Laman

Jumat, 19 Maret 2010

Psiko-sosial : Mengapa Orang menjadi Teroris?


PERUBAHAN SUATU “MADZAB-TEROR”
Kajian Sosio-Psokologis, Sebuah Tranformasi Identitas Pemeluknya
Oleh: Muhammad Alwi

Baru–baru ini, ada sebuah perubahan besar dalam kancah pemikiran social-politik psikologis bangsa Indonesia, mengenai Islam-terorisme dan jaringannya. Apa yang melatarbelakanginya, bagaimana recruitmentnya, bagaimana mereka bisa punya pemahaman seperti itu, bahkan sampai tingkat mengapa kelompok tertentu, aliran tertentu (wahabi-yang disebut-sebut), tingkat pemahaman keagamaan tertentu yang katanya cenderung mudah untuk “terjebak masuk”, dalam pemahaman kelompok jaringan ini.
Terorisme sebenarnya bisa laten, bisa eksplisit. Laten bila konsep pemahamnnya mengarahkan kesana (seperti konsep Takfir, pengkafiran kelompok tertentu yang tidak sepaham, sehingga akhirnya konsekuensinya “halal darahnya”), eksplisit bila pemahaman itu mulai diorganisir dengan jaringan tertentu dan semangat militansi yang memobalisir sebagian massanya untuk melakukan tindakan-tindakan terror (misalnya konsep, mencuri, merampok dibolehkan untuk membiayai alirannya, kelompokkanya dst, dan ini pernah terjadi).
Sangat luas bila kita mengkaji akar terorisme dalam kajian social-politik bahkan psikologis pelakunya. Tetapi dalam tulisan ini, yang ingin diulas adalah bagaimana terjadi tranformasi pemikiran, pemahaman sehingga anak-anak, pelajar, pemuda, ustad, guru, professional dst, bisa punya ranah social-psikologis untuk pembenaran dalam tindakan-tindakan aksi tersebut.

Kelompok ekstrem agama (apapun itu), tidak mungkin terjadi bila mereka tidak mengalami perubahan paradigm, perubahan ‘madzab pemikran’ (dari biasa ke radikal), dan pola interaksi dengan lingkungannya. Dalam sebuah tulisan dikatakan; Dalam “perubahan madzab secara benar”, seorang mengalami tranformasi identitas yang melibatkan kesadaran beragama. Tranformasi identitas menyangkut perubahan psikologis. Pelakunya menjadi seseorang yang berbeda dari sebelumnya; tranformasi itu mengisyaratkan penilaian baru tentang diri pribadi dan orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan dan objek-objek. Lewat tranformasi, persepsi seseorang bersifat irreversible, sekali berubah tidak bisa (sulit) kembali lagi (Aselm Strauss 1959: 91-92). Menurut Denzin (1987:11) tranformasi adalah proses dengan mana seseorang secara aktif memperoleh citra diri yang baru, bahasa diri yang baru, hubungan-hubungan baru dengan orang lain, dan ikatan-ikatan baru dengan tatanan social. Sering tranformasi identitas itu ditandai dengan berbagai titik balik seperti; kekagetan, penyesalan, kegelisahan, tekanan, keheranan, juga dengan kebutuhan untuk menampilkan diri yang baru, untuk menjelajahi dan mengesahkan konsepsi-konsepsi baru yang sering menggairahkan atau menghawatirkan. Perubahan demi perubahan terus menimpa mereka, membawa mereka kedalam twilight zone antara kebahagiaan dan kenyataan.
(Inilah mungkin kita bisa simak, bagaimana anak-anak kuliah dimana waktu SMA-nya, mereka biasa-biasa saja, lalu tiba-tiba menjadi ‘militan’ dalam beragama. Berjenggot, puasa senin-kamis dst yang positif, tetapi tidak hanya itu; kajiannya, buku-buku tertentu, seakan ada kurikulum, teman-temannya khusus, bahkan cenderung berkelompok dalam suatu usro atau jamaah. Dalam menyikapi benar salah, berubah menjadi Halal-haram dan Sunnah-Makruh).
Bukan sebuah “kenikmatan” dalam kelompok seperti itu, sebab tekanan adalah salah atu kata kunci: mereka mendapat tekanan dari keluarga, karib kerabat dan kawan-kawan non madzab mereka yang menentang keputusan mereka; tekanan untuk mempelajari “konsep pemikiran baru” dalam waktu singkat. Para muallaf itu kerap harus mengatasi semua problemnya sendiri, dengan beberapa teman, kelompok, kegiatan dan buku-buku yang memperteguh keyakinan baru mereka (itulah yang menjadikannya sangat intent dan ‘radikal’). “Mereka harus sepenuhnya mengubah cara hidupnya agar sesuai dengan madzab baru-nya”. Cara hidup baru itu terkadang menjadi sangat bertentangan dengan cara hidup masyarakat disekitarnya dan dimana mereka dibesarkan. Mereka bergairah setelah masuk madzab baru itu.
Mereka awalnya mengira hal itu akan menyenangkan, namun kenyataannya anda sulit menyesuaiakan diri. Kesulitan terbesar adalah ketika mereka ingin mengintegrasikan “kesempurnaan teori madzab baru itu dengan kenyataan pemeluknya atau realita yang ada”. Setelah kita membaca beberapa buku penting dan pokok tentang suatu madzab itu sangat menyenangkan, tetapi kita harus menghadapi kenyataan bagaimana menerapkannya konsep-konsep itu dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana itu mengubah prioritas-prioritas kita dan juga bagaimana mengatasi kebiasaan-kebiasaan kita yang bertentangan dengan konsep-konsep diatas. Titik balik ini dapat menimbulkan depresi, mungkin sebuah kegairahan hidup baru (disinilah pembenaran cara untuk merubah lingkungan dengan terror dll mendapatkan argumentasi yang cukup. Disini pulalah juga menjadi argument, mengapa recruitmen harus tidak terlalu lama. Pemain-pemain lama, pengikut lama, jarang mau jadi martir, bila dibandingkan pemain baru, kecuali dia punya ledakan emosi yang terus-menerus).
Berger dan Luckman menyebut perubahan agama atau madzab adalah contoh ekstrem tranformasi yang nyaris sempurna, ia menyebut kondisi ini sebagai alternation (1996:176). Proses ini ditandai tidak saja dengan perubahan perilaku, tetapi juga lebih penting lagi dengan perubahan pandangan dunia. Perubahan cara berpakaian dalam bentuk demodernisasi (budaya tandingan) – dari pakaian modern ke hijab yang “tradisional”- seperti yang dilakukan oleh muallaf-muallaf wanita yang merupakan indikasi dari perubahan identitas dan pandangan dunia itu (Musgrove, 1977:168).
Melaui pemelukan “madzab pemikiran baru”, orang bersangkutan mengalami perubahan identitas yang radikal. Keberhasilan proses tersebut menuntut adanya significant others baru yang punya nilai-nilai yang sama dan mengarahkan para pelakunya kepada realitas baru. Alternasi juga mengisyaratkan perubahan topic-topik percakapan. Teman bicara dalam pembicaraan-pembicaraan penting juga berubah. Dengan adanya kawan-kawan baru ini, maka realitas subjektif juga berubah (Berger dan Lukcman, 1966:178-179). Hanya bila mereka telah mengalami dan mengatasi apa yang disebut liminal state (Kelsen, 1981:204) yang ditandai dengan ketidak pastian tentang makna hidup dan identitas diri, dan didukung oleh significant others, maka identitas baru akan muncul.
Agama yang asalnya merupakan topic peripheral kini menjadi sentral dalam kesadaran mereka. Agama kini memberi makna bagi realitas yang semula membingungkan, memberi rasa memiliki kenyamanan ditengah-tengah ketidak pastian hidup. Beralasan bila para muallaf itu, untuk menjaga realitas subjektif mereka, terpaksa meninggalkan kawan-kawan lama, juga keluarganya bila perlu untuk berhubungan dengan kawan-kawan baru yang dapat mensyahkan identitas baru mereka.
Sebagaian besar (bahkan kebanyakan) perubahan madzab itu merupakan suatu pemberontakan menentang norma-norma masyarakat yang sudah mapan (keluarga mereka kebanyakan menganggap peruhana ini sebagai hal yang ganjil). Para mualllaf itu sudah jenuh dengan budaya yang materialistic, hipokrit, irasional dan menyembunyikan kebenaran yang sebenaranya (sekan mereka menemukan “sebuah kebenaran yang hilang”). Mereka menginginkan system lain yang dapat memuaskan lapar dan dahaga spiritual mereka.
Bagi para pemeluk baru, memasuki “kelompok baru” bagaikan lahir kembali, memulai hidup baru, atau seperti “pulang kerumah”. Sebagai indikasi dari kelahiran kembali atau hidup baru itu, mereka punya gaya hidup yang baru pula. Menurut Obeyesekere (1975:252), perubahan nama menunjukkan kesadaran seseorang tentang dirinya. Berbeda dengan orang-oarang yang mengikuti sebuah madzab tanpa perjuangan, kebingunagan dan kesulitan (semacam pengikut warisan atau “sekali sentuh”), para revert tadi menyadari manfaat dari nilai-nilai ajaran baru yang dianutnya. Keputusan mereka memeluk “ajaran baru” itu begitu serius, seakan hidup dan mati. Sehingga tidak heran mereka begitu serius dan bergairah dalam “mempelajarinya dan menjalankannya” bahkan tanpa kompromi. Mereka siap menentang kepercayaan-kepercayaan lama (sekalipun dianut oleh orang tua mereka).
Inilah salah satu pendapat para psikolog yang mengatakan mengapa umumnya orang-orang yang “paling fanatic” dalam memperjuangkan sesuatu, apakah itu agama, madzab, terror atau revolusi adalah orang-orang yang memasuki perjuangan itu atas kemauannya sendiri yang bebas (tetapi harus tidak cukup plural). Karena semangatnya yang tinggi dan sikapnya yang tanpa kompromi, para revert itu terkadang terlibat dalam konflik dengan orang-orang penganut “satu ajaran” dengannya-sejak lahir- yang terkadang lebih kompromistis (Reeder, 1989).
Inilah sedikit telaah bagaimana para-Teroris dapat memperoleh lahan garapnya, pembenaran tindakannya serta kegairahan yang terus-menerus dalam melakukan hal-hal yang munkin diluar taraf nalar sehat-agama. Dan ini pula yang semestinya digarap sejak awal oleh pemerintah, aparat-kepolisian yang bekerjasama dengan para dai, intelektual-agamis dan masyarakat umumnya. Tanpa kejelian melihat potensi-potensi lahan subur mereka, maka terorisme akan terus dan terus ada.





Wallahu al A’lam Bi al Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar