Laman

Minggu, 21 Maret 2010

Pencarian Makna Hidup (Psikologi Filsafat Eksistensial)

MAN’S SEARCH FOR MEANING

(Pencarian Makna dalam perspektif “Viktor E. Frankl bapak “Logoterapi”)

Pendahuluan

Salah satu tema utama eksistensial adalah Penderitaan; kehidupan identik dengan penderitaan, bertahan hidup identik dengan menemukan makna didalam penderitaan. Jika hidup memang memiliki tujuan, maka penderitaan dan kematian seharusnya juga memiliki tujuan. Meskipun demikian, tidak ada orang yang bisa menunjukkan tujuan hidup orang lain.

Dalam penderitaan-penderitaan tertentu; terkadang orang bertindak irasional. Apatis adalah mekanisme pertahanan yang dibutuhkan (saat penderitaan memuncak, seperti di kamp kosentrasi Nazi). Realitas mengabur, semua upaya dan emosi terpusat pada satu tujuan; mempertahankan hidupnya dan hidup orang lain. Mudah dipahami, jika kondisi tertekan, ditambah keharusan untuk terus memusatkan perhatian pada upaya untuk bertahan hidup, kehidupan batin para tahanan (seperti di dalam kamp kosentrasi Nazi) ditekan sampai pada titik yang paling primitive. Sehingga benarlah kata-kata; “Reaksi abnormal terhadap situasi abnormal merupakan tingkah laku yang normal”. Setiap orang harus menemukan sendiri tujuan hidup mereka masing-masing, dan harus menerima tanggung jawab yang muncul didalamnya. Jika berhasil, dia akan terus berkembang, meskipun hidup ditengah kehinaan. Frankl mengutup kata-kata Nietzsche; He who has a why believe for can bear whith almost any how (‘Dia yang memiliki mengapa untuk hidup, akan bisa bertahan dalam hampir semua bagaimana”)

Orang-orang yang peka, yang terbiasa menjalani kehidupan intelektual yang kaya, mungkin saja sangat menderita (tubuh mereka pun biasanya rentan), tetapi kerusakan batin mereka lebih kecil. Mereka mampu mengasingkan diri dari kehidupan diseputar mereka yang sulit, kedalam kehidupan batin yang kaya dan kehidupan spiritual yang bebas. Hanya inilah yang bisa menjelaskan kontradiksi; mengapa orang-orang yang tubuhnya rentan mampu mengatasi kehidupan kamp secara lebih baik dibandingkan mereka yang bertubuh lebih kokoh.

Jangan mencari sukses –semakin keras kamu berupaya dan menjadikan sukses sebagai target, semakin sulit kamu meraihnya. Kerena sukses, seperti juga kebahagiaan, tidak dapat dikejar; dia harus terjadi, dan itu hanya bisa diraih sebagai efek samping dari dedikasi pribadi seseorang terhadap upaya yang lebih bermakna, sebagai produk samping dari penyerahan seseorang kepada orang lain diluar dirinya sendiri. Kebahagiaan akan didapat, begitu juga keberhasilan; kamu harus membiarkan datangnya tanpa memedulikannya.

Meskipun jumlahnya sedikit, orang-orang itu (yang mampu bertahan di kamp Nazi dengan moralitas yang “cukup”) menjadi bukti yang cukup, bahwa apapun bisa dirampas dari manusia kecuali satu; kebebasan terakhir seorang manusia –kebebasan untuk menentukan sikap hidup dalam setiap keadaan, kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.

Sebuah kehidupan yang aktif memberi manusia kesempatan untuk meraih nilai-nilai hidup dalam bentuk karya kreatif, sementara kehidupan yang pasif dan penuh kebahagiaan memberi manusia kesempatan untuk meraih kepuasan dengan kenikmatan keindahan, seni, atau alam. Tetapi hidup yang hampir-hampir tidak diisi kreatifitas dan kebahagiaan, yang hanya memberi seorang kemungkinan untuk menerapkan sikap moral yang tinggi, bisa juga memiliki tujuan; yaitu melalui cara orang itu menyikapi hidupnya, kehidupan yang dibatasi oleh berbagai tekanan luar. Dia tidak bisa menjalani hidup yang kreatif dan bahagia. Tetapi, bukan hanya kreatifitas dan kebahagiaan saja yang memberi makna. Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna didalam penderitaan. Karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, meskipun penderitaan itu merupakan nasib dan dalam bentuk kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tak sempurna.

Pengamatan terhadap kondisi kejiwaan para tahanan menunjukkan bahwa para tahanan yang membiarkan batin mereka melepaskan nilai-nilai moral dan spiritual diri mereka, pada akhirnya akan menjadi korban dari pengaruh kehidupan kamp yang rendah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa yang bisa, atau apa yang seharusnya dilakukan seseorang agar bisa tetap berpegang pada “nilai-nilai batin” tersebut.

Kata Latin finis memiliki dua arti; yaitu akhir atau selesai, dan sebuah tujuan untuk diraih. Seseoarang yang tidak bisa melihat akhir “kehidupan sementara”-nya, tidak akan bisa meraih sasaran tertinggi dalam hidupnya. Dia tidak lagi hidup untuk masa depan, berbeda dengan kehidupan manusia normal. Spinosa dalam bukunya “Ethics” mengatakan; “Affectus, qui passio est, desinit esse passio simulatque eius claram et distinctam formamus ideam.” Emosi yang sedang menderita, tidak akan lagi menderita setelah kita membuat gambaran yang jelas dan benar dari penderitaan tersebut.

Setiap situasi ditandai oleh sifatnya yang unik, dan hanya ada satu jawaban untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Ada banyak penderitaan yang harus kita jalani. Karenanya, kita perlu menghadapi seluruh penderitaan kita, dan berusaha menekan perasaan lemah dan takut. Tetapi, kita juga tidak perlu malu untuk menangis, karena airmata merupakan saksi dari keberanian manusia yang paling besar, keberanian untuk menderita.

Apabila orang yang karena penderitaannya, karena tak ada lagi yang bisa diharapkan dari hidup, ingin bunuh diri. Kita harus membuatnya sadar bahwa hidup masih mengharapkan sesuatu dari mereka; sesuatu dimasa depan mengharapkan dari mereka. (anak-anak mereka, cucu, tetangga, suami, istri atau peradaban bila mereka ilmuwan dan lain-lain).

Keunikan dan kekhasan yang mencirikan setiap manusia dan memberi makna bagi hidupnya, tercermin dalam karya-karya kreatifnya dan dalam rasa cintanya sebagai manusia. Jika kemustahilan untuk menggantikan dirinya disadari, maka orang tersebut akan bertanggungjawab terhadap hidupnya dan kelangsungan hidupnya sesuai dengan nilai masing-masing. Seorang manusia yang menyadari tanggungjawabnya terhadap manusia lain yang menunggunya dengan kasih sayang, atau tanggung jawabnya terhadap pekerjaan yang belum selesai, tidak akan pernah mengabaikan hidupnya.

Dia tahu “mengapa” ia hidup, akan mampu menghadapi yang “bagaimana” pun. Kata Nietzsche; “was mich nicht umbringt, macht mich staeker” (segala sesuatu yang tidak membunuh saya, membuat saya jadi lebih kuat)”. Ada kata-kata lain; Was du erlebst, kann keine Macht der Welt dir rauben (Tidak ada satu kekuatan pun dibumi ini yang bisa merampas darimu pengalaman hidup yang sudah kamu jalani). Tidak hanya pengalaman, tetapi juga semua perbuatan kita, gagasan hebat yang mungkin pernah kita pikirkan dan semua penderitaan kita; semua itu tak akan hilang, meskipun sudah berlalu, semuanya bisa dihidupkan kembali, barangkali kehidupan yang paling nyata.

Salah jika orang berfikir bahwa seorang tahanan (kamp Nazi misalnya) yang baru dibebaskan tidak lagi membutuhkan perawatan spiritual. Harus diperhitungkan, bahwa orang yang hidup dibawah tekanan mental yang sangat besar untuk jangka waktu panjang pasti akan menghadapi bahata sesaat setelah dia dibebaskan, terutama karena tekanan tersebut dilepaskan secara mendadak.

Tidak ada orang yang berhak bertindak semena-mena, meskipun dirinya telah diperlakukan dengan semena-mena. Selain penurunan moral akibat terlepasnya beban mental secara menadadak, ada dua hal penting yang bisa merusak karakter para tahanan yang dibebaskan yaitu; kephitan dan kekecewaan saat dia kembali kekehidupan lamanya.

Kepahitan terjadi saat ia kembali, dan hanya disambut dengan biasa-biasa saja, misalnya dengan kata-kata, “kami tak tahu akan hal itu” atau “kami juga menderita’. Maka si tahanan akan bertanya pada dirinya; “apa guna semua kepahitan itu?” perasaan kecewa muncul saat melihat hal-hal lain dalam hidupnya; anaknya diambil oleh ayah lain dan hidup bahagia, istrinya kawin lagi dan seterusnya. Si tahanan yang selama bertahun-tahun berfikir bahwa dia telah mencapai titik tertinggi dari penderitaan, sekarang mendapati bahwa penderitaan tidak memiliki batas, bahwa dia masih bisa lebih menderita lagi; penderitaan yang lebih dalam.

Mereka harus diyakinkan, ditunjukkan sebuah masa depan, ada yang menunggu (anak, istrinya, keluarganya), keluarganya berpaling..masih ada yang menunggu peradaban, dunia, mahasiswa (jika ia dosen, ilmuwan) dan terakhir masih ada yang menunggunya yaitu akhirat (dimana semuanya sudah dukalkulagi penderitaannya, balasannya dan lain-lain, jangan sampai ia merusak semuanya setelah sekian lama sudah menderita, dan sebentar lagi akan finis untuk mendapat hasil).

Logoterapi Viktor E. Frankl

Logoterapi adalah upaya menyelesaikan (mengobati) masalah pasien dengan terapi eksistensial. Sekadar bincang-bincang dan Si Terapis berusaha menunjukkan pandangan-pandangan yang mestinya diikuti, dirubah. Si terapis berusaha menunjukkan sipasien bagaimana menemukan pencarian masa depan lewat pencarian makna hidup. Dengan menghadapi dan menemukan makna hidupnya (yang dituntun oleh Terapis) si pasien diharapkan akan meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi neurosisnya.

Logoterapi dari kata “logos” (Yunani), yang artinya “makna”. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut.[1] Mencari makna hidup beda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan atau lazm dikenal dengan keinginan untuk mencari kesenangan) dasar dari Psiko analisls terapi juga beda dengan will to power (keinginan untuk mencari kekuasaan) dasar dari psikologi Adler.

Mencari makna hidup

Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidup bukan “rasionalisasi skunder” yang muncul karena dorongan naluriah. Makna hidup ini merupakan suatu yang unik dan khusus, artinya dia hanya bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan; hanya dengan cara itulah dia bisa memiliki arti yang bisa memuaskan keinginan orang tersebut untuk mencari makna hidupnya.

Beberapa penulis berpendapat bahwa makna-makna dan nilai-nilai hidup tersebut tidak lain dari mekanisme pertahanan diri, formasi reaksi (reaction formation) dan sublimasi.[2] Kata Frankl manusia bisa hidup bahkan mati demi meraih impian dan nilai-nilai hidupnya.[3]

Frustasi Eksistensial[4]

Keinginan manusia untuk mencari makna hidup bisa saja dihambat: dalam logoterapi hambatan seperti ini dinamai “frustrasi eksistensial”. Kata eksistensial dalam hal ini memiliki tiga arti, yaitu: (1) keberadaan manusia itu sendiri, atau, cara khusus manusia dalami menjalani hidupnya; (2) makna bidup; dan (3) perjuangan manusia untuk menemukaii makna yang konkrit di dalam hidupnya, dengan kata lain, keinginan seseorang untuk mencari makna hidup.

Frustrasi eksistensial bisa memicu neurosis. Logoterapi memiliki istilah khusus untuk menamam penyakit neurosis yang disebabkan oleh frustrasi eksistensial, yaitu “noögenic neuroses” (neurosis noogenik) untuk membedakannya dari neurosis yang dikena! selama ini, yaitu psychogenic neuroses (neurosis psikogenik). Neurosis noogenik tidak diakibatkan oleb dimensi kehidupan manusia yang bersifat psikologis, melainkan dimensi “noologis” (dan kata Yuimani noos, yang berarti pikiran) dalam eksistensi atau keberadaan manusia. Neurosis noogenik adalah istilah logoterapi untuk menggaris bawahi sesuatu yang secara khusus terkait dengan dimensi humanis atau manusiawi seorang manusia.

Neurosis Noogenik

Neurosis noogenik tidak muncul akibat konflik antara dorongan dan naluri manusia, tetapi muncul karena masalah-masalah kehidupan. Salah satunya dan yang perannya cukup besar, adalab terganggunya keinginan manusia untuk mencari makna hidup.

Jelas, bahwa di dalam kasus-kasus neurosis noogcnik, metode terapi yang tepat dan memadai bukan metode psikoterapi yang umum, melainkan logoterapi; artinya, terapi yang berani menyentuh dimensi manusiawi.

Frankl menolak tegas, bahwa upaya sesorang untuk mencari makna hidup, bahkan keraguan seseorang terhadap makana hidupnya dianggap penyakit. Frustasi eksistensial bukan penyakit. Frankl memberi contoh seorang pilot tinggi AS yang mengalami itu dan awalnya didiagnosa oleh psikoanalis.[5]

Yang membedakan logoterapi dengan metode psikoanalisis adalah logoterapi menganggap manusia makhluk yang tujuan hidupnya adalah menemukan makna hidup. Dia tidak sekadar menikmati dan memuaskan keinginan dan nalurinya, atau mendamaikan konflik id, ego dan super ego. Atau sekadar beradaptasi dan menyesuaiakan diri dengan masayarakat.

Noodinamik

Tidak ada sesuatupun didunia ini yang lebih efektif membantu seorang bertahan hidup bahkan dalam kondisi terburukpun selain, kesadaran bahwa hidup memiliki makna. Ada kearifan dari kata-kata Nietzsche; He who has a why to live for can bear almost any how. “dia yang memiliki mengapa untuk hidup, akan bisa menghadapi hampir semua bagaimana”.

Yang dibutuhkan manusia bukan kondisi homeostasis, tetapi suatu yang dinamakan “Noodinamik” yaitu dinamika eksistensial atau kehidupan yang terletak antara dua kutub medan ketegangan; kutub pertama mewakili makna yang harus dipenuhi manusia sedangkan yang lain mewakili orang yang harus memenuhi makna tersebut. Ini tidak hanya berlaku pada kondisi normal, kondisi neurosi pun butuh. Frankl memberikan analogi Arsitektur; para arsitek kalau mau membuat sebuah bangaun tua menjadi kuat, maka akan memberikan beban diatas bangunan itu. dengan beban itulah bagian-bagian bangunan akan terikat secara lebih kuat. Jika para terapis ingin memperkuat mental pasien mereka, mereka tidak boleh ragu-ragu untuk menciptakan sejumlah ketegangan yang logis dengan mengajak si pasien untuk meninjau kembali makna hidupnya.

Dalam dunia modern manusia banyak kehilangan, karena beberapa tradisi yang menopang prilakunya dengan cepat menghilang. Tidak ada lagi naluri yang mengatakan apa yang harus dia lakukan, tidak ada tradisi yang mengatakan apa yang harus diperbuat; kadang-kadang bahkan sering, dia bahkan tidak tahu apa yang ingin dia lakukan. Sebaliknya dia ingin melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain (konformisme) atau dia melakukan apapun yang diinginkan oleh orang lain dari dirinya (totalitarianisme). Kebosanan sebagai pasien terapi sekarang lebih banyak dari karena stress. Otomatisasi, meningkatnya waktu luang dan lain-lain.

Banyak kompensasi yang dilakukan karena hilangnya pencarian makna (kehampaan eksistensial yang terselubung) misalnya dengan selalu mencari kekayaan, menyibukkan diri seperti robot, berkeinginan berkuasa, hanya bersenang-senang, seksualitas dan lain-lain. Banyak pasien neorosis apapun salah satu sebabnya adalah kehampaan eksistensial.

Makna Hidup

Frankl cukup baik memberikan sebuah contoh; “coba katakana, apa langkah catur yang paling baik didunia?” tentu saja tidak ada langkah yang terbaik, bahkan tidak ada langkah yang baik tanpa memperhitungkan situasi permainan dan kepribadian dari lawan main kita” [6]ini serupa dengan kehidupan kita.

Karena setiap situasi hidup memunculkan tantangan sekaligus membawa permasalahan yang harus diatasi setiap manusia, maka pertanyaan makna hidup bisa saja dibalik. Artinya, manusia seharusnya tidak bertanya tentang makna hidupnya, melainkan sadar dialah yang ditanyai. Dengan kata lain, manusialah yang akan ditanyai hidup; dan jawaban yang bisa diberikan hanyalah dengan tanggung jawab terhadap hidupnya; kenapa hidup dia hanya bisa jawab dengan bertanggung jawab. Karena itu logoterapi menganggap sikap bertanggung jawab sebagai essensi dasar kehidupan manusia.

Doktri logoterapi; “Hiduplah seakan-akan anda sedang menjalani hidup untuk keduakalinya dan, hiduplah seakan-akan anda sedang bersiap-siap untuk melakukan tindakan yang salah untuk pertama kalinya”.[7] Ini memiliki arti; manusia diajak untuk membayangkan bahwa masa sekarang adalah masa lalu, dan bahwa masa lalu masih bisa diubah dan diperbaiki. Ajaran ini menghadapkan manusia pada keterbatasan hidup, sekaligus memutuskan tentang tindakan yang diambil terhadap hidup dan diri sendiri.

Dengan menyatakan bahwa manusia bentanggung jawab dan haru mewujudkan berbagai potensi makna hidup, Frankl menekankan bahwa makna hidup yang sebenarnya harus ditemukan di dalam dunia dan bukan di dalam batin atau jiwa orang tersebut. layaknya sebuab sistem yang tertutup. Saya membuat istilah khusus untuk menggambarkannya “transendensi diri dalam keberadaan manusia” (the self-transcedence of human existence). Dia menggarisbawahi fakta, bahwa manusia selalu menuju dan dituntun kepada sesuatu atau seseorang di luar dirinya sendiri—bisa dalam bentuk makna yang harus ditemukan, atau manusia lain yang akan dia jumpai. Semakin besar kemampuan orang tersebut untuk mlupakan dirinya—dengan berserah diri dan mengabdi pada sebuah tujuan atau dengan mencintai orang lain—semakin manusiawi orang tersebut, dan semakin besar dia mengaktualisasikan atau mcwujudkan dirinya. Yang dimaksud dengan aktualisasi diri sama sekali bukan sasaran yang harus diraih; alasannya sangat sederhana, semakin besar upaya seseorang untuk meraih sasaran, semakin besar kesulitan untuk meraihnya. Dengan kata lain perwujudan diri hanya bisa diperoleh sebagai efek samping dari upaya diri untuk memahami makna kehidupan.

Menurut logoterapi ada 3 cara yang bisa ditempuh manusia untuk menemukan makna hidup; 1) Melalui pekerjaan atau perbuatan à Melalui keberhasilan dan sukses.[8]

2) Dengan mengalami sesuatu atau melalui seseorang; à ini dilakukan dengan cinta. Sebab tak ada orang yang bisa sepenuhnya menyadari esensi manusia lain tanpa cinta. Dengan cinta kita tahu kelebihan, kekurangan, bahkan merupaya mewujudkan atau menunjukkan potensi yang seharusnya dicapai oleh orang tersebut dan kita siap untuk membantunya.[9] dan 3) Melalui cara kita menyikapi penderitaan yang tak dapat dihindarkan. à dalam penderitaan setiap manusia menjadi saksi untuk potensi unik manusia. Dimana manusia ternyata bisa mengubah tragedy menjadi kemenangan, mengubah kemalangan menjadi keberhasilan. Saat kita tak bisa mengubah situasi (misalnya penyakit mematikan, kanker, HIV dan lain-lain) kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri. Banyangka conroh-contoh orang yang mengidap sakit parah Muhammad Ali (Parkinson’s bisa bermakna hidupnya), kehilangan kaki dan contoh menarik sebenarnya perlu dilihat dalam kejadian Tsunami di Aceh.

Contoh menarik diberikan oleh Frankl; “ada dokter yang dirundung kesedehan karena ditinggal mati istrinya, dia tak bisa melupakan kematian istrinya dan seterusnya”. Frankl tak mengobati orang itu kecuali bertnya; “katakana dokter, apa yang akan terjadi jika anda lebih dulu mati daripada istri anda”? “oh dia pasti akan sangat sedih; betapa menderitanya dia!”, “anda lihat dokter, almarhum istri anda terbebas dari penderitaan seperti itu, dan andalah yang membebaskannya dari penderitaan seperti itu –tetapi, anda harus membayarnya dengan tetap hidup dan berkabung untuknya.”

Inilah makna kata-kata; Penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan ketika dia sudah menemukan maknanya, misalkan makna sebuah pengorbanan. Perhatian utama manusia bukan untuk mencari kesenangan atau menghindari kesedihan, tetapi menemukan makna dalam hidupnya. Itulah sebabnya manusia bahkan siap untuk menderita, dengan syarat dia yakin bahwa penderitaan itu memiliki makna.[10] Tetapi Frankl cepat-cepat mengatakan bahwa tidak berarti penderitaan selalu diperlukan dalam upaya manusia mencari makna.

Edith Weisskopt-Joelson Guru besar psikologi universitas Georgia mengatakan; “Filosofi kesehatan mental saat ini terlalu menekankan pada gagasan bahwa manusia harus bahagia; bahwa tidak bahagia merupakan gejala penyimpangan. System nilai yang seperti itu menyebabkan semakin meningkatnya beban yang dirasakan orang yang bahagia, yang ketidak bahagiaannya tak terelakkan, karena munculnya perasaan tidak bahagia karena dia tidak bahagia.[11]

Dalam tulisan lainJoelson berharap agar logoterapi bisa “membantu mengimbangi kecendrungan tidak sehat yang teramati dalam budaya AS saat ini, yang tidak memberi banyak kesempatan kepada orang-orang menderita yang tak terelakkan untuk merasa bangga terhadap penderitaannya,[12] untuk menjadikan penderitaannya suatu yang membuatnya merasa disanjung dan bukan direndahkan”, akibatnya orang tersebut “tidak saja bahagia”, tetapi juga merasa malu karena dirinya tidak bahagia.[13]

Dulu kehilangan makna hidup orang datang kepada Pastor, pendeta, atau rabi, sekarang mereka ke psikolog untuk terapi itu.

Logoterapi juga mengambil filosofi dari para eksistensialis mengatakan; yang diharapkan dari manusia bukan untuk menjalani hidupnya yang takberarti, tetapi menerima ketidakmampuannya untuk memahami makna penuh kehidupan yang takbersyarat secara rasional (inilah Super-Makna). Logos memiliki arti lebih daripada logika.

Konsep Super-makna adalah konsep-konsep yang “kurang lebih diterima saja”, tanpa pemikiran yang nyimet. Sebab bila tidak kita akan terjebak pada konsep-konsep yang tak selesai. Misalnya anak kecil berkata; “Mengapa kita selalu berbicara Tuhan yang baik?” kemudian kita menjawab; “beberapa hari yang lalu kamu sakit dan Tuhan menyembuhkanmu”, anak itu bisa protes; “tetapi jangan lupa, bahwa Tuhan jugalah yang mengirimkan penyakit itu pada saya”. Dan seterusnya. Kalau ini terjadi akan menyulitkan terapis.

Inilah perlunya si-terapis menggunakan kepercayaan spiritualnya untuk menyembuhkan masalahnya, tetapi tanpa melupakan super-makna.

Kehidupan yang tidak kekal

Hal yang sepertinya menghapus makna hidup manusia bukan hanya penderitaan, tetapi juga kematian.

Saya tidak pernah lelah mengatakan bahwa satu-satunya aspek kehidupan yang tidak kekal adalah potensi-potensi kehidupan; tetapi begitu potensi-potensi kehidupan tersebut terwujud, saat itu juga mereka berubah menjadi kenyataan; mereka disimpan dan dikirimkan kemasa lalu, ditempat dimana mereka diselamatkan dan diawetkan dari ketidakkekalan. Karena, segala sesuatu yang sudah tersimpan dimasa lalu, pasti bisa dimunculkan kembali, dia tidak hilang, melainkan tersimpan untuk selama-lamanya. [14]

Dengan ketidak kekalan manusia, tidak berarti manusia tidak bermakna[15]. Ketidak kekalan harus disikapi dengan tanggung-jawan terhadap pilihan-pilihan untuk aktualisasi potensi yang mungkin. Setiap potensi yang mungkin itu adalah kenangan kita. Tidak bisa dihancurkan, dirusak oleh siapapun. Kita bisa mengatakan bahwa pernah saya mengalami ini, itu, dan itulah kehidupan yang paling nyata.

Hidup yang pesismis adalah yang melihat kalender hidup, merobeknya dengan rasa was-was, sedangkan hidup yang optimis adalah melihat kalender, merobeknya, membuat catatan-catan dibaliknnya, menata rapi kertas-kertas robekan itu. dia sadar ia akan terus menua dan mati. Ia tak iri dengan anak-anak muda yang penuh potensi dengan segala kemungkinannya. Katanya; “saya tak memiliki kemungkinan-kemungkinan tersebut, tetapi saya memiliki kenyataan dimasa lampau, bukan saja kenyataan berupa karya yang sudah selesai, atau cinta yang saya rasakan, tetapi juga penderitaan yang saya jalani dengan berani. Bahkan, penderitaan itulah yang paling saya banggakan, karenanya mereka tidak bisa menimbulkan rasa iri”

Tehnik-tehnik Logoterapi

Rasa cemas yang diantisipasi (anticipatory anviety), penyakit ini memiliki cirri khas yaitu, setiap ketakutan yang dirasakan pasien akhirnya terwujud. Misalnya orang takut berubah kemerahan saat dia masuk diruangan, atau [MA][16], suara terpatah-patah (gagap) saat mau bicara sama orang tertentu (guru, dosen dan lain-lain). Ii berlaku pepatah; “Pemikiran bersumber dari keinginan” atau “Peristiwa (menakutkan) bersumber dari rasa takut”. Seperti juga hiper-intensi (keinginan orgasme bagi wanita, atau keinginan menunjukkan potensi seksualnya pada laki-laki), makin ingin orgasme makin sulit tercapai. Karena kesenangan harus selalu dan tetap, merupakan efek samping atau produk samping, dan kesenangan tersebut akan hancur atau rusak dengan sendirinya jika dijadikan tujuan. Juga perhatian yang berlebihan (excessive anttention) atau hiper-refleksi (hyper-reflection). Misalnya seorang wanita yang mengeluh frigid, ternyata sejarah masa lalunya ia pernah mengalami penganiayaan seksual, kemudian ia membaca buku-buku psikoanalisis yang mengatakan akan frigid. Dan rasa takut itu diantisipasi dengan keinginan menonjolkan kewanitaanya dan perhatian yang berlebihan terhadap dirinya, bukan terhadap pasangannya. Semua alasan itu membuatnya malah tidak mampu merasakan puncak kenikmatan seksual, karena orgasme sudah dijadikan objek keinginan dan perhatian, bukan dampak samping dari sebuah penyerahan spontan kepada pasangannya.

Tehnik logoterapi ini disebut paradoxical intention (perlawanan terhadap minat) ini berdasarkan fakta; 1) rasa takut bisa menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan; 2) keinginan yang berlebihan bisa membuat keinginan tersebut tidak bisa terlaksana.

Contoh orang yang berkeringat atau gagap tadi, bisa sembuh dengan cara berkeinginan sebaliknya. Ia mengatakan pada gurunya sebagai terapi; “Pak saya akan gagap kalau ketemu bapak, coba bapak lihat”. Kalau itu dilakukan gagap itu tak akan keluar. Demikian juga berkeringan. Ia bisa berkata-kata pada teman kantornya, hai saya akan berkeringat kalau masuk ruangan itu, lihat. Keringat tak akan keluar dan bebarapa kali seperti itu, orang itu akan sembuh.

Ini sejalan dengan teori W. Allport dalam bukunya The Individual and His Religion; “Seorang penderita neurosis yang belajar menertawakan dirinya sendiri mungkin sedang berupaya mengatasi sendiri penyakitnya, yang mungkin mengarah pada kesembuhan”.[17]



[1] Makna adalah pengenalan tempat-tempat segala sesuatu didalam suatu system. Pengenalan seperti itu terjadi jika relasi sesuatu yang lain dalam system tersebut menjadi terjelaskan atau terpahamkan. Husein Syed Muhammad Naquib al-Alatas dalam, “Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (Mizan, 1984). Spinosa dalam bukunya “Ethics” mengatakan; “Affectus, qui passio est, desinit esse passio simulatque eius claram et distinctam formamus ideam.” Emosi yang sedang menderita, tidak akan lagi menderita setelah kita membuat gambaran yang jelas dan benar dari penderitaan tersebut.

Ini memang masuk akal; tetapi banyak orang yang meninggalkan “makna” kejelasan dalam system karena kenikmatan yang didapat (lihat saja orang yang korupsi awal-awal, terjebak dalam system), biasanya orang itu akan “merasa bersalah”, kemudian meningkat menjadi “rasionalisasi” tindakan walaupun rasionalisi bisa diartikan (upaya singkronisasi system), tetapi kadang system itu terpatah-patah tetap akan dibuat. Lihat saja upaya “tidak rasional argument” karena upaya rasionalisasi kesalahan.

Contoh lain; waktu orang menginginkan sesuatu misalnya cita-cita (ingin jadi dokter, ulama dan lain-lain), lalu gagal. Maka biasanya untuk pertahanan diri atau apa ia membuat “rasionalisasi’ sehingga tindakannya yang sekarang bisa masuk system makna. Misalnya toh dengan berdagang saya bisa kaya (pengganti dokter yang akan kaya), dan tetap bisa bermanfaat untuk umat dengan shodaqoh dan lain-lain (pengganti keinginan ulama).

Logoterapi terlalu rasional (sangat menganggap manusia itu rasional) padahal kadang dan sering manusia hanya bertindak karena instink, kesenangan. Untuk para neurosis yang intelektual sangat memungkinkan (dicntohkan dirinya sendiri [Frankl] dan teman-teman ilmuwannya saat di kamp Nazi).

[2]

[3] Bagaiman bila itu “makna” yang dicangkokkan lalu terjadi “internalisasi nilai” atau karena brain washing. Banyak orang yang siap mati dengan “Bom Sahid” karena meyakini dengan sebenarnya tujuan perjuangannya, ada yang siap mati dengan “Bom bunuh diri” karena brain washing. Lepas dari benar salahnya, kita bisa meneliti antara sosok “Ali Imron” dan “Imam Samudra” (pelaku bom Bali I).

[4] Viktor E. Frankl, “Man’s search For Meaning”, 2004, hal 160-161.

[5] Contoh-contoh Frankl selalu mengarah kekelompok elit. Mapan secara materi, punya rasional cukup (terpelajar, ilmuwan dan seterusnya). “sekan” pancarian makna itu adalah kelompok “golongan 5” dalam khirarki Maslow. Atau karena meraka itulah yang dapat diajak diskusi menganai pencarian-makna. Bila tekanannya karena tak-bisa menyekolahkan anak, ditekan oleh orang tua, istri, suami dan seterusnya, sulit dengan logoterapi. Ini terapi kelompok “golongan ke-5” menurut saya [Muhammad Alwi].

[6] Saya [Muhammad Alwi] anggap ini contoh indah untuk menggambarkan eksistensialime. Kebebasan, keunikan, tanggung-jawab, resiko dan makna. Berdasarkan konfigurasi dari papan-papan, dimana letak-letak mantra, gajah, bidak dan lain-lain. Seluruh konfigurasi itu jalin-menjalin. Satu langkah berubah; maka semua kemungkinan berubah bahkan sampai akhir. Itulah kata “ssat” dalam bebarapa filosof eksistensial. Saya [Muhammad Alwi] sering menggunakan contoh ini [sebelum berkenalan dengan logoterapi] untuk masalah “keluarnya potensi tertinggi kenabian”. Lihat makalah kami; “Kemaksuman dan implementasi syari’ah”.

[7] Bedakan dengan; “Hiduplah seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan hiduplah kamu seakan-akan kamu besok akan meninggal dunia”.

[8] Tak jelas maksud Farnkl, sebab definsi sukses itu apa? Banyak orang yang kariernya bagus, uang berlimpah tapi merasakan kehampaan eksistensial. Contohnya pilot tinggi AS diatas. Mungkin bisa saya [MA] berikan penjelasan seperti ini ; pekerjaan dan sukses bila hal itu mengikuti kaidah; “Kerjakan apa yang kamu cintai jangan mencintai apa yang kamu kerjakan” atau kata-kata “Pekerjaan” dalam aforismenya “The Prophet” karya Khalil Gibran Khalil.

[9] Yang paling jelas adalah contoh; orang tua dan anaknya.

[10] Ini memang lebih baik secara konseptual. Sebab kelompok utilitarian atau hedonisme bisa juga mengatakan; toh menemukan makna juga kebahagiaan. Jawabnya “Ya”. Tetapi siap mati, puasa tidak makan, jelas tak bisa diartikan; “mencari kesenangan”, sebab secara jelas itu penderitaan. Walau dengan penghayatan (mencari makna, bukan kesenangan), itu dilakukan oleh manusia.

Mirip dengan kata-kata; manusia hidup mencari kebahagiaan..bahagia adalah summum bonum (kebahagiaan diinginkan untuk dirinya sendiri tidak untuk lainnya). Jadi mencari “makna”-pun tujuannya atau dapat dikatakan ingin bahagian, mencari kesenangan juga ingin bahagia. Mencari uang untuk dihormati-orang, dihormati orang untuk apa, agar bahagia. Bahagia untuk apa ya untuk bahagia. Tetapi rumusan ini akan sulit bila melihat kejadian yang jelas-jelas penderitaan (misalnya; Menangis pada acara Asyura kelompok Syi’ah apa itu bahagia? Puasa yang jelas-jelas menahan lapar apa itu bahagia? Dan lain-lain ). Inilah masalah-masalah “apa tujuan awal manusia berbuat atau bertingkah laku”. Lihat masalah kebahagiaan sebagai summum bonum dalam, Jalaluddin Rahmat, “Meraih Kebahagiaan:, Simbiosa, Rekatama Media, Bandung, 2004.

[11] The Journal of Abnormal and social psychology, 51 (1955), hal 701-703.

[12] Ini memang aneh, di AS karena Nihilisme, tidak ada Tuhan, hari pembalasan dan lain-lain (sekurang-kurangnya secara umum adalah seperti itu). Maka manusia harus berhasil, maju, sukses, senang, bahagia, efisien, spektakuler, bikin kejutan-kejutan walau aneh (merawat binatang piaraan dengan seperti itu, dunia mainan seperti itu), alat-alat hiburan, seksualitas sudah seperti itu dan seterusnya. Jelas kata “makna” tak ada, dan larislah orang berbondong-bondong karena frustasi, kejenuhan dan lain-lain ingin “menemukan makna”, menghormati “makna” dan “ujung-ujungnya spiritualitas”. Coba kita bandingkan dengan Iqbal, karena dunianya (Pakistan = Islam) belum maju, terjajah, tertinggal, banyak mengarahkan ke “Atas”, spiritualitas, maka Nietzsche-lah yang diusung yaitu progresivitas, maju, kuat, menang, kaya dan lain-lain. Inilah mungkin ketepatan kata-kata Al-Qur’an; “Setiap hal punya ajal”, Manusia punya ajal, masyarakat punya ajal, peradaban juga punya ajal. Islam dulu maju karena sangat “liberalis dan materialis” jaman kejayaan Islam ditandai dengan “rasionalitas-mu’tazilah, kekayaan banyak, ilmuwan banyak dan kekuatan sangat dahsyat”, akhirnya muak mulai sufi-sufi jalan dan puncaknya dengan cirri “Madzan Asy’ari pengganti mu’tazilah, dan al-Ghazali”. Islam dulu seperti AS sekarang (kaya, kuat, sekuler, dan rasional).

[13] Logoterapy and existensialist Analysis, “Acta Psycotherapeutica, 6 (1958), hal 193-2004.

[14] Frankl, Op cit,. hal 188. Penjelasan [MA]; bila keputusan sudah diambil, maka potensi berubah jadi kenyataan. Dan kenyataan itu akan ada terus selama-lamanya baik urusan pertanggung-jawabannya (dalam agama), maupun tanggung-jawab hasilnya (manusia itu sendiri) dan tanggungjawab bahwa realitas itu menentukan langkah-langkah selanjutnya terus dan terus. Contoh permainan catur. Bila kita melangkah satu kali, maka akan merubah konfigurasi, kemungkinan-kemungkinan dan langkah-langkah kita selanjutnya dan it uterus sampai akhirnya selesailah permainan catur itu. Dalam ala mini tak ada batas kemungkinan kombinasi, dan akhir (sekalipun mati ada pertanggung jawaban hasil). Inilah kebenaran Iqbal waktu ia mengatakan kritiknya kepada Nietzsche tentang “kembalinya segala sesuatu”. Lihat ST. Sunardi, “Nietzsche”, LKIS, Yogyakarta, 1996, hal 151-176. Seakan Nietzsche mencontohkan kombinasi-kombinasi dan kemungkinan-kemungkinan itu bisa lengkap dan terulang lagi. Memang kalau contohnya catur bisa, sebab catur dibatsi oleh 64 kotak, 32 pemain. Kalau kita kombinasikan selengkap-lengkapnya akan ketemu. Mungkin 32! (!= factorial ) x 64 ! (factorial ). 32! = 32x31x30…..x1. Ini hanya menunjukkan mungkin kembali bila seperti itu, tetapi alam tidak. Inilah kata “saat”, “pilihan” yang sering diulang-ulang oleh filosof eksistensiali (jasper, Sartre dan lain-lain ), yang menghubungkan ketidakabadian dan keabadian.

[15] Ini konsekuensi yang harus terus-menerus diyakinkan, dibangun oleh “eksistensialis-bertuhan”, sebab bila tidak mau tidak mau konsekuensi melihat itu semua (penderitaan, kecemasan, kematian) adalah ketidakbermaknaan hidup = nihilisme = absurditas = harus menang, harus senang harus spektakule disini dan sekarang. Itulah Eropa-AS sekarang. [MA].

[16] Yang saya beri kurung [MA] adalah contoh saya berikan sendiri, tidak mengacu pada contoh-contoh Frankl.

[17] W. Allport, “The Individual and His Religion”, New york, 1956, hal 92.

2 komentar: