental, rasional dst. Tapi apa kata Nietzsche tentang Comte. “Comte […] ingin menghantar orang perancis ke roma melalui jalan pengetahuan.” Artinya Tuhan baru telah keluar yaitu Ilmu Pengetahuan. Bagi Nietzsche “Tuhan” hanyalah suatu model untuk menunjuk setiap bentuk jaminan kepastian untuk hidup dan dunia.

Banyak orang yang setelah membunuh Tuhan, ia membuat tuhan-tuhan baru misalnya idea, kesadaran, rasio, kepastian, kesejaheraan umum dll. Semuanya adalah pulau-pulau baru bagi orang yang takut berlayar, setelah benuanya dihancurkan oleh samudra.[18] Kesulitan manusia untuk melepaskan tuhan-tuhan baru itu karena penanaman kepastian sebagi pegangan gidup yang berurat-berakar, khususnya dalam lembaga agama (Kristen)

Demikian J.J. Rousseau (1712-1778) yang mengajak manusia untuk kembali kealam. Karena alam menjanjikan kebaikan, keadilan dan keindahan. Kata Nietzsche; dia (Rousseau) sudah berani masuk kapal, tapi masih takut menghancurkan jembatan yang menuju kapal. Nietzsche ingin manusia bebas dari apapun yang absolute yang menjamin dirinya dan dunianya.

Kalau nihilisme sudah semacam keharusan; maka apa yang harus dilakukan manusia? Atau kita membiarkannya terus seperti ini, sehingga kita melayang-layang. Yang ditawarkan oleh Nietzsche bukan tinggal diam (sebagai nihilisme yang pasif) katanya; Tuhan dan para dewa sudah mati, tetapi manusia tak dapat berbuat lain kecuali menyembah mayat-mayat yang disemprot wewangin terus-menerus. Alternative yang diajukan Nietzsche adalah nihilisme Aktif; yaitu mengadakan pembalikan nilai-nilai. Lalu bagaimana? Nietzsche percaya bahwa semuanya itu chaos (kacau). Tak ada sesuatupun yang benar, maka segalanya diperbolehkan (Nichts ist wahr, alles ist erlaubt).

Nietzsche tidak ingin mencari nilai-nilai baru, untuk mengganti nilai-nilai lama (dengan pembalikan nilainya), Nietzsche ingin mencari cara untuk dapat berkata “Ya” pada dunia yang adalah chaos dan nihil, yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral. Kebenaran katanya adalah semacam kekeliruan yang tanpanya kita tak dapat hidup.

Nietzsche tidak mau mencari pulau atau daratan yang dapat dipakai sebagai tempat tinggal yang aman. Dia mau mencari sampan kecil untuk mengarungi samudra raya supaya dapat menikmati ketakterbatasan dan geloranya. Bila sampan itu aus, mesti kita harus menggatinya. Inilah Nihilisme Aktif.

Kehendak Untuk Berkuasa

Kata Nietzsche “kehendak untuk berkuasa” merupakan prinsip dari seluruh kehidupan manusia. Dari tulisan Nietzsche kita lihat ia adalah seorang individualisme, vitalisme, voluntarisme dan eksistensialisme. Ada yang menafsirkan kehendak untuk berkuasa adalah provokasi politik, seperti ditafsirkan oleh baumler dan Elizabeth saudari Nietzsche. Tetapi jelas tafsiran ini kurang tepat, sebab Nietzsche tidak suka akan Negara, Negara baginya adalah musuh besar untuk merealisasikan kebebasan. Tafsiran itu yang sering mengarahkan Nietzsche dengan ideology Nazi.

Manusia kata Nietzsche adalah antara hewan dan Ubermensch yaitu semacam manusia “ideal” yang dapat merealisasikan semua kemungkinannya (aussereste Moglichkeit des menschen). Untuk merealsasi diri manusia perlu power, makanya Nietzsche lebih demi pengembangan physis daripada mengutamakan kekayaan dan hormat.

Ia membagi budaya menjadi 3, yaitu Barbar (kehendak untuk menundukkan dan menguasai orang lain). Kebudayaan Normal (kebudayaan yang mengagumi dan membiarkan sesamanya tertawa dan bahagia), dan kebudayaan Asketik (orang lebih berpaling pada dirinya sendiri dan mengadakan “penguasaan diri”. Orang pada tahap ini merasa dirinya sebagai orang yang paling berkuasa), contoh kelompok ini adalah seniman, filosof dan santo sebagai orang yang berbudaya. Semakin orang mempunyai jiwa tadi semakin orang enggan bernegara).

Apa itu “Kehendak untuk berkuasa”

Dalam bukunya Beyond and evil Nietzsche mengatakan bahwa hakekat dunia adalah kehendak untuk berkuasa, dalam The Genealogy of Moral dikatakan hakekat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dan lagi dalam The Will to Power, Nietzsche menyebut bahwa hakekat terdalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa. kehendak untuk berkuasa untuk berkuasa adalah hakekat segala-galanya.

Kita dapat menanyakan ke-apa-an atau whatness dan kehendak untuk berkuasa, dengan tanya apa itu (=hakekat) kehendak untuk berkuasa. Mengharapkan pengetahuan tentang hakekt yang sifatnya tetap, selalu sama dan tak berubah. Itu tak mungkin dalam Nietzsche sebab katanya tak ada itu yang tetap tak ada hakekat, itu pertanyaan metafisis yang seolah-olah mereka dapat membaca dunia seperti apa adanya.

Menurut Nietzsche; setiap kegiatan bertanya secara filosofis adalah kegiatan penafsiran terhadap dunia (world-hermeneutics). Dan yang kita peroleh dari pertanyaan semacam ini adalah makna dan arti dari apa yang kita tanyakan. Dibalik makna dan arti yang kita peroleh kebenarannya, menurut Nietzsche, tak ada yang berarti dan bermakna. (disini kata Heiddegger, Nietzsche adalah seorang idealisme).

  1. Dunia sebagai “kehendak untuk berkuasa”

Kehendak untuk berkuasa berkuasa adalah chaos yang tak punya landasan apapun.[19] Kehendak (will) dalam kehendak untuk berkuasa bukan merupakan substansi metafisis. Kehendak merupakan gejala yang sifatnya plural, yang muncul karena terjadi perbedaan kekuatan (power). Perbedaan ini terjadi karena sifat asali dari power yang selalu mau mengatasi dirinya. Jadi will to power adalah gejala dari dinamisme pengatasan diri. Dapat diartikan bahwa kehendak dalam kehendak untuk berkuasa dapat juga diartikan sebagai kekuatan yang memerintahkan (dirinya sendiri) tanpa mengandaikan suatu pasivitas atau stabilitas. Arti semacam ini seakan mengandung bahwa ada pihak yang pasif dalam upaya untuk mentaati perintah itu? mentaati menurut Nietzsche juga butuh kekuatan untuk memerintah (= untuk mentaati). Jadi Kehendak dalam kehendak untuk berkuasa selalu bersifat memerintah dan mentaati tanpa pengandaian pasivitas apapun.[20]

Kalau kehendak untuk berkuasa untuk berkuasa merupakan hakekat dari dunia, hidup dan ada, ini berarti bahwa segalanya adalah dinamisme yang masih dalam status chaos. Dunia, hidup dan ada seolah terapung diatas gelora samudra, dan bukan tertancap pada suatu benua atau pulau.[21] Disini terlihat bahwa kehendak untuk berkuasa untuk berkuasa dan nihilisme adalah dua sisi dari satu mata-uang.

[bicara tentang kehendak, kita tak dapat melupakan Kant dan Schopenhauer yang mempengaruhi Nietzsche. Kata Schopenhauer bahwa dunia itu dualistic yaitu dunia maya dan dunia metafisik. Yang terakhir itu adalah das ding an sing sama seperti Kant, yang hakekatnya adalah kehendak (der Wille), sedang dunia maya adalah objektivasi dunia metafisik. Kant mengatakan kita dapat melewati fenomena, sebagai contoh; Hukum moral itu pada hakekatnya berkaitan dengan kehendak seseorang, dan kehendak tidak hanya berkaitan dengan dunia fenomenal melinkan das ding an sich, makanya perbandingan baik-buruk dihak hanya pada fenomenya juga pada kehendaknya].

Bagi Nietzsche dunia fenomenal yang berubah-ubah ini adalah satu-satunya dunia. Segala sesuatu yang ada adalah topeng saja adalah penampakan saja (bukan penampakan ala Kant). Bagi Nietzsche fenomena harus dipahami dalam proses interpretasi. Karena kebingungan para filsuf dengan “kejelekan” dunia yang tampak ini, mereka membagi dunia menjadi fenomena dan hakekat. Padahal sebenarnya chaos itulah hakekat dunia. Dunia kata Nietzsche tidak punya keteraturan, susunan, bentuk keindahan dan nama-nama lain semuanya dalam keabadian chaos.

Contoh teori atom katanya; yang mengatakan bahwa partikel itu tak dapat dibagi lagi…menurut Nietzsche itu adalah teori yang bersifat fiktif dan perspektif belaka. Teori itu tidak lebih daripada seperangkat skema atau tatanan yang diterapkan pada fenomena kacau (chaos) dengan maksud menguasai. Pengetahuan itu secara realitas tak ada, mereka dibuat untuk memudahkan komunikasi, pengaturan chaos. Dan pengetahuan itu dibuat untuk kebutuhan praktis kita, yaitu untuk menguasai.

  1. Hidup adalah kehendak untuk berkuasa

Nietzsche mendefinisikan Hidup sebagai “sejumlah kekuatan yang disatukan oleh proses-pemeliharaan”.

“sejumlah kekuatan, yang disatukan oleh proses-pemeliharaan umum, kita sebut hidup. Yang termasuk dalam proses pemeliharaan unum ini –adalah semua kekuatan yang disebut idea, pikiran; yaitu 1) penolakan terhadap semua kekuatan lain, 2) penyesuaian semua (kekuatan) yang sama sesuai dengan bentuk” dan ritme, 3) pertimbangan berhubungan dengan penyatuan atau pemindahan.

Dari nukilan diatas tampak bahwa proses-pemeliharaan merupakan syarat yang harus ada bagi terwujudnya hidup. Dan yang dimaksud dengan proses-pemeliharaan adalah kehendak untuk mengoperasikan kekuatan-kekuatan. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kehendak untuk berkuasa dari seluruh kekuatan yang termasuk dalam proses itu.

Cirri yang paling menonjol dalam hidup ialah kecendrungan mencari hambatan untuk diatasi. Cirri ini berhubungan langsung dengan kehendak untuk berkuasa. Secara asali kehendak untuk berkuasa untuk berkuasa hanya dapat dirasakan sebagai berkembangnya kekuasaan (Macht). Orang merasa dirinya benar-benar hidup, kalau dia merasakan pergolakan kehendak untuk berkuasa. Dan ini terasa jelas dalam pengatasan hambatan-hambatan.

Tujuan hidup kata Nietzsche adalah berkata “Ya” bahwa hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dan disana orang merasa bahagia. Sebab bagi Nietzsche kebahagiaan adalah “perasaan akan bertambahnya kekuasaan –hambatan diatasi. Tujuan hidup bukan kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melainkan perang.[22]

“Percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya (gefahrlich leben)! Dirikanlah kota-kotamu dilereng gunung Vesuvius. Kieimkanlah kapal-kapalmu kesamudra yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri.[23]

Nietzsche mengagumi seniman, karena mereka mengafirmasi hidup tanpa harus menyederhanakannya (seperti metafisis, ilmuan dan lain-lain). Nietzsche mengertik Kant karena dalam Kant berkeinginan untuk menegaskan kembali kewibawaan ilmu pengetahuan dan pada waktu yang sama ia tetap ingin menjaga otonomi moral. Kata Nietzsche;

“bagaimanakah fakta pengetahuan itu mungkin? [kata Kant] apakah pengetahuan itu merupakan fakta? Apa itu pengetahuan? Kalau kita tidak mengetahui apa itu pengetahuan, kita tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan apakah ada pengetahuan atau tidak. Baiklah jika saya belum “mengetahui” apakah ada pengetahuan atau mungkinkah ada pengetahuan, saya tidak dapat mengajukan pertanyaan secara beralasan ‘apa itu pengetahuan’ sebagaimana diyakini Kant dalam fakta pengetahuan. Apa yang Kant inginkan adalah suatu kenaifan: pengetahuan tentang pengetahuan.

Batu pertama yang diletakkan oleh Kant adalah asumsi bahwa pengetahuan adalah keputusan (judgment), mengetahui berarti memutuskan, dan memutuskan berarti melakukan sintesa. Disini Nietzsche mengatakan penyangga awal teori Kant adalah Kepercayaan..kepercayaan belaka. Ini sama meninggalkan Tuhan lama menciptakan tuhan-tuhan lain (Gott ist tot). hukum-hukum dasar logika, hokum identitas, hokum kontradiksi sebagai pengetahuan murni (kata Kant; karena mendahului pengalaman). Nietzsche menyebutnya sebagai alat-alat regulative bagi kepercayaan. Analisa yang diajukan itu tidak menunjukkan bahwa memang faktanya begitu, namun diciptakan untuk memberikan fungsi-fungsi bagi kepercayaan. Dengan ini Nietzsche membuka kemungkinan bentuk-bentuk hubungan lain yang timbul antara manusia dan apa yang selama ini dianggap “diketahui”.[24]

Kritik Nietzsche atad das ding an sich, dengan mengatakan; baginya fakta pada dirinya sendiri itu tidak ada. Essensi juga tidak ada. Apa yang disebut fakta atau esensi adalah hasil dari pemberian makna atau kualitas dari sudut pandang tertentu. Paertanyaan apa itu..?” tidak berarti menunjuk pada essensi pada dirinya. Pertanyaan ini menunjukkan awal kegiatan pemberian kualitas pada suatu yang hasilnya sering dianggap sebagai essensi pada dirinya. Dengan kata lain, kenyataan dan essensi sesuatu sebenarnya hanyalah pendapat mengenai sesuatu. Dibalik pendapat itu tidak ada apa-apa (nihil).

Pemberian makna itu selalu dilakukan dari sudut pandang tertentu. Artinya, pemberian ini selalu bersifat perspektif, yang sudah selalu mengandaikan kejamakan. Sudut pandang tidak terbatas pada satu “subjek” saja. Dengan demikian, kalau kita bertanya “apa itu..? sebenarnya sudah selalu berarti “apa itu…bagiku?”.

Sama dengan perkataan subjek yang bertanya masalah apa itu..? subjek juga merupakan penafsiran atau pemberian makna yang adalah suatu bentuk kehendak, bentuk ini selalu hanya sebagai perasaan (affect), bentuk ini tak pernah sebagai ada (dasein), melaikan selalu dalam status proses menjadi. Subjek adalah suatu penyederhanaan yang dimaksudkan untuk menunjukkan adanya yang berbeda dari kekuatan lain.

Konsep-konsep itu memang dibutuhkan, yaitu untuk melengkapi kebutuhan manusia, seperti kebutuhan logika, defines, komunikasi dan lain-lain. Dan tujuan terdalam ini adalah untuk penguasaan. kehendak untuk berkuasa mendorong orang untuk menemukan (atau “mengetahui) sesuatu atau kenyataan.

  1. Pengetahuan sebagai fungsi kehendak untuk berkuasa.

Apapun pengetahuan yang dilakukan manusia adalah pertama-tama untuk kelangsungan hidup manusia. Bagi Nietzsche tujuan pengetahuan adalah bukanlah untuk mengetahui kebenaran mutlak, melainkan untuk menguasai kenyataan. Lalu apa arti kebenaran bagi Nietzsche? Kebenaran adalah “semacam kekeliruan, yang tanpanya manusia tidak dapat hidup”. Dengan kata lain kebenaran adalah kekeliruan yang tak terbantuah dan tidak boleh tidak harus diterima oleh manusia guna meningkatkan kehendaknya untuk berkuasa. Pa yang telah dicapai oleh pemikir dalam sejarah tidak lebih dari kekeliruan-kekeliruan. Kekeliruan ini diterima sebagai kebenaran, karena telah terbukti berguna dan membantu untuk mempertahankan hidup dan menguasainya.[25]

Bagi Nietzsche, kriterium kebenaran bukanlah kejelasan dan yang dapat dipilah-pilah, seperti Descartes. Kriterium kebenaran adalah semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan.[26]

Kata Nietzsche; “dari sudut pandang perasaan; [kebenaran adalah] apa yang menggugah perasaan secara kuat (“ego”).

Dari sudut pandang pikiran; [kebenaran adalah] apa yang memberikan kepada pikiran perasaan paling kuat akan adanya kekuatan.

Dari sudut pandang sentuhan, penglihatan, dan pendengaran: [kebenaran adalah] apa yang mengundang resistensi terbesar.

Pendirian Nietzsche yang terpenting adalah bahwa gejala pengetahuan manusia tidak lebih daripada menunjuk usaha tranformasi alam kedalam konsep-konsep untuk penguasaan alam itu. alam disini dipahami sebagai arus-menjadi yang bersifat chaos dan tak bernilai. Supaya alam berguna bagi hidup, maka alam harus dikuasai, yaitu melalui interpretasi. Dengan kata lain, pengetahuan dapat juga didefinisikan sebagai proses interpretasi yang mengungkapkan kehendak untuk berkuasa atas arus yang masih kacau.

Moralitas, sublimasi dan “kehendak untuk Berkuasa” belum selesai (kurang lebih 2 lembar)

Ubermensch

Secara umum dikatakan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang membuat orang merasa semakin berkuasa. Jadi kelembekan apapun itu adalah sikap tidak bermoral, kata Nietzsche. Dan sekarang ini nilai-nilai di barat sudah runtuh, karena jaminan yang dianggap seolah-olah ada. Baik itu oleh pemujaan “atas” Tuhan lewat gereja Kristen dan para filsuf pseudo-agama maupun oleh penciptaan tuhan-tuhan kecil lainnya.

Zarathustra mengajarkan nilai tanpa jaminan apapun. Nilai itu adalah Ubermansch (= Superman= Overman). Ubermansch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok keseberang dunia.

Kata Nietzsche dulu penghujat tuhan adalah dosa besar, maka Tuhan sudah mati, maka matilah penghujat-penghujatnya. Sekarang penghujat dunia adalah dosa paling berat.

Nietzsche menilai pesimisme terhadap hidup disebabkan oleh kerisauan akan dorongan-dorongan hidup. Dan kerisauan ini muncul sebagai ketidak-berdayaan untuk mengatur dan menguasai dorongan-dorongan hidup yang pada hakekatnya adalah hidup itu sendiri. Bagi Nietzsche satu-satunya penghargaan akan hidup adalah dengan berkata “ya” pada hidup itu. sikap manusia yang dapat mengafirmasi hidupnya dapat diibaratkan seperti laut. Tanpa harus menjadi murni, laut bersedia menampung berbagai aliran sungai yang penuh dengan polusi. Sebelum orang dapat mengafirmasi segala dorongan hidupnya, tak mungkin Ubermansch tercipta.

Orang yang bukan Ubermansch, sering mengalihkan dorongan, penderitaan dan kekuatannya pada yang lain. Baik karena ketakutan, kecemasan dan lain-lain. Mereka menyangkal semuanya itu dari dirinya sendiri (penderitaan, kebahagiaan, kekuatan dan seluruh potensi jelek maupun baik). Oleh orang-orang dekaden semuanya itu dipersonifikasikan dengan Tuhan.

Apa syarat-syarat sehingga orang yang sudah melihat dunia, dirinya sendiri (tidak ke Tuhan) disebut atau mencapai ubermansch?

Manusia tidak lebih daripada sebuah entitas atau satuan kekuasaan yang terus-menerus hendak mengaktualisasikan diri lewat konflik, perang dan ungkapan-ungkapan yang semacamnya sangat digemari Nietzsche. Karena disanalah kehendak terasa paling kuat, yaitu kehendak untuk mengatasi atau menguasai. Dalam suasana semacam inilah sebenarnya kedudukan manusia berada didunia. Dia harus mengatasi diri terus-menerus.

Manusia selalu dalam keadaan krisis antara binatang dan ubermansch..,manusia disuruh berupaya untuk mengatasi itu sehingga jadi ubermansch. Menoleh kebelakang (binatang), diam pasif ditelan, sehingga tak ada jalan lain kecuali perang terhadap apapun termasuk dirinya untuk maju kedepan kepada ubermansch. Dari pernyataan ini menunjukkan manusia dalam keadaan transisional sesungguhnya. Dan kata Nietzsche manusia tak dapat maju dari kebinatangan ke ubermansch kalau ia tak mamapu mengatur naluri-naluri hidupnya. Untuk jadi ubermansch orang harus menjadi tuan atas naluri-naluri itu tidak sebaliknya.

Dengan ini Nietzsche mau mengatakan bahwa ubermansch akan dapat dicapai bila menerapkan prinsip "Kehendak untuk berkuasa”, sebab prinsip ini pada dasarnya adalah prinsip pengaturan sedemikian rupa, sehingga orang merasa semakin berkuasa. Ubermansch beda dengan agama Kristen bahwa hidup itu ditujuakn untuk kedepan, dan diluar manusia dan nanti. Sedangkan Ubermansch itu kemungkinan paling optimal bagi seseorang diwaktu sekarang, bukan tingkat perkembangan jauh didepan yang hanya ditentukan secara rasional.[27]

Dalam perjalanan orang menuju ubermansch tak ada kategori benar dan salah, yang ada hanya baik dan buruk. Baik adalah apa saja yang meningkatkan perasaan "Kehendak untuk Berkuasa", dan buruk berarti apa saja yang keluar dari sikap lemah. Sedangkan bahagia adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan dan keberhasilan mengatasi hambatan. Ubermancsh adalah makna dari dunia dan kemungkinan optimal yang dapat dipenuhi oleh seseorang.

Ubermansch adalah kemungkinan terbesar yang bisa dilihat dan dapat dicapai seseorang berdasarkan prinsip "Kehendak untuk Berkuasa". Ubermansch selalu didepan mata setiap orang yang berkehendak untuk Berkuasa. Ubermansch tidak pernah dapat ditunjuk dalam perjalanan sejarah. Ubermansch tak dapat ditunjuk dengan jari.[28]

Kembalinya Segala Sesuatu

Ajaran Nietzsche tentang kekakalan tidak lain adalah kembalinya segala sesuatu. Kembalinya segala sesuatu adalah afirmasi puncak dalam dunia yang dapat dicapai. Dan merupakan ujian terakhir bagi bukti adanya afirmasi akan hidup. Dia berpendapat bahwa segala peristiwa yang ada atau apa saja yang ada merupakan pengulangan dirinya sendiri. Dalam pengulangan ini tidak terjadi peristiwa penciptaan atau penciptaan. Pengulangan ini bersifat kekal dan terjadi dalam dunia. Menurut Nietzsche; dunia kita ini kekal, dia menolak setiap gagasan yang menyetujui adanya awal penciptaan dunia, dia juga tidak menyetujui adanya akhir dunia. Dunia tidak berawal dan berakhir dan ada berdasarkan dirinya sendiri.[29]

Saat gembira sebagai saat yang istimewa untuk mengalami dan mengamini kembalinya segala sesuatu. Hanya rasa gembira mempunyai kehendak untuk menghendaki dirinya sendiri. Orang yang menyadari pengalaman ini dan berkata “ya” padanya, ini berarti bahwa dia mengentalkan kehendak yang terkandung didalamnya. Sikap inilah yang membuat rasa gembira memuncak menjadi semacam ekstase-kehendak.[30]disini kehendak begitu kuat, sehingga dia tak hanya menghendaki dirinya sendiri terulang lagi, tetapi juga berani menghendaki hal-hal yang menyenangkan atau “semua musuh” kembali lagi. Inilah saat orang mengalami keabadian yang mendalam.

Orang yang berani memeluk iman dionisian, dia memiliki kekuatan amor fati (cinta akan nasib). Pengalaman berulang-ulang berkata “ya” pada rasa gembira membuat orang mencintai nasib. Orang tidak lagi mengharapkan kekekalan pada akhir zaman. Kebiasaan bermimpi tentang masa lampau dan masa depan justru membelenggu orang untuk menikmati keabadian dimasa sekarang.

Kembalinya segala sesuatu adalah cara yang paling maksimal untuk mengafirmasi hidup (dunia). Dengan mengakui gagasan ini orang sanggup menyatakan bahwa dunia ini berjalan dari, untuk dan berdasarkan dirinya sendiri tanpa mempunyai tujuan akhir. Konsekuensinya dunia adalah kekal sifatnya.

Upaya pembuktian kembalinya segala sesuatu diupayakan oleh Nietzsche dengan ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa ala mini terdiri dari energi raksasa, tidak berkurang dan bertambah, sehingga tidak mungkin berkurang atau bertambah secara kuantitas. Alam (dunia) terjadi kombinasi-kombinasi energi yang ada didalamnya. Kombinasi-kombinasi itu jumlahnya bukan tak terbatas. Dalam jangka waktu tertentu semua kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang ada dapat terpenuhi semuanya. Dan kalau kemungkinan kombinasi-kombinasi itu terpenuhi semua, maka kemungkinan kombinasi sudah terjadi akan terulang lagi. Demikianlah dunia kita akan mengulangi dirinya sendiri terus menerus dalam jangka waktu yang tak terbatas. Semua yang pernah terjadi dan akan terulang lagi secara abadi (in infinitum).[31]

Pengaruh Nietzsche pada Muhammad Iqbal

Kata Iqbal tentang Nietzsche; “filsafat Nietzsche –paling tidak dalam bidang etika –adalah sebuah usaha rasional untuk membenarkan perilaku bangsa Eropa, tapi nabi besar aristokrasi ini juga dikutuk hampir seluruh Eropa. Hanya sedikit sekali yang mengerti kegilaannya”.

Dalam teori Nietzsche tentang kembalinya segala sesuatu, Nietzsche mengajarkan kekakalan dunia dan konsekuensinya bagi manusia untuk menghayati temporalitas. Kata Iqbal; Nietzsche, Kant, al-Qur’an sama-sama mengajarkan imortalitas pribadi. Ini penting buat Iqbal untuk menjawab pertanyaan; Siapa itu manusia? Adakah nilai intrinsic pada diri manusia? Apakah syarat-syarat yang membuat manusia bernilai pada dirinya sendiri.

Beberapa asumsi dasar al-Qur’an yang dijadikan pegangan Iqbal dalam menjelaskan nilai pribadi manusia dan sifat imortalitasnya;

Surat Thaha (20:122); “kemudian Tuhan memilihnya [Adam] maka Dia menerima taubatnya dan memberi petunjuk”.

Al Baqarah (2:28); “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:’sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi’. Mereka berkata; ‘mengakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpakan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui’.

Al An’am (65:165); “Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya padamu”.

Al Ahzab (33:72); “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.

Iqbal mengatakan ajaran Nietzsche itu positifis (khusunya yang dilihat oleh Iqbal adalah kembalinya segala sesuatu). Iqbal mengatakan; a) asumsi bahwa “the quantity of energy in the nature is constant and consequently finite”. b) ruang diartikan sebagai “absolute empty vaid” c) waktu dipahami sebagai “a real and infinite process which can only be conceived as ‘periodic’, karena itu d) tidak akan terjadi “dissipation of energy in an infinite empty space” dan yang terpenting, kombinasi-kekuatan-kekuatan sudah “perfectly calculate”.

Dengan ajaran ini Nietzsche menganggap dunia itu tertutup, dan tidak memberikan “kekuatan” kreatifitas secara tak terbatas. Dengan ajaran kembalinya segala sesuatu itu dimana ada keterbatasan kombinasi (dan harus seperti itu karena energi dan dunia sudah penuh, atau menyelesaikan segala kemungkinannya), maka ajaran ini sama dengan ajaran “pesimisme”, fatalisme, karena tak ada kemungkinan baru bagi ego.[32]singkatnya ego dalam kembalinya segala sesuatu adalah ego yang terpenjara.

Iqbal mengupayakan sintesa ajaran-ajaran Nietzsche dengan ajaran Al-Qur;an. Dimana secara temporal ego punya asal-muasal.tetapi keyakinan ini tak harus bersikap menolak dunia karena, ada kemungkinan manusia kembali kedunia dan keterbatasan manusia tidak harus dipandang sebagai kemalangan.

Iqbal mengatakan; “Manusia pada dasarnya adalah energy, suatu daya, atau kombinasi dari daya-daya yang membentuk berbagai ragam susunan. Salah satu susunan yang pasti dari daya-daya ini adalah kepribadian –apakah susunan ini merupakan suatu kebetulan, tidak ingin kebahas disini. Aku menerima sebagai suatu fakta diantara fakta-fakta lain yang ada dialam, dan mencoba mencari tahu, apakah susunan daya-daya itu dapat tetap sebagaimana adanya. Apakah daya-daya itu dapat terus bekerja dalam arah yang sama ketika bekerja dalam pribadi yang hidup dan sehat? Aku pikir ya”

Keabadian adalah nilai tertinggi hidup manusia dilihat dari segi waktu. Kata Iqbal. Nietzsche mengatakan pengalaman keabadian terungkap dalam the deepest joy, dalam pengalaman ini orang berkata “ya” sedalam-dalamnya dan mengharapkan kembalinya “ya” it uterus menerus. Dalam the deepest joy orang tidak lagi merasakan peristiwa dalam serial periodic, tetapi dalam intensitas pengalaman itu yang diperjuangkan terus menerus.[33]

Iqbal mengatakan; sang Mukmin adalah bayang-bayang Sifat tuhan. Tiap detik kehidupan melahirkan kemenangan”. Bagi Iqbal dalam “tiap detik kehidupan” itulah keabadian terjadi. Sedang locus keabadian bukan terjadi dalam waktu objektif melainkan waktu sebagaimana dialami oleh seorang pribadi. Dengan kata lain, sebenarnya Iqbal tidak mengakui suatu keabadian diluar pengalaman seorang pribadi. Keabadian selalu berarti keabadian pribadi dan bukan kepribadian waktu. Keabadian terjadi dalam pribadi yang berproses menaikkan kekuatannya atau sifat keilahiannya. “Keabadian pribadi, katanya; “bukan suatu keadaan; itu adalah suatu proses”.[34] Maknya kata Iqbal; aku tidak menghargai waktu berdasarkan panjangnya melainkan dari kualitasnya pengalaman. Keabadian bagi Iqbal, adalah pengalaman kemenangan manusia memberikan nilai hidupnya.[35]

Kata Iqbal sehubungan dengan kepercayaan akan Tuhan; “kawan-kawanku sering bertanya, ‘apakah engkau mempercayai Tuhan?’ Kupikir, sebelum menjawab, terlebih dulu aku harus memahami makna istilah yang digunakan mereka. Kawan-kawanku itu harus menjelaskan apa yang mereka maksud dengan ‘percaya’, ‘ada’ dan ‘Tuhan –terutama dua yang terakhir, apabila mereka menginginkan jawaban. Kuakui bahwa aku tidak mengerti istilah-istilah tersebut; dan ketika kutanyakan pada mereka, ternyata mereka juga tidak mengerti.[36]



*) Alumni Pasca-sarjana Human Resource Management, Univ Brawijaya Malang. Kepala Sekola SMP/SMA YAPI Beji-Pasuruan. Dosen STIE-Yadika Bangil-Pasuruan.

[1] Transendensi dalam Jasper adalah Allah.

[2] Ini mirip dengan Tubuh Manusia dan Ruh Manusia dalam Islam. Ruh Manusia dalam Islam dipercayai sebagai “Bagian dari Tuhan yang diberikan dalam diri manusia ”. Bagian abadi, bagian yang mengantarkan Manusia menuju keabadian, kesempurnaan, dan biasanya (Ruh) ini ingin lepas dari Tubuh manusia.

[3] Ini sangat menarik, sebab pembahasan “kehendak bebas dan free-will sangat membingungkan. Agak aneh disini sebab seakan “kehendak” bebas itu mengandaikan ketidak tahuan. Lalu pertanyaannya bukankah “pilihan” tetap mengandaikan pengetahuan, walau ia yakin pengetahuannya tak lengkap (= pasti). Sebab bila kehendak adalah irasional (= tidak mengandaikan ke-tahu-an-ke-tahu-an sebelumnya) maka absurd. Artinya inti manusia adalah kebebasan sedang dengan kebebasan itu maka ia akan jadi seperti itu, harus bertanggung jawab dan meng-Ya-kan hidup dengan itu. tetapi ternyata pengambilan keputusan itu irasional. Kecuali diartikan bahwa dengan “Pengetahuan lengkap” tak ada “pilihan”.

[4] Lihat penjelasan menarik, lengkap dengan terapinya dalam Psikologi “Logo Terapi”, khususnya Viktor E. Frankl, terutama dalam bukunya “Man’syi'ah Search For Meaning”.

[5] Chiffer dari kata arab Sifr yang artinya kosong, nol.

[6] Dalam peristilahan filsafat umum itu sudah biasa. Prinsip non-kontradiksi mengatakan; “Ada dan tiada tak mungkin bergabung”. Konsep pemikiran “tiada” itu sama dengan apa yang dikatakan Jasper

[7] Sama dengan upaya mendefinisikan “ada”. Definisi adalah batasan, sementara “Yang Ada” itu adalah bagian terkecil sekaligus terbesar dari ada. Lalu mengapa dalam kitab suci “Yang transcendental = Allah” diberi nama? Dalam Islam 99 nama-nama baik Allah. Jawaban yang mungkin adalah; kitab suci bukan kitab ilmiah, ia adalah jajni dan ancaman serta berbicara pada semua lapisan. Kaum yang praktis, filosofis, awam maupun intelektual. Contoh; dalam berbicara surga, dalam satu ayat disebut ada telaga madu, ada bidadari dan lain-lain yang “seakan” empiris, tetapi dalam ayat lain dikatakan tentang akhirat (surga-neraka) adalah tidak pernah terpikirkan, tidak dapat dibayangkan, tidak pernah didengan, dilihat dan lain-lain. Demikian juga dalam penyifatan Tuhan sebagai sebab; kadang segala sebab Ia nisbahkan pada dirinya, kadang Ia dan perantara lain (biasanya menyebut dengan Kami), kadang menyebut hal tertentu sebagai sebab; misalnya madu sebagai penyebab kesembuhan dan lain-lain.

[8] Ajaran Mani, yang ada di Persia 276M. Ajaran itu memuat paduan dualisme Zoroaster Persia dengan unsure-unsur gnostik dan unsure-unsur kristiani.

[9] Ini mirip pertanyaan; Bisakah Tuhan memasukkan manusia baik ke neraka? Bila bisa “Tuhan tak adil atau menepati janjinya”, bila tak bisa berarti “Tuhan tak kuasa”.

[10] Bahkan walau perlu dibuktikan lagi awal mulanya adalah Monoteisme.

[11] Ini menurut kami, upaya Jasper untuk tidak terjebaik pada “semua adalah Tuhan”. Sewaktu kita berupaya berbicara “Yang Transendental” dan “Yang Imanen”, banyak orang terperosok kesalah satu ekstrim tak dapat membuat “Tauhid” dalam Islam. Kita bisa lihat bagaimana banyak pakar terjebak saat memahami konsep-konsep ibn Arabi sewaktu berbicara tentang “wahdat al wujud”, kesatuan wujud. Dengan Pariechontologi jelas apapun penjelasan itu hanya cakrawala yang melingkupi, Yang melingkupi sendiri diluar itu (transendensi masih ada). Wallahu al a’lam.

[12] Ini hanya ada di Kristen lewat Trinitasnya (khususnya inkarnasi Tuhan pada Yesus).

[13] Imuwan-ilmuwan, contoh Einstein; kalau ditanya tentang agama dan Tuhan cenderung beragama, bertuhan, tetapi bukan seperti agama-agama resmi (Gereja).

[14] Ini masuk akal, sebab dengan transendensi tak tersembunyi, ada (apalagi ditengah-tengah manusia). Ini mirip dengan adanya Yesus, Adanya Nabi Muhammad dalam islam, atau kelompok yang mengklaim paling benar (ia mewakili transendensi di bumi). Jelas kebebasan berfikir, bertindak, berijtihat tidak diperbolehkan. Harus tunduk pada transendensi-imanen itu (kebenaran absolute).

[15] Semangat Apolonian mencerminkan aspek kejeniusan, kekuatan untuk menciptakan keharmonisan, keindahan, prinsip individuasi, daya yang mampu memberikan bentuk symbol, ukuran serta hambatan. Orang mau menutup (dengan semangat ini) kenyataan (hidup yang tak enak, tak bermakna) dengan hal-hal yang indah dan penuh seni.

Semangat dionisian adalah symbol kegilaan atau arus hidup yang mengancam untuk merusak semua bentuk dan norma, nafsu tak terpendam yang melampaui semua pembatasan, sikap menyerah yang kadang-kadang kita rasakan ketika mendengar musik.

[16] Ini mirip dengan dunia sekuler, dimana dunia tanpa maknaà tetapi mereka mencoba untuk mengisinya dengan berbagai penemuan, seni, budaya, bangunan megah, pembangunan dll. Walaupun bila mereka berhenti sebentar mereka akan menemukan dirinya remuk, tak bermakna. Itulah sehingga mereka membuat hal-hak yang seakan-akan ada manfaatnya (kesenangan terus makin-tinggi makin tinggi, makin cepat, makin cepat..dan dari satu upaya “kerja” keupaya yang lain) dst.

[17] Ini menarik karena memang “ada benarnya”. Manusia selalu mengkonstitusi alamnya setiap saat. Setiap saat manusia adalah lain dari sebelumnya. Sehingga historisitas (sekarang dan kemarin ada kesamaannya) adalah salah. Orang yang melewati jemabatan untuk yang kedua kalinya, akan berbeda dengan yang pertama kalinya. Minimal yang kedua-kali sudah memiliki pengalaman yang pertamana kali. Dan Manusia (dalam pandangan eksistensialis, benar-benar unik). Nilai adalah “terkondisikan”; akan benar bila dalam dalam kondisi sama, nilai itu akan sama. Padahal kenyataannya kondisi yang sama dari sebelumnya adalah “tak mungkin”.

[18] Nietzsche berharap manusia berani untuk berlayar dan berlayar walau sampai kapanpun tak akan kelihatan kanan-kiri, depan belakang, atas bawah benua-benua, tempat kita akan berhenti sebagai tujuan. Semuanya hancur…yang ada adalah nihilisme.

[19] Tidak ada pertanyaan lagi; mengapa orang ingin atau berkehendak untuk berkuasa? Pertanyaan ini absurd kata Nietzsche.

[20] Ini menarik untuk mengarikan “free will” dalam masalah takdir dalam Islam. Kita ini bebas untuk berkehendak (free will), sebab bila tidak maka tak ada artinya “perintah dan larangnan”, juga “surga-neraka”, bahkan mungkin juga Tuhan. Lalu apa “kehendak bebas itu”. dapat diartikan disini bahwa “Kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. Lalu timbul pertanyaan dari mana munculnya kehndak itu? atau kehendak untuk melakukan dan kehendak untuk tidak melakukan? ini tak mungkin ditanyakan atau dijawab, sebab kalau itu dijawabpun.. akan memberikan jawaban yang sama..kehendak untuk memilih atau melakukan itupun butuh kehendak dan seterusnya..dst. jadi kehendak itu pendasaran tak ada dasar lagi.

[21] Ini karena Nietzsche percaya “kehendak untuk berkuasa” dan tak percaya Tuhan.

[22] Ini menarik sebab sebagian orang mengatakan bahwa ‘tujuan hidup adalah kebahagiaan”; lihat Jalaluddin Rahmat, “Meraih Kebahagiaan”, Simbiosa Rekatama Media, 2004 (terima kasih kami haturkan pada pengarang, yang mengirimi penulis dengan tanda tangannya dan pujiannya yang “tak layak” buat kami). “tujuan hidup kita adalah Mencari-makna”, kata Viktor e. Frankl dalam bukunya, “man’s search for meaning”. Dan “Psikologi Eksistensial” umumnya. Juga Sosiolog Peter L. Berger…dan lain-lain. Bukankah kebahagiaan tak akan berhenti? Dan bahagia adalah selesailah “hambatan-hambatan”? Bukankah makna Seperti penjelasan Naquib Alattas; Makna adalah pengenalan tempat-tempat segala sesuatu didalam suatu system. Pengenalan seperti itu terjadi jika relasi sesuatu yang lain dalam system tersebut menjadi terjelaskan atau terpahamkan. Husein Syed Muhammad Naquib al-Alatas dalam, “Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (Mizan, 1984). Apakah ini bukan sama dengan upaya teori atom-tadi? Sekadar memberi perbandingan untuk membaca konsep Nietzsche dengan konsep yang lain. Wallahu a’lam.

[23] Bukankah ini juga yang dianjurkan dalam agama; yaitu terus dan terus memperbaiki diri tanpa berhenti, “hidup adalah perjuangan, perjuangan menuju kesempurnaan (kata Ali bin abi Thalib)…walau kesempurnaan itu (menyerap semua sifat-sifat allah, tak akan mungkin..dan tidak akan mungkin. Mirip dengan bahaya terus menerus, berlayar lewat samudra dengan sampan kecil (diri kita), tanpa batas, tanpa pulau-pulau untuk tujuan berhenti. Dengan itu kita meng—amini..samudra yang luas. Wallahu a’lam.

[24] Sebagai analigi; ini mirip dengan perubahan dari konsep “Fisika Newtonian” ke konsep “Fisika Quantum”. Dari konsep “Geosentris” (gereja), ke konsep “Heliosentris” (Galileo-Copernicusà yang mencontoh murni tulisan buku bahasa arab dari filososf Islam, khusunya Copernicus).

[25] Dengan sedikit penyederhanaan; Ini sangat terlihat dari teori-teori yang diterima umum dulu, kemudian diganti teori lain. Dulu diterima karena sudah membantu untuk hidup, sudah membantu untuk menguasai kenyataan Dari teori “Abiogenesis” Aristoteles katanya, ke “biogenesis” Luis Pasteur. Dari Newton (segitiga =180 derajat, dipercaya ada garis lurus dan lain-lain kosepnya) ke Teori Kuantum (segitiga > atau < style="">

[26] Ini dapat dianalogikan dengan teorinya Epistemology Karl Raimound Popper. Dengan konsepnya “the tessis of refutability (= bahwa suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah, kalau secar principal terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability) dan the principle of falsification (= suatu teori atau ucapan bersifat ilmiah, kalau terdapat kemungkinan untuk menyatakan salah) .Lihat dalam buku: Epistemologi Karl Raymound Popper”, oleh Lili, T. Tjahjadi, Gramedia.

[27] Ini mirip dengan eksistensialis lainnya yang mengatakan manusia menjadi “eksistensi” diatas dasein saat ia mengambil keputusan, pilihan. Dan keputusan, pilihan yang dilakukan secara bebas itu pada “situasi-bata”, pada “saat”. Walau dengan konsep yang agak berbeda. Nietzsche tak percaya “eksistensi” yang mengatasi dasein, tidak ada abstraksi-abstraksian dan lain-lain.

[28] Ini mirip dengan perkataan dalam Islam; Manusia diperintah untuk mewujudkan seluruh potensinya (potensi manusia adalah punya “ruh ilahi), sehingga ia diupayakan untuk menjadikan matanya maksimal sehingga menjadi “mata allah”, kebaikannya dimaksimalkan sehingga menjadi ‘kebaikan semacam Allah”, tangannya menjadi “tangan allah” dan seterusnya. Lalu ia berkata “yang bergerak bukan aku tetapi Dia Allah, bukan mataku yang melihat tetapi Allah” dan seterusnya. Apa ini benar? Klaim-klaim itu salah sebab tak akan ada yang menyampainya menjadi “Tangan Allah”, “Mata Allah” dan seterusnya. Kata Imam Ali; “Hidup adalah perjuangan, perjuangan menuju kesempurnaan”. (ini menjadi motto hidup saya: Muhammad Alwi, sebelum membaca karya-karya Nietzsche). Dan apakah mungkin manusia menjadi sempurna, jawabannya “tak mungkin”, mereka harus gugur sebelum kesempurnaan dicapai…tetapi tujuan itu bukan ditentukan didepan jauh. Setiap pengambilan keputusan, setiap pilihan; mengandaikan suara hati, melihat semua kemungkinan dan kita anggap itulah yang terbaik. Setiap saat kita menyempurnakan diri…disetiap titik kita dapat menjadi sempurna (“saat” itu). Kesempurnaan adalah bukan kata statis, tetapi dinamis, kesempurnaan yang ada adalah kesempurnaan saat itu, disini dan dalam kondisi ini dan itu, dan seterusnya.

[29] Konsep ini sama dengan postulat atau keyakinan akan Tuhan dalam agama-agama wahyu. Bahwa Allah tidak berawal dan berakhir, sama Nietzsche itu diganti dengan “dunia”.

[30] Sedikit penjelasan bahwa “kebahagiaan” adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan dan keberhasilan mengatasi hambatan. Dan karena optimalisasi potensi yang terjadi setiap saat tanpa ujung (berhenti), berarti bahwa kita dapat mengoptimalkan diri setiap waktu (dengan mengatasi hambatan = bahagia), dengan itu kita menghendaki terulangnya perasaan itu, terus dan terus… itulah sedikit apa yang dimaksudkan dengan “kembalinya segala sesuatu’.

[31] Upaya bukti ini banyak dikritik oleh ilmuan juga oleh filosof-filosof, dan dikatakan tidak konsisten dengan pendapatanya sebelum-sebelumnya.

[32] Ajaran tentang segala sesuatunya Nietzsche semacam “suklus” atau “daur” dalam filsafat. Dan ini banyak dikritik oleh ilmuwan juga filosof, serta dianggap Nietzsche tidak konsisten dengan ajaran-ajaran sebelumnya.

“Ego Kreatif “ Iqbal boleh dianggap dengan Eksistensi dalam kebanyakan filosof eksistensialis yang dilawankan dengan dasein (manusia sebagai kebadanan=tubuh).

[33] Ini mirip dengan “ekstase” pada sufi. Dimana saat itu ia bergumul dengan pengalaman puncak, dengan sang abadi = Allah. Kadang mereka merancu, mengatakan hal-hal tak umum karena nikmatnya pengalaman yang diluar waktu, keterbatasan dan seterusnya. Lebih progresif kaum eksistensialis yang mengatakan; pertemuan antara keterbatasan dan keabadian pada “saat”. Saat adalah setiap kejadian dimana terjadi pengambilan pilihan, keputusan yang mengandaikan kebebasan manusia. Saya [Muhammad Alwi] lebih melihat yang terakhir [eksistensialis] yang lebih Islami. Sebab setiap saat, kita harus mengambil ‘yang terbaik” dari semua kemungkinan yang ada. Disini kita berhubungan dengan keabadian. Kita lihat contoh pribadi yang disepakati oleh kaum Islam; Muhammad saw; Beliau selalu berhubungan terus dengan Ilahi (bisa dikatakan, beliau selalu dalam keadaan ‘ekstase’), tetapi prilakunya normal, dan tetap mengoptimalkan ‘diri pribadinya’. Dikatakan; “Aku tidak melihat sesuatu kecuali dibelakang, didepan, disamping kanan-kirinya kecuali Tuhan” à Wallahu a’lam.

[34] Dalam beberapa tulisan Islam ada yang mengatakan; setelah diakhirat-pun manusia itu berproses untuk menginginkan memaksimalkan sifat-sifat ke-Tuhanan-nya. Sebab rasionalisasinya; bila tak berproses keatas, setelah diakhirat itu, manusia berhenti dapat siksa, surga (manusia hakekatnya tidak seperti itu, selalu optimaliasi). Juga surga dan neraka itu bukan locus diluar “pribadi” manusia, tetapi dalam pribadi manusia.

[35] Hadist mengatakan; “apabila hari ini kau lebih baik dari kemarin, maka sesungguhnya kau dalam kemenangan (beruntung), bila sama kau adalah rugi, maka bila lebih jelek maka kau dalam keadaan celaka. Demikian juga Ibadah menurut saya [Muhammad Alwi]; Ibadah (=sesuatu apapun yang menimbulkan pahala=nilai baik=meningkatkan potensi kemanusiaan), sedangkan dosa (= apapun yang menimbulkan dosa=nilai jelek=menurunkan kemanusiaan). Setan menurut kami bukan pribadi, tetapi adalah apapun yang menyebabkan manusia menjadi berbelok dari nilai positif ke negative. Bahkan ibadah-pun bisa “setan”, bila ia membelokkan manusia menuju kemanusiaannya.

[36] Inilah yang menurut kami sering dialami oleh sufi, filosof dan ilmuwan. Banyak mereka menolak Tuhan dan Agama, bukan dalam arti sebenarnya, tetapi penolaknnya adalah Tuhan dengan segala atributnya yang dipasangkan oleh manusia yang merasa mewakili Tuhan dibumi (Agama, Gereja, Ulama dan Objektivasi Tuhan lainnya). Saya pribadi [Muhammad Alwi] yakin “tak ada” manusia itu yang ateis dalam makna yang sesungguhnya [Frued, Sartre, Hawking dan lain-lain bahkan Nietzsche]. Sebab mereka percaya pada Tuhan (dalam arti adanya penjamin kepastian). Inti dari tuhan kan itu, dia punya surga dan neraka, bahkan Nietzsche juga percaya dengan definisinya sendiri. Misalkan sekadar analogi penyederhanaan;

Dalam agama dipercaya adanya Tuhan, dan dia memberikan perintah dan larangan (sebagian mengartikan perintah-larangan itu hanya konfirmasi tuhan terhadap suka-tidak sukanya manusia secara pribadi pembentukannya), jika melaksabakan atau melanggar dapat Surga atau Neraka (dapat diartikan kesusahan dan kesenangan). Nietzsche percaya adanya penjamin kepastian ("Kehendak untuk Berkuasa", kembalinya segala sesuatu atau lainnya), ia percaya bila naluri itu tidak dilaksanakan akan menimbulkan kekacauan untuk dirinya juga masyarakat dan lain-lain (bahkan itu permanen) dan seterusnya. à Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar