Laman

Minggu, 28 Maret 2010

BELAJAR DARI KEGAGALAN BARAT (1)

BAB 2. BELAJAR DARI BARAT ‘REKONTRUKSI’ KESALAHAN

EVOLUSI SEJARAH BARAT, KEMAJUAN, KEMODERNAN MENGHASILKAN DOGMATISME SAINTIS

I. Pendahuluan

1.1. Sejarah Singkat Eropa (Barat)

Dalam buku Carterbury Tale, Geoffrey Chaucer (1340-1400), salah seorang pujangga Inggris yang mampu melihat keadaan berubahnya masa dari Abad pertengahan kemasa-masa selanjutnya. Buku itu cukup berpengaruh dalam kesusasteraan Inggris abad pertengahan. Inti abad pertengahan (seperti yang digambarkan buku itu) secara mendasar adalah bahwa agama mewarnai dan menyatu dalam segala kehidupan. Fenomena ziarah kemakam S. Thomas di katedral Canterbury sangat menarik untuk melihat fenomena itu. Kehendak penyelenggaraan ilahi meliputi segala kehidupan manusia dan merupakan landasan bagi keanekaragaman hidup dan berbagai macam watak manusia. Allah menjamin tata masyarakat. Dalam dunia yang utuh dan riil ini dan penuh kelainan ini, agama diterima sebagai unsur mutlak dan ziarah merupakan lambang jawaban setiap zaman.[1]

Altar dari zaman pertengahan (abad Pertengahan) adalah periode sejarah di Eropa sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat di bawah prakarsa raja Charlemagne pada abad 5 hingga munculnya monarkhi-monarkhi nasional, dimulainya penjelajahan samudra, kebangkitan humanisme, serta Reformasi Protestan dengan dimulainya renaisans pada tahun 1517.

Abad Pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa. Pada masa ini agama berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di masa zaman klasik dipinggirkan dan dianggap lebih sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan. Notre-Dame de Paris, contoh arsitektur dari zaman pertengahan. Pada masa ini ilmu pengetahuan dan kesenian dimanfaatkan untuk kepentingan religi. Adanya larangan pengeksposan tubuh manusia dan hewan membuat kesenian menemukan teknik abstraksi yang memungkinkan sensasi tercipta tanpa adanya kehadiran bentuk realis.

Apabila dilihat sepintas, perubahan dramatis eropa, dari ‘abad kegelapan’’ ke Ranaissain dst, walaupasti benihnya ada dari dalam, tapi dengan cukup meyakinkan itu bisa dikatakan dipengaruhi secara ‘kuat’ oleh kontaknya Kristen (barat) dengan Islam (saat Perang Salib)[2]. Contoh-contoh itu antara lain Thomas Aquinas (1224-1274) sangat dipengaruhi oleh Ibn Sina (filosof dan ahli kedokteran islam, 980-1037), Ibn Rusyd ( Averrois) (1126-1198) sangat mempengaruhi pemikiran barat, khususnya komentarnya tentang Aristoteles dan hubungannya dengan agama. Serta “keyakinannya, yang diterima oleh barat”, bahwa kebenaran itu bermuka dua, kebenaran agama (iman) belum tentu benar menurut ilmu pengetahuan dan sebaliknya[3]. Dalam pandangan Islam, Ibn Rusd tidak berkeyakinan seperti itu (secara umum Ia berkeyakinan, Iman dan Akal dapat mandiri masing-masing atau akal dan syariat tidak bertentangan...dst).

Pada abad XII dunia barat menerjemahkan sejumlah besar karya berbahasa Arab, oleh orang-orang seperti Gerard dari Cremona (1114-1187) kedalam bahasa latin. Ia menyalin 92 jilid lengkap. Juga Adelard (yang dikatakan menyamar sebagai seorang muslim untuk dapat menuntut ilmu di Cordova. Tetapi ini agak berlebihan sebab antara Islam dan agama lain tidak ada masalah dalam keilmuan. Lihat saja bagaimana Islam pun memanfaatkan orang Nasrani, Yahudi waktu menerjemahkan buku-buku Yunani dari bahasa Yunani, Suryani ke Arab, dan sejarah-sejarah hubungan keilmuan lainnya).

Setelah barat diliputi oleh ‘kegelapan’ pada zaman abad pertengahan, dimana ‘agama’, lembaga agama sangat berpengaruh dan ketat dalam melihat keseluruhan kehidupan manusia. Angin kejenuhan itu mulai tampak dan kejenuhan serta keinginan berubah itu mendapatkan angin segar dengan kontak dengan dunia lain, yang memiliki dalam berbagai segi ‘hal-hal yang dicari’. Dengan sentuhan baru, dimana bibit gelora itu sudah tertanam, dalam waktu singkat perpaduan dan dobrakan dimulai oleh Thomas Aquinas (orang suci kalangan Kristen katolik, pujangga besar gereja Italia, ordo Dominikan, teolog terbesar Katolik) yang sangat terpengarh oleh Ibn Sina. Dengan bukunya Summa Contra Gentiles, Summa Theologia, ia memadukan ajaran Aristoteles dan Iman Kristen (Gereja menerimanya walau sangat hati-hati).

Dalam waktu yang tidak lama, sarjana-sarjana Barat telah menerima ide-ide baru itu, ditambah dengan ‘semangat keagamaan yang menggelora’ saat perang salilb. Sebenarnya ide (pemikiran filsafat) itu datang dari Yunani, lalu masuk ke Kristen dan menggoncangkan keagamaan mereka, kemudian ide itu dihancurkan dan dibuang, “merana”, mengembara dan ditemukan kembali oleh Islam pada abad ke 8-9. Diserap diolah diperbaiki, direkontruksi kembali, dipadukan dengan Iman dst, menjadi khazanah keagamaan Islam. Lalu ditemukan kembali lewat Islam oleh barat (Kristen) pada abad 13.[4] Keith Wilkes, mengatakan; “Pada awal abad XIV sudah terlihat adanya ilmu pengetahuan yang sejati didunia barat, yang sebagian berkat penggunaan ilmu pasti dari kalangan sarjana Arab”.[5] Dan sejak abad XV dan selanjutnya, para sarjana eropa sudah mulai mengerjakan sendiri naskah-naskah kesarjanaan Yunani, Hibrani dan Arab. Dan perebutan Konstantinopel oleh Turki (1453) menambah tersebarnya kekayaan perpustakaan konstantinopel (Islam) keseluruh eropa. Pada masa barat menemukan momentumnya (dengan meng-Kristenkan Aristoteles), Islam mulai masa-masa kemunduran, dimana Aristoteles diupayakan dalam ‘semua unsur rasionalitasnya’ dikeluarkan kembali dari ‘Islam’. Ini bisa dilihat upaya-upaya serangan kepada Aristotalianise-Islam mulai dari Al Syahrastani (1076-1135), al Ghazali (1059-1111) dst.[6]

1.2. Reformasi Agama, khususnya Protestan (abad 15-16)

Reformasi agama, adalah upaya kritik-kritik dan perbaikan dibidang agama, dikarenakan kelemahan dari agama itu (ke-salahan manajemen), prilaku rohaniawan yang ‘jumud’ dst. Protes itu pertama kali dilakukan oleh kaum (diberi nama Protestan) yaitu sebuah gerakan upaya untuk melakukan pembaruan terhadap Gereja Katolik Roma di Eropa Barat. Reformasi utama dimulai oleh Martin Luther (1433-1546) dan 95 dalilnya. Reformasi ini berakhir dengan pembagian dan pendirian institusi-institusi baru, di antaranya Gereja Lutheran, Gereja-gereja Reformasi, dan Anabaptis. Gerakan ini juga menimbulkan Reformasi Katolik di dalam Gereja Katolik Roma. Rancangan teologis dan latar belakangnya disusun pada Konsili Trente (1548–1563), ketika Roma memukul balik gagasan-gagasan fundamental yang dibela oleh para Reformator, seperti Luther.

Awal gerakan-gerakan itu adalah, Gerakan Anti-hirarki: Katharisme, Waldensianisme, dan lainnya, Kepausan Avignon ("Pembuangan Gereja di Babel"), Skisma Besar , Jan Hus, John Wycliffe, William Tyndale. Kemelut di Gereja Barat dan Kekaisaran Romawi Suci memuncak dengan Kepausan Avignon (1308 - 1378), dan skisma kepausan (1378-1416), membangkitkan peperangan antara para pangeran, pemberontakan di antara petani, dan keprihatinan yang meluas terhadap rusaknya sistem kebiaraan. Suatu nasionalisme baru juga menantang dunia abad pertengahan yang relatif internasionalis.

Salah satu perspektif yang paling menghancurkan dan radikal pertama-tama muncul dari John Wyclif di Universitas Oxford, kemudian dari Jan Hus di Universitas Praha. Gereja Katolik Roma secara resmi menyimpulkan perdebatan ini di Konsili Konstanz (1414-1418). Konklaf mengutuk Jan Hus yang dihukum mati, padahal ia datang dengan jaminan keamanan. Sementara Wyclif secara anumerta dihukum bakar sebagai seorang penyesat. Konstans mengukuhkan dan memperkuat konsepsi abad pertengahan yang tradisional tentang gereja dan kekaisaran. Konsili ini tidak membahas ketegangan nasional, ataupun ketegangan teologis yang muncul pada abad sebelumnya. Konsili tidak dapat mencegah skisma dan Perang Hus di Bohemia. Gejolak historis ini akhirnya melahirkan banyak pemikiran baru tentang bagaimana masyarakat seharusnya ditata. Hal inilah yang mengakibatkan tercetusnya Reformasi Protestan.

Setelah runtuhnya lembaga-lembaga biara dan skolastisisme di Eropa pada akhir abad pertengahan, yang diperparah oleh Pembuangan ke Babel dari Kepausan Avignon, Skisma Besar, dan kegagalan pembaruan oleh Gerakan Konsiliar, pada abad ke-16 mulai matang perdebatan budaya yang besar mengenai pembaruan keagamaan dan kemudian juga nilai-nilai keagamaan yang dasariah. Para ahli sejarah barat (kristen) pada umumnya mengasumsikan bahwa kegagalan untuk mereformasi (terlalu banyak kepentingan pribadi, kurangnya koordinasi di kalangan koalisi pembaruan), akhirnya menyebabkan gejolak yang lebih besar atau bahkan revolusi, karena sistemnya akhirnya harus disesuaikan atau runtuh, dan kegagalan Gerakan Konsiliar melahirkan Reformasi Protestan di Eropa bagian barat. Gerakan-gerakan reformis yang frustrasi ini merentang dari nominalisme, ibadah modern, hingga humanisme yang terjadi berbarengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan demografi yang ikut menyebabkan ketidakpuasan yang kian meningkat terhadap kekayaan dan kekuasaan kaum agamawan elit, membuat masyarakat semakin peka terhadap kehancuran finansial dan moral dari gereja Renaisans yang sekular. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh wabah pes mendorong penataan ulang secara radikal ekonomi dan akhirnya juga masyarakat Eropa. Namun demikian, di kalangan pusat-pusat kota yang bermunculan, bencana yang terjadi pada abad ke-14 dan awal abad ke-15, dan kekurangan tenaga kerja yang ditimbulkannya, merupakan dorongan kuat bagi diversifikasi ekonomi dan inovasi teknologi.

1.3. Renaisans Barat (abad 15-16)

Perkataan "Renaisans" berasal dari bahasa Perancis renaissance yang artinya adalah "Lahir Kembali" atau "Kelahiran Kembali". Yang dimaksudkan biasanya adalah kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran maupun kesusastraan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual abad pertengahan. Masa Renaissance bukan suatu perpanjangan yang berkembang secara alami dari abad pertengahan, melainkan sebuah revolusi budaya, suatu reaksi terhadap kakunya pemikiran serta tradisi Abad pertengahan.

Dilihat dari definisinya, kata "renaissance" menyiratkan sebuah pembangunan kembali atau kebangkitan. Periode yang dikenal sebagai renaissance dipandang sebagai sebagai penemuan kembali cerahnya peradaban Yunani dan Romawi (yang dianggap sebagai "klasik") ketika keduanya mengalami masa keemasan. Faktanya, sekalipun semasa Renaissance banyak orang membaca kesusasteraan klasik dan mempertimbangkan kembali pemikiran klasik, esensi yang sebenarnya dari renaissance adalah lahirnya banyak pembaharuan maupun penciptaan. Universitas tumbuh menjamur di seantro Eropa, dan penyebaran gagasan tiba-tiba muncul serempak.

Renaisans pertama kali diperkenalkan di Eropa Barat, di kawasan Italia. Hal ini dipicu kekalahan tentara salib dalam perang suci. Kekalahan tersebut membuat para pemikir dan seniman menyingkir dari Romawi Timur menuju Eropa Barat. Mereka menyadari telah dimulainya masa ‘mesiu peledak’ dan untuk menguasai teknologi tersebut mereka harus melepaskan diri dari pengaruh mistisme zaman pertengahan dengan kembali kepada sains zaman klasik yang sebelumnya dilarang karena dianggap pelanggaran terhadap misi ketuhanan (disamping faktor terpenting lain yaitu, kemajuan berfikir, dobrakan kepada dogma gereja sudah sedemikian kuat dan merata).

Perkembangan pertama renaisans terjadi di kota Firenze. Keluarga Medici yang memiliki masalah dengan sistem pemerintahan kepausan (frustasi dengan masyarakat dan tatanan keagamaan) menjadi penyokong keuangan dengan usaha perdagangan di wilayah Mediterania. Hal ini membuat para intelektual dan seniman memiliki kebebasan besar karena tidak lagi perlu memikirkan masalah keuangan dan mendapatkan perlindungan dari kutukan pihak gereja. Keleluasaan ini didukung oleh tidak adanya kekuasaan dominan di Firenze. Kota ini dipengaruhi secara bersama oleh bangsawan dan pedagang. Dengan kebebasan besar itu, seniman bisa berkumpul dan mendirikan gilda-gilda seni yang mengangkat nama banyak seniman terkenal. Melalui gilda ini seniman mendelegasikan pekerjaan, bekerja sama, hingga mendidik bakat-bakat baru.

Daftar tokoh besar pada masa Renaissance, Bidang seni dan budaya; Albrecht Duhrer (1471-1528), Desiserius Eramus (1466-1536), Donatello, Ghirlandaio, Hans Holbein (1465-1506), Hans Memling (1430-1495), Hieronymus Bosch (1450-1516), Josquin de Pres (1445-1521), Leonardo da Vinci (1452-1519), Lucas Cranach (1472-1553), Michaelangelo Bounarruti (1475-1564), Perugino (1446-1526), Raphael (1483-1520), Sandro Botticelli (1444-1510), Tiziano Vecelli (1477-1526). Penjelajahan; Christopher Columbus (1451-1506), Ferdinand Magellan (1480?-1521). Ilmu pengetahuan; Johann Gutenberg (1400-1468), penemu mesin cetak, dengan penemuan ini sangat memajukan penyebaran karya-karya ilmiah, sekalipun saat itu, karya-karya keagamaan dan kesusasteraan didahulukan (injil pertama kali dicetak tahun 1454)[7] Nicolaus Copernicus (1478-1543), bersama Galileo Galilei (1546-1642), Johannes Kepler (1571-1642). Memberikan teori dan pembiktian bahwa bukan matahari mengelilingi bumi, tetapi sebaliknya. Martin Luther (1433-1546) pernah dengan kasar menertawakan Copernicus sebagai “si dungu yang mau memutarbalikkan seluruh ilmu falak” ( karena pada waktu itu gereja menganut faham bahwa matahari mengelilingi bumi, yang termuat secara literalis dalam al Kitab). Dan puncaknya konflik gereja dan kalangan ilmiah adalah pengadilan Galileo Galilei pada tahun 1632. [8]Andreas Vesalius (1514-1564) ahli anatomi, William Gilbert (1540-1603) dst.

Dalam bidang filsafat ada Rene Descartes (1596-1650) dengan bukunya yang sangat terkenal mengawali masa pencerahan Discours de la Methode (Risalah Mehode, 1637). Rene Descartes memberikan sumbangan yang cukup berarti bahwa apapun harus diragukan, kecuali sang peragu sendiri yang tak mungkin diragukannya lagi. Statemen-nya yang paling terkenal Cogito Ergosum (Saya berfikir maka saya ada). Ini sebenarnya memberikan arah pendulum baru, bahwa pusat sudah bergeser dari ‘Gereja (Tuhan), kepada Manusia (Diriku pusat kebenaran, Humanisme). Upaya agama untuk memberikan ‘pendasaran baru’ religiusitasnya pada abad rasionalitas itu, akhirnya tertelan oleh rasionalisme itu sendiri. Atheisme, skeptisme, rasionalisme-materialisme dst, dimana semuanya menjauh dan menyerang agama bermunculan. Lalu Isac Newton (1642-1727), memberikan tambahan sumbangan ilmu pengetahuan dengan penemuannya ‘bersama’ G.W. Leibnizt (1646-1716) tentang perhitungan integral dan differensial. Kedua tokoh itu beragama (tetapi tidak dapat disebut beragama dalam artian formal, gerejawi).

Puluhan tahun setelah itu, para teolog tidak dapat lain kecuali harus menerima pandangan dunia baru itu, sebagaimana banyak diikuti oleh golongan Protestan atau menerimanya dengan tetap bertahan dengan pandangan Thomas Aquinas (jalan ini ditempuh oleh Katolik). Sementara di Prancis, metode dan teori ilmiah dipandang sebagai keterangan menyeluruh mengenai kenyataan. Dan lahirlah Scientisme dan humanisme.

Lalu setelah masa ini, diradikalkan lagi gerak pendulum (manusia sebagai pusat) dengan timbulnya abad Pencerahan dengan bapaknya; Immanuel Kant (22 April 1724 - 12 Februari 1804) seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan: Apakah yang bisa kuketahui? Apakah yang harus kulakukan? Apakah yang bisa kuharapkan? Dan disimpulkan dengan semboyan, Sapere Aude, beranilah berfikir sendiri (tanpa takut dengan otoritas lain, agama, alam dst. Manusia lah pusat segalanya)

1.4.Abad Pencerahan

Abad Pencerahan (Age of Enlightenment dalam literatur berbahasa Inggris) adalah suatu masa di sekitar abad 18 di Eropa yang diketahui memiliki semangat revisi atas kepercayaan-kepercayaan tradisional. Bertolak dari pemikirian ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya diskusi-diskusi dan pemikiran ilmiah. Ini ditambah dengan revolusi industri dimana ada perubahan teknologi, sosio-ekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar) dan ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam-keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke-19 membuat produk mesin produksi untuk digunakan di industri lainnya.

Kapan mulai revolusi ini tidak jelas, T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin bakar dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik. Efek budaya (revolusi ini) menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, kemudian mempengaruhi seluruh dunia.

Dengan hasil-hasil penemuan yang sangat ‘mencolok’ dan kasat mata ke-berguna-annya, maka kepercayaan diri tentang sesuatu yang ‘ilmiah’, rasional dan teknis ini makin menjadi-jadi, yang akhirnya timbullah saintisme (Saintisme adalah science’s belief in itself, yaitu kita tak lagi dapat memahami ilmu pengetahuan sebagai salah atu bentuk pengetahuan, melainkan menyamakan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah satu-satunya bentuk pengetahuan manusia. Metafisika, agama dan ontologi dianggap sesuatu yang non-sense).

Dan akhirnya ‘metodologi ilmiah’ (kronologis, bagaimana ilmu itu ‘mestinya’, dicari, dihasilkan, dibersihkan dari ‘kemungkinan’ kesalahan) digunakan sebagai ‘satu-satunya’ cara, syarat sesuatu pengetahuan itu benar atau salah, bahkan sesuatu itu layak diselidiki atau tidak. Dan kecendrungan ini, akhirnya karena silau dengan hasil-hasil kemajuan yang didapat dari pengetahuan itu (ilmu ke-alaman) dan dengan metode yang dipakai, pada abad selanjutnya (18-19) tidak hanya merambah dalam ilmu-ilmu kealaman, tetapi ilmu manusia (ilmu sosial juga) di haruskan atau ‘dipaksakan’ untuk mengikuti ‘metode ilmiah kealaman’ bila ingin sukses, bahkan bila ingin dianggap ‘benar’. August Comte adalah salah satu filsuf sekaligus sosiolog yang paling berpengaruh dalam masalah ini.

1.5. August Comte (filsuf-sosiologi dengan metode ilmu alam)

August Comte lahir pada tanggal 19 janusari 1798, dikota Montpellir bagian selatan Prancis. Ia belajar dipoliteknik dikota Paris, dan pernah menjadi sekretaris Saint Simon. Ia sangat terobsesi dengan keyakinannya tentang Posiitivisme, sehingga ia pernah menulils, “saya percaya bahwa sebelum tahun 1860 saya akan menghotbahkan Positivisme di gereja Notre Dame sebagai satu-satunya agama yang nyata dan benar”. Ia sangat percaya dan yakin dengan kemampuan manusia, akalnya, dengan itu dapat diselesaikan masalah-masalah, tanpa harus berpegang pada Agama-Gereja. Ia meninggal pada tanggal 5 September 1857.

Positivisme yang diwartakannya adalah paham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan manusia yang benar hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan (science). Hal positif (a positive fact) adalah hal yang mesti dibenarkan oleh siapapun, sebab semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menilainya. Hal-hal serupa ini ( a positive fact) lah yang mendasari dan membentuk ilmu pengetahuan. Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan diuji, yang melandari pengetahuan yang sah. Maka metafisika [9] dan Teologi merupakan ilmu yang permainan kata belaka.

Comte yakin dengan kemampuan akal manusia untuk mengenal gejala dunia, agak terbatas. Makanya manusia harus bersahaja dalam pencarian pengetahuannya yaitu pencarian ilmiah, yang berarti yang ‘kasat mata’, dan dapat teruji empiris saja. Tiga hal yang dapat dilakukan oleh manusia kata Comte; 1) menerima dan membenarkan gejala empiris sebagai kenyataan, 2) mengumpulkan dan menggolong-golongkan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, 3) meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu, dan mengambil tindakan yang dirasa perlu atau bermanfaat.

Evolusi manusia kata Comte, berjalan menurut perkembangan akal budi manusia yang berjalan dengan tahapan Agama, Metafisika dan tahap positif. Tahap Agama, yaitu bahwa dalam tahap ini, semua gejala, kejadian diterangkan dengan menggunakan gagasan-gagasan agama. Manusia belum melihat ‘kemampuannya’. Ia menghayati keberadaan didunia sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang mengagumkan sekaligus menakutkan. Manusia menghayati hidupnya sebagai keikutsertaan dalam proses-proses kosmos, yang tak terjangkau oleh pikirannya yang sederhana. Alam semesta dianggap berperasaan, berkemauan dan mampu bertindak seperti manusia[10]. Cara berfikir religius ditandai oleh pemakaian gambaran-gambaran dan personifikasi-personofikasi. Tahap Metafisika, ini kelanjutan dari pertama, kalau pertama semuanya dipangkalkan kepada Tuhan, sekarang dipangkalkan pada yang Abstrak, seperti “Hukum Alam”, “Kodrat Manusia”, “keharusan Mutlak” dll sebagai penyebabnya. Disini walaupun prinsip penerangan kejadian alam dicari dialam sendiri, namun penerangan itu belum berpangkal pada fakta empiris, melainkan pada suatu pengandaian atau suatu apriori, yang hanya dalam kepala manusia. Comte mengatakan ini hanya pergeseran saja, tidak banyak merubah apa-apa, dari tahap pertama. Tahap Positivisme, pada tahap ini, kejadian, gejala alam diterangkan oleh rasio berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji, dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan instrumental. Manusia dengan ini mampu memanipulasi alam sesuai dengan perencanaannya kemasa depan yang lebih baik. Dalam tahap ini agama, harus dengan ‘rela’ menyerahkan hegemoninya atas wilayah akal-budi kepeda ilmu pengetahuan empiris. Kalau dulu Katedral-katedral, kuil dan masjid menjadi jantung kehidupan bersama, dan agama menjiwai dan melembagakan seluruh masyarakat, sekarang kampus, bank, industri-pabrik yang menjadi urat-nadi masyarakat. Rene descartes (1596-1650) meramalkan, manusia menjadi maistres et possesseurs de la nature (tuan pemilik yang menguasai alamnya).

Pandangan Comte tentang masyarakat bercorak “holisme”. Masyarakat dilihat sebagai kesatuan, yang dalam bentuk dan arahnya tidak tergantung pada inisiatif bebas anggotanya, melainkan pada proses spontan-otomatis perkembangan akal budi manusia. Akal budi dan cara berfikir berkembang dengan sendirinya.[11] Proses itu setahap demi setahap, alami yang tak terelakkan dan terhentikan. Perkembangan atau evolusi itu dikuasai oleh suatu hukum universal tidak mengenal batas spatio-temporal (ruang dan waktu, kapan dimana).

1.6 Kant, Tokoh cikal-bakal Pembongkar Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan

Kemajuan demi kemajuan, seperti terlihat diatas, makin menjadi-jadi sampai abad sekarang ini (Abad XX dan XXI), sehingga pada akhir abad ini (XX), mulai dibarat timbul pemikiran untuk mulai merevisi pandangan kemajuannya, karena mereka yakin dengan cukup bukti kasat mata, bahwa kemajuan itu, rasionalisme itu, sain-sain yang meraka kuasai mengarahkan mereka dan sudah nampak jelas kearah kehancuran, kearah non-agama bahkan anti agama.

Dalam segi ekonomi kemajuan-kemajuan mereka diiringi dengan membengkaknya kemiskinan dikota, meningkatnya pemakaian narkoba, lisbianisme, homoseksual, single-parent, aborsi dst. Meningkatnya jumlah kejahatan, hutang pemerintah ternyata juga sangat menumpuk, kerusakan lingkungan dst.[12] Juga segi-segi lainnya. Sain-ilmu pengetahuan akhirnya menjadi saintisme (ilmu pengetahuan-lah segalanya), dari humanisasi, menjadi Humanisme (manusia segala-galanya), dari modernisme (mengurangi kooptasi langit terhadap bumi), menjadi positivisme-logis (langit itu tidak ada, metafisika non-sense dst). Kelahiran dan kritik itu dimulai oleh para filosof yang dicari sebagai pendasaran pemikiran para ilmuan saat ini.

Immanuel Kant, Lahir di Konigsberg 1724, pada zaman pencerahan (Aufklarung, Enligtenment), yaitu zaman dimana manusia barat mulai mencari cahaya baru dalam rasionya sendiri. Menurut Kant sendiri, dengan pencerahan maksudnya adalah orang keluar dari keadaan tidak akil balig (Unmundigkeit), yang dengan itu manusia melakukan kesalahan, kesalahannya terletak pada keengganan atau ketidakmampuan manusia untuk memanfaatkan rasionya; manusia lebih suka pada otoritas diluar dirinya (wahyu ilahi, nasehat orang terkenal, gereja ataupun negara). Berhadapan dengan masalah inilah pencerahan bersemboyan, Sapere Aude (beranilah berfikir sendiri). Aufklarung merupakan kelanjutan proses humanisasi manusia barat yang telah dimulai dengan Renaissance dan reformasi (protestan) pada gereja.[13]

Gerakan ini mulai berkembang di Inggris, dimana disana suasana politik mengizinkan pemikiran bebas, dan sejak 1693 undang-undang kerajaan menjamin kebebasan mencetak. Yang memberikan angin seterusnya bagi revolusi Prancis 1789 dengan penyerbuan penjara Bastille. Juga di Jerman dengan Lutheranisme. Salah satu gerakan itu adalah Pietisme yang disponsori oleh Spencer dan Franke. Pietisme menekankan kesalehan hidup sehari-hari, sikap batin yang baik dan moralitas keras. Menurut ajaran ini, Gereja sejati bukan berada di organisasi gerejawi manapun atau dalam ajaran-ajaran teologi, melainkan dalam hati orang-orang yang percaya dan saleh. Gerakan ini bersifat spiritual dan non-institusional (seperti Gereja). Mereka menyebut dirinya Eccesiola in Ecclesia, artinya Gereja kecil didalam Gereja. Kant, Newton dan banyak yang lain ‘ikut’ kelompok ini. Kant tidak suka beribadah bersama digedung gereja, dan menganggap doa dengan sikap khusus tidak perlu bahkan mendatangkan penghinaan bagi diri sendiri.[14]

Filsafat Kant, dipengaruhi (atau ‘sintesis’) dari dua filosof sebelumnya yaitu Plato (idealisme) yang menelorkan rasionalilsme ala Gottfried Leibniz dan Aristoteles (Realisme) yang menelorkan Empirisme Hume. Yang pertama Idealisme-Rasionalisme, berfikir cenderung Deduksi (mengatakan bahwa yang ada hanya-lah Ide) dan pengetahuan manusia itu sejak awal sudah ada, sewaktu kita melihat alam, maka pengetahuan bawaan (yang ada sejak awal) itu menjadi sadar. Dari hal-hal yang umum (pasti) menuju ke bagian-bagian. Sedangkan kedua Realisme-Empirisme, mengatakan bahwa yang real itu ada dilaur manusia (bukan ide), pengetahuan diperoleh dengan proses melihat alam real, lalu di abstraksi (dimurnikan). Melihat Hasan, Zed, Ali dst, lalu diabstraksi menjadi ‘Manusia’. Hume mengatakan, sumber pengetahuan manusia itu adalah Pengalaman. Dari pengalaman diperoleh dua hal, yaitu kesan-kesan (imprssions) dan pengertian atau idea-idea.

Kant sebenarnya bergerak dari dua pendekatan filsafat diatas yaitu Rasionalisme Leibniz dan Empirisme-skeptisme Hume. Kant bertanya; syarat-syarat apa yang harus diperoleh agar pengetahuan itu menghasilkan pengetahuan yang mutlak perlu dan pasti? Karena itu kant menyelildiki unsur-unsur proses pengetahuan manusia. Dalam bukunya Kritik atas Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft), kant membedakan tiga macam putusan yaitu; 1) Putusan analitis seperti; Lingkaran (Subjek) adalah bulat (predikat). Predikat (kata bulat) tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek (kata lingkaran), sebab dengan menganalisa lingkaran kita sudah tahu bahwa bulat itu akan keluar sebagai konsekuensi. Semua manusia pasti mati, Si A manusia, maka Si A pasti mati. Ini juga tidak menghasilkan ilmu baru, sebab dengan menganalisa semua manusia pasti mati, maka keluar konsekkuensi bahwa kalau ada manusia (misalnya Si-A), maka otomatis dia pasti terkena hukum pasti mati. 2) Putusan sintesis aposteori, Meja itu bagus, predikat (bagus) dihubungkan dengan subjek (meja), derdasarkan pengalaman indrawi. Setelah saya mempunyai pengalaman indrawi dengan macam-macam meja, konsekuensi (bagus) dapat keluar darinya. Atau contoh diatas Semua manusia mati. Predikat (mati) dihubungkan dengan subjek (semua manusia), juga butuh pengalaman berhubungan dengan kematian manusia yang beraneka ragam.

Dua hal ini (putusan analitis dan putusan sintesis aposteori) tidak menjadi masalah dalam pengetahuan, tetapi yang terpenting adalah keputusan ke 3) Putusan sintesis a priori misalnya; “Segala kejadian mempunyai sebab”. Keputusan ini bersifat mutlak (a priori) tetapi bersifat aposteori. Sebab dalam pengertian ‘kejadian’ belum dengan sendirinya (analitis) bersifat pengertian ‘sebab’. Maka disini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan langsung. Dengan ini syarat pengetahuan menjadi umum dan mutlak memberi pengetahuan baru. Tetapi pertanyaannya bagaimana pengetahuan seperti ini bersifat mungkin dalam diri manusia? Apa pendasarannya?

Kant dalam artian tertentu ia adalah Realisme sebab ia mengatakan bahwa benda ada diluar kita, lepas dari objek. Benda pada dirinya sendiri (das Ding an sich), tetapi realitas itu tidak bisa diamati atau diselidiki. Yang kita mampu ketahui adalah fenomena ‘benda’ itu (penampakan-penampakannya). Dipihak lain ia adalah idealisme karena ia mempercayai adanya 12 kategori, yang sudah siap sejak awal tinggal disentuh disadarkan oleh pengalaman indrawi.

Bersama dengan data indrawi, akal budi bekerja spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan keputusan. Menurut kant ada 12 kategori yang bersifat apriori; yaitu Kuantitas (kesatuan, kemajemukan dan keutuhan), Kualitas (realitas, negasi, pembatasan), relasi (substansi dan aksiden, sebab dan akibat, interaksi), Modalitas (mungkin/mustahil, ada/tiada, keperluan/kebetulan). Misalnya setelah digerakkan bola pertama, lalu menempel bola kedua dan bola kedua bergerak, maka akal-budi mengatakan bahwa bola kedua bergerak disebabkan bola pertama. Dengan ini ada sintesis antara data indrawi (aposteori) yaitu gerakan bola pertama dan gerakan bola ke dua, lalu bekerjalah unsur apriori yaitu kategori ‘sebab-akibat’ (yang sudah tersedia dalam akal-budi, 12 kategori diatas). Dengan ini kant memberikan penjelasan ‘kemungkinan’ validitas ilmu pengetahuan alam.

Lalu Kant mengatakan ada tingkatan ketiga yaitu (pertama, Indrawi, kedua Rasio atau akal-budi) intelek. Kata kant ada pengertian-pengertian yang mutlak perlu, yaitu tidak diperoleh dari pengalaman melainkan mengatasi pengalaman-pengalaman. Ada 3 idea kata kant dalam hal ini yaitu; Idea tentang Keabadian Jiwa, Dunia dan Allah. Kant menganggap ini diluar pengalaman, karena menurut kant pengalaman itu dunia fenomenal (dan ini diketahui lewat Intelek). Disini kant berusaha mensintesiskan realisme-empirisme dan Idealime-Rasionalisme. Walau demikian kant tampaknya lebih condong (walau bukan ‘kuat’ ke idealisme).



[1] Keith Wilkes, “Religion and the Science”, disadur oleh P. Adolf Heuken S.J. Cet-II, Sinar Harapan Jakarta, 1982. hal 13-14.

[2] Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama Abad ke 16 di wilayah diluar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance. Lihat Wikipedia.

[3] Ibid, hal 19. catatan kaki no 13.

[4] Banyak sarjana barat, mengatakan bahwa islam tidak akan dapat menemukan kearifan tanpa sentuhan barat. Sebenarnya itu malah sebaliknya; Barat tak dapat menemukan ‘kearifan Yunani’ tanpa sentuhan “Islam” sebab; Filsafat memang pertama kali secara sistematis keluar dari Yunani (sejarawan percaya bahwa bunga rampai pemikiran itu berasal dari Yunani, kira-kira 6 abad sebelum kelahiran Isa as. Tetapi bersamaan dengan ajaran-ajaran itu (yang tidak mereka tutup-tutupi), mereka sendiri mengatakan bahwa landasan pemikiran dan butir-butir pemikiran itu dipengaruhi oleh kepercayaan dan kebudayaan agama timur). Kota-kota Yunani (khususnya Alexanderia, akhir pengajaran filsafat) masih tetap menjadi pusat filsafat sampai abad ke-4 sebelum masehi. Dan betul-betul “hilang” setelah kekaisaran romawi memeluk agama Kristen, dan menyebarkan doktrin-doktrin gereja, akhirnya Justinian (Justianus), kaisar romawi Timur, tahun 529M memutuskan untuk menutup seluruh universitas-universitas dan sekolah di Atena dan Alexanderia. Para sarjananya berlarian dan mengungsi menyelamatkan diri keberbagai kota dan negeri lain. Akhirnya kebijaksanaan itu (filsafat) diketemukan lagi, setelah pelajaran-pelajaran itu dikonsumsi dan diolah oleh umat Islam (sarjana-sarjana Muslim), lewat terjemahan buku-buku itu kedalam bahasa Arab. Lihat saja perbandingan-perbandingan tahun hidup filosof-filosof Islam dan Barat. al-Kindi (801-873), Ibn Sina (980-1037M), Al-Ghazali (w. 1111 M), Suhrawardi (w. 1191), Thomas Aquinas (1225-1274 ), Artinya filsafat Islam hampir definitive, filsafat barat masih dalam “rahim”. Mereka baru bangun, setelah Ibn Rusyd (1126-1198 M) di Andalusia (Spanyol) memperkenalkan filsafat kemereka. Lihat, Prof. I.R. Poedjawijatna,. “Pembimbing ke Alam Pemikiran Filsafat”, Pt Rineka Cipta, Jakarta, Cet-9, 1994. hal 80.

[5] Keith Wilkes, op cit, hal 19.

[6] Mungkin ada benarnya kata Harun Nasution (Bekas Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bahwa Islam ”Jaya” pada saat Islam menganut secara umum masyarakatnya madzab yang punya kecendrungan rasional, Mu’tazilah, saat itu. Dan Islam redup setelah madzab rasional itu diganti dengan madzab Asyyariyyah, yang memiliki kecendrungan kepada ‘deterministik’. Harun Nasution, ”Islam ditinjau dari berbagai Aspek”, Bulan-Bintang, Jakarta, 1974. Sejarah dan pemikiran Filsafat-Teologi Islam (cukup extensif), lihat, Nasr, Sayyed Hossen dan Oliver Leman, ed,. “History of Islamic Philosophy, Part 1 dan 2, Teheran, IRAN, 1999.

[7] Kith Wilkes, ibid, hal 17.

[8] Ibid, hal 32.

[9] Metafisika kata Aristoteles adalah ilmu mengenai yang-ada dalam dirinya sendiri. Filsafat mengenai yang-ada berkaitan dengan realitas. Dengan metafisika orang ingin memahami realitas dalam dirinya sendiri. Berbicara mengenai yang-ada berarti bergaul dengan sesuatu yang sungguh-sungguh real, sejauh yang-ada itu sebagai kondisi semua realitas. Metafisika tidak bergaul dengan yang konkret. Objek metafisika adalah objek kajian yang mengatasi pengalaman indrawi yang bersifat individual. Menurut Heidegger, metafisika adalah pencarian filosofis yang tidak lain merupakan usaha mencari apa yang ada di belakang yang fisik (meta ta physica). Pencarian filosofis mengatasi yang-ada, yang sekadar hadir begitu saja. Pencarian untuk mengatasi yang konkret. Metafisika merupakan usaha pembebasan dari manusia sebagai makhluk rasional dari keterikatan pada hal-hal fisik belaka. Metafiska merupakan bentuk transendendi manusia, dimana manusia mau keluar dari keterbatasan fisiknya. (Loren Bagus, ”Metafisika”, Gramedia, Jakarta, 1991, hal 3-4).

[10] Ini menunjuk semacam Animisme dan Dinamisme, sebagai tahapan awal, lalu Politeirsme (mulai memilah-milah, dan terakhir muncul Monotheisme. Dimana yang terakhir ini Tuhan dikatakan berdaulat penuh dan berkuasa mutlak atas langit dan bumi. Semua gejala alam, hidup-mati, suka-duka, untung-rugi, yang dialami manusia diterangkan sebagai kehendak dan Tindak dari Yang Maha Kuasa. . K.J. Veeger, “Realitas Sosial”, Gramedia, Jakarta, cet-III, 1990, hal 20.

[11] Ini beda dengan Marx. Marx bilang material (infrastruktur) yang berubah, menyebabkan cara-berfikir (supra-struktur) berubah.

[12] Lihat Jeremy Rifkin, “Biosfere Politics, A New Conciousness for a New Century”, Crown Publisher, Inc. New York, 1991, hal 12-13. Juga buku James Mac Rae, “Dunia Tahun 2020” dst tentang data-data problema AS-Eropa.

[13] Simon Eliot dan Beverley Stren, “The Age of Enligtenment”, London: Barnes and Noble, 1979. hal 249-250.

[14] “Berlutut atau merendahkan diri sampai ketanah, bahkan demi menyatakan hormat pada hal-hal surgawi, adalah bertentangan dengan martabat manusia”. Kant, “Religion within the Bound of Reason Alone, Book III, Part II, dalam HB Anton, “Kant’s Moral Philosophy”. London, Macmillan, 1970, hal 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar