Laman

Minggu, 28 Maret 2010

BELAJAR DARI KEGAGALAN BARAT (2)

2. PERMASALAHAN METODOLOGI ILMU-PENGETAHUAN

Kepercayaan akan ilmu yang begitu besar, maka pada zaman modern masalah ilmu dan metodologi ilmu menjadi pencarian yang cukup serius dibandingkan dengan sebelumnya. Peran ilmu makin lama makin besar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menentukan segala gerak manusia perseorangan maupun masyarakat. Secara umum, walau dengan bobot yang tidak seimbang, pencarian filsafat ilmu, memilki dua kecondongan, pertama, kecondongan Metafisk (transendensi), diamana pencarian-pencarian akan pendasaran kebenaran ilmu (dipastikan berasal dari luar manusia), sedangkan kedua kecondongan Imanentis (kecondongan metodologis, pendasaran kebenaran ilmu diletakkan pada fakta empiris dan dikuasai oleh manusia).

1. Pemisahan Pengetahuan dari Kepentingan

Sejarahnya sebenarnya tidak ada pemisahan antara ilmu dan kepentingan, antara teori dan Praxis. Dulu yang namanya pengetahuan (Teori-Hidup, Bios-Theorikos) merupakan suatu bentuk kehidupan, suatu jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dan dengan jalan ini manusia itu mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. Sehingga Pemahaman suatu ilmu/pengetahuan/teori (sewaktu zaman dulu belum ada pemisahan jelas) semacam ini, diperoleh justru dalam berfungsinya dalam kehidupan praktis.

Babak teoritisasi awal (Tahap Ontologi)

Teori yang artinya adalah memandang (theorea), awalnya menggabungkan sesuatu keagamaan dengan Tingkah laku (seperti tarian panen, hujan dst). Tetapi kemudian dimulailah adanya para filosof, yang mengubah arti teori menjadi ”kontemplasi atas kosmos” (memikirkan alam-raya). Para filosof memikirkan alam semesta dan menemukan sesuatu tertib yang tak berubah-ubah, yaitu makrokosmos. Dengan ”memandang” makrocosmos, sang filosof menyadari adanya gerak alamiah dan nada-nada harmonis yang sama dengan dirinya. Harmoni-harmoni itu ingin diterapkan dalam tingkah laku kehidupannya sendiri. Dengan ini maka filosof melakukan peniruan (mimesis). Kontempalsi atas kosmos menjadi tingkah laku praktis melalui kesadaran dirinya sebagai microcosmos.

Dengan mengartikan teori sebagai kontempalsi atas kosmos, filsafat telah menarik garis batas antara Ada dan Waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit pemikiran ontologi awal dalam sejarah manusia. Melalui teori ini filsuf mulai menyusun konsep-konsep tentang keapaan (hakekat) benda-benda dan apa yang disebut sebagai hakekat itu tidak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah.[1]

Dengan pemahaman yang tidak berubah-ubah itu, diharapkan ilmu atau pengetahuan itu dapat diterapkan kapanpun dan dimanapun (a-historis). Karenanya maka pengetahuan itu harus dimurnikan (=abstraksi) dari unsur-unsur yanng berubah-ubah, yaitu dari unsur-unsur dan dorongan-dorongan serta perasaan-perasaan subjektif manusia itu sendiri. Sikap mengambil jarak ini disebut sebagai ”sikap teoritis murni”. Dengan ini (katanya) manusia dapat memahami kenyataan sebagaimana adanya. ’Kontemplasi atas kosmos ’kemudian menjadi’ kontemplasi bebas kepentingan’ (ilmu dikatakan objektif). Inilah awal mula ontologi dimana sekarang artinya adalah pemahaman atas kenyataan yang menghendaki pengetahuan murni yang bebas dari kepentingan. Ontologi mengikis hubungan antara teori dan praxis. justru dengan ontologi bila ingin valid, baik, harus menarik dari kehidupan manusia (yang notabene berubah-ubah). Padahal sebenarnya tanpa disadari sang-pemikir, pembersihan dari kepentingan-kepentingan manusiawi ini tak lain dari pelaksanaan kepentingan sendiri, yaitu pelaksanaan kepentingan untuk menekankan kepentingan demi mencapai pengetahuan murni.[2]

Filsafat Modern

Setelah ontologi, maka periode selanjutnya adalah teori para-filsafat baik Plato maupun muridnya Aritoteles. Plato mengatakan untuk mendapatkan ilmu kita hanya perlu mengingat-ingat apa yang sudah kita miliki dulu lewat ’intuisi’. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada rasio sendiri, yaitu idea-idea. Sedangkan Aritoteles mengatakan bahwa lewat abstraksi kita membersihkan sesuatu yang berbeda-beda atau berubah ubah dan dapat menemukan hakekat, yang besifat universal. Kedua bapak filosof ini diikuti oleh anak-anaknya berupa rasionalisme dan empirisme. Yang pertama lewat pengetahuan apriori lalu mendeduksi pengetahuan-pengetahuan itu, sedangkan yang kedua lewat induksi, menghasilkan hal-hal yang tetap, lewat ’evidensi pengamatan indrawi’.

Dengan ini semua, walaupun pangkal perolehan pengetahuan keduanya (Idealisme-Realisme dan Rasionalisme-Empirisme) berbeda, keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan-dorongan dan kepentingan manusiawi.

Positivisme, puncak Pemurnian Pengetahuan

Setelah periode filosofis, baik Plato maupun Aristoteles, yang kemudian dilanjutkan oleh Rene Descartes dan Hume, Locke, kemudian ilmu pengetahuan berkembang lewat penelusuran ilmiah dengan bapak-nya Francis Bacon (1561-1625). Maka dalam arus filsafatpun mengikuti trend ilmu pengetahuan dengan bapaknya August Comte (1798-1857), dengan kecendrungan pada filsafat Positivisme. Positivisme menganggap ‘pengetahuan fakta objektif’ sebagai pengetahuan yang objektif. Dengan menyingkirkan pengetahuan yang melampaui fakta, positivisme mengakhiri riwayat ontologi atau metafisika, karena ontologi menelaah apa yang melampaui fakta indrawi. Walau positivisme menolak ontologis, Positivisme tetap sama dengan ontologi dalam arti, untuk mendapat pengetahuan, maka diharuskan menghindari atau memurnikan dari subjetivisme dan harus dibebaskan dari kepentingan-kepentingan.

Positivisme Comte, mengatakan sosiologi, walaupun sebenarnya menyoroti bidang-bidang intersubjektif yang berubah-ubah (dimana apa yang terjadi dalam pergaulan manusia dalam masyarakat bukanlah fakta mati melainkan hanyalah pendapat-pendapat orang atas interaksi mereka. Yang sebenarnya hendak dicapai dalam setiap interaksi adalah pemahaman timbal balik), tetapi dengan positivisme-nya mengklaim diri sebagai ’ilmu ilmiah’ dengan bersandar pada model teori ilmu-ilmu alam. Disini sosiologi menuntut teori-murni. Ilmu-ilmu sosial dengan Comte menjadi positivistis.

Sikap positivistis ilmu-ilmu sosial mengandung tiga pengandaian yang saling berkaitan:[3] Pertama, prosedur-prosedur metodologi dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial itu. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak manusia, tidak mengganggu objek pengamatan, yaitu tingkah laku sosial manusia. Dengan cara ini objek pengamatan disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil penelitian itu dapat dirumuskan dalam bentuk ’hukum-hukum’ seperti ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumen murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral, bebas dari nilai.

Lingkaran Wina adalah kumpulan penganut paham positivisme ini (nama-nama positivisme; Positivisme Logis, Empirisme Logis atau Neo-Positivisme), pokok pikirannya adalah; 1) Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, 2) menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diverifikasikan, seperti etika, estetika dan metafisika, sebagai pernyataan-pernyataan yang tak bermakna atau nonsense, 3) berusaha mempersatukan semua ilmu pengetahuan dalam satu bahasa ilmiah yang universal, dan 4) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.[4]

Ilmu-ilmu positif walau seperti itu, masih mewarisi sikap ontologis dalam dua hal; Pertama, mereka mewarisi sikap teoritis murni sebagai metodologi dan kedua, mereka masih menyimpan pengandaian dasar ontologi bahwa struktur dunia dan struktur masyarakat tidak bergantung dari subjek yang mengetahui.

Pecahnya Metode dalam ilmu-ilmu Jerman (Awal gerbong kritik kuat terhadap Saintisme)

Sebenarnya secara filosofis dapat diketahui bahwa kenyataan sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi atau ditempatkan dalam bingkai ’hukum-hukum tetap’ seperti pada fakta alam (dalam ilmu ke-alaman).[5] Sehingga di Jerman ada upaya cukup inten untuk memberikan kerangka methode yang berbeda antara ilmu alam dan ilmu sosial. Perdebatan demi perdebatan dilakukan untuk memberikan kerangka sebenarnya, apakah ilmu-ilmu itu bebas nilai atau tidak, apakah metode ilmu sosial harus mengikuti methode ilmu alam atau berdiri sendiri? Secara umum perdebatan itu tidak selesai, walau anasir dapat dilihat bahwa ada karakteristik yang berbeda secara mendasar antara ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften) dan ilmu sosial (Geisteswissenchaften). Perbedaan antara Erklaren (penjelasan) dan Verstehen (penafsiran).

’Teori Kritis’ sebagai usaha mengaitkan kembali Teori dan Praxis

Dalam perdebatan dijerman mengenai metode itu, keluarlah salah satunya kelompok madzab Frankfurt[6], dengan teori Kritisnya. Habermas melukiskan Teori-Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri didalam ketegangan dialektika antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi).[7] Teori kritis tidak berhenti pada fakta objektif seperti dianut oleh positivistis. Teori Kritis hendak menembus realita sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Teori Kritis juga bersifat historis dalam kutub pengetahuan, tetapi tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Teori Kritis mencoba tidak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan upaya dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan bersifat empiris.[8]

Karena sifatnya dialektis, maka teori kritis memungkinkan melakukan dua kritik. Pertama melakukan kritik transendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dari diri subjek sendiri. Dilain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi-kondisi sosio historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia.[9] Dengan kata lain teori-kritis merupakan Kritik-ideologi, yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transendental atau empiris.[10] Teori kritis mengarahkan pada dua kritik yaitu dalam level teori-pengetahuan, teori ini berusaha mengatasi saintisme[11] atau positivisme. Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan pada penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.

Habermas mengatakan, perlunya tranformasi sosial diperjuangkan melalui dialog-dialog emansipatoris[12]. Hanya melalui ’jalan komunikasi’ dan bukan melalui ’jalan dominasi’[13]. Dengan ini ia berharap (diutopikan) terwujudnya suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam suasana ’komunikasi bebas dari penguasaan’.[14]

2. SEKOLAH FRANKFURT DAN TEORI KRITIS[15]

Latar Belakang sejarah historis dan teoritis madzab Frankfurt

Pemikir-pemikir madzab Frankfurt merupakan pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan para penerusnya. Madzab Frankfurt awalnya adalah Institut fur Sozialforschung, suatu jurusan resmi di universitas Frankfurt. Mereka banyak tetapi yang menonjol adalah Horkheimer, Adorno, Marcuse (Generasi Teori Kritis Pertama) dan Jurgen Habermas (Generasi teori Kritis Kedua).

Lukacs (revisionis teori marx) lewat bukunya Geschichte und Klassenbewusstein, mengaitkan konsep rasionalisasi Max Weber dan konsep feitisisme komoditi menurut Marx. Sebagai hasil sintesis kedua konsep ini, Lukacs mengembangkan konsep reifikasi (Verdinglichung) yaitu pandangannya tentang adanya gejala-gejala hubungan-hubungan antar manusia yang nampak sebagai hubungan antar benda-benda.[16]Konsep reifikasi ini muncul dengan wajah baru dalam pemikiran Teori Kritis mengenai Rasio Intrumental, kritik mereka atas masyarakat modern dan rasionalitasnya.

Pengertian kritik dalam Tradisi Teori kritik

Kritik adalah mengkritisi pemikiran-pemikiran sebelumnya, karena dianggap kurang mencerahkan, diselubungi ideologi-ideologi tertentu, sehingga menguntungkan pihak-pihak tertentu dan mengasingkan manusia individu dari masyarakatnya.

a. Kritik dalam Artian Kant[17]

Menurut teori Kritis, Kant adalah filosof kritis karena ia mempertanyakan dan menyelidiki kemampuan dan batas-batas dari rasio untuk menunjukkan sampai sejauh mana klaim-klaim dari rasio kita itu dapat dianggap benar. Disini kant dengan epistemologinya mau menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi “pengadilan tinggi” terhadap hasil-hasil refleksinya sendiri, yaitu: Ilmu pengetahuan dan Metafiska. Kritik dalam pengertian Kant berarti; kegiatan menguji sahih tidaknya klaim-klaim pengetahuan tanpa prasangka dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio belaka (seperti sudah dijelaskan tentang Kant Didepan).

b. Kritik dalam artian Hegelian

Hegel mengkritik Kant, yang meyakini sesuatu yang tak tergoyahkan dengan ktikitknya. Dalam pandangan Hegel rasio bersifat kritis tidak dengan cara transendental dan ahistoris seakan-akan rasio itu sudah sempurna pada dirinya sendiri. Rasio menjadi kritis bila ia menyadari asal usulnya sendiri. Rasio bukan kesadaran lengkap yang bebas dari rintangan-rintangan dalam sejarah umat manusia dan alam, melainkan merupakan proses menjadi semakin sadar justru didalam rintanngan-rintangan itu. Jika rasio menyadari rintangan-rintangan mana yang menghalanginya untuk menjadi semakin rasional dan semakin sadar, rasio melangkah ke kualitas rasionalitas yang lebih tinggi. Menyadari adanya rintanngan sama dengan menyadari asal usul kesadaran. Kritik dalam artian Hegelian tidak lain adalah refleksi atau refleksi diri atas rintanngan-rintanngan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik juga berarti refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi atas asal usul kesadaran.[18]

c. Kritik dalam Artian Marxian[19]

Marx mengkritisi hegel, karena terlalu abstrak. Sebab sejarahnya bukanlah sejarah konkret, melainkan sejarah kesadaran atau sejarah rasio (menurut Hegel). Dengan transendental itu hegel tidak menghasilkan praxis karena tidak jelas sasaran pragmatisnya. Dialektika sejarah harus konkret yaitu materialisme sejarah yang bersifat praxis emansipatoris dan konkret dalam masyarakat nyata kata Marx.

Kata Marx, apa yang terjadi dalam masyarakat dan sejarah adalah orang-orang yang bekerja dengan alat-alat untuk mengolah alam. Didalam masyarakat alat-alat kerja, para pekerja dan pengalaman kerja merupakan kekuatan-kekuatan produksi masyarakat, sedangkan hubungan-hubungan antar-pekerja dalam proses produksi ini merupakan hubungan produksi. Jika kekuatan-kekuatan produksi berkembang, hubungan-hubungan produksi juga berubah. Misalnya Gotong royong (era-Pertanian), Industri lain, era informasi juga lain.

Dalam praktek, hubungan-hubungan produksi ini adalah hubungan-hubungan kekuasaan antar pemilik modal disatu pihak dan kaum buruh dipihak lain. Untuk memupuk keuntungan dan memenangkan persaingan, para pemilik modal memeras kaum buruh dengan pekerjaan yang mau tak mau mereka lakukan demi menyambung hidup. Hubungan hak-milik dan penguasaan ini bersifat konservatif dan ingin dipertahankan terus karena menguntungkan pemilik modal. Hal sebaliknya terjadi pada kekuatan-kekuatan produksi. Kekuatan produksi diperbaiki, dirasionalisasikan, ditingkatkan efisien dan effektivitasnya. Karena perbedaan sifat antara hubungan produksi yang konservatif dan kekuatan produksi yang progresif ini, didalam masyarakat terjadi kontradiksi-kontradiksi terus menerus. Didalam pengertian inilah Marx telah mendapatkan dialektika hegel dalam masyarakat nyata. Kritik dalam artian Marx, usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan didalam masyarakat. Dengan menyingkap kenyataan sejarah dan masyarakat lewat analisisnya itu, marx tidak sekadar melukiskan masyarakat, melainkan juga hendak membebaskannya.[20]

d. Kritik dalam artian Frudian[21]

Subjek dalam psikoanalisis adalah manusia-manusia yang menipu diri sendiri, karena adanya mekanisme-mekanisme tak sadar. Konflik-konflik psikis ini akibat represi terhadap naluri yang penyalurannya dilarang dalam masyarakat. Karena konflik internal ini pasien membuat ilusi-ilusi dan delusi-delusi juga mekanisme-mekanisme pertahanan diri tak sadar. Dengan menciptakan gambaran palsu, ilusi dll, sebjek merasa seolah sudah mendamaikan konflik-konfliknya, tetapi sesungguhnya semua itu hanyalah penipuan diri oleh diri dan penindasan diri oleh diri sendiri.

Dalam artian Freudian, kritik adalah refleksi, baik pihak individu maupun masyarakat, atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal tersebut sehingga dengan cara refleksi masyarakat dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan asing yang mengacaukan kesadaran. Pembebasan Masyarakat dan Individu dari Irrasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran kepada kesadaran.

Kritik atas Metodologi

Teori kritis bukanlah metodologi untuk memperoleh kebenaran atau metodologi yang menggantikan metode sebelumnya (teori tradisional) dan tinggal dipakai. Tetapi teori kritis adalah upaya karena kelemahan dan kekuarangan teori sebelumnya, maka ia berupaya menunjukkan kelemahan dan problem teori sebelumnya dan menawarkan metode baru, bukan sebagai model pengganti, karena teori ini belum selesai dan terus berkembang.

Teori tradisional, berkembang berdasarkan metode deduksi dan induksi. Dengan melihat hukum-hukum yang sudah diyakini kebenarannnya melihat fakta-fakta konkret, dan dari fakta-fakta konkret berusaha untuk menghasilkan hukukm-hukum umum. Dengan metode ini (deduksi-induksi ini) teori tradisional kata Husserl menjadi ‘sistem tertutup dari proposisi proposisi bagi ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan’.[22] Dengan menjadi sistem tertutup ini, ilmu alam tidak hanya sukses menjelaskan fakta-fakta tetapi juga sukses memanipulasi objek-objek melalui tehnologi sebagai terapan teori-teori. Sukses teori ilmu-ilmu alam, menjadikan metodenya ingin diterapkan dalam ilmu sosial (kelompok positivistik).

Horkeimer menunjukkan 3 hal selubung teori tradisional, sehingga menjadi ideologi (dalam arti negatif); 1) Teori Tradisonal mengandaikan pengetahuan manusia tidak menyejarah atau ahistoris. Dengan cara ini teori tradisional mengklaim mencukupi dirinya sendiri. Apa-apa yang dihasilkannya mengklaim sebagai pengetahuan yang murni dan bebas dari kepentingan (disinterested). Dalam berteori diupayakan menyingkirkan unsur unsur subjektif dari teori-teori. Masyarakat sebagai objek yang ingin diterangkan dianggap sebagai fakta netral yang dapat dipelajari secara objektif. 2) karena bebas nilai (kepentingan), fakta adalah netral, maka dapat menghasilkan ilmu murni. Teori adalah diskripsi murni fakta, yang merupakan pengetahuan demi pengetahuan. Teori disatu pihak tak dapat mempengaruhi atau mengubah objeknya dan objeknya disisi lain merupakan sesuatu yang beku, mati karena tidak dapat mempengaruhi kegiatan memperoleh teori murni tentang objek itu. 3) karena teori dipisahkan dari praxis, maka teori ini membenarkan dan membiarkan fakta itu tanpa menarik konsekuensi-konsekuensi praktis untuk mengubahnya.[23]

Horkheimer melanjutkan 3 sifat ideologis Teori Tradisional; yaitu 1) dengan klaim ahistoris, teori ini mengkalim diri universal, berlaku dimana saja secara transendental dan supra-sosial, sehingga melupakan kehidupan konkret. Ini merupakan penipuan, sebab kenyataannya ilmu pengetahuan sesungguhnya hanyalah salah satu kegiatan dalam masyarakat konkret, bukan satu-satunya. Dengan klaim universal mereka akan menerapkan itu walau dalam kondisi berbeda dengan lingkup tarikan teorinya.[24] 2) dengan beranggapan teori netral, maka membiarkan status quo, melestarikan kenyataan-kenyataan itu, tanpa mempertanyakannya. 3) dengan memisahkan teori dan praxis dan mengejar teori demi teori, maka teori Tradisionalis tidak mengubah keadaan, malah melestarikan setatus quo.[25]

Dengan metode dialektika ini, Teori Kritis memiliki 4 karakter yaitu; 1) Teori Kritis bersifat historis. Teori ini diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak atasnya. Melakukan kritik immanen terhadap masyarakat yang nyata-nyata manusiawi. 2) teori ini disusun dengan kesadaran bahwa dalam upayanya itu sangat mungkin ia sendiri terjebak dalam salah satu ideologi (seperti teori yang dikritisisnya dulu). Makanya teori kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya (dengan verifikasi empiris). 3) dengan metode dialektiknya teori ini memiliki kecurigaan terhadap masyarakat aktual (mapan) dan berusaha menelanjangi kedok-kedok ideologi yang dipakai untuk menutupi manipulasi dan ketimpangan-ketimpangan serta kontradiksi yang ada dimasyarakat. 4) Teori ini bermaksud praxis, yaitu memberi kesadaran kepada masyarakat lewat pembukaan kedok-kedok, manipulasi dll agar mereka bertranformasi, mengubah keadaan sejarahnya dst. Makanya teori kritis tidak netral (tetapi berpihak).[26]

Kritik atas Rasionalitas Masyarakat Modern

Madzab Frankfurt dengan Horkheimer, mencoba mengkritisi masyarakat modern dengan; 1) menelusuri bagaimana pandangan yang sekarang ini umum (positivisme) itu terbentuk. Dimana itu merupakan refleksi proses rasionalitas masyarakat barat modern (ini terdapat dalam buku; Dialektik der Aufklarung, Dialectic of Enligtenment). 2) menunjukkan pemikiran positivisme yang telah mewujudkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi berlaku sebagai ideologi yang telah diterima dengan suka-rela oleh masyarakat modern (terdapat dalam buku Marcuse, One-Dementional Man).

Sejarah barat menunjukkan bagaimana sejak Yunani-Purba, lalu pemikiran Kristen Abad Pertengahan, Renaisance, terus ke Aufklarung abad 18 dengan tokoh terkenalnya Kant. Kant mengatakan; kesalahan manusia adalah tidak menggunakan kemampuannya sendiri, yaitu rasionya. Karena dengan semboyan pencerahan ‘Sapere Aude’ dimaksudkan bahwa setiap individu hendaknya berani berfikir sendiri tanpa bimbingan orang lain, baik bimbingan dari pemegang otoritas maupun tradisi[27]. Pencerahan ini sampai pada penemuan kedaulatan manusia terdapat pengetahuannya sendiri. Melalui pengetahuan manusia berambisi untuk menghancurkan mitos-mitos irrasional yang menyelubungi alam dengan misteri-misterinya. Dengan menyingkap misteri (lewat pengetahuan) menguasai misteri itu lewat rasionalitas pengetahuannya. Seluruh rencana dasariah dari demitologi dan rasionalisasi itu adalah sekularisasi, humanisme dan kebebasan.[28]

Dengan pecahnya selubung misteri, roh-roh, belenggu ketidak jelasan dipatahkan oleh rasionalitas manusia, manusia percaya dirinya sendiri (ini terangkum dalam humanisme, manusia segalanya). Melalui pencerahan belenggu dipatahkan dan sebagai gantinya rasio manusia bangkit memerintah alam. Alam menjadi barang netral dan bersamaan dengan itu manusia mampu menghadapinya sebagai objek untuk dimanipulasi.

“...pencerahan berkelakuan terhadap benda-benda seperti seorang diktator terhadap rakyatnya (juga sebaliknya). Ia mengetahui benda-benda itu sejauh ia dapat memanipulasi benda-benda itu”[29]

Karena misteri telah diusir, manusia menghadapi alam dengan kalkulasi, segala sesuatu yang ingin diketahui ditundukkan dibawah perhitungan dan kegunaan, dan segala sesuatu yang tidak tunduk pada kalkulasi dicurigai sebagai mitos. Angka menjadi hukum pokok pencerahan. Melalui angka-angka pencerahan mengubah alam menjadi objektivitas (ini berlaku dalam ilmu alam, dan ilmu sosial ikut dalam ranah yang sama). Melalui pencerahan, sekarang kekuasaan mitos sebagai juru tafsir kenyataan dirobohkan dan digantikan oleh penguasa baru berupa ilmu-ilmu dan berfikir positivistik. Kemenangan ilmu pengetahuan atas mitos akhirnya menjanjikan harapan akan terbentuknya masyarakat yang bebas merdeka. Tetapi karena terlalu optimis, karena terlalu kalkulistik dan positivistik, akhirnya seperti kata Adorno dan Horkheimer, cara berfikir positivistik dan ilmu pengetahuan alam itu sendiri menjadi mitos baru yang awalnya ditaklukkan oleh manusia.[30]

Apakah manusia tradisional dengan mitos-mitos itu tidak rasional, jawabnya mereka juga rasional dengan peniruan (mimesis) dan mitologi pementasan. Manusia mitis mampu memahami kenyataan dan kedudukannya didalam masyarakat. Lewat jalan partisipasi ini mitos menjadi pencerahan bagi manusia mitis. Tetapi dalam ilmu alam, pencerahan tidak dicapai lewat partisipasi melainkan lewat jalan distansi antara rasio dan objek yang ingin diketahui atau dikendalikannya. Meskipun beda dalam pendekatan, baik mitos maupun ilmu pengetahuan berangkat dari kebutuhan manusia yang sama yaitu, mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mengusir ketakutan. “manusia membayangkan dirinya bebas dari ketakutan bila tidak ada lagi sesuatu yang tidak diketahuinya”[31]

Dalam bukunya Eclipse of Reason (Kemunduran Rasio, 1947), Horkheimer menyebut pemahaman rasionalitas pencerahan sebagai Zweckrationalitat (Rasionalitas Tujuan) atau Rasionaliltas Instrument. Rasionalitas instrument ini memusuhi metafisika dan pemahaman mitologis yang berusaha memahami konsep-konsep abstrak objektif tentang kenyataan yang penuh misteri, misalnya konsep Tuhan, Dunia, Ada, Kebebasan, Roh dll. Pencerahan menggunakn cara sendiri, dirumuskan lewat prinsip-prinsip logika yang telah dikosongkan dari ‘isi’ nya yang metafisis dan menjadi ‘bentuk’ melulu.[32] Hasil yang telah dicapai lewat formalisasi cara berfikir manusia adalah logika dan Matematika. Didalam rasio kehilangan ‘isi’ dan tujuan pada dirinya sendiri untuk memahami kenyataan dan menjadi prinsip-prinsip belaka (metodologi). Karena kehilangan isi dan tujuan pada dirinya, rasio menjadi netral dan dapat dipakai demi tujuan-tujuan di luar dirinya. Rasio menjadi intrumen belaka. Rasio menjadi tukang atau alat kalkulasi, alat verifikasi, pelayan klafisikasi yang setia pada tujuan-tujuan diluar dirinya.

Orang yang berfikir secara intrumentalis tak peduli pada tujuan dalam pikirannya sendiri melainkan berusaha memperhatikan prinsip-prinsip kerja rasionya sehingga dapat diterapkan untuk tujuan apa saja. Dengan cara ini pertama-tama ia melakukan mimesis manusia primitif terhadap prinsip-prinsip itu dan kemudian setelah prinsip-prinsip itu diterapkan pada tujuan-tujuan diluar dirinya sendiri, seperti politik, ekonomi, ideologi, ia sendiri menundukkan dirinya dibawah tujuan-tujuan itu karena ia tak peduli pada tujuan melainkan cara. Setelah cara atau metode dapat dipakai menjadi alat manipulasi, manusia rasional merasa puas karena baginya tujuan pengetahuan rasionalnya telah dicapai didalam cara. Begitu sistem kontrol totalilter, otoriter menetapkan tujuan-tujuan baginya, rasio instrumental pun tunduk dan mengadaptasi dengan mimesis.[33]

Akhirnya inilah periode pesimis Frankfurt, bahwa keberhasilan manusia untuk memperoleh pemahaman rasional tentang kenyataan melalui pencerahan persis adalah kegagalan karena pengertian rasional itu segera surut menjadi mitos mesti dalam bentuk yang nampaknya lebih ‘rasional’[34] Horkheimer dan Adorno nampaknya kebingunagan dan pesimis terhadap modernitas serta rasionalitas. Kedua tokoh ini walau banyak memberi pencerahan, tetapi pesimis dan ‘yakin’ bahwa teori kritis juga akan menjadi mitos juga. Sebab Mitos menghasilkan rasionalitas dan rasionalitas yang membebaskan dirinya dari mitos itu menjadi mitos baru.[35]

Dalam dunia modern, ilmu pengetahuan dan tehnologi yang mestinya membebaskan manusia jadi santai dll, tetapi justru membelenggunya. Manusia telah ditelan oleh ilmu dan tehnologi. Kalau diatas ada rasionallitas tujuan atau rasionalitas intrument, dimana akal hanya sebagai alat untuk kalkulasi, manipulasi dan mengefisienkan prosedur dengan angka-angka matematika. Maka dalam ilmu dan tehnologi dikenal ‘rasionalitas tehnologis’ yaitu karakter dimana dalam kebudayaan modern, segala hal dipandang rasional sejauh dapat diperalat, dimanipulasi, dimanfaatkan atau diperhitungan secara matematis dan ekonomi. Bahkan kebenaran-pun dalam masyarakat modern, apapun harus ilmiah, sedangkan ilmiah akhirnya dikatakan harus sesuatu itu terukur (measurable), ukurannya harus kasat mata, dan dapat dinominalkan, alat ukurnya adalah efisiensi, efektifitas yang dinotasikan dengan pertukaran antar satu dengan yang lain dan ukuran segalanya adalah uang.

Dalam bidang politis, para penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya sejauh mereka sukses memobilisasi, mengorganisasikan dan mengekploitasi produktivitas secara mekanis, teknis dan ilmiah bagi kebudayaan industri. Melalui rasionalitas tehnologis penataan masyarakat semakin bersifat ‘rasional, produktif, teknis dan total’, tetapi dalam kondisi demikian setiap perubahan kuantitatif pada sistem itu harus disingkirkan. Perubahan-perubahan dapat dibiarkan sejauh dapat dicocokkan dengan sistem sebagai keseluruhan. Artinya pemikiran manusia zaman ini dianggap berguna hanya sejauh dapat diterapkan pada keseluruhan sistem sehingga menjadi operable[36] rasionalitas teknologis bukan hanya pemikiran yang mengadaptasi diri pada keseluruhan sistem tapi juga pemikiran yang melakukan mimesis atau identifikasi langsung dengan sistem. Dengan ini maka ilmu pengetahuan dan tehnologi telah merampas kebebasan manusia sampai keakar-akarnya.

Dalam masyarakat modern, demokratis, sepertinya mereka bebas, padahal ilmu pengetahuan dan tehnologi sudah meresapi mereka sehingga para konsumen hanya menginginkan apa yang dikehendaki sistem agar ia menginginkan itu.[37] Masyarakat modern kata Marcuse adalah rasional dalam bagian-bagian tetapi irrasional dalam keseluruhan.[38]

Dalam masalah oposisi (inilah) kekuatan mereka. Oposisi dibiarkan ada bahkan diinginkan agar sistem menjadi kenyal dan seimbang. Masyarakat semacam satu dimensi dapat mengabsorpsi segala bentuk perlawanan tanpa melukai dirinya sendiri. Kekuatan penentang tak perlu dihantam terang-terangan karena masyarakat telah menyediakan intrument penjinak yang halus, yaitu manipulasi kebutuhan. Kritik yang muncul dengan mudah dialihkan menjadi barang konsumen yang menarik dalam bentuk hiburan-hiburan dan sensasi-sensasi. Dengan toleransi semacam ini masyarakat dicegah untuk menjadi kritis terhadap sistem itu sendiri. Oposisi dalam sistem dibiarkan asalkan tidak menjadi oposisi terhadap sistem.[39] Perlawanan terhadap sistem tentu tidak dibiarkan dan sistem teknologi yang telah tersususn sedemikian rapi akan segera membereskan dan membuatnya menjadi lelucon. Menolak menyesuaikan diri dengan sistem teknologi itu akan menjadi neurosis bahkan tidak mungkin sama sekali. Karenanya kekuatan perlawanan akhirnya kehilangan sifat negasinya dan malah membela status quo.[40]

Lenyapnya ‘negasi’ atau perlawanan terhadap sistem teknologi adalah ciri masyarakat kita (modern-barat) dibidang sosial, politik, ekonomi, kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Lenyapnya negasi sama dengan lenyapnya perlawanan terhadap kenyataan. Seluruh kehidupan manusia mengarah pada satu tujuan saja yaitu menjaga keberlangsungan sistem teknologi yang telah menjadi penguasa total. Ini adalah perbudakan manusia modern yang dilakukan dengan sukarela kata Marcus.

Menolak sistem pada akhirnya tidak saja tidak mungkin karena dominasi totalnya, melainkan juga tidak mungkin karena irasionalnya, yaitu bertentangan dengan prinsip rasional zaman ini. Karenanya manusia satu dimensi dalam masyarakat zaman ini tidak punya alternatif kecuali membela, mengikuti dan mewujudkan tujuan sistem itu.

Kritik Adorno dan Horkeimer dalam bukunya Dialektik der Aufklarung[41] dan Marcuse dalaman bukunya One Dimensional Man, walau suatu kritik yang radikal terhadap Positivisme dan saintisme, tetapi masih dalam ranah moralistik[42] belum kepada epistemologis. Bahkan mereka kebingungan karena seakan zaman ini adalah keniscayaan dari mitos ke pencerahan (rasionalitas) ke puncak, turun ke mitos lagi.

Generasi awal (Horkheimer, Adorno dan Marcuse) teori kritis mendapat jalan buntu, kemudian akan diupayakn penyelesainnya oleh Habermas. Mengapa Generasi pertama gagal, karena mereka setia pada pengandaian Marx (Praxis adalah kerja). Walau kritik marx pada ekonomi-politik diganti oleh mereka menjadi kritik atas rasio instrument dan kritik atas positivisme, tetapi konsep rasionalitas mereka adalah konsep rasionalitas dalam perspektif pencerahan. Disini rasionalitas disamakan dengan penguasaan atas alam. Sehingga dalam bentuk konkretnya penguasaan atas alam adalah “Kerja” (pengandaiannya sama dengan Marx). Rasio instrumen dan rasio teknologis mewujudkan dirinya dalam kerja sosial, yaitu sistem teknologis dan sistem ekonomi masyarakat modern, seperti rasio kritis mewujudkan dalam kerja sosial, yaitu mengubah sistem-sistem itu menjadi praxis revolusioner. Dengan tetap berpegang pada pengandaian Marx, maka setiap praxis emansipatoris selalu menghasilkan perbudakan baru karena emansipasi berarti penguasaan baru. Inilah kebuntuan generasi teori Kritis pertama. Habermas mencoba mengatakan bahwa penindasan itu tidak menyeluruh (total), sebab praxis manusia disamping “kerja” juga “Komunikasi”.[43]

3. HABERMAS PELANJUT HORKHEIMER, ADORNO DAN MARCUSE

Walau Habermas adalah murid-murid dari Horkheimer dst (Generasi Teori Kritis awal), ia mencoba keluar dari jalan buntu yang dimiliki oleh pendahulunya. Ia tidak pesimis dengan rasionalitas modern yang kata pendahulunya akan mengantarkan ketempat mitos (eksploitasi) juga. Ia melihat celah-celah yang dimungkinkan untuk harapan. Ia mengatakan teknologi, ilmu pengetahuan dan positivisme sebagai cara berfikir merupakan faktor penting bagi salah satu dimensi praxis manusia yaitu Kerja. Dengan ini manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Tetapi bila hal-hal itu diterapkan dalam konteks interaksi sosial, ia mengatakan mereka adalah berbahaya, karena klaimnya sebagai pengetahuan sejati dll yang merupakan ideologi.[44] Kalau pendahulunya anti-sistem, habermas masih toleran dengan itu.

Habermas dan Marxisme

Pendekatan Habermas sangat luas, ia mencoba menggabungkan banyak disiplin ilmu untuk mencari proyek yang ingin disolusikannya. Walaupun demikian pendekatannya tetap Kritis, yaitu ketegangan antara ‘ilmiah’ dan ‘filosofis’. Antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Tidak filsafat (karena kurangnya kepengecekan empiris dan falsifikasi), tetapi tidak ilmu pengetahuan (yang menjurus ke positivistik). Diantara keduanya itulah pendekatan Kritis berjalan.[45]

Dalam buku Between Philosophy and Science: Marxism as Critique, ia memaparkan 4 hal mengapa kritik Ekonomi-politik Marx gagal; 1) pemisahan negara dan masyarakat yang menandai kapitalisme liberal sudah tidak relevan lagi. Politik tidak lagi dapat disebut sebagai suprastruktur dan masyarakat tidak bisa dipandang sebagai basis ekonomi dari superstruktur yang dikira Marx. 2) dalam kapitalisme lanjut, kesejahteraan sudah berkembang, sehingga revolusi kesadaran kelas sulit diharapkan. Kelas0kelas sosial juga semakin terintegrasi dalam masayarakat, dan berbagai penindasan semakin tersamar dan terorganisasi. Teori kelas tidak dapat dijadikan pijakan sebagai teori revolusi. 3) kaum proletar tak dapat diharapkan jadi pijakan revolusi, dan perjuangan kelas level nasional telah distabilkan dan diganti persaingan keras antara ‘Kubu kapitalilsme’ dan ‘Kubu sosialisme’ level international.[46] 4) Komunisme Soviet membuktikan bahwa upaya-ideal Marx tidak dapat diwujudkan.

Habermas untu kebutuhan teori Kritis-nya mengkategorikan ajaran Marx dalam dua orde permasalahan besar yaitu; 1) Permasalahan Pertama: usaha menemukan pertautan antara teori dan praxis. 2) Materialilsme sejarah, khususnya konsep mrax tentang; kerja sosial, sejarah spesies, teori suprastruktur dan dialektika hubungan-hubungan produksi dan kekuatan-kekuatan produksi.

Siapa yang diamanatkan dengan teori ini? Dulu kaum proletariat, sekarang siapa? Kelompok cendikiawan dan malah mahasiswa, atau Great Refusal (Marcuse), habermas mengumumkan itu pada rasio manusia, dengan paradigma baru yaitu “paradigma Komunikasi” (bukan paradigma kerja). Dengan paradigma baru ini memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Kalau Marxis klasik menempuh jalan revolusioner untuk menjungkitbalikkan struktur masyarakat demi tercapainya masyarakat sosialis yang dicita-citakan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal, yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup ‘komunikasi bebas penguasaan’. Perjuangan kelas dalam pandangan klasik, revolusi politik, diganti dengan ‘perbincangan rasional’ dimana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris. Dalam perbincangan itu, refleksi-diri menjadi faktor yang menghasilkan emansipasi dan pencerahan.[47]

Dengan kelompok sasaran rasio manusia (umum), maka menjadi netral teorinya. Walau Habermas memberikan argumentasi bahwa rasio itu dalam pandangannya adalah ‘rasio yang memihak’ yaitu rasio yang memiliki kepentingan emansipatoris.[48] Manakala kelompok tertetu itu (siapa saja) menyadari dirinya dalam teori itu, tercapailah apa yang disebut habermas ‘proses pencerahan’ yang pada dasarnya adalah ‘proses emansipatoris’ dari berbagai dogmatisme dan ideologi. Secara konkret kegiatan berteori itu terlaksana dalam bentuk argumentasi-argumentasi rasional yang bersifat dialogal. Argumentasi ini dilaksanakan baik dalam kelompok sendiri sebagai pemahaman-diri maupun kelompok sasaran dan kelompok lain untuk membina suasana saling pemahaman mencapai konsensus. Perjuangan kelas adalah usaha-usaha menciptakan situasi saling berargumentasi secara dialogal dan komunikatif antar kekuatan-kekuatan politis untuk mencapai konsesus.[49] Habermas mencoba menggunakan psikoanalisa untuk membimbing proses refleksi dan untuk menghancurkan rintangan-rintangan komunikasi.[50]

Ini semua dilakukan untuk mencoba menyelesaikan upaya mencari pendasaran permasalahan pertama yaitu usaha menemukan pertautan antara teori dan praxis.

Pembedaan radikal mengenai ‘Praxis’ : Kerja dan Komunikasi

Dalam artian praxis, yaitu mencari teori-teori yang nantinya mencerahkan dalam kehidupan sosial, sehingga mampu menggerakkan, memotivasi masyarakat untuk tranformasi, adalah hal yang diupayakan sejak dahulu. Paradigma kerja menjadi kategori praxis. Praxis dipahami sebagai kerja. Ini ada sejak Hegel. Tetapi kata Habermas, dalam labour and interaction : Remarks on hegel’s Jena ‘Philosophy of Mind’, mengatakan; Hegel telah memahami komunikasi dan kerja sebagai dua hal yang tidak dapat direduksi satu sama lain.[51]bahasa memiliki makna yang setara dengan kerja sebab keduanya memungkinkan manusia mengambil jarak terhadap suatu objek. Jika kerja memungkinkan mengambil jarak terhadap alam, bahasa memungkinkan mengambil jarak terhadap persepsi langsung yang ditangkap manusia. Bahasa juga medium bagi kesadaran-diri disamping kerja. Karena bahasa terlaksana dalam interaksi, interaksi juga merupakan aspek proses pembentukan-diri manusia disamping kerja. Dalam hal ini bahasa juga berkaitan dengan rasio atau kesadaran diri. Distingsi ini nantinya dikembangkan habermas mengenai tindakan dasar manusia (teori tindakan).

Mengenai kerja yang disebut ‘tindakan rasional bertujuan’ Habermas berkata;

“Dengan ‘kerja’ atau ‘tindakan rasional bertujuan’ saya memahami tindakan instrumental atau pemilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan instrumental ditentukan oleh aturan-aturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Didalam setiap aturan-aturan itu menyatakan prediksi-prediksi bersyarat tentang peristiwa-peristiwa fisis atau sosial yang dapat diamati. Prediksi-prediksi ini dapat membuktikan tepat atau keliru. Kelakuan pemilihan rasional ditentukan oleh strategi-strategi yang didasarkan atas pengetahuan analitis. Strategi-strategi itu menyatakan tak langsung deduksi-deduksi dari aturan-aturan preferensi (sistem-sistem nilai) dan prosedur pengambilan keputusan; proposisi-proposisi ini baik dideduksikan secara tepat atau keliru. Tindakan rasional bertujuan menetukan tujuan-tujuan dibawah kondisi-kondisi yang telah ada. Tetapi sementara tindakan instrumental mengatur sarana-sarana yang cocok menurut kriteria penguasaan effektif atas kenyataan, tindakan strategi bergantung hanya pada evaluasi yang tepat atas pemilihan-pemilihan alternatif yang mungkin, yang dihasilkan dari kalkulasi yang ditambahkan oleh nilai-nilai dan norma-norma,”[52]

Mengenai Komunikasi, Habermas menjelaskan;

“Dengan ‘interaksi’, dilain pihak, saya maksudkan tindakan komunikatif, interaksi simbolik. Tindakan komunikatif itu ditentukan oleh norma-norma konsensual yang mengikat, yang menentukan harapan-harapan timbal balik mengenai tingkah laku dan yang harus dimengerti dan diketahui sekurang-kurangnya oleh dua subjek yang bertindak. Norma-norma sosial diberlakukan lewat sanksi-sanksi. Makna dari norma-norma itu diobtifkan dalam komunikasi lewat bahasa sehari-hari. Sementara kesahihan aturan-aturan teknis dan strategi-strategi tergantung pada kesahihan proposisi-proposisi yang secara analitis tepat dan secara empiris benar, kesahihan norma-norma sosial didasarkan hanya dalam intersubjektif saling pemahaman maksud-maksud dan diamankan oleh pengetahuan umum mengenai kewajiban-kewajiban.”[53]

Dalam ‘kerja’ atau ‘tindakan rasional bertujuan’, ini adalah tindakan manusia terhadap alam, manipulasi, dan monolog sifatnya. Sedangkan Komunikasi, adalah interaksi sesama subjek manusia, dan dialog sifatnya, karena manusia berinteraksi melalui simbol-simbol yang dipahami secara intersubjektif sebagaimana nampak dalam penggunaan bahasa sehari-hari.

Pelaku tindakan rasional bertujuan memiliki orientasi sukses. Berhasil atau tidaknya diukur sejauh mana keberhasilan mewujudkan tujuan. Sejauh tindakan memasuki dunia alamiah dengan memnuhi aturan-aturan teknis tertentu, tindakan dapat disebut Instrumental. Jika tindakan ini memasuki dunia sosial, tindakan ini menjadi strategis dengan memenuhi aturan-aturan bagi pemilihan rasional. Jadi tindakan strategis adalah tindakana rasional bertujuan yang dikategorikan dalam interaksi sosial juga (tidak murni). Sedangkan interaksi (tindakan komunikatif) adalah tindakan yang memiliki orientasi pada pencapaian pemahaman. Sukses atau tidak ukuran interaksi justru terlihat pada tercapainya saling pemahaman kedua belah pihak komunikasi.

Menurut Habermas, suatu tindakan strategis bisa bersifat terbuka ataupun tersembunyi. Pelaku bisa dengan sadar melakukan penipuan, atau tidak sadar melakukan penipuan (tidak tahu bahwa itu tidak strategis pilihannya). Yang terakhir dinamakan ‘Komunikasi yang terdistorsi secara sistematis’. Mungkin ini dapat dipecahkan dengan psikoanalisa ideal Habermas [saya, MA] pesimis dengan pemecahan ini.

Kerangka Kerja (Tindakan rasional bertujuan) dan Interaksi komunikatif

PELAKU TINDAKAN

TINDAKAN

Orientasi pada Sukses

Orientasi pada pencapaian Pemahaman

NON-SOSIAL

Tindakan instrument

-

SOSIAL

Tindakan Strategis

Tindakan Komunikatif.

Kerangka kerja institusional

Sistem-sistem tindakan rasional bertujuan (instrumental dan strategis)

Aturan-aturan mengorientasikan tindakan

Norma-norma sosial

Aturan-aturan teknis

Taraf definisi

Bahasa sehari-hari yang dilaksanakan secara intersubjektif

Bahasa yang bebas konteks

Mekanisme-mekanisme kemahiran

Internalisasi peran

Mempelajari keahlian-keahlian dan kecakapan-kecakapan

Fungsi macam tindakan

Pemeliharaan pranata-pranata (kepatuhan pada norma atas dasar desakan timbal balik)

Pemecahan masalah (pencapaian tujuan, ditentukan dalam relasi-relasi sarana tujuan)

Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturan

Hukuman atasdasar sanksi konvensional: kegagalan melawan otoritas

Ketidaksuksesan: kegagalan dalam kenyataan

‘rasionalisasi;

Emansipasi, individuasi, perluasan komunikasi bebas dari penguasaan

Perkembangan kekuatan-kekuatan produksi; perluasan kekuasaan kontrol teknis

*) Jurgen Habermas, “Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi”, hal 63, LP3ES, Jakarta,, 1990 (Bdk, Hardiman, hal 88)

Kritik atas Rasionalisasi

Hegel menafisrkan kerja dan bahasa itu dalam konteks pembentukan diri dari roh atau rasio untuk menjadi absolut. Karl marx menolah Hegel yang idealis, menempatkan proses pembentukan diri dalam konteks sejarah masyarakat yang empiris. Dalam marx sebetulnya ada sedikit beda antara kerja dan komunikasi; yaitu mengenai kekuatan-kekuatan produksi (kerja) dan hubungan-hubungan produksi (komunikasi), tetapi ii hilang karena Marx bertumpu epistimologi-nya pada kerja saja. Kerja dipandang satu-satunya praxis hidup manusia yang memungkinkan mewujudkan dirinya. Marx memandang masyarakat sebagai alam yang memiliki hukum-hukum tetap.[54]

Marx menolak hegel yang menempatkan rasio sebagai supraindividual dan supra historis. Bagi marx rasio adalah rasio manusia yang empiris dan historis yang nampak pada cara-cara produksi manusia dalam masyarakat untuk melangsungkan hidupnya. Rasio historis ini ditentukan oleh kondisi-kondisi empiiris kerja sosial manusia. Dengan kata lain, gagasan-gagasan, cara penalaran, logika dan spekulasi filosofis sendiri, dalam pandangan marx, merupakan fenomena sejarah yang tergantung pada ‘kegiatan-kegiatan praktis dan material’ dari manusia, yaitu tergantung pada kerjanya. Dalam hal ini, Marx memiliki konsep rasionalitas yang ‘instrumental’, yaitu rasionalitas penguasaan atas alam.

Kata Habermas, sebanarnya pada awalnya rasionalisasi dalam bidang kerja dan rasionalisasi dalam bidang interaksi memiliki tujuan masing-masing dalam konteks perkembangan masyarakat, namun dalam masyarakat barat terjadi ketimpangan dimana rasionalisasi berpusat pada kerja. Sebelum itu rasionalisasi masih ditentutan dalam batas-batas penafsiran mitis, religius, metafisis terhadap kenyataan, tetapi karena kapitalisme (ditemukan alat produksi, rasionalisasi kerja dll), rasionalisasi kerja menghancurkan dan mengungguli menjadi satu satunya rasionalisasi masyarakat kapitalisme lanjut (barat). Dengan kemenangan rasionalitas tujuan (kerja) legitimasi bagi kerangka institusi dikaitlan langsung dengan sistem kerja sosial. Bersamaan dengan itu tatanan hak-hak milik berubah dari hubungan politis menjadi hubungan produksi yang diatur oleh mekanisme-mekanisme pasar. Disini negara kehilangan fungsi ekonominya.

Perubahan-perubahan dari cara produksi tradisional (yang ditentukan oleh hubungan politis) kecara produksi kapitalils (ditentukan oleh mekanisme pasar), menimbulkan perubahan rasionalisasi, yaitu; 1) tindakan rasional-bertujuan makin luas, lewat pasar, modal swasta, kekuatan produksi dst. Struktur-struktur tradisional yang diwarnai tindakan komunikatif diganti dengan hubungan dengan sayarat-syarat ‘rasional-instrumen’ dan strategis. Habermas menyebut ini sebagai proses ‘rasionalisasi dari bawah’. 2) proses rasionalisasi dari atas ditandai dengan sekularisasi, yaitu a) lenyapnya kesahihan pandangan dunia dan objektivasi-objektivasi tradisional sebagaimana terungkap dalam mitos, agama, ritus, metafisika dan tradisi dan digantinya semua itu dengan sistem kepercayaan yang subjektif-individual. b) berubahnya legitimasi-legitimasi tradisional, diganti dengan bentuk formal hukum kaum borjuis.

Menjelang abad xx, kapitalisme mengubah dirinya menjadi kapitalisme-demokratis (kapitalisme lanjut), sebab kapitalisme liberal yang mengandalkan mekanisme pasar menjadi disfungsional, negara mulai mengadakan intervensi. Jika kapitalisme liberal kerangka kerja institusional didepolitisasikan, dalam sistem kapitalisme lanjut justru mengalami repolitisasi, sehingga politik tidak lagi merupakan superstruktur.[55] Dengan bertambah besarnya peran negara dalam masyarakat, legitimasi tidak didapat dari hubungan produksi, sehingga seakan masyarakat butuh legitimasi kekuasaan politis langsung seperti zaman pra-kapitalis. Tetapi bedanya bila legitimasi kekuasaan tradisional ditentukan oleh tujuan-tujuan praktis (‘hidup yang baik’), pada kapitalisme lanjut ditentukan oleh tujuan-tujuan teknis, yaitu pemecahan masalah-masalah teknis ekonomi masyarakat. Tetapi dalam kapitalisme lanjut, masyarakat tidak diikutsertakan, sehingga menghasilkan depolitisasi massa. Tetapi masyarakat meng-iya-kan karena kekuasaan politis mendasarkan dirinya pada legitimasi teknokratis, dimana ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai ideologi.

Menurut Habermas, depolitisasi massa dan bangkitnya tehnokratis menyebabkan masyarakat kehilangan pemahaman diri yang bereferensi pada tindakan komunikatif dan konsep-konsep interaksi simbolik. Model-model interaksi sosial dan pemahaman-diri masyarakat sendiri diganti dengan model pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, pemahaman terhadap dunia kehidupan sosial diganti denngan reifikasi-diri manusia dibawah kategori-kategori tindakan rasional-bertujuan dan tingkah-laku adaptif. Dan meluasnya tingkah laku adaptif ini menandakan bahwa lingkup interaksi yang dimediasi secara linguistik ditelan oleh struktur tindakan rasional-bertujuan. Kesadaran jenis baru ini yang muncul dalam kapitalisme lanjut disebut Habermas sebagai ‘Kesadaran teknokratis’.

Kesadaran ini, menurut habermas, mencerminkan suatu penindasan atas dimensi etis manusia yang terkait langsung dengan kehidupan sosial politisnya. Usaha-usaha melenyapkan dimensi etis itu paling tanpak dalam cara berfikir positivitas dalam masyarakat Spatkapitalismus (kapitalisme lanjut) yang memuncak dalam bentuk positivisme modern dan ilmu-ilmu sosial yang didepolitisasi. Kesadaran tehnokratis ini berwatak ideologis dan watak ideologisnya ditunjukkan pada penghapusan perbedaan antara yang praktis dan yang teknis. Dengan penghapusan ini, kepentingan praktis manusia ditundukkan dibawah kepentingan teknis. [56]

Inilah kebuntuan jika tidak diupayakan jalan lain yaitu memecah dua tindakan dasar manusia (tindakan rasional bertujuan, kerja dan interaksi sosial, tindakan komunikatif, bahasa). Dengan membiarkan rasionalitas tujuan jalan (akan membebaskan manusia, dengnan kemudahan-kemudahan, asal tidak menghilangkan tindakan dasar manusia lain) komunikasi. Dengan komunikasi yang bebas dari penindasan, menghilangkan perintang-nya, maka rasionalisasi menjadi mungkin[57], bila tidak maka akan buntu. Rasionalisasi jadi mitos dan ideologi.

Jika rasionalisasi dalam bidang kerja telah menyebarkan rasio instrumen, proses rasionalisasi dalam bidang interaksi akan menumbuhkan ‘rasionalitas komunikatif’ diatas rasionalitas tujuan atau rasionalitas instrument.

Kritik atas Materialisme Sejarah

Kesalahan marx sebagai anak zamannya, menganggap hanya kerja satu-satunya tindakan dasar manusia. Dengan pengandaian ini maka masyarakat sebagai proses-proses produksi dan memandang sejarah sebagai tahap-tahap perkembangan cara-cara produksi. Makanya keluarlah materialisme sejarah. Padahal kata habermas ada dua hal tindakan dasariah manusia yaitu kerja dan komunikasi (bahasa). Kerja dan bahasa itu lebih tua dari manusia dan masyarakat, kata Habermas.[58]

Dalam versi Marx ortodoks, dikenal 5 cara produksi yaitu 1) cara produksi komunis primitif, 2) cara produksi masyarakat perbudakan, 3) cara produksi feodal, 4) cara produksi kapitalis, 5) cara produksi sosialis sebagai puncak perkembangan. Rentangan kemajuan ini tahap, demi tahap dan niscaya, tidak dapat diganggu dan unilinier, dan proresif. Proses evolusi sosial ini merupakan proses yang objektif dan proses ini sama sekali tidak ditentukan oleh suatu species-subjek yang mengalami evolusi itu. Dalam pandangan ini yang mengalami evolusi adalah masyarakat sebagai suatu entitas objektif dan manusia sebagai subjek yang bertindak tidak memiliki peran apa-apa dalam proses tersebut. Individu ditelan oleh kolektivisme masyarakat. Subjek sebagai agen perubahan ditiadakan.[59]

Habermas berpendapat bahwa proses evolusi sosial terjadi dalam dua dimensi, yaitu proses perkembangan kekuatan-kekuatan produksi yang tergantung pada penerapan pengetahuan yang dapat dikelola secara teknis dan proses perkembangan pranata-pranata yang tergantung pada pengetahuan moral-praktis. Proses evalusi tidak hanya ditentukan oleh kemajuan-kemajuan ekonomi melainkan juga oleh tafsiran-tafsiran budaya mengenai apa yang dimengerti sebagai ‘hidup yang baik’ dan ingin diwujudkan dalam politik.[60]

Basis bahwa infrastruktur menetukan suprastruktur marx, dikritik oleh Habermas. Habermas mengatakan antara basis dan struktur, dan keadaan politik yang ditentukan oleh keadaan ekonomi hanya benar dimasyarakat kapitalisme. Dimasyarakat primitif tidak seperti itu (ditentukan oleh sistem kekerabatan), dimasyarakat feodal (ditentukan oleh kekuatan politik). Jadi apa yang dianggap ‘basis’ atau faktor dominan masyarakat selalu berubah dalam sejarah.[61]

Habermas mengatakan, setelah mengkritik dan menelanjangi marx, bahwa diperkenankannya suatu integrasi sosial tertentu memerlukan pengetahuan moral-praktis dan bukan pengetahuan teknis. Dengan kata lain, tidak hanya produksi melainkan sosialisasi merupakan faktor pokok integrasi sosial. Dengan kata lain kata Habermas, perkembangan kekuatan-kekuatan produksi bukanlah mekanisme penghasil masalah yang akan menjungkir-balikkan hubungan-hubungan produksi, melainkan hanyalah mempengaruhinya. Dalam hal perubahan bentuk hubungan-hubungan produksi itu, sosialisasi juga merupakan unsur yang penting.[62]

Kita dapat mengatakan bila semuanya adalah proses belajar spesies menuju ke yang lebih baik, maka perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, juga diikuti dengan perkembangan kesadaran moral-praktis yang menentukan struktur interaksinya. Perkembngan keduanya merupakan faktor penting bagi integrasi sosial, sehingga bila tidak terjadi keseimbangan, maka krisis sosial akan terjadi. Krisis ini tidak hanya diatasi dengan insight pengetahuan teknis melinkan terlebih dahulu diatasi dengan insight pengetahuan praktis yang menyangkut alam internal manusia yang tidak tunduk pada hukum-hukum objektif. Ada tambahan satu lagi yaitu sistem kekuasaan, yang dapat mengendalilkan dan mengarahkan perubahan-perubahan dua dimensi diatas.

Jadi dalam perkembangan masyarakat menurut habermas adalah; Kerja, interaksi dan kekuasaan. Atau rasionalisasi teknis dalam kerja, rasionalisasi praktis dalam dimensi interaksi dan rasionalisasi sistem dalam kekuasaan.



[1] Francisco Budi Hardiman, “Kritik Idiologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan”, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal 20-21.

[2] Ibid, hal 21

[3] Lihat, Antony Gidden (ed), “Positivism and Sosiologi”, London, Heinemann, 1975, hal 3-4. F.B. Hardiman, Ibid, hal 24.

[4] Lihat salah satu pernyataan mereka, dalam V. Kraft, ”The Vienna Circle: The Original of Neo-Positivism”, New York, Greenwood Press, 1979, hal 160-161. Lihat juga Hardiman, catatan kaki no 5 dan 6, hal 25.

[5] Walaupun demikian kita tidak menutup kemungkinan keyakinan bahwa ada keyakinan dalam diri setiap manusia untuk memperlakukan sesuatu sebagai sama atau tetap. Bila tidak maka hakekat “ilmu” sulit akan diambil. Generalisasi harus dimungkinkan walau dengan kadar kediterimaannya berbeda antara ilmu social dan alam [Muhammad Alwi].

[6] Latar belakang histories dan teoritis sekolah (madzab) Frankfurt, lihat Sindhunata, hal 20-25.

[7] Lihat Habermas, “Theory and Practice”, London, Heinemann, 1971, hal 10-13, juga hal 195. Hardiman hal 30.

[8] Hardiman, hal 30. Sindhunata, hal 15. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa Teori Kritis berupaya untuk juga menerima keumumum hukum-hukum, tetapi tidak menafikkan bahwa kepastian dari tidak jelas, sebab dalam setiap pengamatan, bias ‘unik’ tidak sama dengan sebelumnya, sehingga dengan mudah digeneralisasi. Campuran filsafat (deduksi-pasti, apriori) dan sosiologi (induksi, probability dan posteori).

[9] Kritik Imanen banyak dilakukan oleh T.W Adorno, sedangkan kritik Transendental banyak dilakukan oleh Habermas. Lihat R Geuss, “The Idea of a Critical Theory”, Cambridge, Cambridge University Press, 1981, hal 63-65. Hardiman, catatan kaki no 14, hal 30

[10] Lihat perbedaan cara pandang kaum tradisionalis ‘agama’ dan kaum modernis-liberal. Yang pertama melihat fakta agama (sejarah tertulis, syariah, figh, madzab hadist dst diandaikan ‘kepastian’ kebenarannya (kecendrungan mentransendentalkan hal-hal itu), padahal dalam sejarah juga ‘sangat terlihat mencolok’, bahwa itu semua ‘juga’ dipengaruhi oleh factor social-politik-psikologis penyususnnya, penguasa saat itu dst. Sedangkan kutub lain (modernis-liberal), semua itu adalah sejarah empiris (sehingga meninggalkan hal-hal yang berupa keyakinan, agamis). Contoh; Muhammad (fakta sebagai manusia biasa dan nabi), kemuadian al Quran (fakta sebagai diterima oleh nabi manusia, dikumpulkan dengan problematika sejarah pengumpulannya dan keyakinan sebagai Wahyu dari Tuhan dst). lihat bab-bab selanjutnya (terutama bab 6, Hermeneutika dan Liberal).

[11] Saintisme adalah science’s belief in itself, yaitu kita tak lagi dapat memahami ilmu pengetahuan sebagai salah atu bentuk pengetahuan, melainkan menyamakan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan

[12] Emansipatoris adalah pembebasan dari alamiahan manusia maupun dari rintangan yang dibuat oleh manusia sendiri. Sindhunata, hal 16.

[13] Baik agama (kepercayaan, tafsir mainstream, orthodoxy), Negara (dengan kekuasaan, pembatasan media dst), juga Opini-informasi (dengan jargon demokrasi, kebebasan pers, ternyata pers, media, dikuasai para pemodal, yang tolok ukurnya untung-rugi, akhirnya opini merekalah yang menjadi kebenaran-umum, public-opini).

[14] Sepertinya itu indah, tetapi lihat keraguan problem semua komunikasi-nya Sartre (“orang lain adalah neraka”). Juga lihat teori-teori komunikasi publik dalam bukunya Walter Lippmann, ”Public Opini”, Yayasan Obor, Jakarta, 1991. Bagaimana opini-umum terbentuk, direkayasa dll. Bahkan Habermas sendiri dengan ketus (tidak perlu ”mengetahui banyak”) berfikir negatif tentang Islam dan yang bersimpatik padanya (kasus Salman Rusdhi). Lihat Pengantar Haidar Bagir, dalam buku Annemarie Schimmel, ”Rahasia Wajah Suci Ilahi”, Mizan, Bandung, 1996. Hal 10.

Habermas benar, bahwa ‘Demokrasi kebenaran’ (bahasa saya) harus diupayakan, tetapi bagaimana itu dilakukan, ini problemnya, sehingga ‘Benar yang benar’ dapat keluar dalam realitas-masyarakat, bukan ‘kebenaran’ yang diopinikan, bukan kebenaran karena kebetulan ditulis dalam ‘Teks-teks standart agama’, buku pegangan univ ternama dst.

[15] Buku bahasa Indonesia yang digunakan untuk ini adalah, Francisco Budi Hardiman, “Kritik Idiologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan”, Kanisius, Yogyakarta, 1990 (dominan), Hardiman, “Menuju Masyarakat Komunikatif, ilmu, masyarakat, politik, posymodernisme menurut Jurgen Habermas”, Kanisius, Yogyakarta, 1993. Franz Magnis Suseno, “Filsafat sebagai Ilmu Kritis”, kanisius, Yogyakarta, cet-II, 1993. Sindhunata, “Dilema usaha Manusia Rasional, kritik masyarakat modern oleh max Horkheimer dalam rangka sekolah Frankfurt, monograf, Gramedia, 1983.

Karangan asli, Jurgen Habermas, “Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi’”, LP3ES, Jakarta,, 1990. Merupakan kumpulan Atikel dari Habermas yaitu; labour and interaction : Remarks on hegel’s Jena Philosophy of Mind, Knowledge and teknologi as ideology, Knowledge and human interest dll. Jurgen Habermas, “Legitimation Krisis”, Qalam, Yogyakarta, 2004. Max Horkheimer dan Theodor Adorno, “Dialektika Pencerahan”, IRCiSoD, Yogyakarta, 2002. Herbert Marcuse, “Manusia Satu Dimensi”, Bentang, Yogyakarta, 2000.

[16] R. Roderick, “Habermas and Fundamentals of Critical Theory”, London, Macnillan, 1986, hal 35. Hardiman hal 41. Reifikasi, seperti hubungan-hubungan industri dan distribusi menentukan hubungan-hubungan antar manusia, pranata-pranata yang dibuat dst.

[17] Salah satu pengertian kritisisme yang dihasilkan Kant, yaitu Kant mampu menunjukkan bahwa pengetahuan tidak ditentukan objek, tetapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu, tapi kant belum mampu menemukan bahwa pengetahuan subjek itu menyejarah. Nanti ini diteruskan oleh hegel. Sindhunata hal 31. Hardiman hal 47.

[18] Kritisisme lain dari Hegel adalah bahwa berfikir secara kritis adalah berfikir secara dialektik. Lihat lengkap Sindhunata, hal 33-40. Hardiman, hal 48-49.

[19] Lihat untuk melengkapi pemahaman tentang pemikiran Karl Marx dalam Appendiks.

[20] Lihat lengkap dalam Franz Magnis Suseno, “Pemikiran Karl Marx”, Gramedia, Jakarta, 1999. Hardiman hal 50, Sindhunata, hal 40.

[21] Lihat lengkap dalam bab 3 dan 4

[22] M. Horkheimer, “Critical Theory”, New York, The Seabury, 1985, hal 188-243. Hardiman hal 54. Ciri teori tradisional; Ia netral terhadap fakta diluar dirinya. Ia berpijak pada ilmu pengetahuan dan ia memisahkan teori dengan fakta karena memandang fakta hanya secara lahiriah. Dengan 3 hal itu Horkheimer, memandang teori tardisional bersifat ’ideologis’. Secara lengkap lihat, Sindhunata, hal 74-78.

[23] Hardiman, hal 56. dikaitkan dengan Islam, lihatlah buku-buku agama yang sampai sekarang dianggap ‘murni benar’, tidak pernah dianalisa, suasana psikologi-sosial, ekonomi-politik-kultural kapan, siapa, untuk apa teks-teks klasik itu ditulis, disebarkan dst.

[24] Dengan induksi sebagian mengklaim hukum universal. Bahkan mencoba memaksakan menerapkan diluar kontek populasi penarikan kesimpulannya. Fakta lain itu bisa ‘unik’ tidak mesti serupa dengan populasinya dst.

[25] Kita lihat klaim mereka; Yang bekerja pada teori tradisional adalah prinsip identitas, dimana jika “a” benar, maka “non-a” pasti salah. Cara berfikir identitas adalah a=a atau a ≠ non-a. Pikiran ini hanya mencocokkan dirinya dengan fakta dan dengan cara itu fakta tetap teguh dan tidak berubah. Sebaliknya teori kritis memakai pikiran dialektik. Bagi teori kritis, kontradiksi “a” bukanlah “non-a”, melainkan “b”, “c’, “d” dst. Dengan cara ini fakta dicurigai dan tidak dibiarkan. Teori bermaksud mengubah fakta, maka suatu identitas subjek-objek tidak tercipta dimasa kini melainkan dimasa depan. Lihat H. Held, “Introduction to Critical Theory: Horkheimer to habermas”, London, Hutchinson, 1980, hal 178. Hardiman catatan kaki no 49, hal 57. atau kita bisa contohkan lain; dalam berfikir deduksi (jelas berfikir ontologis dan tidak beranjak pada dunia empiris), yang sulit dilakukan di ilmu-ilmu sosial. Ilmu sosial umumnya dibangun dari induksi. Dengan melihat fakta-fakta lalu menarik kesimpulan sebagai hukum atau postulat. Hukum-hukum itu lalu dideduksikan untuk menghukumi atau melihat fakta-fakta selanjutnya. Artinya waktu mencoba untuk menghasilkan hukum, ilmuwan hanya mengambil sampel tertentu (walau mungkin sangat banyak), kemudian digeneralisasi (abstarksi dll) keluarlah hukum. Misalnya fakta 1, 2, 3, x, y, z dst....menghasilkan hukum A. Mengapa kalau ada fakta baru misalnya 11, 13, c, d, k....tetap menggunakan Hukum A sebagai cara melihatnya, menghukuminya dst. (Disinilah ilmu-ilmu tradisional terkena klaim-klaim horkheimer diatas 1,2,3). Padahal sangat mungkin fakta 11, 13, c, d,k itu menghasilakn hukum lain misalnya B. Ini artinya teori tradisional tidak saja tidak kritis dengan fakta-fakta yang awwal (sebagai penghasil hukum pertama), lebih para lagi teori ini dengan fakta yang tidak dikritisi itu, memaksakan dan digunakan untuk menghukumi, melihat fakta-fakta lainnya. Disinilah status Quo, represi dll terjadi. [Muhammad Alwi]

[26] Horkheimer menyatakan ketidak netralan itu yaitu ingin membebaskan manusia dari perbudakan dan memulihkan manusia sebagai subjek yang mengelola sendiri kenyataan sosialnya. Dalam teori kritik terdapat utopia tertentu (karena ingin mengarah kekeadaan idealnya), karena ketidak netralannya inilah yang membedakan teori kritis dengan tradisional yang hanya berurusan pada fakta melulu dan masa kini. Demikian juga Marcuse menyatakan bahwa kemampuan prediksi masa depan teori tradisional tidak sama dengan ‘berfikir kemasa depan’ (teori kritis) karena teori ini menyingkirkan berbagai imajinasi kreatif (semuanya sudah final, seperti klaim The End History, The End of Knowledge dll). Klaim teori kritis ini menjadi terdapat beberapa celah yang mesti didiskusikan, sebab garis kedepan tertentu (pasti memiliki acuan) dan ini bisa jadi salah (teori kritis sadar itu), acuan itu dari mana? Kecuali mereka menjawab, yang penting harus, kalau sekarang “a” dan itu dirasa jelek, represi dll, maka akan diupayakan “non-a”. jelas non-a itu bisa b, c, d dst. lalu apa kriterianya? dst… ini kelebihan dan sekaligus hal yang mesti didiskusikan lebih lanjut pada teori kritis.

[27] Ini dijelaskan dengan berbagai filsafat mulai dari Nietsche (yang mengatakan Tuhan telah mati, otoritas apapun tidak ada, yang ada adalah subjektivitasmu sendiri. Jangan berpegangan pada apapun kecuali pada mu, mu sendiri) dst.

[28] Lihat G. friedman, “The Political philosophy the Frankfurt School”, Ithaca and London, Cornell University Press, 1981, hal 111. Hardiman hal 61.

[29] Horkheimer dan Adorno, "Dialectic of Enlightenment (dialektika pencerahan) ”, London, Allen lane, 1973, hal 9.

[30] Hardiman, hal 62.

[31] Horkheimer dan Adorno, op cit, hal 16. ini akan salah besar bila diterapkan dalam bidang agama, sebab agama, harus ada sesuatu ‘misterium’ (apalagi Tuhan). Tanpa misterium, maka semuanya menjadi rasional (terkalkulasi). Kejutan, kepercayaan, iman, hal-hal ekskatologis menjadi hilang sama sekali.

[32] Kita bisa lihat bagaimana rapid an canggihnya logika formal Aristoteles, logika Matematik lewat Kalkulus dst, tetapi ini hanya formal belaka, tidak mengindahkan bagaimana isinya. Tidak kritis terhadap fakta yang ada. Contoh umum dalam logika adalah; A = Semua yangn ada ciptaan Allah, B= Kejahatan itu Ada, maka C= Kejahatan ciptaan Allah. Secara urutan logikanya benar, tetapi isinya salah.

[33] Ini bias kita lihat diskusi pendekatan Tujuan atau Proses. Banyak yang bersikeras proseslah yang penting, tujuan nanti akan menghasilkan dengan sendirinya. Birokrasi sangat cocok dengan contoh disini. Peniruan prilaku sesuai dengan prosedur, tidak perlu lagi berfikir mengapa harus seperti ini atau itu. Tehnologi pendidikan, prosedur kepangkatan, prosedur demokrasi dll.

[34] G. Friedman, op cit, hal 130-134.

[35] Hardiman, hal 65-66.

[36] K. Berteens, “Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman”, Jakarta, Gramedia, 1983, hal 203.

[37] Kita bias lihat ini dalam hubungan antara Kebutuhan Manusia dan Keinginan-nya. Keinginan itu dapat terekayasa, dan memang ini bidanng rekayasa. Iklan dll yang mempengaruhinya. Ini kita bisa hubungkan bagaimana karena lengkapnya ilmu dan tehnologi akhirnya kita ”Terhegemoni” kata Gramsci. Atau kita terkena ”Budaya Bisu” kata Paul Friere, pendidik Marxian. Paulo Freire, "Pendidikan Kaum Tertindas", LP3ES, 1995. (Dengan budaya bisu artinya, kita tidak lagi mengetahui mana yang kita maui dan mana yang kita tolak, karena ”kitadak-tahuan” kita. Karena lengkapnya Hegemoni (kata Gramsci). Lihat Walter Lippmann dalam ”Opini Umum”, Yayasan Obor Jakarta. Dimana Demokrasi artnya suara mayoritas, suara rakyat, opini umum, padahal opini itu sudah ditentukan oleh penguasa tehnologi informasi dan pengusaha-pengusaha besar dst. Untuk Herber Marcus, lihat One-Dimensional Man, studies in the ideologi ao Advenced Industrial Society”, Beacon Press, Boston, 1964. Terj Indonesia, Manusia satu Dimensi, Bentang, Yogyakarta, 2000.

[38] Hardiman, Op cit, hal 68.

[39] Inilah kejengkelan barat yang tak tertahankan terhadap Islam, sebab Islam mengembangkan system tersendiri (bukan hanya politisi Islam, tetapi islam sendiri sebagai agama, memiliki system yang ‘menentang’ system mereka). Lihat saja irasionalitas barat terhadap fenomena Jilbab-Islam (Jilbab dilarang keberadaannya di sekolah dan kantor-kantor di Prancis, sementara pakaian adat apapun dari India, afrika dan bikini, pakaian adapt barat tidak bermasalah). Sebab fenomena Jilbab itu, akan menghancurkan sistem mereka. Dengan Jilbab sekadar contoh, banyak produk barat akan tidak laku (pemutih, pembersih kulit, kaus tipis sampai kepaha wanita, stocking, sampo-sampo dst tidak akan semarak dst). TV al Manar (milik Hizbullah) dilarang tayangannya di AS dan sebagian Eropa. Dst...dst bisa diperpanjang.

[40] Hardiman, ibid, 69. kita bisa lihat bagaimana karena kebutuhan, pengejaran kebutuhan karena diciptakan oleh iklan dst akhirnya masyarakat tidak lagi punya peluang untuk berfikir refleksi atau dalam bahasa lain mencari makna. Belum satu selesai, keluar kebutuhan lainnya, kenikmatan bertubi-tubi dan terus, masal. Kita lihat bagaimana UU keharusan menerima peristiwa Holocoust (pembantaian yahudi) wajib diterima, bila tidak maka akan dihukum penjara dll. Bahkan dalam tingkatan akademikpun. Perlawanan terhadap system tidak ditoleransi sama sekali. Mungkin ini menjelaskan mengapa kebutuhan Barat terhadap penguasaan dunia Timur (Islam), karena yang terakhir ini tetap tidak mau tunduk, bahkan ingin memberikan alternatif sistem lain. Kasus Iraq, Abu Quraib dll tetap bukan hal penting dalam masyarakat satu dimensi. Mereka kalah dengan opini umum (rekayasa), kebutuhan dan kenikmatan bertubi-tubi, sehingga tidak ada ruang kosong untuk mengkritisi sistem keyakinan (ideologi) nya. Dengan sistem yang sedemikian rapi dan melalui pola produksi dan konsumsi yang sedemikian manipulatif, anggota masyarakat tidak merasakan kebutuhan untuk perubahan sosialnya. Lihat ”Budaya Bisu”-Pul Freeire diatas.

[41] Terjemahan dalam bahasa Idonesia, Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, ”Dialektika Pencerahan”, IRCiSod, Yogyakarta, 2002 (sayang sekali terjemahannya dari Inggris kurang baik).

[42] Franz Magnis Suseno dalam kata pengantar Sindhunata, “Dilema Manusia Rsional”, Gramedia, Jakarta, 1983, hal xxiv.

[43] Hardiman, hal 71-74. Saya pribadi meragukan konsep ini, sebab komunikasi tidak akan menghasilkan kebebasan, sebab pertama; hegemoni total karena alat-alat produksi (kekuasaan) dan informasi, Gramsci yang merupakan sarana komunikasi. Dengan itu keluarlah ”budaya bisu” yang jelas bukan merupakan kebebasan. Bagaimana seorang berkomunikasi, apa tujuan, jelas untuk tujuan tertentu dan diset oleh faktor-faktor tertentu. Lihat budaya bisu dalam Paul Freiree, ”Pendidikan Kaum Tertindas”, LP3ES. Disinilah kita harus keluar atau mencari jalan lain dari ”Modernitas”.

[44] Hardiman, hal 78. Disini menurut saya agak aneh, seakan interaksi itu dapat dilepaskan dan melepaskan dari unsure-unsur alat produksi dan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan tehnologi. Seakan supra-struktu dapat ”berbeda atau dibedakan” dengan infrastruktur. Saya agak pesimis dengan ini.

[45] Hardiman, 81.

[46] Ini nampak aneh sekarang, setelah komunisme Soviet hancur. Disamping itu menurut kami [Muhammad alwi], kapitalisme dapat seperti itu (mensejahterakan anggotanya) walau dengan kondisi yang tidak ’memungkinkan’ sebenarnya, itu karena adanya negara ketiga, dimana keuntungan produksi dapat diambil dari sana. Seandainya itu tidak terjadi, maka eksploitasi akan sangat besar di negara-negara kapitalisme lanjut. Dan ramalan Marx mungkin tidak gagal seperti saat ini.

[47] J. Habermas, “Theory and Practice”, London, Heinenmann, 1974, hal 28. Ini “utopis” menurut saya [MA], sebab komunikasi mengandung pengandaian-pengandaian, dan kata Sartre ini tidak akan cukup ’mencerahkan’. Karena dalam komunikasi ‘umum’, komunikan pasti mengobjekkan komunikan lain, diinginkan empati, simpati itu sangat utopis, apalagi Habermas sendiri sudah menyepakati bagaimana kritik-kritik Horkheimer, Adorno dan Marcuse pada Kapitalisme Lanjut karena Positivisme Ilmu pengetahuan dan teknologi dst. Bagaimana dengan motor pembentuk opini-publik dalam demokrasi? Jalan consensus kata Habermas itu ( = suara mayoritas = public opini). Lemah sekali upaya ini menurut saya. Kecendrungan idelisme nampak kuat disini.

[48] Agnes Heller, “Habermas and Marxism”, dalam J.B Thompson (ed), Critical Hermeneutics: A Study in the Thought of Paul Ricour and Jurgen Habermas, Cambridge, Cambridge University Press, 1981, hal 26.

[49] Hardiman, 84. Agak naïf menurut saya [MA], sebab dalam Negara demokratis saja, supaya ada ‘keadilan, tidak ada pelanggaran kekuasaan dll’ maka kekuasaan Trias politika dipisah dan saling independent. Bagaimana komunikasi diharapkan, seakan tidak melihat kepentingan, seakan manusia itu murni rasional dan tunduk pada argumentasi, dan seakan argumentasi itu tidak sarat akan kepentingan, sehingga benturan argumentasi itu sebenarnya benturan kepentingan. Bagaimana bila kekuatan-kekuatan politik itu tidak imbang kekuatannya, satu dominant (dengan perangkatnya) satu inferior (walau dengan argumentasi baik). Tidakkah realitas empiris kebenaran itu tidak seindah itu? Yang benar yang diterima. Dst. Jelas Habermas disini makin idealistik, transendental. Meninggalkan jauh yang diinginkan Marx.

[50] Habermas, Op cit, hal 30. habermas menganggap psikoanalisa sebagai teori ilmiah praxis. Dimana pemahaman akan makna itu terjadi di dalam dialog-dialog komunikatif antara analisis dan pasiennya. Karena bermaksud menafsirkan makna-makna yang tersembunyi, Habermas menganggap psikoanalisa sebagai ’Hermeneutika Dalam’ (Tiefenhermeneutik). Dengan menafsirkan makna-makna simbolik yang tersembunyi antara pasien dan analisnya, psikoanalisis dapat menyingkirkan kendala komunikasi, yaitu distorsi-distorsi. Hebermas dengan ini melengkapi ’Perbincangan rasional’ nya dengan Lingustic-Analisis. Dua tambahan yaitu disampin Psikoanalisis juga Linguistic-Analisis ditambahkan selain Marxisme untuk teori kritisnya.

[51] A. Gidden, Labour and Interaction, dalam J.B. Thompson, (ed), op cit hal 149-150. Hardiman, hal 86.

[52] J. Habermas, “Toward a rational Society”, London, Hainemann, 1971, hal 91-92.

[53] Ibid, hal 92.

[54] Hardiman, hal 91-92.

[55] Habermas, “Toward a Rational Society”, London, Haienemann, 1971, hal 101. Habermas, “Theory and Practice”, hal 195. Hardiman, hal 95.

[56] Hardiman hal 95-96.

[57] Habermas, Toward a Rational Society, hal 118. Hardiman 97-98

[58] Habermas, Ibid, hal 137.

[59] Hardiman, hal 101.

[60] Disini mengandaikan bahwa tidak adanya ‘deterministik ilmiah’ baik psikologi, filsafat, genetika dll. Sebab tafsiran-tafsiran budaya, ’cara berfikir’, sebagian pemikir juga diandaikan dipengaruhi anak zamannya, yang artinya adalah perkembangan rasional tujuan, yaitu ekonomi. Bila ini dipercaya, maka determinisme-sejarah Marx akhirnya konklusinya.[MA].

[61] Hardiman hal 102. Menarik melihat uraian mirip ini, dalam Ali Syariati, “Sejarah Masa Depan”, Jurnal Ulumul Qur’an.

[62] Kami sepakat dengan ini, walau dengan meletakkan unsur sosialisasi lebih rendah dari unsur teknis, pengaruhnya, secara umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar