Laman

Minggu, 21 Maret 2010

(2 ) Pendidikan dan Psikologi-Filsafat "Kontruktivisme" Piaget

FUNGSI DAN PERAN PENGAJAR/GURU

Mengajar sebagai mediator dan fasilitator

Menurut prinsip konstruktivis, seorang pengajar atau guru berperan se­bagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin atau pun guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung-jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Pembelajaran dengan ceramah bukanlah tugas utama guru.

2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa, perlu menyediakan pengalaman konflik.

3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi persoalan yang baru, berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid.

Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.

1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.

2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.

3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.

4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.

5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir dasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.

Karena murid harus membangun sendiri pengetahuan mereka, seorang guru harus melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong tabula rasa.

Apapun yang dikatakan seorang murid dalam menjawab suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka pada saat itu. Ini perlu ditanggapi serius, apa pun "salah" mereka seperti yang dilihat guru. Bagi murid, dinilai salah merupakan suatu yang mengecewakan dan mengganggu. Berikan jalan kepada mereka untuk menginterpretasikan pertanyaan. Dengan demikian, diharapkan jawabannya akan lebih baik (von Glasersfeld, 1989). Guru perlu belajar mengerti cara berpikir mereka sehingga dapat membantu memodifikasinya. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak berlaku untuk keadaan tertentu.(von Glasersfeld, 1989).

Guru kontruktivis tidak mengklain miliknya yang mesti benar, tetapi mungkin ini adalah jalan terpendek, tetapi ada jalan-jalan yang lain. Guru kontruktivis juga perlu menciptakan suasana ambang “Zona-Approximalis” artinya tantangannya cukup, tidak mudah dan tidak terlalu sulit. Sebab di zona inilah anak-anak termotivasi (karena akan bisa bila “dibantu sedikit” atau mengerahkan tenaga yang cukup. Tidak mudah juga tidak terlalu sulit) dengan ini anak akan terus berkembang.

Guru perlu mengerti sifat kesalahan murid. Perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran dan sifat skemata anak.

Strategi Mengajar

Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret. Maka strategi mengajar perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi murid. Oleh karena itu, tidak ada suatu strategi mengajar yang satu-satunya yang dapat digunakan di mana pun dan dalam situasi apa pun. Strategi yang disusun selalu hanya menjadi tawaran dan saran, bukan suatu menu yang sudah jadi. Setiap guru yang baik akan memperkembangan caranya sendiri. Mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi.

De Vries dan Kohlberg mengikhtisarkan beberapa prinsip konstruktivisme Piaget yang perlu diperhatikan dalam mengajar Matematika (bisa untuk lainnya secara principal).

1. Struktur psikologis harus dikembangkan dulu . Sebelum persoalan bilangan diperkenalkan struktur Psikologisnya harus tertangkap. Bila murid mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima struktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, tidak akan jalan (DeVries dan Kohlberg dalam Wadsworth (1989).

2. Struktur psikologis (skemata) harus dikembangkan dulu. Sebelum simbol formal diajarkan schemata harus dikembangkan dulu. Simbol adalah bahasa matematis, suatu bilangan tertulis yang merupakan representasi suatu konsep, tapi bukan konsepnya sendiri.

3. Murid harus mendapat kesempatan untuk menemukan. Misalnya membentuk relasi matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada perkiran orang dewasa yang sudah jadi.

4. Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika (atau lainnya) hanya mentransfer apa yang dipunyai guru kepada murid dalam wujud pelimpahan fakta matematis dan prosedur perhitungan kepada murid. Murid menjadi pasif. Banyak guru menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak murid menghafal belaka.

Bagaimana Mengevaluasi Proses Belajar Murid

Menurut von Glasersfeld, sebenarnya seorang guru tidak dapat meng­evaluasi apa yang sedang dibuat murid atau apa yang mereka katakan. Yang harus dikerjakan guru adalah menunjukkan kepada murid bahwa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru konstruktivis tidak menekankan kebenaran, tetapi berhasilnya suatu operasi (viable). Tidak ada gunanya mengatakan murid itu salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.

Perlu ditentukan apakah kita ingin agar murid memperkembangkan kemampuan berpikirnya atau sekadar dapat menangani prosedur standar dan memberikan jawaban standar yang terbatas. Berikan kepada murid suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka mengkonseptualisasikannya, dan teliti bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan murid terhadap persoalan itu lebih penting daripada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang murid gunakan, kita dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka. Berikan kepada murid suatu persoalan yang belum ada pemecahannya yang baku (von Glasersfeld, 1989).

Hubungan Guru dan Murid

Dalam aliran konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan murid bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar murid aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan murid bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam artian inilah hubungan guru dan murid lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.

Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Sekolah

Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme dalam persekolahan antara lain:

(1) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif,

(2) Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa,

(3) Mengajar adalah membantu siswa belajar,

(4) Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir,

(5) Kurikulum menekankan partisipasi sis­wa, dan

(6) Guru adalah fasilitator. Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar-mengajar yang sesuai, pembaruan kuri­kulum, perencanaan program persiapan guru, dan untuk mengevaluasi praktek belajar-mengajar yang sudah berjalan.

Sebagai referensi, sekelompok guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk menyusun metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik dalam belajar sendiri maupun bersama dalam kelompok. Guru-guru mencari cara untuk lebih mengerti apa yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar. Mereka memikirkan beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang murid berpikir. Interaksi antarsiswa di kelas dihidup-kan, siswa diberi kebebasan mengungkapkan gagasan dan pemikiran mereka (Fosnot, 1988). Ini dapat dilakukan dengan kurikulum berpusat pada “ Belajar Persoalan”. Dengan ini murid aktif, memcoba menyelesaikan persoalan, guru sebagai fasilitator, diskusi terjadi, jawaban-jawaban sebagai alternative penyelesaian (bisa diteriama atau tidak dengan menjalankan konsep jawaban itu kepersoalan lain dst). Guru memonitor keaktifan siswa, melihat kronologi penemuan jawaban, mengapa mendapat jawaban itu dst.

Tugas guru memonitor pengertian siswa, membimbing diskusi sehingga sehingga setiap siswa aktif dan mendapat kesempatan untuk mengungkapkan pengertian. Guru juga aktif dalam kegiatan seperti mencari Penjelasan, menanyakan kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada. Bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar.

Sebagai alat refleksi, konstruktivisme dapat digunakan untuk meneliti mengapa siswa tertentu dapat belajar lebih baik dalam konteks dengan teman dan mengapa siswa tertentu salah tangkap terhadap yang ia pelajari. Juga konstruktivisme dapat digunakan untuk menilai dan mengevaluasi apakah praktek belajar dan mengajar sudah sesuai dengan prinsip konstruktivis atau belum. (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).

KONSTRUKTIVISME DAN KURIKULUM

Duit dan Confrey (1996) merangkumkan beberapa prinsip penting teori konstruktivis sebagai arah pembaruan kurikulum pendidikan sains dan matematika sebagai berikut.

1. Pendekatan dengan kesesuaian ilmu dengan minat siswa, serta yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Bautlah AMBAK (Apa manfaatnya buatku), dan pendekatan Contekstual Teaching and Learning. Dengan ini akan membuat pelajar termotivasi dan memudahkan mereka untuk mengkontruksi pengetahuan baru, dikarenakan pengetahuan baru berhubungan dengan pengetahuan sebelumnya atau sesuai dengan konteks keseharian mereka.

2. Meta-pengetahuan. Artinya, bukan saja menekankan pada isi ilmu sain dan matematika tersebut, tetapi bagaimana perkembangannya, sejarahnya, disanggahnya prinsip itu sehingga keluar prinsip baru dst. Bila siswa mengerti latarbelakangnya, mereka akan lebih mudah menangkap isi penemuan dan pengetahuan. Jadi, pengetahuan tidak dipelajari lepas dari konteksnya.

3. Tekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi, dan juga multiple idea. Tekanan proses belajar-mengajar lebih pada bagaimana membentuk pengetahuan, bagaimana menginterpretasikan yang dipelajari, dan bagaimana konstruksi yang bermacam-macam dapat terjadi dalam mempelajari satu hal tertentu. Munculnya banyak ide dalam suatu kelas terhadap bahan yang sama justru akan lebih merangsang siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya dengan lebih rinci dan lengkap, bahkan juga menyadari keterbatasannya.

4. Menekankan agar siswa aktif. Bahan lebih dipandang sebagai sarana interaksi siswa dalam pembentukan pengetahuan mereka. Jelas tekanan bukan pada guru yang aktif "mengdrill" atau berceramah, tetapi pada siswa yang menggeluti bahan.

5. Penting diperhatikan adanya perspektif alternatif dalam kelas. Diusahakan agar ada peluang dan rangsangan bagi munculnya alternatif, terlebih dalam gagasan dan interpretasi mengenai bahan pelajaran. Kelas sebaiknya tidak diatur hanya dengan satu cara, tetapi dengan beraneka cara sehingga lebih cocok untuk lebih banyak siswa. Baik juga diadakan konsensus tentang bagaimana kelas akan diatur sehingga murid aktif dan berminat.

Dengan ini maka pemahaman bahwa kurikulum sebagai suatu set bahan yang tercetak yang dapat dibawa dan dipakai di mana-mana, seperti sebuah menu tetap yang dapat digunakan di mana pun dan kapan pun, adalah pengertian yang salah. Konsep dasarnya “mungkin” bisa sama, tetapi variasinya sangat beragam.

Grundy (1987) menyatakan bahwa kurikulum itu kumpulan semua peng­alaman belajar, termasuk siswa, bahan, guru, prasarana, masyarakat, sistem sekolah, dan lain-lain. Ini lebih cocok dengan konstruktivisme yang memandang kurikulum tidak lepas dari siswa yang belajar dan lingkungan tempat dia belajar. Bagi konstruktivis, kurikulum tidak dapat dilepaskan dari siswa, kultur atau kebudayaan, pengetahuan, kebiasaan, sejarah dan lain-lain. Kuri­kulum harus ditempatkan dalam kerangka yang luas yang menyangkut konteks historis ekonomi, politik, orang tua, administrator, dan guru (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994). Dua pertanyaan menjadi penting diajukan untuk kurikulum sains: 1) Pengalaman-pengalaman apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya memperlancar belajar dan 2) Bagaimana pelajar dapat mengungkapkan/menyajikan apa yang telah mereka ketahui untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).

KONSTRUKTIVISME DAN PERSIAPAN/PENDIDIKAN GURU

Keyakinan kita akan baik dan pentingnya Kontrukstivisme sebagai upaya dalam pendidikan dewasa ini, tidak akan banyak berarti bila Institusi pencetak guru, lembaga pelatihan Sertifikasi Guru, dalam hal ini banyak di pegang oleh universitas-universitas mantan IKIP (Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia-Bandung dll), tidak menyesuaiakan cara pendidikan mereka, cara mengeajar mereka kepada calon-calon guru dengan pendekatan baru ini.

Calon-calon guru perlu dibimbing untuk aktif menekuni pengetahuan mereka, aktif mencari makna dari yang mereka pelajari, dan belajar teru menerus. Sistem pengajaran yang menekankan mahasiswa pasif dan dosen aktif atau sistem pengerdilan bahan yang tidak memungkinkan mahasiswa berpikir tentang hal itu sangat bertentangan dengan konstruktivis. Sistem pendidikan guru seperti itu hanya akan menghasilkan guru-guru yang memasifkan murid dan mematikan kreativitas murid. Guru-guru yang dihasilkan adalah guru-guru yang juga tidak kreatif dan tidak dapat mengerti dan memahami kreativitas murid.

Untuk membantu karier pendidik, para calon guru perlu memperhatikan hal-hal berikut.

1) Belajar bagaimana mengajar secara konstruktivis. Ini berarti mereka harus mengerti makna belajar dan mengajar secara konstruktivis. Mereka perlu mengerti sifat-sifat dan hal-hal yang diperlukan bagi seorang guru konstruktivis dan murid konstruktivis.

2) Mendalami bahan dan bidang ilmunya secara mendalam dan luas. Mereka perlu me­ngerti latar belakang perkembangan ilmu yang ditekuninya sehingga dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan lebih baik. Kepicikan dan kurangnya penguasaan atas ilmu, akan membuat guru cenderung main "diktator" sehingga akan sulit membantu murid yang mengalami kesulitan dalam menangkap pengetahuannya.

3) Belajar tentang diri mereka sendiri sebagai jembatan untuk terjun menjadi guru (Northfield dkk., 1996). Mereka perlu belajar tentang fungsi, tugas, dan profesi sebagai guru, juga perlu mengerti kelebihan dan kelemahan dirinya sendiri dalam kaitannya berprofesi sebagai guru.

Dengan dijalankannya dengan baik prinsip-prinsip dan cara pembelajaran Kontruktivisme, maka konstruktivisme dapat sangat membantu penelitian tentang proses belajar dan juga tentang kesulitan yang dialami siswa ketika belajar. Karena siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi itu tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuwan. Inilah yang memunculkan salah pengertian (misconceptions) atau konsep alternatif. Berdasarkan prinsip konstruktivis, dapat ditelusuri di mana siswa punya konsep alternatif dan mengapa mereka berpandangan demikian. Dari sini penelitian dapat membantu menemukan sarana untuk mengembangkan konsep siswa. Penelitian konsep tersebut juga dapat dilakukan untuk para guru, mahasiswa, dan yang sedang belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar