Laman

Minggu, 28 Maret 2010

KEBENARAN ADALAH = "PASAR"

SI VIS PACEM COLLE IUSTITIAM

(KALAU ANDA MENGHENDAKI PERDAMAIAN TEGAKKANLAH KEADILAN)

OLEH: S. MUHAMMAD ALWI

Dan apabila sekiranya tuhanmu menghendaki, sesungguhnya akan berimanlah dimuka bumi ini seluruhnya. Apakah engkau ingin memaksa manusia hingga semuanya beriman. (Q.S. Yunus; 99).

Terorisme yang merupakan suatu terminologi, dipaksakan oleh barat untuk diterima pemaknaannya, walaupun banyak pihak sepakat definisi, batasan dan hal-hal lain tentangnya sangat kabur. Tetapi seperti kata-kata dalam pemasaran dan komunikasi, “Kebenaran adalah kesalahan atau kebohongan yang diulang 26 kali”. Kita seakan terhentak oleh kejadian teror-teror itu, pembahasan kemanusiaan, ancaman global bahkan dengan cepat menyetujui “Jaamah Islam” sebagai organisasi teroris. Ini pengambilan keputusan atau hanya malu, takut tidak gayung bersambut dengan negara-negara lain utamanya barat yang banyak menyepakatinya?

Secara sederhana, mengutip kata-kata diatas, “Tidak akan ada kedamaian tampa ada keadilan”. Kita lihat kejadian di Palestina (dimana ratusan bahkan ribuan korban berjatuhan tidak ada kata-kata hak azazi manusia, kutukan dan tindakan keras lainnya. Bahkan yang lebih parah AS selalu merintangi jalan untuk mengutuk Israel, kalau tidak menvetonya, menolak atau paling banter abstein dalam pemungutan suara. Negara yang katanya paling lantang menyuarakan HAM, kemanusiaa dan ancaman keamanan global), di Irak (ratusan korban, ribuan yang mati kelaparan gara-gara tindakan dan keinginan AS yang memaksakan kehendaknya. Sehingga karena geram dalam masalah itu, Mentri luar negeri Jerman mengatakan W. Bush tak ubahnya seperti Hitler jaman NAZI, beberapa hari setelah itu ia mengundurkan diri dari jabatannya. Dan Presiden Jerman terpilih yang kedua kalinya menyatakan tidak akan ikut dengan AS untuk menyerang dalam bentuk apapun ke Irak), di Bosnia (tentara PBB dari Belanda, bukan menjadi tentara keamanan malah ikut serta membantai muslim disana). Mungkin kata-kata; bukan vis a vis antar agama atau antar peradaban --seakan membenarkan tesis Huntington, mengenai class civilization, perbenturan peradaban-- akan sulit dihindari.

Sebab banyak hal yang tak akan mungkin dilakukan, kecuali motif dan ajaran agamalah yang mendorongnya. Sebab “agama bagi pengikutnya (yang baik) adalah kompas, arah pemaknaan, dan guiden arah tindakan, sehingga banyak hal yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan hanya kerenanya”.

Motivasi manusia bertindak kata ahli psikologi adalah karena adanya kebutuhan (need) dan dorongan (drive). Tetapi dengan menglobalnya dunia dorongan dan kebutuhan serta keinginan itu tercakup dalam satu kata yaitu “PASAR”. Keinginan kita, dorongan kita, suka-tidak suka kita itu dipengaruhi oleh apa yang masuk kepada kita, “informasi, pendidikan, buku, teman dll” yang kesemuanya sekarang tolok ukurnya adalah “PASAR”. Tidak mengikuti aturan mainnya silakan gulung tikar, tidak dipedulikan, tidak didengar dan akhirnya dianggap salah atau bohong bahkan gila. “KEBENARAN ADALAH PASAR”. Bahkan yang lebih parah dan mengerikan,dengan kemajuan tehnologi yang merupakan kepanjangan tangan dari gabungan “ILMU + KEPENTINGAN + PASAR” maka hanya ada satu pilihan, hanya ada satu kebenaran bahkan cara berfikir yang dianggap normal yaitu yang sesuai dengan “PASAR”. Yang lain dianggap “fundamentalis, kolot, teroris, tradisional, jumud, menentang kemajuan, barbar, ketinggalan jaman, out of date dll”. Hanya ada satu jargon dalam hal apapun yaitu “EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS” yang tolok ukurnya adalah pasar yang nota bene adalah trend, massa, publik dan media masa yang type ideal-nya adalah Barat. Dan itu juga “mereka” paksakan dalam berbagai hal dan rasionaisasi seperti; hak paten, standarisasi, ISO dalam kualitas, dll.

Karena kuatnya hegemoni dalam segala hal, dimana hegemoni itu sudah memasuki seluruh aspek kehidupan bahkan ditambah dengan hal itu tidak berdasar atau memberikan ruang gerak alternatif lain, ketidak adilan yang dirasakan oleh berbagai kelompok. Maka upaya menolaknya akan timbul dalam berbagai bentuk. Seperti; fundamentalisme di Barat (David Coresh dengan bunuh diri masal dengan pengikutnya; Asunasrio aliran keagamaan dijepang; Banyaknya orang mempelajari Yoga dan mengikuti agama Hindu, Budha di Barat. Jihad Islam (Hizbullah dan Intifadha serta Hamas di Palestina), “Terorisme”, dll.

Makin kuat hegemoni itu, maka ledakan-ledakan, letupan dan upaya mencari celah-celah untuk menghindari bahkan melawan pemaksaan --informasi, pemaknaan, kehendak dan monopoli kebenaran karena monopoli pemaknaan --lewat setting informasi dengan jargon mekanisme pasar. Sekalipun dalam level wacana, alternatif informasi dan pemaknaan mulai ada (Madzab frankfrut, Habermas, Herbert Marcuse, Posmodernisme, dll), tetapi itu sangat kecil artinya karena tidak punya atau belum punya mesin pemproduksi makna itu yaitu tehnologi, institusi dan pasar yang terasakan dampaknya secara kongkrit (sampai kepelosok-pelosok pedesaan).

Disinilah kita perlu mulai membicarakan ketulusan, bukan rekayasa dan penghalusan eksploitasi (informasi, makna dan kebahagiaan). Ini sangat tampak pada upaya-upaya “semu”, proses pengelolaan manusia yang terkelompokkan dalam kata-kata indah “Human Resource Management”. Dimana manusia dinaikkan harkatnya, keinginannya asalkan itu semua memenuhi logika dan cara berfikir pasar yaitu makin “EFEKTIF, EFISIEN dan PRODUKTIF”. Bukan manusianya yang dilihat tetapi logika pasarlah yang jadi tolok ukur dan tujuan segala rekayasa, perbaikan ilmu-ilmu dan pendekatan HRM.

Apa itu ketulusan ?, Ketulusan berasal dari kata tulus yang berarti; kejujuran, kebersihan dan keihlasan. Perkataan ikhlas berasal dari kata bahasa arab dengan akar kata Kh I sh, yang berarti murni, suci, tidak bercampur, bebas. Ikhlash (Arab) berarti pengabdian yang tulus (sincere devotion), ketulusan, kejujuran.

Disinilah mungkin kita perlu meminjam imperatif kategorisnya Kant dalam hal moralitas. Yaitu kita mesti mempertanyakan “apakah dalam bertindak dan memilih suatu kita bersandar pada prinsip prinsip yang umum”, sehingga apabila kita dikenai perbuatan itu. Kita tidak mempermasalahkannya. Dikarenakan pada posisi itu, perbuatan itulah yang harus (imperatif) dilaksanakan, tidak melihat dorongan-dorongan dan kepentingan-kepentingan lainnya yang mengarahkan atau membelokkannya.

Tetapi adalah menjadi sulit dengan sederetan hal yang membentuk sistem yaitu; Pasarà Kapitalisme à Tehnologi à Standarisasi à Globalisasi (IMF, PBB, Bank Dunia dll). Sehinga menurut hemat kami, penyelesaian problem Terorisme, Fundamentalisme, Jihad Islam dll. Itu harus melihat kebelakang apa-apa yang menyebabkan itu semua. Tidak mungkin dapat diselesaikan dengan retorika, diplomasi, memenangkan opini publik (yang biasanya digunakan oleh AS) dll.

Kita sekedar memberikan contoh; Afghanistan setelah menang melawan Soviet terpecah menjadi 3 (tiga) golongan yaitu Massod, Golbudin Hetmatyar, Burhanuddin Rabbani. Mereka akan schering kekuasaan, tetapi karena kecendrungan mereka ke Iran (yang nota bene memang dekat dengan mereka baik segi kultur, agama dan semasa perjuangan melawan Soviet), dan tidak menguntungkan secara ekonomi-politik buat AS, schering itu dihalangi dan dikacaukan sehingga keluar kelompok Talibhan. Kelompok ini jelas dapat restu (bahkan sangat mungkin buatan) dari AS, walau keluar dari Pakistan dan bantuan dananya dari Arab Saudi (karena Pakistan negaranya miskin, sedangkan Saudi Arabia, tidak mungkin berani bersebrangan dengan AS). Seperti diberitakan secara umum, Usamah Bin Laden pun pernah dilatih kelompoknya oleh CIA.

Sehingga akhirnya keluarlah wajah Islah “Taliban”, yang mungkin secara “umum” lebih “fundamentalis” dibandingkan 3 kelompok sebelumnya. Tetapi itu tidak menjadi masalah buat AS yang penting kepentingannya terjamin. Lalu bagaimana Usamah bisa jadi Al-Qeeda, Teroris dan kejadian 11 sept WTC, setelah itu Afghan di bombardir, dan dibuatlah menurut kemauan-kemauan barat (AS) presiden terpilih yang baru.

Bagaimana Arab Saudi, Kuwait, Emirat Arab tidak diusik sama sekali oleh barat (AS), walau wanita tidak boleh berkendaraan, ikut pemilu, sistem kerajaan dll disana. Tetapi lain dengan Iran, Iraq serta Libya.

Salah bila dilakukan oleh “mereka” (Arab, Islam); dikatakan fundamentalis, teroris, biadab dan mengganggu ketenangan dunia. Dan benar bila dilakukan oleh “mereka” (Barat, AS); dikatakan misi dunia (PBB), untuk menjamin keamanan dunia, memerangi terorisme, menjaga, memperjuangkan keadilan dan demokrasi, menjaga berlangsungnya peradaban yang sedang berkembang dst.

Hegemoni, pemaksaan kehendak --lewat lobi, informasi media masa, opini publik, PBB bahkan dengan kekerasan senjata bersama-sama -- ini akan menyebabkan ketidak adilan yang kentara. Dengan ketidak adilan tidak akan mungkin akan keluar kedamaian.

Mengapa mereka harus membuat semua menjadi sama dan satu? Seperti kata-kata dalam dialog beragama; apa sih yang kita ingin kita capai dengan membuat semua menjadi sama seperti yang lain? (efektif, efisien, produktif, pasar bebas, globalisasi dll). Tidakkah nilai-nilai tiap budaya punya perbedaan. Standart itu kan beda-beda. Seperti kata Derrida, yang bisa kita selesaikan itu “konflik” bukan “sengketa”. Yang pertama ada tolok ukurnya, punya asumsi-asumsi yang bisa disamakan, sedangkan yang kedua tidak ada tolok ukurnya dan asumsi-asumsi yang mendasarinya berbeda. Contohnya masalah “kebahagiaan”, “pilihan hidup”, dll. Apa sih yang kita inginkan dengan menegaskan kebenaran milik kita, efisiensi, efektifitas dan produktif dengan cara kita, milik kita. Apa kita mengharuskan orang lain seperti kita. Bukankah definisi-definisi pasar, efektif, efisien dan produktif mengandung asumsi-asumsi yang arbiter dan subjektif serta masuk wilayah sengketa.”Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia dimuka bumi ini seluruhnya. Apakah engkau ingin memaksa manusia hingga semuanya beriman” (Q:S, Yunus;99)

Biarkanlah orang lain, kelompok lain menjalani “learning curve”nya sendiri. Sebab “konstruk kognitif”, “Pengalaman Pengetahuan Kolektif”, Episteme meminjam kata-kata Faucout (filsuf Prancis) setiap budaya, peradaban berbeda-beda. Jangan paksakan seseorang, kelompok atau suatu peradaban “melakukan sesuatu” melompati tangga-tangga belajarnya. Itu akan menyiksanya dan merusak susunan yang telah mereka bangun secara bersama-sama dan dengan biaya serta waktu yang cukup lama.

“Maka ambilla sinyal moral (dari pengalaman masa lampau), wahai orang-orang yang punya penglihatan” (Q:S al-Hasyr;2)

Wallahu a’lam Bi al-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar