Laman

Minggu, 21 Maret 2010

Apapun Keinginan dengan Pendidikan (Sosial-Politik-Ekonomi)

“APAPUN” KEINGINAN DENGAN PENDIDIKAN

(Demokrasi, Sosial-Politik dan Ekonomi)

Oleh : Muhammad Alwi SE,.MM

“Menurut Johanes Muller –ahli politik pembangunan di Hochschule fur Philosophie, Muncen, Jerman –pendidikan sebagai sumber yang paling menentukan bagi pertumbuhan ekonomi, keberhasilan pribadi, dan dengan demikian sebagai jalan kemakmuran dan kesejahteraan.

Setelah mengalami kemerdekaan, Negara-negara berkembang (utamanya Negara-negara Islam) mengalami pasang surut upaya untuk mengisi kemerdekaan itu. Banyak hal yang harus diatasi; mulai dari menyelesaikan masalah konsep-konsep abstrak Negara (seperti; kepemimpinan, mengintegrasikan agama dalam Negara bangsa, mengatasi mentalitas rakyat terjajah, tranformasi manusia baru, sampai masalah-masalah teknis operasional administrasi, dimana ketimpangan birokrasi dan struktur organisasi, kebijakan yang harus diambil dst).

Banyak hal-hal yang tidak beranjak untuk naik (walau mungkin ada tetapi tidak significant); seperti Demokratisasi, Pendidikan, Ekonomi dan Politik yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan itu.

PROBLEM PENDIDIKAN dan DEMOKRASI

Dalam sebuah novel yang berjudul Sang Alkemis, karya Paulo Coelho, menceritakan tentang seorang bernama Narcissus. Dikatakan lewat dialog;

Ketika Narcissus mati, yang muncul justru dewa-dewi hutan dan mendapati danau yang semula berair segar dan jernih telah berubah menjadi danau air mata yang asin. “Mengapa engkau menangis,” Tanya dewa-dewi itu pada danau. “Aku menangisi Narcissus,” jawan danau. “Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus. Sebab, walau kami selalu mencarinya dihutan-hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat,” kata mereka. “Tapi… indahkah Narcissus?” Tanya danau. “Siapa yang lebih mengetahuinya dari pada engkau?” dewa-dewi itu bertanya heran. “Di dekatmulah dia tiap hari berlutut mengagumi dirinya!” Mendengar itu, danau pun terdiam. Akhirnya ia berkata, “aku memang menangisi Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu indah. Aku menangis karena – setiap ia berlutut di dekat tepian – aku bisa melihat dikedalaman matanya pantulan keindahanku sendiri.”

Narcissus itu dapat diibaratkan seperti demokrasi, dan danau itu adalah pendidikan. Sehingga keindahan demokrasi yang diidam-idamkan tak akan terlihat tanpa adanya danau (pendidikan). Karena pendidikanlah prasarat utama adanya kemandirian, otonomi pemilih dst. Tetapi ternyata dalam diri Narcissus ada yang tak beres, dimana karena sangat mengidamkan demokrasi, lalu lupa karena demokrasi itu dapat meminggirkan hal-hal yang tak mampu bersaing, termasuk pendidikan (sebagai prasyarat keindahan Narcissus dapat terlihat).

Karena keindahan demokrasi tak ditopang oleh pendidikan, maka demokrasi itu sebenarnya tak ada, dan dapat menjadi “seolah-olah demokrasi” padahal itu totaliter. Karena demokrasi mensyaratkan keterlibatan masyarakat banyak, pilihan bebas (yang juga mengandaikan kemampuan memilih, otonomi, memiliki informasi, mampu mengolah informasi dst). Maka berarti pendidikan sebagai persyaratan kemampuan diatas harus mampu diakses oleh sebanyak-banyaknya orang.

Sehingga yang patut dipertanyakan; sudahkan pemerintah menyediakan prasyarat pilar demokrasi ( yang berupa pendidikan) kepada sebanyak-banyaknya masyarakat bangsa ini? Jawabannya belum jelas, tetapi dari data 16 juta anak diatas 10 tahun yang masih buta hutuf. Pandidikan murah dan memadai apalagi pendidikan gratis hanyalah jargon politik saat kampanye. Alasan utamanya adalah besarnya dana. Padahal menurut pengamat ekonomi Muhamad Iksan, untuk pendidikan dasar hanya butuh 10 trilyun (Kompas 29/12/2004). Menurut Johanes Muller –ahli politik pembangunan di Hochschule fur Philosophie, Muncen, Jerman –pendidikan sebagai sumber yang paling menentukan bagi pertumbuhan ekonomi, keberhasilan pribadi, dan dengan demikian sebagai jalan kemakmuran dan kesejahteraan.

Data tahun 1992 saja, di Negara-negara maju, pengeluaran pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar sudah mencapai 3.535 dolar AS per anak, Negara berkembang Cuma 158 dolar As, Negara miskin 30 dolar per anak. Ketimpangan struktur social pada kenyataannya tak mampu dirombak dan ditembus. Sebab pendidikan yang semestinya bias mengangkat status social anak tak mampu lagi ( antara masyarakat yang berkecukupan dengan anak yang tak mampu). Siklus kesuraman terus berputar ( dari anaknya orang miskin, karena tak mampu mendapatkan pendidikan yang murah dan layak, tak mampu bermobilitas keatas, akhirnya tetap miskin dan melahirkan anak-anak yang seperti itu).

Ini mungkin tepat kata, Paulo Freire pendidik asal Amerika Latin, dimana system pendidikan sekarang ini tak mampu sebagai “Pembebas”, bahkan menghasilkan “kebudayaan Bisu”. Karena kalah dalam segala hal, apalagi berdiskusi, membuat proposal (untuk UKM) dengan standart, bahasa yang teknis dan tinggi. Mereka (kelompok miskin ini) diam dalam berkata-kata. Mereka bahkan tak mampu mengungkapkan pendapat dan kepentingan mereka lewat saluran yang tepat. Penindasan terjadi, tak heranlah jika sekali waktu kekerasanlan jalan yang mereka tempuh.

Contoh di Indonesia; dulu anak-anak tak mampu di Indonesia dapat meraih pendidikan tinggi yang bergengsi, mereka dapat masuk ke UI, ITB, UGM, Unair dll. Bahkan jurusan yang status sosialnya bagus ( seperti kedokteran, tehnik dll), tetapi anehnya alasan swastanisasi, liberalisasi, demokratisasi mungkin dst. Terjadilah otonomi kampus-kampus pemerintah. Apa yang terjadi? UGM, UI dll (menggunakan jalur PMDK, khusus dengan bayaran cukup tinggi, dominant untuk penyaringan anak-anak yang masuk kesanan). Jurusan kedokteran di patok minimal 30 juta[i], bagi anak-anak yang mau masuk kesana. Sehingga sekarang, “hampir mustahil” anak orang miskin, masuk kedokteran negeri, walau mereka lolos SPMB ( system penerimaan mahasiswa baru untuk perguruan tinggi negeri). Walau banyak rector yang mengatakan, kami akan memberikan keringanan, bahkan sampai gratis bila mereka benar-benar diterima. Tapi itu hanya retorika, kenyataannya hanya anak-anak yang benar-benar khusus dan luar biasa bakatnya yang mendapat itu. Sangat sulit dan berbelit-belit untuk itu. Pendidikan kita benar-benar timpang sekarang.

Bagaimana prestasi pendidikan nasional Indonesia itu, dapat dilihat dari data-data penguasaan matematika dan sains murid SMP yang tercermin dari hasil test TIMSS ( Trent in Mathematics and Sciences study) 2003. juga dari test IEA ( International of Educational Acheivement), dan HDI ( Human Development Index) dimana Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang jelas. Pendidikan sebagai prioritas dengan anggaran 20% dan wajib belajar 12 tahun hanya jadi kumpulan kata-kata indah untuk didengar. Bahkan yang ironi, untuk mengejar data statistic, angka partisipasi sekolah SD, SMP dikejar dengan pembangunan SD-SD inpress (intruksi presiden) tanpa sama sekali memikirkan sarana penunjangnya (guru, bangunan, buku, laboratorium dst). Sehingga “mayoritas” bangunan SD Inpres ambruk sebelum waktunya. Lembaga-lembaga dunia seperti UNESCO dan Bank Dunia memuji-muji angka statistic itu, tanpa melihat lebih jauh. Data menunjukkan di Jakarta 128.440 orang usia produktif buta huruf. Di Indonesia angka buta huruf 15,41 juta atau sekitar 10,21 persen dari jumlah penduduk.

PROBLEM PERPOLITIKAN DI INDONESIA

Direktur Riset freedom Institute Dr. Syaiful Muzani mencacat, menjelang pemilu tahun 1999 muncul sebanyak 48 partai politik peserta pemilu. Termasuk Golkar, PDI-P, PPP yang merupakan pemain lama. Semua partai itu didirikan atas inisiatif tokoh elit tanpa basis massa yang jelas. Kecuali hanya PAN, PKB mungkin juga PK. Namun anehnya pembelahan ini tanpa perbedaan ideology dan paradigma yang jelas. Sehingga semua partai itu secara ideologis sama. Perbedaan Islam, Nasionalis juga sulit dibuat demarkasi jelas. PAN, PPP, PKB, PK yang secara basis kita katakana ‘agamis”, tidak mengangkat ideology agama dengan jelas ( bahkan PK yang merupakan partai ‘kader’).

Mengutip Sartiri (1976), Syaful Muzani mengatakan; banyaknya partai politi tanpa perbedaan ideology yang signifikan dan kabur, maka system perpolitikan Indonesia bisa dikatakan “system kepartaian pluralisme ekstrem”. System ini bertambah ekstrem pada pemilu tahun 2004. dimana makin tidak ada partai yang memiliki jumlah kursi mayoritas. Kalau dulu PDI-P ditambah Golkar ( tanpa menghitung utusan golongan dan TNI) sudah dapat memiliki kursi mayoritas ( 50% lebih), sekarang tidak lagi.

Partai-partai besar di pemilu 1999, menurun jumlah perolehannya, dan terpolarisasi pengurangan itu kepartai-partai lain. Makin ekstremnya system kepartaian kita, serta mudahnya partai-partai politik muncul, dan partai-partai lama merosot menunjukkan masalah dengan pelembagaan system kepartaian kita.

LSI ( lembaga survey Indonesia) menunjukkan hasil surveinya (setelah pemilu 2004). Bulai mei 2004, 39% yang merasa dekat dengan partai, enam bulan kemudian (bulan November) hanya 27% yang menyatakan dekat dengan partai. Kalau menggunakan indicator keanggotaan aktif. Yang menyatakan aktif dalam kepartaian hanya 3,7% dan bulan Oktober 2004 hanya 3,2%.

Kepartaian di Indoneaia mirip kepartaian Kartel ( mengutip Katz Mair, 1995, 2002). Ciri-cirinya adalah; 1) walaupun kompetitip dimasa pemilu, sifat ini menjadi hilang dengan berakhirnya pemilu. 2) Partai tidak menjadi, sebagai kekuatan untuk mewakili kepentingan konstituen. 3) tidak menekankan kepentingan ideology dan program, 4) lebih menekankan kerjasama antar partai politik ( karena perbedaan ideology dan program menjadi tidak signifikan). Makanya koalisi itu dibangun dengan siapa-saja, siapa-mau. Bukan prinsip-prinsip (ideology atau program dan konsern). 5) kepentingan mereka sama, yakni bagaimana menjaga keberlangsungan diri.

Dalam system kepartaian kartel, partai relative otonom dari kunstituennya, mereka bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, elit partai politik relative terpisah dari aktivis dan pendukung partainya. Kartel kepartaian ini bisa dilihat dari samanya program dan ideology partai-partai besar, kerjasama untuk memenangkan Mega-Muzadi, juga kemenangan banyak ditentukan dari permainan uang ( bukan hanya di tingkat elit, massa pun tak mau kampanye, mencoblos tanpa adanya kaos, uang atau sekadar nasi bungkus).

Lalu bagaimana solusi yang mungkin ditawarkan, institusinya dulu yang mau diperbaiki, undang-undang kepartaian atau lebih mendasar lagi, yaitu orientasi pendidikan yang mesti diubah.

Sebab sering saling tuding, masyarakatnya selalu menyalahkan elit, struktur. Sehingga selalu demo apabila ada yang tidak mengenakkan masyarakat. Walau mereka tahu demo-demo itu akhirnya mereda dan tak ditanggapi. Itu tak masalah yang penting demo-demo, dan kebijakan tetap berjalan. Pemerintahnya ( baca elitnya) tidak yakin dengan kesiapan masyarakat umum unuk demokrasi, shering pendapat untuk kebijakan. Mengutip Emile Durkeim, perlu “solidaritas social”. Tetapi solidaritas ini memerlukan trust (kepercayaan), meminjam Francois Fukuyama. Trus, elit dengan masyarakat, antar masyarakat. Bagaimana ini bias dibangun; tidak ada jalan lain kecuali “Pendidikan” dan kesiapan kelas menengah-intelektual untuk mengambil peranannya.

Karena demokratisasi itu tidak hanya mengubah institusi. Kita lihat aja, bagiamana demokrasi dituding menjadi biang keladi peminggiran masyarakat bawah. Dengan alasan “persaingan bebas, liberalisasi dst”. Demokratisasi menjadikan banyak koruptor tak terjaring ( karena permainan undang-undang, prosedur pengadilan, penyidikan dll). Demokratisasi tanpa prasyarat-prasyaratnya, maka seperti barang lama, dengan nama baru. Bahkan bisa menjadikan otoritarian kelompok tertentu. Sebagai contoh demokrasi mengharuskan keadilan sampai kepercayaan pada “pasar bebas”. Akhirnya pers dominant yang berkuasa, kelompok tertentu yang berkuasa, akhirnya hegemoni ekonomi, menjadi hegemoni kekuasaan atau sebaliknya. Dan itu menjadikan hegemoni tingkat wacana/pengetahuan. Maka totallah hegemoni itu.

EKONOMI, UTANG DAN LIBERALISASI PERBANKKAN

Menurut gubenur BI, agustus 2004 perekonomian kita turun. 30 komuditas hany 8 yang naik positif lainnya turun. Yang lebih mengerikan dari 8 itu, 7 diantaranya adalah komoditas pertambangan ( yang meningkat karena jumlah permintaan banyak, pengambilan banyak, karena dijual dalam bentuk bahan mentah). Eksport kita saat ini merosot, tahun 1993-1998 dari 30 komuditas ada 28 yang masih bertumbuh (jumlah eksportnya), juga 30 komuditas andalan indonesia, walau tidak tumbuh tapi masih mampu bersaing. Sementara sekarang ( 1998-2004) banyak penurunan. 1993-1997 dari 30 komuditas eksport unggulan, hanya 2,1% yang mengalami pertumbuhan minus. Namun periode 1998-2003 angkanya meningkat menjadi 32,5%. 2003-2004 angkanya meningkat menjadi 46,7%.

Statistic pengangguran kita 10 juta orang, 30 juta lainnya adalah pengangguran setengah terbuka dan pengangguran jenis lain. Pertumbuhan pengangguran setiap tahun tetap 2,5 juta orang. Realisasi investasi juga menurun 31,3% dari realisasi yang sama tahun 2003. nilai tukar dolar terhadap rupiah tetap tinggi, berkisar 9.300, sementara mata uang regional lainnya naik nilai tukarnya terhadap dolar AS. Anehnya nilai tukar yang rendah tidak mendongkrak eksport komoditi kita.

Kita bisa lihat juga sarana-prasarana yang disiapkan Indonesia dalam menyiapkan berjalannya ekonomi berupa infra struktur (jalan) baik arteri maupun tol. Data yang diolah oleh Faisal basri dai Universitas Indonesia mengenai jalan. Panjang jalan tol per 1 juta penduduk pada tahun 2002. Jepang (per 1 juta penduduk = 92Km). China ( 77 Km), Malaysia (55 Km), Indonesia (2,5 Km).

Data lengkap.

Negara

Penduduk

( juta jiwa)

Penjang Jalan

( Km)

Total

(KM/Juta)_

Arteri

Tol

Jepang

125

1.166.340

111.520

9.422

Korea

46

88.775

2.600

1.986

Malaysia

22

64.956

1.230

3.008

China

1.300

1.700.000

100.000

1.364

Indonesia

210

26.000

520

126

(diambil dari: Kompas 29/12/2004).

Kita Juga bisa lihat aliran dana asing ke Asia Timur (China, Korea, Indonesia, Malaysia, Piliphina, Thailand, Vietnam dan dunia), berdasarkan % PDB ( Produk Domestik Bruto). 1990-1997 Indonesia hampir mendekati 2,0%. Diatas dunia, dan Korea, dan hampir sama dengan Piliphina. 1998-2000, Indonesia (sedikit diatas minus 2,0), sementara yang lain mendekati 2,0% dan dunia rata-rata 3,0%. 2001-2003 ( Indonesia naik sedikit diatas minus 2,0 kira-kira minus 1,8), dunia diatas 2,0%, korea 1,8%, Piliphina 1,9, China 4,0, Malaysia 1,9. dst. (data diambil dari grafik di Kompas 29/12/2004, diolah).

Ini semua membuat sector riil kita terseok-seok, sebab tidak ada grang strategy yang jelas. Katanya industri mebel sebagai industri unggulan, tetapi pasokan kayu tidak dijaga dengan baik dan dibiarkan berburu kayu sendiri dengan harga yang tak realistis. Akhirnya permebelan kita kalah dengan China dan Malaysia yang ironisnya, bahan baku mereka diperoleh dari hasil slundupan dan pasokan dari Indonesia. Akibatnya banyak industri tutup dan PHK. Demikian juga sector pertanian ( beras, gula, jagung). Mereka tak mampu menghadapi gempuran import barang-barang dari luar, dan lebih tragis lagi pupuk mekanismenya tidak dilindungi akhirnya naik, maka biaya operasional meningkat. Juga saat panen raya, karena tidak ada mekanisme perlindungan dari pemerintah, maka “mekanisme pasar” yang jalan. Dimana pada saat panen justru harga barang-barang itu murah, yang tak mampu memberikan insentif yang significant untuk mereka.

Hutang luar negeri Indonesia (swasta dan pemerintah) dalam miliar Dolar As, tahun 1998 ( 140), 2000 ( 144 ), 2001 (135), 2002 (131), 2003 (132,9 = 1329 Trilyun). Dan Indonesia sudah sering kali tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Indonesia sudah tercatat 7 kali meminta keringanan hutang ke Paris Club, yakni 20 Desember 1966, 18 Oktober 1967, 17 Oktober 1968, 24 april 1970, 23 September 1988, 13 April 2000, dan 12 April 2002. ( Kompas 5/01/2005).

Tetapi kita lihat, pertamina pada September 2004 mengakui, sekitar 20% BBM diselundupkan lalu di import kembali untuk kebutuhan dalam negeri. Pertamnina harus mengimport sekitar 6 juta barrel BBm setiap bulan untuk kebutuhan dalam negeri. Tahun 2004 disebutkan, dimana penyelundupnya bias menyelundupkan 24.000 liter/hari, pertahunnya mencapai 24 juta liter. Ini dilakukan sejak tahun 1998. berarti Negara sudah diruhikan 21,8 trilyun. Data lain penyelundupan BBM ke luar negeri ini menyebabkan neraca Rp 47 trilyun per tahun.

Kerugian akibat pencurian kayu dan kekayaan laut. Direktur Indonesia Forest and Media Campaign Jatna Supriyatna, sebagaimana dikutip majalah Forum Keadilan (Agustus 2004) menyebutkan, setiap hari Indonesia kehilangan Rp 83 miliar akibat perampokan hutan. Dalam setahun Indonesia telah kehilangan Rp 30,42 trilyun. Ini belum termasuk kerugian akibat punahnya spesies langka, satwa hutan, banjir yang menelan korban, juga belum termasuk matinya industri yang berhubungan dengan pasokan bahan baku tersebut.

Pencurian kekayaan laut oleh pihak asing. Mentri kelautan dan perikanan pernah menyebutkan pencurian oleh kapal-kapal dan nelayan asing sudah berlangsung puluhan tahun. Diperkirakan 1 juta sampai 1,5 juta ton setipa tahun. Dengan nilai mencapai 2 hingga 4 miliar dolar As pertahun atau sedikitnya Rp. 36 trilyun. Dan kegusaran ini lebih diperparah manakala melihat dana sebesar 140 trilyun bantuan Likuiditas bank Indonesia (BLBI) “dirampok” pengelola dan pemilik bank-bank di Indonesia.

Petani tebu yang merupakan bagian dari jutaan rakyat, misalnya begitu terpukul ketika saat terjadi panen ternyata terjadi penyelundupan 73.520 ton gula putih. Juga harga beras yang dipatok 2.790 akan sulit bertahan menghadapi serbuan selundupan yang dapat dijual dengan harga Rp.1.600 per kilogram.

Bangkrutnya pemerintah Indonesia bisa kita lihat dari beban cicilan untang Negara ini.

RAPBN 2005

Rp Trilyun

Rasio

A

Pembayaran cicilan pokok utang LN

46,8

B

Pembayaran bunga utang LN

25,1

C

Pokok + Bunga utang LN

71,9

D

Dana Pendidikan

25,7

E

Kesehatan

6,8

F

Perumahan dan fasilitas umum

2,2

G

Tenaga kerja

0,6

H

Lingkungan hidup

2,6

I

Rasio C/D

2,8

J

Rasio C/E

10,6

K

Rasio C/F

32,7

L

Rasio C/G

119,8

M

Rasio C/H

27,7

Ini menunjukkan bahwa beban hutang dan bunga sudah mencekik leher. Tetapi anehnya mentri keuangan Jusuf Anwar misalnya, saat Negara-negara donor berlomba-lomba menawarkan bantuan, moratorium ( saat melihat dahsyatnya gempa dan Tsunami di Aceh) bahkan ada usulan-usulan penghapusan hutang. Beliau dengan enteng mengatakan; tidak akan meminta moratorium utang, kecuali diberi. Dengan alasan kalau meminta penjadwalan memunculkan kesan Indonesia “kere banget”. (kompas 5/01/2005). Seakan Indonesia bukan “kere banget” alias sangat miskin. Demikian juga Mentri Negara perencanaan Pembangunan nasional/Kepala Bappenas, Sri Mulyani yang menghawatirkan peringkat utang yang akan makin turun jika Indonesia meminta keringanan utang. ( ini sangat aneh, bagaimana pandangan mentri-mentri Indonesia itu, mereka seakan masih punya harga diri, masih punya gengsi, dan seakan mereka itu tak kere banget. Betul judul kompas saat itu, “sudah miskin, sok gengsi pula!). dan bukankah kita sudah pernah meminta hal seperti itu ( sebanyak 7 kali seperti telah disebutkan diatas).

Bahkan lembaga pemeringkat Standart & Poor’s Service dalam siaran pers, rabo mengatakan, pemberian moratorium utang oleh Negara-negara kreditor tidak akan mengganggu kewajiban komersial Indonesia sehingga tidak akan mempengaruhi peringkat utang pemerintah Indonesia (Kompas, 6/01/2005). Sangat ironis mentri-mentri kita itu. Dan akhirnya memang Pemerintah menginginkan moratorium sekitar 30 trilyun rupiah.

Ketimpangan Dunia

Fakta menunjukkan tahun 1990, 5% penduduk terkaya dunia menguasai 86% PDB ( Produk Domestik Bruto) dunia. Dan 5% warga termiskin menguasai 1% PDB dunia. Warga terkaya juga menguasai 82% eksport dunia, dan kelompok termiskin hanya menguasai 1 %. 5% warga terkaya juga menguasai 74% saluran telpon dunia. 5% warga termiskin hanya menguasai 1%.

Tambahan ilustrasi; menurut Koran The Guardian Inggris, bantuan Negara-negara Eropa dan AS untuk gempa Tsunami dunia kurang lebih 2 milyar dollar AS. Bila itu dibandingkan dengan biaya perang yang menghancurkan kamanusiaan di Iraq saja, yang sudah dikeluarkan AS ( 150 milyar Dolar AS = 1.425 trilyun) dan Inggris (12 milyar dolar AS = 114 Trilyun), totalnya 162 milyar dolar AS atau 1.539 trilyun. Ini bila dibandingkan dengan total bantuan ke korban tsunami hanya sebanding dengan 1,5 hari penyerangan. Betapa dahsyatnya biaya untuk penghancuran kemanusiaan, bila dibandingkan dengan sumbangan rehabilitasi dan restrukturisasi kamanusiaan. Bila total 162 milyar dolar As itu digunakan untuk membantu masyarakat dunia, maka dapat menolong 3 milyar orang dunia. (sumber Radio Australia 06/01/2005).

Apa yang Mesti dilakukan?

Sector yang harus digarap awal adalah sector pendidikan, karena inilah pilar dari Ekonomi dan politik, sebab kesadaran politik, kemampuan bersaing semua itu mengandaikan SDM yang harus mencukupi…dan tidak ada jalan untuk menyiapkan SDM itu kecuali pendidikan yang baik, terkontrol dan efisien….tetapi ini semua mengharuskan komitmen, skala prioritas dalam menangani berbagai problem. Perlunya kesadaran bahwa prioritas yang harus diupayakan dengan otomatis penambahan dana adalah sector pendidikan. Ekonomi, politik menurut kami, adalah factor ikutan dari kesiapan SDM yang ada.

Kalau dilihat sekarang, keseriusan pemerintah dalam masalah pendidikan “agak”nya lumayan. Ini bisa kita lihat dari Sertifikasi guru, dana pendidikan yang hampir semua 20% dan banyaknya sekloha SBI (sekolah bertaraf international). Tetapi masih banyak yang timpang dari kebijakan-kebijakan itu. Misalnya UAN, BHMN (badan hukum milik Negara) kampus-kampus dst. Dengan “swastanisasi” kampus, maka bayangkan bagaimana anak-anak miskin mau ke UI, UGM, IPB, ITB apalagi jurusan-jurusan mahal semacam kedokteran.

Sertifikasi, dimana menginginkan guru profisional menjadi kucing-kucingan mencari sertifikat, adanya lahan bisnis baru dengan seminar pendidikan, mendapatkan sertifikat dengan tanda-tangan Kepala Dinas Pendidikan, Kanwil atau mungkin mendiknas. SBI menjadi sekadar keren-kerenan dengan mencantumkan Cambridge sertification, center of Cambridge dst. Wallahu al a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar