Laman

Minggu, 21 Maret 2010

(2) Filsafat Psikologi (Fenomenologi dan Eksistensial)

PENGANTAR FILSAFAT “AKU” (EKSISTENSIALIS)

A. PENGANTAR

Filsafat adalah pengatahuan yang mencari tahu sedalam-dalamnya. Sehingga ia sebenarnya melebihi Ilmu dalam mengatahui sesuatu sekalipun dalam kedetailannya mungkin dibawah ilmu. Jasper mengatakan: “ orang yang mau berfilsafat harus mulai dengan mempelajari ilmu-ilmu. Baru bila ilmu-ilmu itu telah mencapai batas-batasnya maka mulailah tugas filsafat.”[1] Bertrand Russel juga mengatakan: “Seorang akan merupakan filsuf yang menyedihkan belaka, jika tidak mengetahui azas-azas, metode-metode serta pengertian-pengertian yang bersifat umum dari ilmu, pada masa hidupnya.”[2] Ini penting karena akan sangat memalukan bila dengan spekulasi sebagai metode filsafat lalu kita mengatakan hal-hal yang sudah jelas-jelas “dibuktikan” oleh ilmu (tidak berarti ilmu itu pasti benar).

Sebagai penjelas kita berikan beberapa contoh antara lain: menjawab pertanyaan; Apa materi/penyusun terkecil alam ini? jawaban ilmu lewat fisika, kimia adalah; materi terkecil itu adalah atom, elektron, neutron, quark dan lain-lain. Jawaban ini sudah memuaskan para ilmuwan, tetapi akal (filosofis) kita tetap bisa bertanya secara logis, pertanyaan ini adalah; quark itu kan punya ukuran, panjang, lebar, tinggi (sebab menurut penjelasan ilmu fisika, kimia, quark itu seperti kelereng sangat kecil). Disini kita dapat bertanya, bahwa apapun yang punya sisi kanan-kiri, punya ukuran, dan yang punya ukuran pasti bisa dibelah/dipecah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Dengan kata lain itu semua (baca: quark itu) bukan bagian terkecil secara filosofis, sebab dia bisa dibelah. Lalu apa? kami tidak ingin mendiskusikannya disini.[3]

B. DEFINISI DAN PENGERTIAN[4]

Eksistensi, Inggris: existence; dan bahasa Latin existere (muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual), dani ex (keluar) dan sistere (tampil, muncul).[5]

Beberapa Pengertian

1. Apa yang ada.

2. Apa yang memiliki aktualitas (ada).

3. Segala sesuatu (apa saja) yang dialami. Menekankan bahwa se­suatu itu ada. Berbeda dengan esensi, yang menekankan ke-apa-an sesuatu (apa sebenarnya sesuatu itu sesuai dengan kodrat inherennya).

4. Lebih jauh, eksistensi (esse) adalah kesempurnaan. Dengan ke­sempurnaan ini sesuatu menjadi suatu eksisten (ens).

EKSISTENSIALISME

Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam-macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Timbulnya eksistensialisme, sebagai filsafat, merupakan reaksi atas pandangan mengenai dunia yang terlalu optimistik tetapi dangkal dan terlalu yakin akan kemajuan. Ia bangkit dengan pandangan pesimis tentang dunia (walau tidak semua seperti itu).

1. Sebuah gerakan filsafat penentang esensialisme. Pusat perhati­annya adalah situasi manusia. Eksistensialisme teistik biasanya dianggap berawal dari Kierkegaard dan eksistensialisme ateistik dari Nietzsche.

2. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pandangannya relatif modern dalam filsafat, walaupun akar-akar historis sudah ada dalam filsafat Yunani dan filsafat Abad Pertengahan. Sejak awal fil­safat ini sering dikaitkan dengan Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche.

3. Pandangan yang menyatakan bahwa eksistensi bukanlah obyek dari berpikir abstrak atau pengalaman kognitif (akal pikiran), tetapi merupakan eksistensi atau pengalaman langsung, bersifat pribadi dan dalam batin individu. Ditegaskan dalam aliran ini bahwa eksistensi mendahului esensi.

4. Sikap dan pandangan dalam filsafat, teologi dan seni yang menekankan penderitaan, atau rasa gelisah manusia, serta me­nekankan eksistensi manusia dan kualitas-kualitas yang me­nonjol bagi pribadi-pribadi dan bukan kualitas manusia yang abstrak atau alam atau dunia secara umum.

5. Beberapa ide pokok dari aliran ini dalam mempertahankan ke­dudukan manusia: a) pemikiran hendaknya bertitik tolak dan mempertahankan antitesis antara subyek dan obyek. Manusia sebagai subyek tidak menjadi obyek pemikiran. Manusia sebagai subyek tidak dapat menjadi obyek penyelidikan dan manipulasi praktis seperti yang dibuat oleh kaum rasionalis. Kaum eksis­tensialis menolak pula pandangan ilmiah tentang manusia, yang dijadikan sebagai titik personal. b) Kebebasan berarti manusia tidak menjadi obyek yang dibentuk di bawah pengaruh keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dunianya de­ngan tindakan dan perbuatannya. Seorang manusia bebas meng­ambil tanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, dan tidak membenarkan diri berdasarkan hal-hal sekitarnya. Karena itu manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah.

Tujuan Eksistensialisme

Eksistensialisme bertujuan a) mencoba menjawab pertanyaan ba­gaimana manusia seharusnya hidup sesudah ilusi tentang ke­bebasannya hancur berantakan oleh mala petaka yang begitu ba­nyak dalam sejarah. Bencana historis menghancurkan ilusi tentang kebebasan manusia. b) melawan pandangan-pandangan yang menempatkan manusia pada tingkat impersonal atau abstrak. Eksistensialisme bereaksi terhadap rasionalisme zaman pencerahan, dan filsafat Jerman, Kantianisme, dan positivisme yang menyebar luas pada akhir abad ini.

Ciri Pokok Eksistensialisme

Ada beberapa ciri yang dimiliki bersama kaum Eksistensialisme, di antaranya:

a) Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksis­tensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ada pada manusia, karena itu bersifat humanistis.

b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi ber­arti menciptakan dirinya secara aktif Bereksistensi berarti ber­buat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari ke-ada-annya.

c) Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih pada sesama manusia.

d) Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkret, pengalaman eksistensial.

Beberapa Filosof Eksistensialis[6]

Soren Keirkegaard

SK lahir di Kopenhagen 5 mei 1813 sampai 11 Nopember 1855. Ia mengatakan; hidup bukanlah sekadar suatu sebagaimana kita fikirkan, melainkan sebagaimana kita hayati. Makin menghayati hidup, hidup makin bermakna. Hidup zamanya banyak kesemuan, karena kita katanya; sering bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Pada zamannya adalah zaman kejayaan Ilmu Pengetahuan dieropa (abad 19). Sehingga apapun yang benar, harus terukur, universal, dinyatakan dengan rumus-rumus umum.

Zaman yang seperti itu ditantang oleh SK dengan mengatakatan; bukankah yang lebih penting mengakui kenyataan, bahwa pangkal tolak segala pengamatan adalah manusianya; yaitu manusia sebagai kenyataan subjektif? SK berpegang pada subjektivitas manusia, manusia individu sebagai pangkal segalanya.

Dalam Either/Or SK mengatakan; yang kongkrit dan nyata adalah apa yang individu dan subjektif, bukan apa yang dipukul rata dan objektif. Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksperimental. Apapun yang diambilnya tak pernah ia mantap dan sempurna.

Yes, I perceive perfectly that there are two possibilities, one can do either this organisasi that.[7] Ya sejak semula saya menyaksikan bahwa ada dua kemungkinan, seorang hanya bisa melakukan Atau ini, Atau Itu (Either, or).

Tidak bisa dihindari, dalam kenyataan kita selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan, lagi-lagi berkisar pada penghayatan filsafat kehidupan, kita hanya terpusat pada proposisi, “Aku hanya berkata Atau ini, Atau itu.

Setiap orang harus lebih dulu menetapkan bagi dirinya: siapa dia, lalu memutuskan ingin jadi apa dia, barulah kemudian ia bertindak sesuai dengan pilihannya yang telah diungkapkan sebagai keputusan baginya. Pilihlah sesuatu (baik/buruk), lalu melangkah dan hiduplah dengan pilihanmu sendiri, dengan kebebasanmu dan bertanggungjawablah dengan itu.

SK tidak suka orang yang hanya membicarakan agama, tahu agama, menurut SK yang penting bukan agamanya tapi bagaimana menjalani suatu eksistensi beragama. Tuhan tak mungkin ditempuh melalui logika yang abstrak, kedekatan dengan tuhan adalah penghayatan eksistensial. Tuhan sebagai kebenaran yang dihayati adalah subjektif, Adanya tuhan adalah kepercayaan, dan kepercayaan kepada tuhan tidak bisa diobjektifkan.

Dalam salah satu krikikannya terhadap budaya massa dia mengatakan; sekarang terjadi proses penyamarataan, ini bukan akibat tindakan seseorang, tetapi hasil dari tangan-tangan kekuatan abstrak. Berjuang melawan pangeran-pangeran dan paus-paus adalah ringan. Dibandingkan dengan pertarungan melawan massa, tirani kesamaan, melawan kedangkalan, omong kosong, ketiadaan asas-asas serta kebinatangan. Dalam massa itu pribadi terasing dari dirinya sendiri, mengalami alienasi diri, dan tidak menjalani eksistensinya secara sejati.

Dalam massa atau kolektivitas yang menyamaratakan itu, manusia bukan saja dirampas ketunggalannya, akan tetapi juga direduksikan sekadar menjadi suatu fraksi, dan bahkan menjadi berkuranglah kesadaran tanggung jawab.

Kata SK; “Becoming subjective is the task proposed to every human being…“. Menjadi subjektif adalah tugas yang dihadapkan pada setiap individu”.

Setiap orang kata SK adalah campuran dari Ketakberhinggaan dan Keberhinggaan[8]. Manusia adalah gerak kepada Allah dan sekaligus terpisah dari Allah. Manusia hidup dalam dua dimensi; keabadian dan waktu, dan keduanya bertemu pada “saat”. Kita menjadi eksistensi pada “saat”, yaitu saat memilih. Pilihan adalah “loncatan” dari waktu ke keabadian.[9]

Bereksistensi pada SK berarti; merealisir diri, engagement, mengikatkan diri dengan bebas, mempraktekkan keyakinannya dan mengisi kebebasannya (Hamersma; 1992; 75). Tiga cara bereksistensi; Sikap estetis; Berkebebasan tetapi dengan gaya Don Juan. Mencoba apa saja, memaksimalkan apapun yang mungkin. Filsafat yang digunakan adalah hedonisme. Menikmati sebanyak mungkin.

Lalu Sikap Etis; Protitipenya adalah Sokrates, menerima kaidah-kaidah moral. Dengan kebebasnnya, dengan maksimalisasi dirinya..siap dan terikat (secara bebas) dengan tindakan-tindakan etis. Sikap paling tinggi adalah Sikap Religius; Prototipenya adalah Ibrahim. Disamping diatas (sebagai Sokrates) manusia itu percaya akan keterbatasannya, tahu ada yang lebih dari dia dan mengikatkan aturan-aturan terkecil dalam hidupnya (secara bebas) dengan agama.

Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, Prusia 15 Oktober 1844. ia menganggap bahwa dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan. Apa yang dinyatakan sebagai kebajikan adalah apa yang baik haruslah kuat, sehingga segala yang lemah adalah buruk dan salah. Nietzsche adalah filosof yang menerapkan Logika Kekuatan bukan Kekuatan Logika.

Yang harus dijadikan tujuan dalam kehidupan kemanusiaan ialah bagaimana menjelmakan manusia-manusia besar yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani. Bagi manusia, yang penting ialah bagaimana ia mampu mengangkat dirinya dari kehanyutan dalam massa. Masyarakat haruslah sekadar merupakan alat yang memungkinkan terjadinya kristalisasi manusia-manusia agung itu.

Bahkan ia mengusulakan seleksi pada manusia supaya keluar manusia-manusia agung. Yaitu manusia yang kuat, cerdas dan punya kebanggaan[10]. Ia mengusulkan Aristokrasi dalam kepemimpinan (bukan berdasarkan keturunan, tetapi manusia-manusia unggul). Mirip dengan pembagian hidup Negara-ideal Plato. Ia mengeritik demokrasi, ia mengatakan demokrasi adalah suatu gejala yang menunjukkan bahwa masyarakat sudah menjadi busuk, tidak mampu melahirkan lagi pemimpin-pemimpin yang agung (sehingga ada kesepakatan-kesepakatan demokrasi). Mereka berteriak sama rasa, sama rata, padahal realitanya mereka bersaing (memperebutkan apapun, termasuk kekuasaan) karena perbedaan. Demokrasi menentang kondrat alam yaitu diferensiasi. Peradaban manusia hanya bisa ditumbuhkan apabila susunannya seperti pyramid.

Ia meramalkan bahwa kedepan negara-negara demokrasi itu akan terlibat sengketa atas dasar kepentingan dagangnya masing-masing. Kata Nietzsche; “will clash in a gigantic war for the markets of the world” … akan berontak dalam suatu perang raksasa demi memperebutkan pasaran-pasaran dunia.[11] Demokrasi tidak mungkin menjamin perdamaian antarbangsa; sebaliknya demokrasi akan melibatkan bangsa-bangsa dalam sengketa dan peperangan. Perdamaian antar bangsa hanya dijamin bila bangsa-bangsa yang lemah mengakui dan menerima kepemimpinan yang agung/kuat.[12]

Sering orang menghubungkan Nietzsche dengan diktator-diktator seperti Hitler, Mussolini dll. Mungkin mereka terpengaruh Nietzsche bisa jadi; sebab kata Nietzsche;

Semboyanku adalah Amor fati…tidak saja tabah menanggung segala keharusan (penderitaan), akan tetapi juga mencintainya.

Hiduplah berbahaya…bangun kota-kotamu dikaki Vesuvius.

Kirimkan kapal-kapalmu kelautan-lautan yang belum dijelajahi

Hiduplah dalam keadaan perang

Ia mengatakan, Tuhan telah mati, maka pendosa-pendosa pada tuhanpun tiada. Jadilah kalian Uebermensch (overman). Sudah waktunya bagi manusia untuk menentukan tujuan baginya sendiri. Sudah tiba waktunya bagi manusia untuk menanamkan bibit harapnnya seunggul-unggulnya. Bagi Nietzsche mencipta menjadi mungkin karena tuhan sudah mati. Apa yang mungkin dicipta bila tuhan ada? Kalau dosa, surga dan neraka mengintai?[13] Ia muak dengan para pendeta yang mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa. Banyak perumusan agama yang menyesakkan; Sebenarnya hidup ini tak berharga sama sekali, merangkaklah diatas altar ini dengan lutut-lututmu, hai kaum yang berdosa kata para pendeta. (ini yang sangat ditentang oleh Nietzsche)

Bila ada orang yang mengatakan hidup ini tidak berharga kata Nietzsche; sebenarnya merekalah yang tak berharga, dan tak berdaya untuk hidup. Padahal hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya. Orang yang mengatakan bahwa hidup itu tak berharga adalah mereka yang dekaden; seharusnya mereka mengatakan dengan terus terang: aku ini tak berharga. Bukan hidup yang salah; namun mereka sendiri yang tak mampu untuk menjulangkan diri setinggi-tingginya dalam hidup.

Sudah berkali-kali kukatakan (kata Nietzsche), manusia harus menjulang setinggi-tingginya...untuk itu ia harus tidak takut dengan segala kekawatiran dosa dst. ia harus bebas. Dan mampu mengatakan Ya kepada kehidupan dengan segala potensinya dan segala konsekuensinya. Manusia tidak boleh sekadar hidup tetapi ia harus lebih kuasa..lebih kuasa dan lebih kuat lagi.

Kata Nietzsche; Kau harus cinta perdamaian sebagai alat peperangan-peperangan baru –masa damai yang tak lama lebih (baik) daripada yang panjang. Kepadamu tidak kuanjurkan kerja, melainkan perjuangan. Kepadamu tidak kuanjurkan perdamaian, melainkan kemenangan! Jadikan karyamu sebagai perjuangan. Jadikan perdamaian sebagai kemenanganmu! Orang bisa tak bersuara dan duduk diam saja kalau ia memiliki busur dan panah; jika tidak mereka membual dan cekcok saja.

Kata Hitler; suatu wilayah tidak ditakdirkan oleh Tuhan untuk didiami dan menjadi milik sesuatu bangsa. Tanah dan wilayah adalah hak mereka yang mampu untuk merebut, memiliki dan menguasai.

Moralitas menurut Nietzsche adalah yang baik, kuat, berani dan sehat. Kesederhanaan bukan baik, luar biasa adalah baik. Sabar bukan baik tetapi berani adalah baik. Menahan diri bukan baik tetapi kuat adalah baik dst. Manusia yang diinginkannya adalah manusia yang siap hidup dengan segala pilihannya, resikonya dan bertanggung jawab dengan itu semua. Menginginkan kesempurnaan. Dan siap bahkan menginginkan mati bila memang harus mati. Tidak takut mati….orang harus berani hidup kata Nietzsche, konsekuensi berani hidup adalah siap juga untuk mati…bila diperlukan. Bukan berani mati..yang terkadang karena frustasi dan ketidaklayakan atau ketidak-enakan dibumi menginkan sesuatu (surga). Itu adalah dekaden..

Keberanian yang sejati tidak membutuhkan kesaksian siapapun, tidak orang lain juga Tuhan. Keberanian yang sejati hanyalah menjelma sebagai gairah yang hebat untuk hidup dan kehendak yang kuat untuk lagi-lagi menjulangkan diri.

Dari sejak dirinya sadar sebagai “aku” maka manusia menjadi tidak pasti. Ia terus menerus membentuk dirinya seolah-olah menuju kepastian dan kemantapan. Akan tetapi itu mustahil; kerena ketidakpastian dan ketidakmantapan itulah, karena chaos yang dihayati itulah manusia menjadi kreatif, serta bercita-cita setinggi mungkin. Dan oleh karenanya ia harus cinta pada hidup.

Setelah membunuh tuhan kata Nietzsche, jangan menciptakan Tuhan-tuhan lain, makanya ia tidak ingin punya pengikut tidak ingin diikuti. Katanya; tak sempurnalah seorang membalas jasa gurunya, bila ia terus-menerus bertahan sebagai muridnya saja.

Inti ajarannya

1) Menentang semua Agama, karena dianggapnya membelenggu untuk membebaskan manusia. Tuhan telah mati[14], yang ada adalah manusia super (Overman). Kaum agama adalah dekaden karena menjunjung tinggi moralitas rendah dan kurang semangat hidup semuanya kepada Tuhan.

2) Ia membagi moralitas pada moralitas Tinggi (ada pada orang-orang besar seperti; keberanian, kreativitas, kuat, spektakuler dst) sedangkan moralitas rendah adalah (kesederhanaan, lemah lembut, pemaaf dll).

3) Kelahiran Overman yaitu manusia yang siap dengan mengatakan “ya” untuk hidup dan siap untuk memaksimalkan potensi-potensinya sebagai manusia setelah ketiadaan Tuhan. Siap juga mati bila diperlukan. Manusia yang Over adalah yang tidak sekadar sebagai manusia tetapi mereka adalah kuat, cerdan dan punya kebanggaan.

4) Peredaran segala sesuatu (segala sesuatu akan kembali kekeadaan semula). Dia berpendapat bahwa segala peristiwa yang ada atau apa saja yang ada merupakan pengulangan dirinya sendiri. Dalam pengulangan ini tidak terjadi peristiwa penciptaan atau penciptaan. Pengulangan ini bersifat kekal dan terjadi dalam dunia. Menurut Nietzsche; dunia kita ini kekal, dia menolak setiap gagasan yang menyetujui adanya awal penciptaan dunia, dia juga tidak menyetujui adanya akhir dunia. Dunia tidak berawal dan berakhir dan ada berdasarkan dirinya sendiri.

Saat gembira sebagai saat yang istimewa untuk mengalami dan mengamini kembalinya segala sesuatu. Hanya rasa gembira mempunyai kehendak untuk menghendaki dirinya sendiri. Orang yang menyadari pengalaman ini dan berkata “ya” padanya, ini berarti bahwa dia mengentalkan kehendak yang terkandung didalamnya. Sikap inilah yang membuat rasa gembira memuncak menjadi semacam ekstase-kehendak.[15]disini kehendak begitu kuat, sehingga dia tak hanya menghendaki dirinya sendiri terulang lagi, tetapi juga berani menghendaki hal-hal yang menyenangkan atau “semua musuh” kembali lagi. Inilah saat orang mengalami keabadian yang mendalam.

Orang yang berani memeluk iman dionisian [orang-orang kuat], dia memiliki kekuatan Amor fati (cinta akan nasib). Pengalaman berulang-ulang berkata “ya” pada rasa gembira membuat orang mencintai nasib. Orang tidak lagi mengharapkan kekekalan pada akhir zaman. Kebiasaan bermimpi tentang masa lampau dan masa depan justru membelenggu orang untuk menikmati keabadian dimasa sekarang.

Kembalinya segala sesuatu adalah cara yang paling maksimal untuk mengafirmasi hidup (dunia). Dengan mengakui gagasan ini orang sanggup menyatakan bahwa dunia ini berjalan dari, untuk dan berdasarkan dirinya sendiri tanpa mempunyai tujuan akhir. Konsekuensinya dunia adalah kekal sifatnya.

Upaya pembuktian kembalinya segala sesuatu diupayakan oleh Nietzsche dengan ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa alam ini terdiri dari energi raksasa, tidak berkurang dan bertambah, sehingga tidak mungkin berkurang atau bertambah secara kuantitas. Alam (dunia) terjadi kombinasi-kombinasi energi yang ada didalamnya. Kombinasi-kombinasi itu jumlahnya bukan tak terbatas. Dalam jangka waktu tertentu semua kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang ada dapat terpenuhi semuanya. Dan kalau kemungkinan kombinasi-kombinasi itu terpenuhi semua, maka kemungkinan kombinasi sudah terjadi akan terulang lagi. Demikianlah dunia kita akan mengulangi dirinya sendiri terus menerus dalam jangka waktu yang tak terbatas. Semua yang pernah terjadi dan akan terulang lagi secara abadi (in infinitum).[16]

5) Kehendak untuk berkuasa; Gejala pengetahuan manusia tidak lebih daripada menunjuk usaha tranformasi alam kedalam konsep-konsep untuk penguasaan alam itu. Alam disini dipahami sebagai arus-menjadi yang bersifat chaos dan tak bernilai. Supaya alam berguna bagi hidup, maka alam harus dikuasai, yaitu melalui interpretasi. Dengan kata lain, pengetahuan dapat juga didefinisikan sebagai proses interpretasi yang mengungkapkan kehendak untuk berkuasa atas arus yang masih kacau.

6) Pendorong motivasi orang dalam berbuat apapun adalah “keinginan untuk berkuasa”.[17]

Berdyaev

Nicolas Alexandrivitch Berdyev lahir di Keiv Rusia, pada 6 maret 1874. Pada mulanya revolusi katanya adalah murni dan tunggal cita-citanya; revolusi mengumandangkan kebebasan, akan tetapi bilamana kekuatan-kekuatan yang imanen berkembang, dengan daya dialektikanya yang terjadi didalamnya, maka kebebasan niscaya hilang dan mulailah terror berkuasa.

Filsafat Berdyev didasarkan pada antroposentris atau eksistensialisme. Katanya “the essensial and fundamental problem is the problem of man –of his knowlwdge, his freedom, his creativeness. Man is the key to the mystery of knowledge. “persoalan essensial dan fundamental adalah masalah manusia –pengetahuannya, kebebasannya, daya ciptanya. Manusia adalah kunci misteri pengetahuan.

Menurut Berdyev manusia adalah mahluk paradoksal. Satu sisi ia adalah mahluk spiritual sisi lain ia adalah mahluk yang alamiah (dengan seluruh keterbatasannya dan historisitasnya). Oleh karena itu Berdayev menyoroti empat hal yaitu 1) Determisisme alam à manusia dibatasi oleh lingkungan alamiahnya, kelahirannya, fisiknya dan seterusnya. 2) manusia hanya hidup dengan manusia-manusia lain (makhluk social). Maka ia akan mewujudkan dirinya dalam masyarakat. Masyarakat bisa mengembangkan kemanusiaannya bisa membelenggunya. Manusia harus sadar dia bukan bertujuan menjadi makhluk social tetapi harus meneruskan menjadi makhluk spiritual. Berdayev tak mempercayai masyarakat sebagai organis, sehingga tuntutannya kepada individu seperti alam. Yang organis dan essensisl itu individu (manusia) bukan masyarakat. Katanya; kepribadianCan never be part of society, because it can never be part of anything ..” tak pernah bisa menjadi bagian daripada masyarakat. Sebab kepribadian itu tak pernah bisa menjadi bagian dari apapun juga. Walaupun katanya.. society is an infinitely more powerful thing than personality (masyarakat adalah sesuatu yang tak terhingga lebih kuasa daripada kepribadian).

Dalam keadaan itulah manusia menghayati bahwa masyarakat itu juga sebagai penderitaan serta pembatas dari kebebasannya. 3) Kekangan lain dari kebebasan adalah peradaban ( yang didefinisikan sebagai perwujudan dari ikhtiar manusia untuk menanggapi keharusan-keharusan yang dituntut oleh alam). Sedangkan kebudayaan juga merupakan hasil karya manusia, akan tetapi hal ini lebih berhubungan dengan kebutuhan spiritualnya. Peradaban itu adalah objektivasi (alat-alat) untuk menundukkan alam, meringankan beban manusia, walaupun demikian peradaban akhirnya memperbudak manusia. Mengapa akhirnya peradaban berbalik seperti itu padahal karya manusia? Karena peradaban dijadikan tujuan bukan sekadar alat oleh penciptanya (manusia). Contoh kongkrit adalah tehnologi-mesin.

Karena tehnologi, terjadilah penghayatan hidup yang berubah, semuanya kearah depan. Perubahan waktu dan seterusnya. Meminjam tulisan Neisbitt dalam “High Tech High Touch[18], karena kecepatan dan tehnologi yang silih berganti manusia kehilangan untuk menghayati makna[19]. Sebelum memahami dan mampu menikmati secara “sesungguhnya” satu tehnologi keluarlah yang lain.

Dengan itu maka massifikasi adalah kecendrungannya. Mengurangi kualitas demi kuantitas dan produksi massa. Akhirnya semakin menggelobal; Massalah yang menentukan kebudayaan mana yang akan diterima, demikian pula seni, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan bahkan agama.

Disamping massifikasi yang mengekang kebebasan manusia, penghayatan sejarah juga mempengaruhinya. Sejarah kata Berdayev mengandaikan kebebasan. Manusia bukan menyejarah (dalam artian ia terikat dan manusia adalah bagian dari sejarah). Yang benar katanya; sejarah adalah bagian dari manusia. Katanya; sejarah adalah bagian dari saya sendiri. Itu berarti bahwa saya menerima sejarah bukan sebagai budak yang penurut melainkan sebagai manusia yang bebas.

Berdayev membina filsafat antroplogi atas dasar personalisme. Untuk memahami manusia katanya, harus berpusat pada kenyataan manusia adalah mahkluk pribadi yang kongkret. Titik tekannya pada kepribadian manusia. Kepribadian bukan kategori (sosiologi, biologi dan psikologi belaka). Kepribadian katanya diatas segala-galanya suatu kategori “aksiologi”: kepribadian merupakan pengejawantahan daripada maksud eksistensial. Kepribadian harus dimengerti sebagai “the absolute existential” (pusat eksistensial yang mutlak). Kepribadian bukan saja berhubungan dengan kebebasan, akan tetapi tidak mungkin ada tanpa kebebasan. Untuk mewujudkan kepribadian haruslah berarti dicapainya kebebasan batin, yaitu membebaskan manusia dari segala determinasi ekstrem.

Person (kata dasar personality) yang arti awalnya adalah kedok ditafsirkan oleh Berdayev..tidak saja mengungkapkan dirinya kepada dunia-nya, melainkan juga mempertahankan dirinya terhadap kesukaran-kesukaran (hambatan-hambatan) yang timbul daripadanya.

Rahasia eksistensial kepribadian terletak pada kenyataan bahwa ia tak mungkin dipertukarkan, ia menjelma sekali saja, tunggal dan tak mungkin diperbanding-bandingkan. Oleh karenanya objektivasi manusia tidaklah boleh dan tidaklah mungkin. Walaupun (objektivasi itu) sekarang makin besar, banyak dan meluas pada zaman otomatisasi modern sekarang ini. Dalam kapitalisme dan Sosialisme kebebasan dihilangkan. Dalam kapitalisme lewat ekonomi-persaingan bebas. Dalam sosialisme terletak pada kedaulatan negara yang merampas kedaulatan pribadi.

Kedaulatan pribadi atau individu itu bukanlah individualisme. Sebab individualisme justru merupakan lawan daripada pengakuan manusia sebagai pribadi yang bebas. Individualisme mengakibatkan kecendrungan untuk menjadikan diri sendiri sebagai ukuran segala sesuatu, termasuk ukuran-ukuran tentang kebenaran.

Sedangkan kolektivisme ciri khasnya adalah tidak dimilikinya suatu pusat eksistensial. Ia tak mungkin menderita dan tak mungkin pula bergembira.

Dengan adanya objektivasi dan humanisasi, manusia selalu memberontak untuk untuk menjadi manusia (bereksistensi dengan kebebasannya). Bagaimana akhirnya tak jelas dalam Berdyaev. Ia hanya memberikan alternative lompatan kepada spiritualitas. Kebebasan bukanlah kebebasan dari kepercayaan terhadap Tuhan (ateisme); sebab justru dalam kepercayaan itulah menjelma penghayatan kebebasan. Hidup bersama Tuhan adalah kebebasan. Katanya; Tuhan adalah makna daripada eksistensi manusia.

Jaspers

Lahir tanggal 23 Februari di Oldenberg, Westphalia. Ia punya keahlian kedokteran dan psikologi. Ia berkata; apa yang tersembunyi dalam keputusan-keputusan kongkret yang menyangkut nasib pribadi tetap akan tersembunyi. Ia menduga bahwa keputusan-keputusan itu ada hubungannya dengan pandangan dunia, merurutnya pandangan dunia tidak tunggal dan universal.

Ia menolak ontology universal, sebab pandangan kita tentang yang essensial itu akan berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh karena dunia yang kita amati adalah selalu tampil sebagai pengalaman pemisahan subjek-objek; kita sebagai subjek dan dunia sebagai objek. Dan sebagai subjek kita berbeda-beda, oleh karenanya maka dalam pengamatan kita masing-masing duniapun beraneka ragam.

Jasper tak menolak adanya essensi yang mutlak, akan tetapi kita tak mampu untuk menemukannya dalam dunia yang kita hadapi sebagai objek. Apapun yang kita amati, itu kita objektivasikan dulu, kita jadikan fenomen bagi kita. Apa yang ada itu bukan objek dihadapan kita…bukan subjek hanya fenomen (atau objektivasi = seakan-akan objek). Selama penghayatannya ada pemisahan subjek-objek maka kita tak mampu menangkap hakikat (esensi) yang mutlak. Makanya ia mengusulkan penangkapan secara menyeluruh “das Umgreifende”, The Comprehensive”.

Ia memberi contoh; bila kita melakukan pengamatan kepada diri kita sendiri. Kalau kita menjadikan diri kita sendiri menjadi pemikiran, maka sebagian diri kita kita jadikan objek. Kita sebagai subjek yang memikirkan kita sebagai objek. Dan sebagai objek, kita adalah sesuatu yang lain dari kita sebagai subjek.

Yang menyeluruh ini adalah transendensi –Tuhan dan dunia, sedangkankan kenyataan kita sebagai manusia adalah eksistensi. Jasper tak jelas kepercayaannya kepada Tuhan (Agama Kristen)..tetapi ia mengatakan; Manusia adalah suatu kebebasan, dan kita makin sadar tentang eksistensi diri kita sebagai kebebasan justru apabila kita dihadapkan pada imperative-imperatif. Dan Tuhan tampil kepada manusia sebagai sumber imperative-imperatif..makin sejati kebebasan seseorang, makin kuat kepastiannya tentang tuhan. Kalau sungguh-sungguh bebas katanya..saya menjadi pasti bahwa saya tidak bebas karena saya sendiri. Karennya bagi Jasper Tuhan itu adalah suatu keterbukaan dan tak kunjung beku dalam penghayatan manusia. Ia tak percaya kepada gereja dengan pandangannya tentang Tuhan sedemikian rupa, seperti ‘barang jadi”. Katanya Tuhan bagi saya sesuai dengan derajat kesejatian eksistensi saya.

Manusia sebagai eksistensi selalu tidak pasti dan final.. manusia selalu dalam keadaan dalam situasi-situasi. Manusia bisa lari dari situasi tetapi ia akan kembali kepada situasi lain. Katanya; manusia adalah manusia dalam situasi. Situasi-batas itu adalah antara lain; Peristiwa kebetulan (mengacaukan seluruh rencana yang telah disusun, sehingga harus mengambil pilihan atau keputusan lain), penderitaan (dasein pasti tak lepas dari itu, sehingga harus mengisi, menghayatinya bahkan mungkin –walau pasti tak dapat –untuk menghindar), sengketa, rasa bersalah, maut dan lain-lain.

Manusia harus menerima situasi batas itu dan berkembang dengannya sebagai eksistensi. Sebagai dasein[20] ia dibatasi oleh itu semua, tetapi sebagai eksistensi manusia mampu untuk mengambil itu semua sebuah makna[21] dan ia melampauinya. Tetapi kata Jasper manusia tidak berhenti pada eksistensi saja. Sebagai kebebasan, maka eksistensinya mau lebih maju lagi bergerak, yaitu bergerak kearah Transendensi, atau Tuhan. Dan menurut Jasper, Transendensi atau Tuhan adalah menjadi jaminan bagi manusia untuk mengahayati eksistensinya sebagai kebebasan. Dan kata Jasper eksistensi hanya mungkin melalui hidup bermasyarakat. Dengan berkomunikasi secara intersubjektif, komunikasi eksistensial. Dimana dalam komunikasi ini manusia mampu saling membuka kedok, topeng (person). Dengan resiko komunikasi eksistensial ini adalah sengketa, karena dua-duanya mencoba untuk menjadi eksistensi. Tetapi kata Jasper sengketa dalam komunikasi jenis ini adalah sengketa yang diliputi kasih (liebender kampt).

Komunikasi eksistensial itu harus intersubjektif dan inten. Komunikasi ini tidak dapat dilakukan dengan masyarakat secara umum, sebab masyarakat secara umum adalah objektivitas bukan subjek eksistensial. Kata Jasper; salah satu sebab timbulnya krisis dalam masyarakat manusia dewasa ini ialah dikarenakan makin meratanya corak kehidupan bersama dalam bentuk massa. Salah satu akibat yang ditimbulkan oleh bentuk kehidupan massa dalam abad tehnologi ini ialah despiritualisasi dunia serta ditundukkannya pada rezim teknik yang maju.

Dengan kemajuan tehnologi sekarang ini kata Jasper; Manusia tampaknya mampu untuk menghapuskan dirinya sendiri, untuk kehilangan dirinya sendiri serta mendapat kepuasan dalam keadaan tanpa kepribadian. Kita sedang dalam perjalanan menuju ditelannya manusia secara fungsional kedalam mesin.

Tehnologi yang semula dibanggakan sebagai hasil karya manusia, akhirnya mencengkeram manusia dalam berbagai kekhawatiran dan frustasi. Lalu apakah kita semata-mata menganggap zaman tehnologi ini sebagai bencana yang akan memusnahkan manusia. Lalu kita akan menolaknya secara prinsipil, dan oleh karenanya, akhirnya dan sepenuhnya seolah-olah duduk diam dalam pengadilan sejarah? Apakah kita akan hidup dalam kebingungan belaka dan menyaksikan puing-puing bagi mereka yang datang setelah kita?

Jasper mengakui bahwa tidak ada jalan keluar untuk menghindari tehnologi, maka tehnologi pasti akan terus-menerus maju. Lalu bagaimana? Disinilah manusia ditantang eksistensinya. Dan Jasper mengususlkan perlunya humanisasi yang tidak bisa sekadar diungkapkan dalam kesendirian.[22] Untuk menumbuhkan humanisme baru ini, maka selain menjunjung tinggi hak-hak manusia sebagai sesuatu yang tidak bisa diasingkan dari eksistensinya, juga kita harus menerima kenyataan bahwa eksistensi yang sejati haruslah dijalani dalam penghayatan kebebasan.[23]

Gagasan ini bukan berarti akan menjuruskan ke nihilisme dan anarki, sebab katanya; kebebasan manusia harus selalu terikat pada imperative-imperatif yang semuanya itu kesejatiannya dari Tuhan. Disamping itu manusia memiliki faktisitas yang salah satunya adalah kesejarahan. Kesejarahan manusia adalah salah satu pengikat atau “pembatasan” kebebasan manusia. Kebebasan haruslah disertai dengan pengakuan dan penerimaan orang lain sebagai kebebasan pula. Jasper menolak kebebasan mutlak. Katanya; Kebebasan mutlak adalah tak mungkin. Dimana ada kebebasan selalu ada pertarungan dengan ketidakbebasan, dan kalau ketidakbebasan sepenuhnya diatasi dengan jalan meniadakan segala halangan-halangan maka kebebasan itu sendiri akan hilang pula.

Untuk menjadi bebas butuh transendensi, karenanya kita menjadi sepenuhnya bebas. Dengan kepercayaan akan transendensi maka manusia dapat terhindar dari suatu eksistensi yang tanpa makna dan hampa, yang akhirnya menyebabkan nihilisme dan kesewenang-wenangan. Transendensi adalah kepercayaan. Ketidakpercayaan membawa kita pada nihilisme[24], demonology dan deifikasi. Bagaimana manusia bisa bebas secara mutlak bila mereka memiliki situasi-situasi batas yang tak mungkin ditolaknya. Bukankah situasi-situasi itu melekat pada eksistensinya. Makanya kata Jasper kebebasan manusia adalah kebebasan-dalam-keterikatan.

Eksistensialisme Jasper menentang nihilisme, ateisme dan mempercayai Tuhan, tetapi bukan tuhan yang diobjektivasi seperti dalam ilmu pengetahuan atau agama resmi (gereja). Diakhir-akhir hidupnya ia ingin menyangkal nama filsafatnya “Filasafat-Eksistensi”, ia lebih senang dengan Philosophy of Reason.

Sartre[25]

Jean-Paul Sartre lahir di Paris 21 Juni 1905 dan meninggal 5 April 1980. Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai demikian itu maka ia tidak bisa dipentukarkan. Dengan demikian pula maka adanya manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri. Dengan lain perkataan, bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain di mana ada itu berarti sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.

“Man is nothing else but what he makes of himself. Such is the first principle of existenstialism.”[26] Manusia tidaklah lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri.

Demikianlah asas pertama daripada eksistensialisme Sartre. Bagi Sartre asas pertama sebagai dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai subyektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan ikhtiarya itu.

“Man is nothing else but his plan; he exist only to the extent that he fulfills himself; he is therefore nothing else than the ensemble of his acts, nothing else than his life.” Manusia tiada lain adalah rencananya sendiri; ia mengada hanya sejauh ia menempuh dirinya sendiri: oleh karenanya, maka ia tidak lain daripada kumpulan tindakan-tindakannya, tidak lain daripada hidupnya sendiri.[27]

Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, apa pun jadinya eksistensinya. Apa pun makna yang hendak diberikan kepada eksistensinya. Soalnya menurut Sartre ialah bahwa apa pun pilihan yang diambil oleh manusia sebagai pribadi, pada akhirnya merupakan keputusan yang sebenarnya menyangkut seluruh kemanusiaan. Sebab meskipun sesuatu pilihan itu dibuat atas dasar pertimbangan-pertimbangan pribadi, namun sebenarnya tindakan memilih itu didasarkan pula pada suatu imago tentang manusia umumnya yang sebagai pribadi kita cita-citakan. Apa yang kita pilih selalu merupakan sesuatu yang baik, atau yang lebih baik dan antara alternatif yang kita hadapi. Dengan memilih apa yang baik, atau tindakan memilih itu didasarkan pula pada suatu image tentang manusia akan melakukan hal yang sama dengan kita. Oleh karena iti maka tanggungjawab yang menjadi beban kita jauh lebih besar daripada sekedar tanggungjawab terhadap diri kita sendiri.

“1 am responsible for myself and for everyone else. I am creating a certain image of man of my own choosing. In choosing myself, I choose man.” Saya bertanggungjawab bagi diri sendiri maupun bagi setiap orang lainnya. Saya menciptakan gambaran tertentu tentang manusia atas dasar pilihan saya sendiri. Dalam memilih bagi diri sendiri, saya memilih bagi manusia.

lnilah antara lain yang menyebabkan manusia selalu menghayati kecemasan, sebab ia harus memilih dan waktu memilih ia meyakini itulah yang terbaik atau alternative terbaik. Dan iapun berfikir dan berharap bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama dengannya pada situasi seperti dia. Tetapi itu semua tidak ada kepastian bahwa orang lain akan memilih seperti itu. disamping itu manusia pun tak punya kepastian bahwa pilihannya adalah yang paling tepat. Itulah kata Sartre mengapa eksistensi (inti dari keharusan memilih dengan kebebasan) dijalani dengan serba-kecemasan dan kemuakan.

Keputusan untuk memilih tidak pernah disertai dengan kepastian, akan tetapi tanggungjawabnya yang besar tidak bisa dielakkan.

Dengan penghayatan demikian (ia memilih yang terbaik dan berharap orang lainpun sepertinya dalam kondisi yang sama walau yakin tidak ada kepastian ketepatannya), maka manusia menghayati eksistensinya sebagai kesendirian mutlak. Ia mencipta dirinya sendiri, ia memikul tanggungjawab yang lebih dari sekedar terhadap dirinya sendiri; akan tetapi ia tidak menemukan tempat berpijak atau bergantung yang memberikan kepastian-kepastian. Manusia menemukan kebebasannya, akan tetapi justru kebebasannya itu dirasakannya sebagai beban yang berat.

Tidak ada hal yang bisa meringankan beban ini, tidak juga Tuhan. Menurut Sartre ada-tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya. Tanpa kebebasan katanya manusia menjadi absurd. Sartre mendukung kebebasan mutlak walau ia yakin ada faktisitas-faktisitas yang membelenggu seperti; tempat kita berapa, masa lampau (sejarah), lingkungan sekitar, adanya sesama manusia lain sebagai eksistensi juga, maut, dan lain-lain. Betapapun faktisitas-faktisitas itu ada dan melekat pada eksistensi, namun kebebasan eksistensi tidak bisa dikurangi atau ditiadakan olehnya. “Human reality is free, basically and completely free”. Realitas manusia adalah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas.[28] Konsekuensi daripada kebebasan yang tak terbatas maka tanggung jawabnyapun tanpa batas pula.

Khusus tentang kefaktaan lain yang membatasi manusia yaitu Eksistensi lain (Orang lain), Sartre membahas panjang lebar. Intinya kita diganggu oleh manusia lain (sebagai eksistensi) juga, sebab kebebasan kita terkurangi karenanya (walau bisa mengelak), pandangannya kekita membuat kita bukan eksistensi, sebab mereka mengobjekkan kita (memandang kita, berarti mengamati, melihat, meneliti dan lain-lain yang itu semua membuat kita menjadi objek).

Makanya kata Sartre; Komunikasi adalah suatu hal yang a priori tak mungkin tanpa sengketa. Sebab setiap kali seseorang menemui orang lain, maka pada akhirnya hal ini berarti akan terjadinya saling objektifasi, yang seolah-olah membekukan yang lain; apa yang terjadi sebenarnya adalah saling pembekuan jadi objek. Bahkan dalam cinta sekalipun (karena dalam cintapun ada upaya saling memiliki, menginginkan hidup seperti yang diinginkan, dikehendakinya dan lain-lain).

Dalam bagian bukunya “Being and Nothingness”, yang kemudian diterjemahkan menjadi Existential Psychoanalysis ia mengatakan; Manusia adalah suatu totalitas dan bukan suatu koleksi. Konsekuensinya ialah bahwa ia menyatakan diri pun sebagai keseluruhan bukan dalam tingkah lakunya yang tak berarti ataupun yang dangkal belaka. Dengan kata lain, tak ada selera, tingkah laku atau suatu tindakan manusia yang tidak merupakan ungkapan.

Ia menolak enviromentalisme (walau ia menganggap itu faktisitas). Tetapi lingkungan tak menghilangkan kebebasan manusia. Lingkungan itu harus diartikan sebagai dunia yang didiami oleh manusia, dan oleh karenanya baru menjadi bermakna. Makna apa yang dikenakan kepadanya tergantung pada manusia itu sendiri. Manusia mengubah, melakukan tranformasi, dan memberi struktur pada lingkungannya; dan bagaimana hubungan yang terselenggara antara dia dengan dunianya adalah tanggung jawabnya sendiri. Oleh sebab itu, maka suatu deskripsi yang sungguh-sungguh objektif tentang lingkungan sebagai dunia yang didiami seseorang adalah tak mungkin.

Psikoanalisa eksistensial seharusnya sungguh-sungguh fleksibel dan bisa disesuaiakan dengan perubahan-perubahan kecil dipihak subjek. Yang menjadi soal bagi kita ialah memahami individu…Metode yang dapat digunakan untuk suatu subjek tidak perlu harus berlaku untuk subjek lainnya, atau untuk subjek yang sama pada waktu kemudian hari.

Eksistensi manusia adalah suatu kenyataan yang bukan pilhan sendiri oleh manusia; ia terdampar dalam kenyataan itu untuk selanjutnya menerima kenyataan itu sebagai fakta yang tak dapat dihindarinya. Ia menghadapi keharusan untuk mewujudkan diri pribadinya dalam keberadaannya didunia. Seperti juga awal kehadirannya sebagai eksistensi, maka juga akhir keberadaannya itu pada hakekatnya terletak diluar pilihannya sendiri.

Konsep dasar dan tema-tema penting Eksistensialis

1. Ada dan nonada

Ada ialah ukuran bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada kesubjekan (subjectness) manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar, aktif dan berproses. Sedangkan nonada adalah ukuran bagi ketiadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada keobjekan (objectness) dari manusia. Dalam nonada, manusia melakukan negasi atas keberadaannya, dan mengalami dirinya sebagai objek[29]. (Sartre, 1976)

Ernest Keen (1970) menegaskan bahwa, bagaimanapun, ada dan nonada adalah dua dimensi yang saling bergantung dalam memberi nuansa yang tegas pada keberadaan manusia, ibarat gambar dengan latar belakangnya yang membentuk sebuah lukisan. Sebuah lukisan menjadi jelas dan memiliki nuansa karena gambar (figure) yang terdapat di dalamnya ditopang oleh latar belakang (ground). Demikian pula dengan keberadaan manusia. Keberadaan manusia memiliki nuansa yang tegas karena pada dirinya terangkum ada dan nonada sekaligus. Artinya, manusia mengalami rasa ada (sense of being) atau menghayati keberadaan karena ia merangkum ada dan nonada.

2. Ada-dalam-dunla

Konsep ada-dalam-dunia (bahasa lnggris: being-in-the-world, bahasa Jerman: in-der- Welt -sein, bahasa Prancis: l,etre-dans-lemonde) diperkenalkan oleh Martin Heidegger artinya manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya dengan meng-ada di dalam dunia.

3. RelasI Aku-Kamu

Martin Buber (1970) mengembangkan konsep relasi Aku-Kamu (the I-Thou relationship) untuk menggambarkan relasi antar pribadi yang sungguh-sungguh atau sejati, yang kontras dengan satu bentuk relasi yang disebut I-it relationship. Di dalam relasi Aku-Kamu, individu sadar dan menghargai partner relasinya sebagai subjek seperti dirinya, subjek dengan dunianya sendiri, subjek yang selalu berproses, dan subjek yang memiliki perasaan, pikiran, dan keinginannya sendiri. Sikap individu semacam ini memungkinkan individu tersebut memiliki kesediaan untuk memberikan empati kepada partner relasinya, yang pada gilirannya menjadikan individu sanggup mencoba membayangkan apa dan bagaimana dunia yang nampak dan perspektif subjektif partner relasinya itu. .

Berbeda dengan relasi Aku-kamu, dalam relasi yang disebut I-it relationship individu melihat partner relasinya bukan sebagai subjek, melainkan sebagai objek[30]; suatu objek yang bisa diabaikan maupun digunakan untuk kepentingan pribadi si individu. Jadi, dalam relasi semacam ini tidak terdapat kesediaan untuk memberikan empati kepada partner relasi dan, karenanya, tidak ada kesanggupan pada individu untuk memahami dunia partner relasinya. Jika I-it relationship ini diberlakukan dalam psikoterapi, maka berarti terapis memperlakukan pasien sebagai objek penerima treatment dan sebagai objek yang perbaikan atau kesembuhannya merupakan fungsi dan keefektifan terapis dengan treatment yang diberikannya itu. Relasi terapeutik yang demikian ditentang oleh para terapis eksistensial. (May, 1969)

4. Intensionalitas

Intensionalitas adalah konsep eksistensialisme yang mirip dengan prinsip determinisme psikis dari psikoanalisis, yang mengemukakan bahwa kejadian-kejadian mental tidak muncul secara kebetulan. Dalam arah yang sama tetapi dengan penekanan yang berbeda, konsep intensionatitas yang diambil para eksistensialis dari Brentano dan Hussert mengemukakan bahwa kesadaran manusia selatu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu. Rollo May (1969), dengan konsep intensionatitas, menegaskan bahwa kesadaran ditentukan oleh fakta bahwa kesadaran itu selalu mengarah kepada sesuatu, khususnya objek. Jadi, konsep intensionalitas ini merupakan konsep yang penting yang menjembatani jurang antara subjek dan objek yang ditimbulkan oteh dualisme Descartes. Agaknya Heidegger pun mengembangkan konsep ada-dalam-dunia berlandaskan konsep intensionalitas. Sementara itu Sartre, dalam usaha menunjukkan artifisialitas dualisme Descartes, menegaskan bahwa meja yang tertihat olehnya bukanlah meja yang ada dalam kepalanya (dalam kesadaran Sartre), melainkan meja yang ada di luar sana, di dalam ruang dunia nyata (Sartre, 1976).

Para eksistensialis juga menggunakan konsep intensionalitas untuk menerangkan persepsi. Mereka menekankan bahwa persepsi itu menuntut adanya kesediaan individu untuk melibatkan diri ke dalam aspek realitas tertentu yang (akan) dipersepsinya. Dengan perkataan lain, tindakan mempersepsi menuntut adanya intensi dari individu terhadap sesuatu yang akan dipersepsinya. Sebaliknya, jika individu tidak memiliki intensi (tidak memiliki maksud atau niat) kepada sesuatu, maka dia tidak akan mempersepsi sesuatu itu[31]. Dari. sini timbul keyakinan pada para Eksistensialis bahwa apa dan bagaimana persepsi individu terhadap suatu hal sedikit banyak dipengaruhi oleh intensinya terhadap hal tersebat.

Keyakinan para eksistensialis ini didukung oleh sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh harapan-harapan, anggapan-anggapan, dan kecenderungan merespons (set) yang ada pada diri individu (Allport, 1955).

5. Keberadaan otentik dan keberadaan tidak otentitik

Konsep keberadaan otentik (authentic existence) dan keberadaan tidak otentik (inauthentic existence) juga merupakan konsep yang fundamental bagi para eksistensialis dan para ahli psikologi eksistensial.

Keberadaan yang tidak otentik adalah keberadaan individu yang mengukuhkan dirinya dengan cara atau untuk tujuan menghindarkan diri dari wujud-wujud nonada, yakni keniscayaan-keniscayaan hidup yang terdiri atas kematian, keharusan memilih dan memikul tanggung jawab, isolasi dan ketidakbermaknaan.

Ia tidak berani untuk mengambil hidup dengan segala keterbatasannya, penderitaan, kematian, tanggung jawab dan lain-lain. Ia mengukuhkan dirinya bukan untuk dirinya. Ia mencari sukses lewat status, dan sukses menurutnya adalah adanya tepuk tangan penonton. Ia selalu melihat penopangan dari orang lain sebagai bagian pengukuhan dirinya (self affirmation). Keberadaan ini tidak utuh dan rapuh.

Sebaliknya, dalam keberadaan yang otentik, individu sanggup mengukuhkan dirinya tanpa mengingkari keniscayaan-keniscayaan hidup (tidak mengingkari bahwa dirinya akan mati, bahwa dirinya harus membuat pilihan-pilihan atau putusan-putusan yang vital bagi hidupnya, bahwa dirinya bisa mengalami isolasi dari sesama dan mengalami ketidakbermaknaan), juga tanpa mengikat orang lain dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. Keberadaan otentik merupakan gambaran ideal bagi para Eksistensialis dan terapi Eksistensial.[32]

Tema-tema Eksistensial

  1. Kebersamaan, Cinta dan Pertentangan

Kebersamaan atau manusia sebagai makhluk social (homo socius) adalah hal penting dalam Eksistensialis. Manusia social adalah bukan suatu kebetulan melainkan merupakan sesuatu yang sudah seharusnya ada, sebab kebersamaan adalah ciri yang essensial dari keberadaan manusia. Sein-ist-mit-sein, keberadaan manusia adalah keberadaan bersama, kata Heidegger.

Kebersamaan ini ada artinya bila dijalani dengan kerjasama, saling menunjang. Dan puncak kebersamaan itu adalah kebersamaan yang dijalani dalam hubungan cinta yang sungguh-sungguh sejati dengan corak Aku-Kamu..

  1. Kesepian dan Keterasingan

Kesepian adalah kemungkinan yang dihadapi oleh setiap manusia. Dalam kesepian, individu mengalami keterputusan tidak hanya dengan sesama, juga dengan alamnya, Tuhannya. Ia hanya tinggal dirinya sendiri. Karenanya dalam kesepian manusia tidak menemukan kepuasan dalam berhubungan dengan dirinya sendiri. Orang yang kesepian itu menemukan dirinya tidak berdaya, tidak berharga, dan kehilangan gairah hidup. Manusia pada zaman modern ini akan makin banyak mendapati dirinya kesepian dan keterasingan baik karena pekerjaan, cepatnya arus informasi dan lain-lain.

  1. Kematian

Ini adalah peristiwa yang harus, mau atau tidak manusia akan mengalaminya. Pada sebagian Eksistensialis, melihat kematian dengan pesimistis dan absurditas seperti Albert Camus dan Sartre. Mereka mengatakan kematian adalah kembalinya manusia dari ketiadaan menjadi tiada lagi. Tetapi ada Absurditas dan Nihilis yang optimis yaitu Nietzsche. Sementara lainnya menganggap kematian dengan optimistis. Heidegger mengatakan; penerimaan atas kematian bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia. Demikian juga dengan, Jasper, Simmel dan Frankl.[33]

Inilah sekelumit penjelasan Fenomenologi dan Eksistensialis, tujuannya hanya sekadar memberikan gambaran (orientasi), tentang pandangan-pandangan berbeda terhadap filsafat umum (Rasionalisme/idealisme dan Realisme/Empirisme), juga pandangan serba ontologi (agama). Untuk pendasaran penjelasan kedepan.



[1] Harry Hamersma,”Filsafat Eksistensi Karl jaspers”, hal 7. Gramedia.

[2] Louis O. Kattsoff, “Pengantar Filsafar”, hal 87, Cetakan V, Tiara Wacana. Sebuah contoh; konon katanya Aristoteles, karena getolnya dengan (berfikir deduksi dan filsafat), mengatakan gigi laki-laki dan perempuan jumlahnya beda. “kata ilmuwan saat ini, mengapa ia tidak memeriksa jumlah gigi istrinya, padahal dia kawin dua kali”.

[3] Insya Allah lain waktu kita mendiskusikan ini. “Gerak, ruang-waktu dan materi terkecil”.

[4] Sebelum menginjak kepermasalah eksistensi dan eksistensialisme maka terlebih dahulu perlu kami sedikit memberikan beberapa pengertian yang berguna untuk memahami lebih lanjut. Ada (Being) yaitu sesuatu apapun yang mungkin ada atau yang terpikirkan. Mimpi melihat gajah berwarna emas (mimpi ini ada sekalipun tidak real/nyata). Kenyataan (Reality) yaitu sesuatu yang ada dan dapat dipercaya, atau sesuatu yang dapat ditangkap dalam tangkapan yang dapat dipercaya (tidak mustahil). Seorang yang melihat gajah berwarna emas itu ada tetapi tidak nyata (khayal). Khayalan itu ada tetapi tidak nyata/dapat dipercaya. jadi yang nyata pasti mempunyai sifat yang ada, tetapi tidak sebaliknya. Eksistensi (Eksistence) diambil dari bahasa latin existere (muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual). dari kata ex (keluar) dan sitere (tampil, muncl). Yang mengandung pengertian ruang dan waktu. Apapun yang bereksistensi itu nyata ada tetapi tidak sebaliknya. Essensi (Essence) yaitu hakekat sesuatu. Sebuah segi tiga tidak punya eksistensi, ia hanya punya essensi. Karena yang kita jumpai dalam alam ini segi tiga adalah hal-hal yang mendekati segi tiga sehingga jumlahnya sangat banyak sekali. Tetapi segi tiga adalah konseptual/akali, ia hanya punya ciri-ciri/sifat. Misal bertemunya tiga garis lurus dan lain-lain. Yang bereksistensi pasti beressensi tetapi tidak sebaliknya. Substansi (substance) yaitu wahana bagi sifat-sifat. Hubungan antara substansi dengan essensi sama dengan hubungan eksistensi dengan kenyataan. Disini agak sulit membedakannya tetapi sedikit bisa kita artikan bahwa substansi adalah suatu yang mendasari atau mengandung kualitas-kualitas serta sifat-sifat kebetulan yang dimiliki oleh sesuatu barang. Misalnya kerta ia punya substansi kertas, sehingga bila ia dirobah-bobah dalam bentuk apapun ia tetaplah sebagai kertas. Aksiden yaitu sifat yang hanya ada bila melekat pada yang lain. Seperti warna merah, putih, ia hanya mungkin ada bila melekat pada yang lain. Materi (Matter) yaitu suatu jenis substansi. Yang pengertian dan ciri umumnya adalah bereksistensi, menempati ruang, memiliki kelembaman, gerakan, kepadatan dan lain-lain. Diambil dari Louis Katsoff, hal 50 dan Loren Bagus, hal 183-184.

[5] Loren Bagus hal 183-188.

[6] Diambil dari buku; Fuad Hasan “Berkenalan dengan Eksistensialisme” Pustaka Jaya, Cet-III, 1985. Juga dari Harry Hamersma, “Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern”, Gramedia, Cet-V, 1992 dan “Filasafat Eksistensi Karl Jasper”, Gramedia, 1985. ST. Sunardi, “Nietzsche”, LKIS, 1996. Juga teks-teks Nietzsche seperti; “Zarathustra”, Bentang, Yogyakarta, 2000, “Ecce Homo, lihatlah dia”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998. “Senjakala Berhala dan Anti-Krist”, Bentang, Cet-II, 2000. “Lahirnya Tragedi”, Bentang, 2002. “Genealogi Moral”, Jalasutra, 2001. E. Koeswara, “Psikologi Eksistensial suatu pengantar.” 1987. Henryk Misiak, Ph.D dan Virgina Staudt Sexton, Ph.D, “Phenomenologikal, Existential and Humanistic Psychologies, A History Survei (Terj), by Grune & Stratton Inc, 1973.

[7] Either/Organisasi, A Fragment of Life, Princenton Iniversity Press, 1994. Jilid II, hal 134.

[8] Penjelasan kami; dalam diri manusia ada yang materi (dasein = tubuh) ada yang bagian dari Allah (eksistensi = “ruh”). Bedakan dengan Jasper agak sedikit beda. Hanya mempermudah.

[9] Penjelasan kami; Karena “saat memilih”, walau itu ada dalam waktu, bisa menjadi permanent “hasilnya”, “tanggung-jawabnya” dan lain-lain. “Manusia selalu diminta pertanggungan jawab oleh Allah dalam setiap “saat” apa yang ia gunakan dalam seluruh yang ia “miliki dan diberikan”. Setelah kita memilih (saat, dalam waktu), hasil itu akan merubah konfigurasi alam, merubah kemungkinan-kemungkinan kita, terus dan selama-lamanya. Makanya manusia menjadi manusia pada “saat” pilihan. Contoh memperjelas; “dalam permainan catur, satu kali langkah maka seluruh potensi, konfigurasi baik diri, orang lain bahkan “alam” (seluruh tatanan catur tadi) berubah. Inilah “saat” (dalam pengambilan keputusan) terjadi dalam waktu tertentu, tetapi hasilnya, pengaruhnya menjadi “Takberhingga, terus menerus dan kontinyu”. Sebab tidak ada kembali, bahkan pengalaman kita sendiripun tidak bisa kembali. Tidak mungkin melewati jembatan, dengan pengalaman sama. Minimal lewat jembatan kedua sudah memiliki pengalaman lewat jembatan pertama.

[10] Bisa diartikan simbolisasi dari Fisik, Otak, dan Kepribadian (Jiwa).

[11] Ini menarik; kita lihat saja sekarang blok-blok dan keributan menetapkan tarip dalam WTO. Saling ancam dan jegal pernah terjadi antara Jepang dan AS. Ramalan nakal kami; nanti akan terjadi peperangan besar antara AS dan Eropa… dan keluarlah superpower baru. Tetapi bukan seperti Nietzsche kembali zaman dulu.

[12] Walaupun sepertinya ini tidak terjadi sekarang, tapi bila kita jeli melihat, itu terjadi. Kita lihat bagaimana Negara-negara kecil itu hidup dan tidak sebenarnya tergantung AS dan Negara-negara besar lainnya. Bila mereka mau mengahncurkan baik ekonomi maupun militer bisa saja. Selama negara-negara kecil (penguasanya) itu bayar upeti (menguntungkan), tidak macam-macam (merugikan atau netral), maka negara kecil itu aman. Mirip dengan yang dikatan Nietzsche diatas. Lihat saja Saudia Arabia, Korea Selatan, Yordan, Kuwait, Singapura, Brunai-Darussalam, Libya dst.

[13] Pertanyaan ini sekalipun terdengan aneh. Tetapi bila orang serius memikirkan bisa masuk akal. Lihat saja masalah surga-neraka, pengetahuan tuhan dll. Bila semuanya sudah pasti, jelas dalam tuhan. Apa yang bisa dilakukan oleh manusia? Kecuali menjalani apa yang sudah ditentukan..apa yang sudah menjadi kodratnya. Bukankah bila itu menyelimuti seseorang..maka orang tersebut bisa berontak terhadap tuhan? Dengan mengatakan Tuhan itu sudah mati…untuk memaklumkan kemerdekaannya, kebebasannya. Apalagi bila penjelasan keagamaan yang diterima seseorang tentang simbol dan sepak terjang tuhan...yang kadang ditafsirkan begitu aneh dalam agama-agama.

[14] Yang dimaksud dengan Tuhan adalah apapun yang menjamin kepastian-kepastian dan keabsolutan. Hidup ini memang tak pasti dan chaos kata Nietzsche.

[15] Sedikit penjelasan bahwa “kebahagiaan” [dalam Nietzsche] adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan dan keberhasilan mengatasi hambatan. Dan karena optimalisasi potensi yang terjadi setiap saat tanpa ujung (berhenti), berarti bahwa kita dapat mengoptimalkan diri setiap waktu (dengan mengatasi hambatan = bahagia), dengan itu kita menghendaki terulangnya perasaan itu, terus dan terus… itulah sedikit apa yang dimaksudkan dengan “kembalinya segala sesuatu’.

[16] Upaya bukti ini banyak dikritik oleh ilmuan juga oleh filosof-filosof, dan dikatakan tidak konsisten dengan pendapatanya sebelum-sebelumnya. Penjelasan [kami; MA]; Contoh yang diajukan Nietzsche adalah permainan catur. Bila kita melangkah satu kali, maka akan merubah konfigurasi, kemungkinan-kemungkinan dan langkah-langkah kita selanjutnya dan itu terus sampai akhirnya selesailah permainan catur itu. Dalam alam ini tak ada batas kemungkinan kombinasi, dan akhir (sekalipun mati ada pertanggung jawaban hasil). Inilah kebenaran Iqbal waktu ia mengatakan kritiknya kepada Nietzsche tentang “kembalinya segala sesuatu”. Lihat ST. Sunardi, “Nietzsche”, LKIS, Yogyakarta, 1996, hal 151-176. Seakan Nietzsche mencontohkan kombinasi-kombinasi dan kemungkinan-kemungkinan itu bisa lengkap dan terulang lagi. Memang kalau contohnya catur, bisa, sebab catur dibatsi oleh 64 kotak, 32 pemain. Kalau kita kombinasikan selengkap-lengkapnya akan ketemu. Mungkin 32! (!= factorial ) x 64 ! (factorial ). 32! = 32x31x30…..x1. Ini hanya menunjukkan mungkin kembali bila seperti itu, tetapi alam tidak. Kata “saat”, “pilihan” yang sering diulang-ulang oleh filosof eksistensiali (Jasper, Sartre dan lain-lain ), yang menghubungkan ketidakabadian dan keabadian. Sebab sekalipun pilihan itu terjadi dalam “saat”, tetapi itu merubah konfigurasi “seluruh alam”, kita pertanggung-jawabkan abadi. Bila bidak catur sudah jalan, maka itu merubah “total konfigurasi, kemungkinan dalam langkah-langkah catur lainnya. Dan langkah itu dipertanggung-jawabkan abadi..terus dan terus setiap langkah. Demikian juga kesempurnaan. Serta dengan kebebasan kita bisa tidak mengulang pilihan sekalipun konfigurasi yang melingkupinya sama. Juga seperti dikatakan diatas; tidak ada pengalaman yang berulang dua kali bagi manusia.

[16] Ini konsekuensi yang harus terus-menerus diyakinkan, dibangun oleh “eksistensialis-bertuhan”, sebab bila tidak mau tidak mau konsekuensi melihat itu semua (penderitaan, kecemasan, kematian) adalah ketidakbermaknaan hidup, keluarlah nihilisme, absurditas…konsekuensi dalam hidup adalah harus menang, harus senang harus spektakuler dst, disini dan sekarang. Ini bisa kita lihat sebagian di Eropa-AS sekarang….walau dengan langkah pelan dan pasti diikuti oleh Negara-negara lain. [MA].

[17] Keinginan untuk berkuasa ini dapat ditafsirkan untuk memperjelas sebagai upaya untuk membuat apapun lebih mudah dikendalikan, diketahui, dimanipulasi dan lebih tidak menimbulkan ketidakpastian. Walaupun Nietzsche juga mengatakan ‘kepastian” bagi manusia tidaklah mungkin.

[18] John Neisbit & Douglas Philips, “high Tech high Touch”, MIzan Bandung, 2001.

[19] Makna adalah pengenalan tempat-tempat segala sesuatu didalam suatu system. Pengenalan seperti itu terjadi jika relasi sesuatu yang lain dalam system tersebut menjadi terjelaskan atau terpahamkan. Husein Syed Muhammad Naquib al-Alatas dalam, “Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (Mizan, 1984).

[20] Manusia menurutnya (diambil dari Heidegger) terdiri dari dasein (Ke-Tubuh-an manusia ) dan Eksistensi (mirip dengan Pribadi, atau an Nafs dalam terminilogi Islam). An Nasf ini, lihat; Dr. Javad Nurbakhsy, “Psychology of Sufism ( Del Wa Nafs)”, Khaniqani-Nikmatullah Publication, Teheran, 1992. juga Disertasi Dr. Musa Asy’ari, “Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an”, LSFI, Yogyakarta, 1992.

[21] Kata Nietzsche; He who has a why believe for can bear whith almost any how (‘Dia yang memiliki mengapa untuk hidup, akan bisa bertahan dalam hampir semua bagaimana”). Spinosa dalam bukunya “Ethics” mengatakan; “Affectus, qui passio est, desinit esse passio simulatque eius claram et distinctam formamus ideam.” Emosi yang sedang menderita, tidak akan lagi menderita setelah kita membuat gambaran yang jelas dan benar dari penderitaan tersebut.

[22] Kurang jelas disini. disatu sisi komunikasi eksistensial harus intersubjektif, intend dan tidak mungkin dengan masyarakat umum. Disisi lain humanisasi diharapkan (untuk melawan tehnologi yang mendehumanisasi-manusia dengan kemassalan) dengan kemassalan (masyarakat umum).

[23] Semacam usulan undang-undang hak asasi manusia international.

[24] Nihilisme adalah sikap yang menganggap nihil segala-galanya, dengan demikian merupakan landasan bagi timbulnya ketidakpercayaan terhadap Tuhan.

Demonologi adalah suatu bentuk substitusi belaka daripada gagasan adanya yang transenden. Artinya ketidak percayaan kepada Tuhan menjelma menjadi kepercayaan adanya sesuatu bukan Tuhan tapi bukan manusia. Demonology akhirnya menjelma juga sebagai upaya membuat Tuhan-tuhan juga.

Deifikasi merupakan perwujudan hasrat manusia untuk memuja yang lebih dari dirinya sendiri. Ketidak percayaan pada Tuhan, menghasilakn efek berupa adanya pemujaan substitusi Tuhan.

[25] Karya Sartre, Existentialism Is a Humanism, diambil dalam http://www.marxists.org/reference/archive/sartre/works/exist/sartre.htm

[26] Sartre, “Existential and Human Emotion”, Philosophical Library, New York 1945, hal 15 http://www.libertycore.org/Philosophy/Sartre/human_emotion.htm.

[27] Sartre, Ibid, hal 32.

[28] Sartre, “Being and Nothingness”, Philosophical Library, New York, 1953, hal 479.

[29] Disini berlaku, bahwa manusia dikatakan ada, saat ia mengalami otonominya, sebagai person, dengan kebebasannya. Sewaktu dia menjadi objek, apapun itu (dieksploitasi, menginginkan sesuatu yang bukan keinginannya, bertindak hanya reaktif, dan lain-lain ), maka manusia itu dikatakan non-ada.

[30] Pernyataan ini tidak berlaku bagi Eksistensialisnya Sartre. Sebab ia mengatakan; bahwa dalam hubungan antar pribadi, bahkan dalam cinta-pun yang satu selalu mengandaikan yang lainnya sebagai objek. Pernyataan dia tentang pengobjekkan manusia satu oleh manusia lain, sewaktu berhubungan dalam bentuk apapun diungkapkan dengan kata-kata; “Orang lain adalah neraka”.

[31] Ini dapat dicontohkan dengan orang yang melamun atau orang yang kosentrasinya ketempat lain. Sekalipun adanya stimulus (sinar, gelombang cahaya atau lainnya) kedalam matanya, telinganya…dan secara fisik, kecepatan gelombangnya, panjang-gelombangnyanya, kerasnya dan lain-lain mencukupi untuk melihat, mendengar dan seterusnya. Tetapi bila manusia itu tidak berkehendak untuk mempersepsi itu (melamun atau membayangkan, atau memikirkan yang lain), maka ia tidak melihat dan mendengar. Contoh; banyak orang yang dipanggil tetapi tidak dengar atau merasa dipanggil padahal panggilannya keras.

[32] Disini menurut kami yang perlu sedikit dijadikan pedoman bagi para Eksistensial-Agamis. Sebab apakah menjalankan agama dengan cara tidak otentik itu bisa dibenarkan? Artinya banyak orang yang melakukan hidupnya dengan mengikuti aturan-aturan agama, tetapi ia tidak cukup kuat, atau tidak cukup memiliki landasan mengapa ajaran itu mesti dilakukan ini dan itu. Mereka hanya pasrah dan mentahkimi ajaran-ajaran itu. Ini menurut agama sendiri sebagai kurang agamis, tetapi apakah harus dipending, sementara tidak dijalankan dulu?, dimasukkan dalam tanda kurung, atau dijalankan dengan tanpa kesadaran, sambil mencari jawaban mengapa seperti ini dan itu…dst.

Kalau ada upaya-upaya ke “Psikologi-Islam, maka menurut kami itu mestinya tidaklah terlalu sulit. Mirip dengan konsep Psikologi-Eksistensial. Yaitu mengambil landasan-landasan filosofi dari ajaran agama (kalau Psikologi-Eksistensial mengambil dari Filsafat Eksistensialis), lalu dimasukkan dalam konsep-konsep yang dijadikan penekanan pada psikologi, juga terapinya. Kemudian dicarikan pendasaran empiris dan eksperimentalnya. Sehingga arah kerja, konseptual-teoritis –moral, tema penelitian dst..diarahkan sesuai dengan konsep pendasaran Filsafat-Psikologi-Islam yang dibangun. Tidak seperti sekarang, mana yang Islam belum jelas pendasarannya. Mestinya dicarikan pendasaran yang “cukup kokoh dari filsafat Eksistensialisme-Islam”, misalnya. Itu bisa kita telusuri seperti Filsafat Mulla Sadra dll. Sebenarnya tema-tema Eksistensialis itu semua juga adalah tema-tema agama. Kematian, kebebasan, penderitaan, kehampaan-Eksistensial, dan lain-lain. Dulu itu dilakukan terapinya oleh para pastor, kiayi, ulama, sekarang dengan “sentuhan” pseudo-ilmiah”, dipegang peran itu oleh psikolog atau psikoterapis. Ini sekadar upaya mencari hal-hal yang perlu dipikirkan ulang.

[33] Agama sangat membantu dalam hidup bermakna. Sebab arti “Makna” secara agak sederhana adalah “Masuknya pengalaman dalam system yang dibuat oleh si-subjek”. Dan Agama sangat membantu itu, apalagi dengan konsep “Tuhan” (dengan konsep ini tidak ada nihilisme dan chaos yang diyakini oleh Nietzsche, karena pembunuhan Tuhan), “pahala-dosa” (dengan ini maka penderitaan, kematian, kejahatan, perbuatan dan lain-lain dapat dijelaskan dengan “sempurna”) demikian juga dengan “surga-neraka”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar