Laman

Minggu, 28 Maret 2010

Psikoanalisa sebagai Upaya 'Hermenutika Dalam'

Diagnosa Psiko-analisa

Dalam upaya

Rekontruksi sejarah Islam Awal

Prawacana

Islam adalah sebuah agama yang turun digunung pasir arab abad ke 6. dengan segala kegunung pasirannya, islam merasuki masyarajt gurun itu, merekontruksi bangunan mental ‘gunung-pasir’ digabungkan dengan ‘semangat suci’ ke-wahyu-ilahian yang menerobos batas-batas historis. Dengannya maka Islam menjadi terarab-kan dan aran terislamkan. Tahun demi tahun kegemilangan masyarakat gurun setelah terkena sentuhan spirit qurani, menajdikan mereka bangsa yang besar dan terbesar.

Penaklukan demi penaklukan, penyebaran islam dengan berbagai motif. Sama seperti semua peradapan umumnya dalam ‘perluasan kekuasaan’, maka 3 hal yang diemban yaitu Glory (kebanggaan dan harga diri bangsa kuat dan besar), Gold (mendapatkan tambahan kekayaan, ekonomi dan kemakmuran), serta Gospel (missi suci menyebarkan agama). Ketiganya saling tumpang tinding dengan komposisi yang tidak selalu tetap.

Pertikaian, intrik politik (dengan nuansa agama) selalu terjadi, dimulai sejak nabi Islam Muhammas saw ada, sampai meninggalnya (dimana yang terakhir ini, dielaborasi menjadi skisme pertama dalam islam dan menghasilkan dua maszab besar Islam yaitu Syiah dan Ortodoxy). Syi’ah adalah akhlu sunnah wal adalah (siap mengorbankan jamaah demi keadilan), sedangkan ortodoxy adalah madzab kompromistis, siap mengorbankan keadilan demi terjaminnya jamaah.

Semangat, spirit Islam yang dibalurkan sampai kesum-sum masyarakat padang pasir, belum lama berselang, sehingga skisma itu, terhilangkan maknanya dengan perluasan, peperangan dengan daerah lain, melimpah ruahnya kesejahteraan, kebanggaan dan seterusnya.

Spirit islam, mulai terkena hempasan kuat setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan islam, walau faktor persatuan dalam karena musuh dan proyek luar tetap membuat Islam sebagai nama agama tegar dan jaya. Perluasan, peprangan dan upaya mencapai ketiga hal diatas (Glory, Gold dan Gospel) makin terorganisir dengan efektif dengan administrasi dan menajemen birokrasi yang sudah mulai diupayakan, walau tampak bahwa Gold dan Glory selalu lebih menonjol dibandingkan Gospelnya (berbeda dibanding tahap-tahap awal), walau dalam hal slogan semangat perjuangan, tidak ada kobaran semangat yang melebihi dari ‘syahid’. Seperti semua pemerintahan, manajemen yang salah urus dikarenakan antara kecepatan perluasan wilayah tidak diimbangi dengan penataan administrasi manajemen yang memadai akhirnya simpul-simpul ‘kecerobohan’ itu mulai menjalar kebagian-bagian masyarakat umum. Walau sekali lagi itu semua tetap tertutupi dengan baluran-islam dalam masyarakat padang pasing, kekokohan dalam banyak hal peradaban baru Islam dan kekuatan baik angkatan bersenjata, ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Seiring dengan kemajuan, kejayaan Islam, maka tumbuhlah minat-minat selain kehidupan rutin ekonomi dan agama, yaitu seni, ilmu pengetahuan, riset ilmiah, pembuatan perpustakaan, kumpulan para sarjana dst. Kepercayaan diri, minat asli manusia padang pasir dan sentuhan spirit al qur’an membuat mereka seakan keranjingan kepada progresitivitas, ilmu pengetahuan dan merasa ‘superior’ dibandingkan bangsa yang awalnya hanya didengar kemasyhurannya (Romawi dan Persi).

Disisi lain kehidupan masyarakat, maka ada kelompok yang seperti umumnya masyarakat, mencoba melakukan penataan keorganisasian masyarakat dengan berpegang pada konsep dasar bersama. Dicarilah konsep itu dalam ‘syariah’ yang arti awalnya adalah jalan menuju oase. Dengan syari’ah itu diharapkan keprogresifan, kemajuan dan percaya diri serta hal-hal lain tidak melenceng dan akhirnya menghukum diri sendiri dengan kehancuran. Spirit al-qur’an diupayakan untuk melingkupi semua kehidupan masyarakat. Walau kosmopolitanisme arab-islam saat itu, sulit di wadahi dengan syariah yang memang belum terbentuk secara utuh dan lengkap. Apalagi kerajaan juga setengah hati untuk mendukung itu, kecuali dilihat keuntungan buatnya jelas.

Syariah dan jelas topangannya hadist, masih dalam kondisi ‘tersebar’ tanpa kejelasan rinci superioritasnya terhadap petunjuk prilaku masyarakat saat itu. Semuanya berkembang (seperti umumnya masayarakat kosmopolitan). Teologi berkembang, hadist jalan, filsafat jalan, ilmu pengetahuan (pengobatan, perbintangan, militer, administrasi) berjalan. Dengan menemui komunitasnya, investor-investornya dan semuanya dalam topangan keuangan negara yang berlimpang ruah. Walau sesekali negara ikut campur dalam perdebatan, diskusi dst, dengan tanpa kelicikan-kelicikan yang kadang dilakukan dengan mencolok mata. Mendukung satu kelompok dan menggeser kelompok lain karena kepentingannya. Walau tetap harus diakui bahwa banyak tokoh-tokoh menonjol berupaya untuk tetap konsisten dengan keilmiahannya, tak ‘tersentuh’ oleh kepentingan yang sarat (karena tidak ada ilmu tanpa kepentinngan). Sejalan demi jalan, setapak demi setapak, seperti umumnya jiwa manusia, selalu memiliki kecondongan yang berat sebelah. Dan seperti dapat dilihat, dengan bentuk legitimasi kerajaan yang ‘tidak sah’, walau mencari topangan kebenaran keulamaan, jiwa masyarakat yang bebas karena bergelimang kekayaan, kemakmuran, maka urusan bawah, imanen, duniawi lebih prioritas utama menonjol dibandingkan dengan urusan atas, transendental, akhirat. Apalagi penguasa tidak terlalu ingin ‘islami’ dalam artian kebenaran, bukan politis.

1. Pengantar Psikoanalisa[1]

A. Pengertian-pengertian umum

Sigmund Freud lahir 6 mei 1856 di Freiberg, daerah Moravia, waktu itu masuk wilayah kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang termasuk Cekoslowakia). Karya-karyanya; Tafsir mimpi, (1900), tiga karanggan tentang teori seksualitas (1905), kasus dora (1905), memperkenalkan psikoanalisa, lima ceramah (1910), Leonardo Davinci (1910), Totem dan tabu (1913), Pengantar pada psikoanalisa (1917) Dll.

Psikoanalisis awalnya dimulai dengan penelitian Dr. Josep Breuer, dengan pasien histeria[2]. Anna O adalah pasien Breuer dimana karena setelah menghabiskan hari-harinya merawat ayahnya ia menjadi sakit. Lalu kesehatan makin melemah, kemudian Anna menjadi bisu. Setelah ayahnya meninggal, ia tak mau makan dan ia mengindap masalah kesehatan. Dia tak merasakan kaki dan tangan-nya, mengindap paralisis dan kejang-kejang, memiliki masalah penglihatan dan halusinasi. Tetapi setelah para ahli yang mendiagnosanya, semua menyatakan bahwa secara fisik dia tidak mengalami gangguan apa-apa.[3] Dengan metode katarsis (pembersihan), menceritakan, mengingat-ingat hal yang dilupakan dalam histeria itu lewat keadaan hipnosa. Breuer berhasil dengan pasiennya. Freud (1856-1939) awalnya mengikuti Breuer, tetapi akhirnya meninggalkan konsep katarsis (dengan hipnosa), dan menggantinya dengan asosiasi bebas.[4]

Dalam periode pertama (teori psiko-analisis) yang menyangkut kehidupan psikis, dilukiskan sebagai oposisi antara dua kelompok yaitu; naluri-naluri seksuil yang bertujuan menjamin kelangsungan hidup (conservation of species) dan dilain pihak naluri-naluri EGO yang bertujuan mempertahankan individu. Disamping itu freud juga menerima 3 konsep yang mengatur dan menguasai semua proses psikis. Yaitu Pertama adalah prinsip konstansi (the principle of contancy) yaitu hidup psikis berkecendrungan untuk mempertahankan kwantitas tegangan psikis pada taraf yang serendah mungkin atau setidak-tidaknya pada taraf yang sedapat mungkin stabil. Konstansi atau stabilitas itu dihasilkan disatu pihak dengan melepaskan energi psikis yang sudah ada pada subjek dan dilain pihak dengan menghindarkan bertambahnya ketegangan, misalnya melalui jalan ‘pertahanan’ (defence) melawan bertambahnya tersebut. Ini diambil oleh Freud dari psikolog Fechner.

Kedua adalah Prinsip kesenangan (the pleasure principle), hidup psikis berkecendrungan untuk menghindari ketidaksenangan dan sebanyak mungkin memperoleh kesenangan. Sejauh ketidak senangan bertalian dengan bertambahnya kuantitas ketegangan psikis dan kesenangan bertalian dengan berkurangnya kuantitas ketegangan psikis, maka prisnsip ini dapat disebut sebagai versi subjektif dari prinsip konstansi.

Pada awalnya (anak-anak), maka prinsip konstansi dan kesenangan adalah segalanya, tetapi setelah dewasa, maka pemuasan itu mulai diarahkan agar sesuai dengan realitas (walau tetap tidak bertentangan dengan prinsip kesenangan). Ketiga, Prinsip Realitas, yaitu prinsip kesenangan yang disesuaikan dengan realitas.

Disamping itu, freud juga membedakan 3 topografi, yaitu alam tak sadar (yaitu sesuatu yang memang aslinya tak sadar, seperti; nafsu dan insting, atau yang masuk kesitu karena represi). Alam bawah sadar atau alam tak sadar, ini hanya dapat dikenali lewat tafsiran analis atau bantuan analis. Alam pra-sadar, alam yang dilupakan tetapi dapat diingat kembali tanpa perantara psikoanalisa. Alam ini walau dilupakan, tetapi dapat diingat kembali dengan mudah. Alam sadar yaitu apa yang kita sadari sehari-hari, pada saat tertentu, pengindraan langsung, ingatan, pemikiran dst.

Disamping hal diatas ada hal lain yang penting dalam teori freud yaitu konsepnya tentang Id, EGO dan Super-EGO, Teori Seksualitas dan mimpi serta tafsirnya. Mimpi secara sederhana kata freud dapat diartikan sebagai berikut; Mimpi adalah keadaan tidur, dimana si subjek ingin beristirahat dan aktivitas-aktivitasnya (psikis maupun fisik) sudah mencapai taraf minimal. Dalam keadaan ini represi menjadi kendor dan apa yang direpresi dapat masuk dalam kesadaran. Dengan menyelidikan aktivitas-aktivitas sebelumnya yang dilakukan si subjek kita dapat mengartikan mimpi si subjek. Mimpi adalah keinginan tak sadar yang muncul dalam kesadaran. Mimpi tidak lain dari perealisasian suatu keinginan. Mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi. [5]

Disamping itu dalam karyanya Totem dan Tabu Freud mengatakan; karya seni adalah alat pemuas keinginan-keinginan tak sadar pada taraf imajiner, sama dengan mimpi dan gejala neurosis. Karya seni juga merupakan kompromi antara kecendrungan-kecendrungan taksadar. Yang khusus bagi karya seni adalah bahwa kompromi itu serasi dengan aspirasi-aspirasi yang dialami orang lain sehingga keinginan-keinginan mereka untuk sebagian dipuaskan pula.

B. Konsep dan Proses Psikoanalisa[6]

Gejala-gejala pasien histeria berasal dari peristiwa-peristiwa tertentu dimasa lampau yang sangat mengesankan bagi mereka tetapi dilupakan (trauma-trauma), pengobatan berdasarkan pada kenyataan itu dengan mengajak mereka mengingat-ingat kembali dan sekali lagi menghayati peristiwa-peristiwa dibawah hipnosa (katarsis)[7]; kesimpulan teoritis dari sini, yaitu gejala-gejala disebabkan karena suatu kuantitas rangsangan yang tidak dihabiskan digunakan secara abnormal (konversi).

Psikoanalisa frued awalnya menggunakan metode katarsis (josep Breuer), tetapi kemudian diganti oleh frued dengan ’asosiasi bebas’[8]. Dimana ini adalah upaya melihat peristiwa-peristiwa (traumatis) yang tak terkatakan, tetapi diungkapkan oleh pasien dalam bentuk lain (simbol, kata yang salah atau lainnya), yang dapat ditelusuri sampai ke masa pubertas dan anak-anak. Tarikan kemasa lampau ini adalah ciri dari psikoanalisa.[9] Dalam psikoanalisa disamping metode katarsis, ada teori lain yaitu represi, resistensi, seksualitas anak dan penafsiran serta penggunaan mimpi sebagai cara untuk mengenal ketidaksadaran.

Dengan represi maksudnya adalah bahwa proses psikis yang tak sadar dimana suatu pikiran atau keinginan yang dianggap tidak pantas, disingkirkan dari kesadaran. Yang terpenting dalam psikoanalisis adalah bahwa pikiran atau keinginan tersebut dengan demikian tidak ditiadakan begitu saja, tetapi hanya dipindahkan ketaraf lain yaitu taraf tak sadar. Sedangkan resistensi adalah perlawanan yang diadakan si pasien, jika si analis mencoba membongkar keinginan-keinginan tak sadar yang menyebabkan neurosa. Dengan upaya ini pasien mengusahakan agar apa yang terkena represi tetap tinggal dalam keadaan tak sadar. Itulah makanya kadang digunakan hipnosa untuk tahu itu, tetapi freud mengususlkan dengan lebih menekankan pada refleksi dari resistensi itu untuk mengetahui yang direpresi. Menurut psikoanalisis, peristiwa-peristiwa yang direpresi tidak dapat diingat pasien bersangkutan, karena dihalangi oleh resistensi-resistensi intern yang bersifat afektif (perasaan dan moral). Resistensi itu terjadi juga pada orang sehat, bila lewat pemberitahuan dari luar mereka dikonfrontasikan dengan suatu yang direpresi. Mereka dapat menyajikan alasan-alasan rasional untuk menunjang apa yang direpresi karena alasan afektif. Walau dapat dilihat bahwa alasan-alasan itu tidak bersifat gemilang dan saling bertentangan.[10]

Sewaktu menganalisa histeria, sampai kemasa lampau psikoanalisa freud sampai berkesimpulan bahwa seksualitas anak-anak, itulah sebab-musabab awal, akhirnya terbentuk histeria pada masa dewasa. Disposisi bawaan dan penghayatan pribadi disini kait-mengkait sebagai sebab-musabab yang tak dapat dipisahkan. Dengan suatu disposisi tertentu, kesan-kesan yang dalam keadaan lain mungkin biasa saja dan tidak mengakibatkan apa-apa dapat menjadi trauma-trauma yang menampilkan dorongan-dorongan dan fiksasi-fiksasi. Dan karena penghayatan-penghayatan tertentu, bisa terjadi bahwa dibangkitkan faktor-faktor bawaan yang tanpa penghayatan-penghayatan tersebut pasti masih lama dalam keadaan tertidur dan barangkali tidak pernah sampai berkembang. Konstitusi seksual yang khas untuk anak-anak menampilkan penghayatan-penghayatan seksual yang khas pula; yaitu taruma-trauma.[11]

Pasien yang terkena trauma, karena represi dan yang direpresi itu biasanya tidak hilang tapi masuk dalam ketidaksadaran, umumnya berupa mimpi (atau salah kata, fenomena latah dst). Dalam mimpi hal-hal yang direpresi keluar lagi, mengalami kompromi antara keinginan dan ketidakbolehan (represi). Kompromi itu keluar lewat mimpi (yaitu mengatakan sesuatu yang diinginkan tetapi direpresi, sehingga keluar sesuatu yang ’tidak jelas’, simbol dll dalam mimpi. Mimpi kata Freud adalah kaitan distorsi dengan konflik batin, semacam ketidak jujuran batiniah.

Ilmu psikoanalisa banyak yang menerima, tetapi banyak yang menentangnnya[12]. Syarat dalam terjadinya terappi analisis adalah kesediaan dan keinginan si pasien untuk disembuhkan, bila tidak maka resistensi akan dipasangkan kemana-mana. Analisa kurang cocok untuk alat polemik. Sebab analisa mengandaikan persetujuan orang yang dianalisa, suatu situasi pemimpin (para terapis) dan yang dipimpin (si pasien). Jika ini tidak terjadi maka sulit analisa melakukan tugasnya.[13]

Psikoanalisa bukan sebuah sistem, ia hanya mengharapkan agar penemuan-penemuannya dapat melengkapi dan mengkoreksi pengetahuan yang sudah kita peroleh dengan cara lain. Tugas utamanya adalah menjelaskan neurosa-neurosa, dengan berpangkan pada konsep resistensi serta tranferensi dan mengikutsertakan manusia.

Terkadang seseorang menderita karena emasionalnya yang selalu goyah dan tidak dapat dikuasai olehnya. Bisa juga seseorang selalu merasa amat kecil hati, sehingga semangatnya lumpuh, karena ia mengira tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik, atau terkadang seseorang merasa malu dan terganggu bila berada ditengah-tengah kerumunan orang yang tidak dikenal (di pesta, pameran atau lainnya). Kadang seseorang mengalami kesulitan besar dalam menjalankan pekerjaannya atau mengambil keputusan penting tanpa mengetahui sebabnya. Pada suatu hari kadang seseorang bisa diserang rasa cemas yang hebat, sehingga dengan itu, sejak saat itu ia tidak sanggup lagi berjalan sendirian dijalan raya atau naik kendaraan umum, kecuali dengan sangat memaksakan diri. Bahkan terkadang orang tidak berani keluar rumahnya atau naik kendaraan umum sama-sekali. Ada juga orang yang setiap kali setelah makan ia harus muntah-muntah, sebuah gejala bila berlangsung lama bisa fatal (dalam istilah medis ini disebut, anarexia nervosa).

Bila kita ke-dokter dengan gangguan itu, maka dokter akan memeriksa organ mana yang bermasalah, yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakit itu. Padahal kalau dilihat semua orang itu normal dan sehat. Akhirnya mungkin sang-dokter menasehatkan beberapa pola makan atau hidup pasien, atau memberikan resep obat tertentu. Tetapi ‘secara umum’, cara itu akan berhasil minim bahkan tidak berhasil sama sekali. Sebab itu adalah problem psikogenis (sebab-sebabnya adalah psikis). Kesalahan umum kita (terutama ‘awam’ di Indonesia, kita pergi ke-dokter syaraf, bukannya pergi ke Psikolog). Inilah salah satu kerja Psiko-analisis dalam mengobati pasien-pasien seperti diatas.

Kata Freud, yang dilakukan si analisis dengan pasiennya beda dengan dokter.

“Yang berlangsung antara pasien dengan analis tidak lain daripada berbincang-bincang saja. Si analis tidak menggunakan alat-alat, bahkan tidak menggunakan pemeriksaan; dan ia juga tidak menuliskan resep. Bila memungkinkan, selama pengobatan pasien tetap dibiarkan tinggal dalam lingkungannya dan cara hidupnya pun tetap sama seperti biasannya”[14]

Si analis menetapkan suatu jam tertentu bagi pasiennya, membiarkan ia bicara, mendengarkan dia, lalu mengatakan sesuatu kepadanya dan membiarkan dia mendengarkan.

Dalam psikoanalisa, bahasa adalah sesuatu yang sangat penting dan harus dimiliki oleh seoarang terapis. Kata freud lagi;

Bahasa adalah alat yang ampuh, suatu sarana untuk mengungkapkan perasaan kita yang satu bagi yang lain, suatu jalur untuk menjalankan pengaruh atas orang lain. Dengan kata-kata kita dapat berbuat baik yang tak terperikan dan kita dapat akibat akibat luka-luka yang amat pedih.[15]

Apakah bahasa sehebat itu? Sehingga ia dapat menyembuhkan orang hanya dengan bincang-bincang?[16] Secar umum manusia memiliki sesuatu yang tidak ingin diceritakan kepada orang lain, malah sama sekali tidak mungkin ia ceritakan. Itu adalah “rahasia-rahasia” pribadi bagi dia. Bahkan bila manusia itu mau melakukan refleksi-diri cukup, ada hal-hal yang lain lagi, yang ia sendiri tidak mau mengakuinya; hal-hal yang yang disembunyikannya bagi dirinya sendiri, yang disisihkan dan dihalau dari pemikirannya, bila itu muncul lagi. Ini akan mulai tanpak bahwa ada ‘problem psikologis’ yang aneh, yaitu salah satu pikirannya dirahasiakan bagi dirinya sendiri. Dengan ini, manusia seolah-olah tidak lagi memiliki kesatuan utuh seperti dulu (seolah ada sesuatu yang lain dalam dirinya yang bisa bertentangan dengan dirinya). Dengan ini kita mulai tahu ada perbedaan dalam diri manusia antara dirinya sendiri (alam sadar) dan dunia psikis lain dalam dirinya (alam tak sadar).

Dengan ini sekilas kita akan tahu, bahwa dengan pertukaran dialog (untuk menyatakan segala sesuatu pada terapis), akan memudahkan keluar harapan untuk menghasilkan hal-hal yang sangat membantu memahami hal-hal yang terpendam tadi. Ada semacam kesimpulan bahwa dengan mengutarakan apa-apa yang terpendam, bahkan tidak ingin dikatakan sama-sekali, akan membuat tekanan (represi) itu hilang dan manusia menjadi lega (‘sembuh’). Tetapi psiko-analisis lebih dari ini; terapis berusaha mengantarkan, membimbing pasien untuk menelusuri liku-liku hidupnya, menafsirkan pembicaraannya (karena terkadang, kebohongan baik sengaja ataupun tidak, karena resistensi dst bisa terjadi, dan ini pentingnya terapis), juga mimpi-mimpinya, sehingga si teraupat dapat mengatakan lebih dari yang ia ketahui.

Id, Ego dan Super-Ego

Dalam tubuh manusia itu ada ‘aparat psikis’ yaitu instansi-instansi yang masing-masing menjalankan suatu fungsi tertentu dan berhubungan satu sama-lain menurut relasi spatial yang tetap. Pertama, Kita menerima suatu susunan psikis dalam diri manusia yang berkaitan dengan rangsangan-rangsangan indra serta keinsafan akan kebutuhan-kenutuhan badani disatu pihak dan perbuatan-perbuatan motorik dilain pihak. Susunan psikis ini menengahi antara keduanya demi suatu tujuam (susunan psikis ini kita sebut EGO, Aku).

Perbuatan motorik itu semacam (setiap perbuatan menggerakkan tubuh, berjalan, mengulurkan tangan dst). Itu dapat kita contoh kan seperti ini; kita haus (rangsangan indrawi baik dalam maupun luar), lalu kita mendekati warung untuk membeli minuman. Maka EGO menengahi antara satu pihak (rangsangan indrawi dan pergi kewarung (perbuatan motoris). Jadi kita dapat mengatakan bahwa EGO adalah semua perbuatan seperti; berfikir, menghendaki dst.

Kedua, Id, ini dapat diumpamakan dengan; EGO adalah dibayangkan semacam bagian muka dari Id. Semacam latar depan atau sebagai suatu lapisan kulit lahiriah dari Id. Lapisan kulit kata freud, mempunyai bentuk tertentu, karena pengaruh suatu hal di luar yang telah berbenturan pada kulit pohon itu. Jadi dapat dibayangkan bahwa EGO merupakan suatu lapisan dari aparat-psikis yang telah terbentuk karena pengaruh dunia luar (realitas) atas Id. Kita dapat menganalogkan dengan Peperangan antara ‘garis depan’ (EGO) dan ‘wilayah dibelakang garis depan’ (Id). Digaris depan terkadang hal-hal yang di belakang tidak diizinkan, didepan itu adalah hal lumrah.

Dalam Id tidak terdapat konflik-konflik. Kontradiksi-kontradiksi dan pertentangan-pertentangan tinggal berdampingan begitu saja dan seringkali disesuaikan dengan konflik. Konflik harus dipecahkan dan pemecahannya ialah bahwa satu dorongan dibiarkan sedangkan dorongan lain ditinggalkan. Ego mempunyai tata susunan yang ditandai oleh kecendrungan-kecendrungan istimewa akan penyatuan dan perpaduan. Dalam Id sama sekali tidak ada kecendrungan serupa itu. Id seolah-olah berkeping-keping. Doronngan-doronngan dari Id mengikuti tujuannya sendiri-sendiri. Tak tergantung satu sama lain dan tanpa memperhatikan yang lain. [inilah yang baru dalam psiko-analisis dibanding psikologi umum, sebab fenomena ketidaksadaran dibahas, sedangkan psikologi umum, mem-pra-asumsikan bahwa seluruh aktus psikis itu sadar. Pada psiko-analisa; EGO adalah ‘semacam’ kesadaran , sedangkan Id adalah ‘semacam’ ketidaksadaran].

Naluri-naluri manusia [mengisi Id], atau dengan kata lain, seluruh energi dalam Id berasal dari naluri-naluri itu. Kekuatan EGO juga mempunyai asal usul yang sama; mereka berasal dari kekuatan dalam Id. Lalu apa yang dicari naluri-naluri itu? Jawabnya adalah Pemuasan. Artinya, naluri-naluri itu mencari terciptanya situasi dimana kebutuhan-kebutuhan badani dapat lenyap. Menurunnya ketegangan kebutuhan oleh organ kesadaran dialami sebagai menyenangkan, sedangkan meningkatnya ketegangan itu langsung dialami sebagai tidak menyenangkan. Dari gelombang surut naik itu timbullah serangkaian perasaan-perasaan senang dan tidak senang; dan aparat psikis kita mengatur seluruh aktivitas sesuai dengan perasaan-perasaan tersebut. Ini adalah “Prinsip Dominasi kesenangan”.

Seandainya naluri-naluri dalam Id tidak berhasil memperoleh pemuasan, dapt muncul keadaan yang tak tertahankan. Pengalaman menunjukkan bahwa pemuasan itu hanya tercapai dengan bantuan dunia luar. Dengan demikian bagian Id yang terarah keluar yaitu EGO, mulai menjalankan fungsinya. Bila Id menyediakan tenaga yang dapat menggerakkan kapal, maka EGO seakan-akan memegang kemudi. Dan jelas, bila tidak ada pengemudi, tujuannya tidak mungkin tercapai. Naluri dalam Id menuntut pemuasan langsung, bagaimanapun juga, tetapi dengan cara itu mereka tidak mencapai apa-apa, malah bisa mengakibatkan kerugian cukup besar. Tugas EGO adalah mencegah terjadinya musibah-musibah itu dan untuk itu EGO menjadi penengah antara tuntutan-tuntutan dari Id dan keberatan-keberatan dari dunia luar. EGO itu menjalankan aktivitasnya kedua arah. Disatu pihak dengan bantuan organ indra dan sistem kesadaran EGO mengamati dunia luar untuk menentukan saat yang serasi bagi pemuasan tanpa rugi. Dilain pihak EGO mempengaruhi Id, mengekang ‘nafsu-nafsunya’, menyuruh naluri-naluri untuk menangguhkan pemuasannya, malah (bila perlu) mengubah tujuan-tujuannya atau sama sekali meninggalkan tujuan-tujuan itu demi diterimanya kompensasi. Sejauh EGO berhasil mengendalikan dorongan-dorongan Id dengan cara demikian, maka ia mengganti ‘prinsip kesenangan’ (yang sebelumnya berkuasa sebagai satu-satunya prinsip dibidang psikis) dengan ‘Prinsip Realita’. ‘Prinsip realita’ ini memang mempunyai tujuan akhir yang sama seperti ‘prinsip kesenangan’, tetapi dengan turut memperhitungkan kondisi yang diizinkan oleh realitas di luar. Kemudian EGO belajar bahwa masih ada jalan lain untuk mencapai pemuasan, selain dari penyesuaian dengan dunia luar yang dilukiskan diatas. Kita juga dapat mengakibatkan perubahan-perubahan dalam dunia luar dan sengaja menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan pemuasan. Maka aktivitas ini menjadi fungsi paling tinggi dari EGO. Inti kebijaksanaan hidup ialah mengambil keputusan-keputusan yang tepat tentang kapan sebaiknya kita mengekang nafsu-nafsu kita serta tunduk pada realitas dan kapan kita sebaiknya memihak pada nafsu-nafsu tersebut dan memerangi realitas.

Tetapi Id tidak membiarkan begitu saja dikuasai oleh EGO, artinya pertentangan-pertentangnan Id (dorongan naluriah serba harus dipenuhi, ‘prinsip kesenangan’) dan EGO (cara pemenuhan, dengan melihat situasi-kondisi, ‘prinsip Realita’), selalu ada, dan seringkali tak dapat dikompromikan dengan tuntas (ideal). Makin tuntas kompromi itu, makin bijaksana dan ideal seseorang. Dengan keserasian ini maka manusia itu tidak memiliki neurosa (sama sekali)[17]

Kita bisa lihat kita, sewaktu kecil maka prinsip pad EGO kurang berkembang, maka Id lah yang ‘dominan’, pemenuhan demi pemenuhan terus berjalan, sampai ia memperoleh pelajaran-demi pelajaran baik dari Lingkungan, orang-tua ataupun pengalamannya sendiri. Dengan pengalaman itu ‘kecemasan’ (timbulnya kesadaran pengalaman atau situasi trauma yang pernah dialami sebelumnya) mulai timbul. Kadang saat ‘belum matang’, EGO menuruti total tuntutan Id, kadang melakukan pelarian (EGO melakukan represi dorongan-dorongan Id). Dengan represi itu EGO melakukan dengan ‘prinsip kesenangan’, sebab biasanya EGO tujuannya adalah mengkompromikan atau membelokkan atau memberi arah lain, semacam rasionalisasi pada Id. Akhirnya Id (yang direpresi) masuk kewilayah diluar kontrol EGO (masuk kewilayah ketidaksadaran), dan berjalan dengan jalannya sendiri. Dorongan ini seringkali dikemudian hari, setelah EGO menjadi kuat, ia tidak mampu meniadakan represi itu. Sintesa psikis telah terganggu. Sebagian dari Id tetap terlarang dimasuki oleh EGO. Tetapi dorongan naluriah yang tersolir itu tidak tinggal diam. Ia berhasil mendapatkan kompensasi sebagai pengganti pemuasan normal. Ia membentuk substitut-substitut untuk mengganti pemuasan normal. Ia mencari hubungan dengan proses-proses lain yang karena pengaruhnya seakan dilepas dari EGO. Akhirnya ia muncul di dalam EGO dan kesadaran dalam rupa sebuah substitut yang didistorsi dan tidak dapat dikenal. Dengan demikian terbentuklah apa yang disebut ‘gejala’ (dalam psikoanalisa). Segera kelihatan hakekat gangguan neurotis: disatu pihak EGO terhalang dalam mengadakan sintesanya, yang tak dapat mempengaruhi beberapa bagian dari Id, yang terpaksa harus membatalkan pelbagai aktivitasnya guna menghindari konfrontasi baru dengan apa yang direpresi, yang berusaha sekuat tenaga (seringkali tanpa hasil) untuk mempertahankan diri terhadap gejala-gejala (yaitu substitut-substitut bagi dorongan-dorongan yang direpresi); dilain pihak, Id dimana beberapa naluri telah melepaskan diri, mengikuti tujuan-tujuan mereka sendiri tanpa menghiraukan kepentingan-kepentingan subjek secara keseluruhan dan hanya mematuhi hukum-hukum psikologi primitif yang berlaku dalam Id.[18]

Jadi asal usul neurosa adalah EGO telah berusaha untuk merepresi beberapa bagian dari Id dengan cara yang tidak tepat, usaha itu gagal dan Id membalas dendam. Neurosa adalah akibat konflik antara Id dan EGO. Upaya menyelesaikan pertentangan antara EGO yang ingin tetap mempertahankan hubungan baik dengan dunia luar (masyarakat, agama, moral, kampung, sekolah dst) dengan dorongan Id (dengan ‘prinsip kesenangan’ dan harus), memalui cara yang tidak efisien (represi) itulah penyebab neurosa.[19]

Jadi tugas terapis (pada psiko-analisis) adalah memulihkan EGO, membebaskan EGO dari halangan-halangan yang menekannya dan memberikannya kembali kekuasaan atas Id yang telah hilang dengan represi-represi yang dilakukan pada masa anak. terapis hanya melakukan analisis untuk tujuan itu. Keseluruhan teknik terapi (analisis) terarah pada tujuan itu. Terapis harus mencari represi-represi yang telah terjadi dan membujuk EGO untuk mengoreksi represi-represi tersebut dengan bantuan dan kerjasama dengan teraupat. Dan menyelesaikan konflik-konflik itu dengan cara lebih baik daripada percobaan melarikan diri. Karena represi menyangkut permulaan masa anak, makanya analis harus menelusurinya sampai kepermulaan kehidupan (anak-anak)[20]. Lalu bagimana terapis dapat sampai kesana (padahal si-teraupat) sendiri sudah melupakannya? Inilah pentingnya gejala-gejala, mimpi-mimpi dan asosiasi bebas dari pasien yang bersangkutan.

Gejala-gejala, mimpi itu harus ditafsirkan sebab hal-hal itu mengungkapkan dengan cara yang sukar sekali dimengerti, sebab yang direpresi itu melakukan semacam kompromi, yaitu tetap ingin mengdapatkan sesuatu yang diinginkan (Id), tetapi karena ditekan (oleg EGO), akhirnya dilakukan ‘semacam’ kompromi, yaitu diungkapkan keinginan itu dalam bentuk yang tidak lagi dikenali oleh si-pasien. Diungkapkan dalam simbol-simbol mimpi, gejala-gejala (latah, salah ucap, jijik, lemah dst). Dengan membujuk si-pasien untuk tidak segan cerita ‘apapun yang dialami’, terapis mendidik EGO teraupat untuk mengatasi kecendrungan melarikan diri dan untuk memberanikan diri mendekati apa yang direpresi. Disinilah keharusan kerjasama antara terapis dan teraupat.

Terkadang apa yang menyebabkan EGO-nya melarikan diri pada masa anak-anak, setelah dewasa itu adalah hal yang mudah diselesaikan. Dan permasalahn pada masalah anak-anak itu banyk hubngannya dengan masalah perkembangan seksual anak.

Perkembangan seksual anak-anak

Seperti kita ketahui, fungsi seksual mengalami perkembangan cukup rumit sejak janin hingga kelahiran dan dewasa. Fungsi seksual itu tumbuh dari berbagai naluri dan masing-masing mempunyai tujuan sendiri-sendiri dan menempuh pelbagai fase penyusun hingga akhirnya definitif berkaitan dengan pembiakan. Tidak semua naluri itu dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan akhir itu. Naluri-naluri serupa harus dibelokkan, diubah dan sebagian lain direpresi. Perkembangan ini melibatkan begitu banyak faktor dan tidak selalu berlangsung tanpa cacat. Dapat terjadi inhibisi-inhibisi[21] perkembangan dan fiksasi-fiksasi[22] sebagian pada salah satu periode lebih awal dalam perkembangan. Bila kemudian fungsi seksual terhambat dalam pelaksanaannya, maka dorongan seksual (= libido) mudah kembali kesalah satu titik fiksasi itu. Banyak perversi-perversi (kelainan dam tingkah laku seksual) seksual pada anak.

Secara umum kehidupan seksual anak mengalami perkembangan yang berbelit-belit pada 5 tahun pertama. Lalu menysul masa latensi. Pada masa ini seksualitas biasanya tidak berkembang lagi; sebaliknya, kekuatan dorongan-dorongan seksual berkurang dan banyak hal yang pernah dilakukan dan diketahui sianak telah ditinggalkan dan dilupakan. Setelah mekarnya seksualitas, terbentuklah sikap-sikap EGO seperti rasa malu, rasa jijik dan moralitas. Tumbuhnya neurosis banyka terkait dengan perkembangan masa anak-anak (5 tahun awal) dan masa pubertas. Perkembangan janin, anak-anak dan pubertas itu adalah prototype kedepannya bahkan keseluruhan alam ini. [menurut Ernest Haeckel bahwa perkembangan janin dalam kandungan ibu itu mengulangi secara singkat (dalam jangka 9 bulan) seluruh evolusi kehidupan yang meliputi berjuta-juta tahun, demikian juga Freud mengatakan; perkembangan psikis anak kecil secara singkat mengulangi perkembangan spikokultural seluruh ummat manusia. Atau dengan bahasa lain ontogenesis (perkembangan individu) menyerupai pola perkembangan phylogenesisi (perkembangan ummat manusia seluruhnya)].

Contoh upaya penyembuhan penyakit neurosis adalah 1) si pasien harus berjanji untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pengalamannya, sekalipun hanya selintas saja pada terapis, dan terapis yang nantinya akan mengarahkan teraupat. 2) Terapis tidak boleh berkeinginan memperpendek dengan melemparkan kepada pasien tafsiran-tafsirannya, segera bila terapis menemukannya. Dengan cara itu terapis hanya akan menimbulkan pada tereupat gejala-gejala resistensi, penolakan, dan kemarahan. Dan tidak akan mencapai EGO-nya yang dikusasi oleh represinya. Terapis harus menunggu sampai si-pasien sendiri begitu dekat dengan apa yang direpresi, sehingga hanya beberapa langkah dibawah bimbingan, penafsiran terapis. Tetapi kita mesti sadar kata Freud, bahwa tereupat adalah neurosis. Artinya sekalipun sudah dekat, kadang mereka melakukan penolakan. Seakan mereka tidak mau disembuhkan.

Sebab dalam diri si-pasien memang ingin menjadi sembuh, tetapi ia juga tidak ingin menjadi sembuh. EGO-nya sudah tidak bersatu lagi dan karena itu kemauannya juga tidak bersatu. Memang lumrah seperti ini, sebab dia adalah pasien neurosis. Sulit sekali dengan menggunakan logika normal atau tuntutan-tuntutan sosial pada si pasien (misalnya tidak bertanggung jawab dst).[23]sebab ada keuntungan dari penyakitnya itu. Misalnya dengan sakit maka tidak perlu jadi tentara, dengan sakit seseorang akan dikasihani. Seringkali sakit dipakai sebagai perlindungan terhadap ketidaksanggupan dalam pekerjaan atau persaingan dengan orang lain.

Super-EGO adalah endapan dari kateksis-kateksis[24] yang menyangkut objek-objek pertama[25] dari Id; peninggalan dari kompleks Oidipus setelah teratasi dan terhapus. Super-EGO dapat menempatkan diri dihadapan EGO serta memperlakukannya sebagai objek dan caranya kerap kali sangat keras. EGO berusaha baik terhadap Super-EGO juga dengan Id. Kesehatan psikis sebagian besar tergantung pada terbentuknya super-EGO yanng normal (terbuka, tidak kolot). Karena komplek Oidipus belum selesai maka EGO masih terhukum oleh super-EGO (anak dihukum orang tua). Penyakit digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan ‘penyiksaan diri’. Lantaran suatu paksaan batin, para neurosis harus bertingkah laku seolah-olah mereka dikuasai oleh rasa bersalah yang hanya dapat dipuaskan dengan penyakit mereka sebagai hukuman.[26]

3) terapis dengan sugestifnya (agar mendapat kepercayaan ‘penuh’[27]), berusaha memerangi resistensi-resistensi itu (walau dengan waktu yang cukup lama).

Jadi neurosa awalnya adalah kenyataan bahwa EGO (yang merupakan aparat tertinggi psikis yang timbul karena pengaruh luar) tidak sanggup memenuhi tugasnya sebagai penengah antara Id dan reallitas luar. Karena merasa terlalu lemah, EGO menarik diri dari beberapa unsur naluriah dalam Id dan sebagai kompensasinya ia mengembangkan pembatasan-pembatasan, gejala-gejala dan cara bereaksi yang tidak efektif. Kelamahan EGO semacam ini sewaktu kecil semua kita pernah alami. Kemudian beralih pada masa pubertas, dimana pengalaman-pengalaman, dan naluri-naluri seksual anak harus dilupakan, ditiadakan, diganti dengan rasa malu, jijik dst. Maka dengan beban ini, EGO mencari perlindunngan dalam represi-represi dan membuka pintu kemungkinan neurosa anak.

Kemudian waktu dewasa bekas neurosa dibawa sebagai disposisi untuk penyakit neurosa. Perkembangan selanjutnya tergantung pertumbuhannya dan perlakkuan nasibnya. Jika hidupnya tidak menentu (kejam), dan kesenjangan antara tuntutan naluri serta realitas menjadi terlalu besar, maka EGO dapat gagal dalam usahanya mendamaikan kedua-duanya. Maka (karena disposisi awal sudah ada), represi terulang lagi; naluri-naluri akan melepaskan diri dari penguasaan oleh EGO dan memperoles kepuasan dengan salah satu substitut seturut liku-liku regresi[28]. Akhirnya EGO yang sudah tidak berdaya itu terjadilah Neurosa.

2. Psikoanalisa sebagai Hermeneutika Dalam

Awalnya psikoanalisa adalah semacam penafsiran metodis atas struktur-struktur simbolik, seperti tingkah laku mimpi, kata-kata seseorang dsb. Tujuan dari psikoanalisis adalah membebaskan pasien dari hambatan-hambatan batinnya sendiri, apa yang dikatakan freud sebagai represi naluri-naluri yang tersimpan dalam bidang ketidaksadaran. Mimpi kata Freud adalah pemenuhan hasrat yang tak bisa dipuaskan dalam kenyataan sewaktu orang berjaga. Karena psikoanalisa adalah upaya menafsirkan sesuatu (mimpi, tingkah laku, kata-kata dst), maka ia dapat dikatakan mirip dengan Hermeneutika.

Tafsir Mimpi

Kata Freud, mimpi adalah ‘via regia’ atau jalan utama yang menghantarkan kita kepada ketidaksadaran. Bagi psikoanalisa, mimpi adalah produk psikis yang merupakan konflik antara daya-daya psikis. Dengan melihat dan mempelajari mimpi (yang mempunyai struktur sama dengan gejala neurosis), kita dapat mempelajari resepsi, pembentukan substitut dan mekanisme tak sadar lainnya. Mimpi adalah keadaan tidur, dimana si subjek ingin beristirahat dan aktivitas-aktivitasnya (psikis maupun fisik) sudah mencapai taraf minimal. Dalam keadaan ini represi menjadi kendor dan apa yang direpresi dapat masuk dalam kesadaran. Dengan menyelidikan aktivitas-aktivitas sebelumnya yang dilakukan si subjek kita dapat mengartikan mimpi si subjek. Mimpi adalah keinginan tak sadar yang muncul dalam kesadaran. Mimpi tidak lain dari perealisasian suatu keinginan. Mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi. Karena mimpi adalah ‘cara berkedok’, maka perlu pengembangkan metode tafsir mimpi, yang kata Freud, semacam penelitian atas teks-teks kuno, atau yang sekarang disebut kajian filologis.

Untuk menafsirkan mimpi, orang harus menelusuri proses pembentukan mimpi dalam jurusan yang berlawanan. Dengan bertolak dari isi yang terang, orang harus kembali kepikiran-pikiran tersembunyi yang telah terdistorsi oleh sensor. Setelah melewati pelbagai distorsi, akhirnya orang dapat memperlihatkan keinginan yang direpresi.

Tafsir mimpi mirip dengan penerjemahan teks yang ditulils oleh seorang yang asing. Pengarang teks yang ditafsirkan itu adalah orang yang bermimpi, sedangkan ‘teks’ itu adalah mimpinya. Orang yang bermimpi semalam tidak mengenal total mimpinya. Bahkan ia sendiri aneh dengan mimpinya itu, sebab biasanya tidak sesuai dengan kenyataan sewaktu terjaga. Sehingga maksud dari ‘pengarang teks yang asing’ adalah suatu pribadi (yang bermimpi, menghasilkan teks) itu berbeda (tanpa ‘kesadaran’nya) dengan sewaktu terjaga. Teks mimpi itu yang dihasilkan ‘aneh’ dan menyimpan teka-teki mengenai pengarangnya (disinilah keperluan tafsir teks itu).

Jadi tafsir mimpi bukanlah sebuah interpretasi biasa atau hermeneutika biasa seperti yang dilakukan dalam filologis. Habermas membedakan antara Hermeneutika dengan tafsir mimpi yaitu;

Pertama, mengenai jenis teksnya. hermeneutika biasa menghadapi sebuah teks yang ‘transparant’, sedangkan teks mimpi yang dihadapi psikoanalisis adalah teks yang ‘terselubung’. Menurut Habermas, hermeneutika biasa seperti dilakkukan dalam filologis itu mengandaikan bahwa teks itu memuat ingatan subjek tentang sejarah hidupnya dalam kondisi normal. Penulis teks dianggap sadar diri, sehingga penafsir (hermeneutikan) berupaya memahami teks itu ‘dari dalam’ untuk memahami apa yang dimaksud sipenulis. Makna struktur simbolik dipelajari dengan kecurigaan hanya terhadap intervensi tak sadar dari kondisi eksternal, misalnya; konteks sejarah si penafsir. Dengan kata lain teks filologis itu diandaikan jujur. Sedangkan psikoanalisis yang dicurigai adalah teks-teks segi internal penulis. Teks mimpi yang ditulis itu, oleh pengarangnya sendiri, tidak dipahami maksudnya. Mengapa? Sebab bahasa atau struktur simbolik yang diungkapkan telah terdistorsi dari maksud sesungguhnya oleh penyakitnya. Pengarang teks mimpi itu, dengan kata lain, melakukan penipuan diri, maka teksnya juga tidak sesuai maksudnya sendiri atau terselubung.

Kedua, mengenai bahasa yang dipakai kedua jenis teks itu. Hermeneutika biasa menghadapi teks yang tertuliskan bahasa sehari-hari, atau meminjam istilah Wiiigenstein, Habermas mengatakan teks itu berisi language game yang berfungsi baik. Psikoanalisis menghadapi teks dengan tulisan language game yang kacau susunanya[29]. Bagi psikoanalisis apa yang dihadapi hermeneutik ini adalah kasus normal. Tafisr mimpi menghadapi keterpecahan ketiga unsur itu. Pengarang teks mimpi itu tidak bisa mengontrol pertentangan ketiganya; atau kalaupun bisa mengontrolnya, dia sendiri tidak bisa memahami makna language-game yang ditulisnya sendiri. Menurut Habermas, psikoanalisis menghubungkan kekacauan susunan language-game ini dengan sejarah hidup pengarangnya sendiri. Psikoanalisis menemukan bahwa kekacauan ini ada hubungannya dengan ‘penipuan diri’ yang dilakukan pengarangnya. Dengan ini, psikoanalisis adalah suatu penafsiran bukan sembarang hermeneutika (penafsiran), Psikoanalisis adalah ‘Hermeneutika dalam’ (teifenhermeneutik).

Dalam kehidupan sehari-hari, ‘teks’ bermaksud sebagai ungkapan subjek tentang dirinya, tentang proses pembentukan-dirinya. Dalam kondisi normal, struktur simbolik saling melengkapi menjadi language game yang dapat dianalisis dengan hermeneutika biasa. Dalam psikoanalisis ini kacau, dan tujuan hermeneutika dalam adalah berusaha menerjemahkan teks kacau itu, sampai dipahami baik oleh orang lain maupun subjek sendiri. Atau dengan kata lain ‘Hermeneutika Dalam’ berusaha menerjemahkan ketidaksadaran menjadi kesadaran.

Dalam kekacauan teks mimpi, yang ini menurut psikoanalisis dikarenakan oleh sensor dan resistensi. Dan pengetahuan umum (atau teks-teks tertulis) seringkali juga mengalami kekacauan semisal dalam mimpi itu. Sehingga menghasilkan ‘pengetahuan tidak kritis’, atau disebut teks/ pengetahuan dogmatisme, kesadaran palsu atau ideologi.[30] Ini semua (Dogmatisme, pengetahuan tidak kritis, ideologi atau kesadaran palsu) dikarenakan teks-teks itu dibuat disokong oleh penguasa tertentu (yang dianggap sebagai kebenaran total), sehingga menghilangkan kebenaran yang lain, atau karena kompromi antara penindasan (penguasa) dan keinginan penulis (idelisme pembuat teks). Disatu sisi pengarang punya idealisme (super-EGOnya; yang terdiri dari nurani dan EGO-ideal), disisi lain ‘realita’ tidak mengizinkan (karena sensor penguasa, kebijakan penguasa dst). Konflik ini menimbulkan ‘Neurosa’, dimana kita temukan akhirnya teks-teks yang kacau, tidak rasional dan ‘sulit dikenali’.[31]

Makanya kata frued teks itu harus disingkap rahasianya, dengan tafsir mimpi (hermeneutika dalam). Analis harus masuk kebalik isi teks yang diungkapkan untuk menangkap maksud tersembunyi dibalik ungkapan teks (mimpi) itu. Analis tidak hanya berusaha memahami teks yang terdistorsi, melainkan juga makna distorsi teksi itu sendiri.[32] Disini analisis mimpi adalah proses refleksi yang bertolak dari teks mimpi dan menembus sampai asal usul kejadian teks itu.

Pertanyaannya adalah mengapa pengarang teks mimpi itu melakukan penipuan diri. Neurosis menyebabkan penipuan diri (menyembunyikan sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain, dan apa yang disembunyikan itu muncul tanpa disadari dalam bentuk simtom, mulai dari salah ucap, latah dan dalam mimpi) dengan mendistorsi struktur simbolis dalam ketiga dimensinya: Bahasa, tindakan dan Ekspresi. Distorsi itu tanpak dalam tiga gejala yang berkaitan dengan tiga dimensi itu, berturut-turut: pikiran obsesif, tindakan yang diulang terus (latah-jawa) dan Histeria.

Seperti tekah disebutkan diatas, bahwa mimpi adalah upaya manusia memuaskan hasrat-hasrat yang tak dapat dipuaskan dalam keadaan bangun. Pemuasan hasrat itu tampil dalam bentuk simbol-simbol mimpi, dan sewaktu terjaga, sang pemimpi merasa asing dengan mimpinya. Ia tidak mengenali mimpi itu, kecuali sedikit (rata-rata pemimpi tidak mengetahui lengkap mimpinya, sebagian saja tanpa detail-detailnya, bahkan terkadang sangat aneh buat dia sendiri). Ada realita yang seakan tidak terhubung antara: mimpi disatu pihak dan tingkah laku sewaktu bangun dipihak lain. Tetapi hermeneutika dalam melihat bahwa ada hubungan diantara keduanya, yaitu apa yang tidak dapat dilaksanakan pada waktu bangun diterjemahkan dalam teks mimpi. Gejala bahwa orang yang bermimpi merasa asing dengan teks-teks mimpinya sendiri, itu dapat dijadikan contoh patologis tentang ‘penipuan diri tak sadar.

Psikoanalisa sebagai hermeneutika dalam memiliki tugas; 1) menterjemahkan dari gambaran-gambaran mimpi yang tak jelas, penuh rahasia kedalam maknanya yang jelas dalam kehidupan biasa (lewat tafsir mimpi, dan asosiasi bebas simbol-simbol mimpi itu), 2) memahami mengapa terjadi penipuan diri (teks berkedok) dalam mimpi itu. Dengan kata lain tidak hanya memahami teks yang terdistorsi, tetapi juga memahami distorsi itu sendiri.

Lapisan paling luar yang diingat oleh pemimpi, sedangkan lapisan yang lebih dalam berisi pengendapan pengalaman-pengalaman pemimpi sebelumnya. Lapisan ini padat dengan simbol-simbol. Makna simbol ini taklain dari pengalaman resistensi dari subjek terhadap pengalaman.

Teks mimpi baisanya tertulis dalam simbol-simbol, metafor-metafor, alegori-alegori dan macam-macam selubung semantis lain. Seorang analis harus mesuk keselubung itu dan menemukan maksud sebenarnya. Dia harus melakukan “decoding” (dalam psikoanalisis biasanya dilakukan dengan asosiasi bebas[33]), dengan ini simbol tadi dapat dicopot, kedok terbuka dan makna teks dapat dikenali sebagai mana bahasa sehari-hari. Kedua mengapa teks itu berkedok? Jawabnya menurut hermeneutika dalam karena adanya sendor dan resistensi. Resistensi ini menunjukkan adanya konflik. Ingin sesuatu tetapi ada kekuatan pencegah (malu, dilarang dll), konflik ini diakhiri dengan kompromi (subjek menyatakan sesuatu yang diinginkan, tetapi dengan cara yang tidak seperti yang diinginkan). Karena gambaran-gambaran kompromistis ini sehingga terjadi distorsi dalam struktur-struktur simbolis yang dihasilkan.[34]

Masyarakat dengan institusinya (kebiasaan yang sudah disepakati, diinternalisasi, keluarga dst) hanya memperbolehkan interaksi-interaksi yang sudah lazim dalam bahasa publik. Hasrat-hasrat terlarang disingkirkan dalam komunikasi publik atau direpresi, maka sensor pun terjadi sejauh keinginan terlarang itu mau menyatakan diri, hasrat itu, secara tak sadar, dinyatakan dalam bahasa yang telah diprivatisasikan, yakni dalam selubung kompromi antara pengganti sensor sosial dalam diri orang itu dan konflik-konflik tak sadar yang disingkirkan dari komunikasi publik. Sensor adalah pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh masyarakat bahkan akhirnya diinternalisasi menjadi milik pribadi (dari kamu dilarang berbohong, menjadi Aku tidak boleh berbohong). Sensor ini bisa lewat larangan, teguran, hukuman, dalam bentuk lingustik, makna-makna dst. Tugas hermeneutika dalam adalah menelusuri jejak-jejak sensor itu, sampai tahap yang paling dini. Dalam psikoanalisa itu terjadi dimasa anak anak. Semacam menyingkap amnesia tahun tahun awal.

Bahasa dari teks mimpi adalah campuran dari bahasa normal dan bahasa yang diprivatisasikan (karena kompromi tadi, tekanan sosial dst). Sehingga keluar simbol-simbol privat, inilah ekspresi. Inilah asal usul mengapa kadang kejadian teks mimpi itu aneh. Ini juga bisa dianalisis pada keadaan terjaga, seperti Histeria, neurosis, fobia dan berbagai prilaku menyimpang lain. Dalam lingkup sosial terjadi pembatasan-pembatasan dalam komunikasi karena adanya hubungan kekuasaan. Sepintas teknik analisis ini mirip perekjaan arkeolog; yaitu merekontruksi kejadian masa lampau. Analis merekontruksikan hal-hal yang dilupakan (karena direpresi) oleh pasien berdasarkan mimpi-mimpinya, asosiasinya dan pengulangan-pengulangannya atas kata-kata tertentu, sementara subjek atau pasien itu mengingat peristiwa hidupnya dalam terang rekontruksi tadi. Arkeolog mulai dan mengahiri tugasnya dengan rekontruksinya, sedangkan analis mulai dari rekontruksinya dan mengakhiri dengan ingatan pasien kembali.

Seorang penafsir dalam hermeneutika biasa cukup menjadi pengantara komunikasi dua pihak yang berbicara (atau menulis) dalam bahasa, simbol, aturan-aturan yang berbeda. Dia berusaha mengatasi kesulitan untuk mencapai pemahaman timbal balik, yang dipisahkan oleh batas-batas sejarah, masyarakat, dan kebudayaan. Kesulitan dalam hermeneutika biasa bersifat eksternal, berasal dari subjek-subjek yang berkomunikasi. Sedangkan psikoanalisis (hermeneutika dalam), kesulitannya terletak didalam subjek (pembuat teks atau pembicara). Teks yang dituturkan oleh si subjek, sudah terdistorsi dalam ke-3 unsur dari teks normal, yaitu 1) menyimpang aturan gramatika bahasa sehari-hari, 2) menyimpang dari norma-norma tindakan dan 3) menyimpang dari pola ekspresi yang dipelajari lewat budaya.

Bahasa privat yang diekskomunikasikan beserta motif-motif tindakan yang dilarang dihubungka dalam bentuk simtom neurotik yang tidak dipahami oleh subjek sendiri, dalam keadaan ini, kita bukan butuh penafsir biasa, tetapi ‘guru’ yang mengajar subjek untuk memahami teks-nya sendiri. Guru ini akan mengajarkan untuk menerjemahkan simbol-simbol privatnya yang terdistorsi kedalam ungkapan komunikasi publik.[35]

Jadi hermeneutika dalam, bukan mengusahakan pengertian intersubjektif (sebab pemahaman intersubjektif itu bisa menjadi hegemoni, bila ada ketimpangan informasi, media, kekuasaan dst), tetapi membimbing menjadi ‘refleksi-diri’, yaitu berusaha melihat problem diri-pribadi (curiga dengan diri-diri pribadi, atau teks-teks yang dikomunikasikan).[36] Tugas Hermeneutika dalam (analis) adalah mencoba merekontruksi sejarah hidup awal pasiennya dari mimpi-mimpi, tulisan-tulisan, asosiasi-asosiasi dan repetisi-repetisi prilakunya. Sementara lewat kontruksi ini pasien mencoba mengingat ingatnya.[37]

Ada 3 hal bahwa pengetahuan analisis merupakan refleksi diri yaitu 1) pengetahuan ini mencakup dua hal yaitu segi Kognitih dan afektif-mativasional. Pengetahuan macam ini adalah ‘kritik’, sebab bertolak dari kebutuhan pasien dan didorong untuk kebutuhan perubahan praktis. Ada situasi negatif dalam wujud penderitaan dan kekecewaan, dan ada kepentingan untuk mengatasi situasi ini. Keadaan patologis (kekecewaan) pasien tak lain adalah kesadaran palsu dan dapat dihancurkan dengan kehendak (passion for critique). Juga kepentingan pasien untuk sembuh (kepentingan emansipatoris) merupakan syarat sukses terapi (pasien), jadi refleksi pasien yang dibantu terapis itulah syarat sembuhnya. 2) terapi menekankan bahwa sakit itu bukan fisik tetapi self. Yaitu proses ego pasien mengenal dirinya sebagai kedirian yang terasing karena penyakit, dan ia harus mengidentifikasikan diri dengan kedirian yang terasing itu. Disini rasio teoritis dan praktis tak dapat dipisahkan karena terapi merupakan suatu moral insight. 3) dalam proses terapi, analis membuat dirinya sendiri sebagai alat pengetahuan, tidak dengan menyingkirkan subjektivitasnya, melainkan dengan suatu pelaksanaan yang terkendali. Terapis harus sungguh terlibat secara mendalam di dalam pengalaman pasiennya.

Dengan proses analisis diatas, tampak bahwa pengetahuan analisis bukan tanpa kepentingan karena terapi diperoleh sejauh pasien didorong oleh kepentingan emansipatoris untuk sembuh dan sebaliknya, analis didorong kepentingan yang sama untuk membebaskan pasien. Sebagai refleksi-diri, psikoanalisis menyatukan kognidi, afektif, rasio teoritis dan rasio praktis dan akhirnya pengetahuan dan kepentingan. Psikoanalisis ini adalah contoh ilmu kritis dalam level individu.

Seorang individu, patologis atau tidak, terlihat dari penyimpangan atau tidak dari model komunikasi dan interaksi dalam konteks masyarakat. Artinya harus ada pembanding ideal (komunikasi masyarakat tanpa represi). Tetapi mana masyarakat ideal tanpa represi itu? Bisa jadi seseorang dianggap abnormal karena dilihat oleh masyarakat tertentu, masyarakat yang lain tidak, dst (ini secara sederhana dapat dilihat dari kekacauan teks-teks itu sendiri dst). Disinilah makanya cukup relevan menerapkan proses analisis dalam konteks proses pembentukan-diri masyarakat kita.[38]



[1] Buku yang dirujuk adalah; Sigmund Freud, “Sekelumit Sejarah Psikoanalisa”, Tej (K. Bertens), Gramedia, Jakarta, 1983. Sigmund Freud, “Memperkenalkan Psikoanalisa, 5 ceramah”, terj (K. Bertens), Gramedia, Jakarta, 1987. Dr. C. George Boeree, ”Personality Theories”, Prismasophie, Yogyakarta, cet II, 2005.

[2] Histeri = histeria; neurosa yang ditandai oleh gangguan fungsi-fungsi badani tertentu. Terdapat dalam pelbagai bentuk, karenanya macam-macam fungsi dapat terkena oleh gangguan itu, seperti mati rasa (dalam asosiasi dengan kelumpuhan dll. Jadi seakan ada gangguan fisik padahal psikis.

[3] Dr. C. George Boeree, ”Personality Theories”, Prismasophie, Yogyakarta, cet II, 2005.

[4] Setelah penggatian dengann asosiasi bebas itulah, sebenarnya yang layak dianggap awal psikologi-analisis. Lihat, Sigmund Freud, “Sekelumit Sejarah Psikoanalisa”, Tej (K. Bertens), Gramedia, Jakarta, 1983, hal 4.

[5] Sigmund Freud, “Memperkenalkan Psikoanalisa, 5 ceramah”, terj (K. Bertens), Gramedia, Jakarta, 1987, hal xxv.

[6] Psiko-analisa dalam Two encyclopedia article, The Standard Edition of the complete psychological works of Sigmund Freud, 1953-1966, vol XVIII, p. 235. disebutkan 1) Psikoanalisa dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti mimpi), 2) menunjukkan teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami pasien-pasien neurotis. Teknik ini bertumpu pada metode penelitian tadi [no 1]. 3) kadang dipakai dalam artian lebih luas untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui methode dan teknis-teknis diatas.

[7] Katarsis (cathartis) = pembersihan, dalam artian psikologis; pelepasan emosi, sehingga orang merasa lega.

[8] Mengartikan atau menghubung-hubungkan suatu kata, kalimat, mimpi dll dengan tafsirannya dalam hubungannya dengan penyakit yang diderita. Pengembaraan pikiran ini bisa sampai masa lampau.

[9] Sigmund Freud, “Sekelumit Sejarah Psikoanalisa”, Op cit, hal 6.

[10] Ini menarik bila kita lihat kasus, sejarah awal islam (represi kasus perseteruan keras sahabat). Ini direpresi karena alasan-alasan tertentu, lalu muncul dalam bentuk-bentuk teks yang kontradiktif, saling bertentangan dst. Problemnya adalah; bila pasien yang merepresi bisa dianalisa, untuk melepas resistensinya, akan kesulitan melakukan seperti ini pada tokoh-tokoh ulama, yanng dianggap sehat, bahkan mengklaim ’lebih sehat’ dari yang lain.

[11] Ibid, hal 14-15.

[12] Secara umum yang mirip dengan konsep psikoanalisa, karena awalnya satu kelompok, lalu pecah yaitu murid-murid Freud, Adler (mengembangkan Psikologi-Individual) dan Jung (Psiko-analitik).

[13] Ibid, hal 46-47.

[14] Freud, “Analisa Awam”. Dalam Op cit, hal 73.

[15] Ibid, hal 74.

[16] Psikoanalisa adalah proses penyembuhan neurosis dengan menggunakan dialog (kata-kata). Si Terapis, membimbing teraupat (yang diterapi) menelusuri pengalaman-pengalaman lampau, yang merupakan sumber neurasis-nya (karena represi). Dengan dialog (bahasa), maka terapis mengajak, menafsirkan hal-hal yang dicoba dilupakan atau dihalang-halangi (di-resistensi) oleh si teraupat, karena ketidaksadarannya, karena ketidakmauannya untuk membongkar blok trauma (pengalaman teraupatisnya).

[17] Psiko-analisa percaya, hampir semua (kalau tidak boleh mengatakan, total) manusia terkena neurosa.

[18] Ibid, hal 87-90.

[19] Harus dibedakan antara Neurosa (suatu gangguan jiwa yang mempunyai akar psikologis, misalnya; Histeria). Psikosa (gangguan jiwa yang berat, dimana pasien tidak lagi menguasai fungsi-fungsi psikisnya dengan cara wajar). Neurosa masih dapat diterima dalam masyarakat.

Ini penting diambil dalam pendidikan yaitu; pada masa anak-anak, maka kekangan-kekangan itu harus sekecil mungkin dihindari. Dan bila ada kekangan atau keharus-keharusan dan pendisiplinan, maka upaya memberikan penjelasan harus sangat diupayakan. Sebab dengan itu maka yang terjadi bukan konflik keras antara Id dan EGO, tetapi rekonsiliasi (rasionalisasi).

[20] Beberapa tokoh Psikoanalisa (murid-murid Freud) tidak setuju harus keawal anak-anak selalu. [sebab mungkin konflik itu tidak harus dianak-anak, memang bahwa EGO lemah sewaktu anak-anak, tetapi sangat mungkin EGO tidak bijaksana dimasa-masa cukup dewasa].

[21] Inhibisi adalah proses dimana satu fungsi dihalangi oleh fungsi lain.

[22] Fiksasi adalah proses psikis dimana seorang terpancang pada objek tertentu. Objek itu termasuk lebih dahulu dalam perkembangan psikis ( psikoseksual) orang iu.

[23] Contoh para neurosis yang mengelak kewajiban militer. Apakah ia sakit atau pura-pura sakit? Jawabnya mereka sakit dan pura-pura sakit. Bila mereka diperlakukan sebagai orang yang pura-pura sakit dan penyakit mereka dijadikan suatu yang amat tidak menyenangkan, maka mereka menjadi sembuh. Tetapi setelah mereka nampak sembuh dan dikirim kembali ke tentara, segera mereka akan melarikan diri lagi ke keadaan sakit. Mereka mengeluh tentang penyakit mereka, tetapi serentak juga mereka memanfaatkan penyakitnya itu sedapat mungkin. Dan jika ada orang yang berusaha membebaskan mereka dari beban penyakitnya, mereka akan mempertahankan mati-matian. Sama sekali tidak ada gunanya mencela mereka karena kelakuan yang kurang logis. Freud, Op Cit, hal 110.

[24] Kateksis adalah penimbunan energi psikis yang dipusatkan pada suatu pikiran, ingatan atau perbuatan.

[25] Kompek Oidipus adalah keseluruhan pikiran-pikiran dan perasaan perasaan (sebagian besar tidak sadar) yang berkisar pada keinginan anak kecil untuk memiliki orang tua yang jenis kelaminnya berbeda dengan dia dan menyingkirkan orang tua yang jenis kelaminnya sama. Ini diambil dari Mitologi Yunani, dimana si Anak membunuh orang tuanya, dan mengawini Ibunya. Objek pertama dimaksud disitu adalah orang tua. Super-EGO terbentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan dan perintah-perintah yang semulanya berasal dari orang tua diolah demikian rupa sehingga akhirnya berasal dari si subjek sendiri. Dari Engkau tidak boleh mencuri menjadi Aku tidak boleh mencuri. Dst.

[26] Mungkin bisa diartikan demikian; Super-EGO menentukan harus kerja, umur tertentu harus kawin, punya ini dan itu (hal yang umum sebagai tuntutan social masyarakat yang diinternalisasi), lalu ia tidak sanggup melakukan itu (gagal kerja, belum kawin atau lainnya), maka untuk ‘penyiksaan diri’, juga pertahanan diri, ia menjadi sakit. Sakit karena (ia merasa bersalah) dan dengan sakit itu, ’rasa bersalah’nya, ketidaksanggupannya ’termaafkan’. Dia tidak ingin sembuh, sebab dengan sembuh tuntutan itu mengenainya, tetapi ia ingin sembuh karena ia tahu itu salah. Logika normal sulit dan tidak dapat dikenakan padanya.

[27] Dengan ini terkadang terjadi tranferensi yaitu selama proses psikoanalisa berlangsung, dimana perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan lain sebagainya dipindahkan dari tokoh-tokoh yang pernah memainkan peranan dalam masa si pasien kepada analis. Proses ini bisa bersifat cinta atau benci. Dan ini mengganggu analsis selanjutnya. Bila itu terjadi, maka cinta dan benci itu dianalisa guna menyembuhkan si pasien, karena cinta dan benci itulah kejadian-kejadian yang diendapkan dulu.

[28] Kembali kepada tahap perkembangan yang lebih dahulu (sebelumnya).

[29] Didalam language game sehari-hari selalu ada keterkaitan timbal balik antara unsur-unsur linguistik (kata-kata yang diucapkan), pola interaksi, dan ekspresi-ekspresi (mimik, gerak-gerik). Ucapan-ucapan cocok dengan interaksi interaksi atau tindakan. Juga ucapan-ucapan dan tindakan cocok dengan ekspresi-ekspresi. Orang bisa pura-pura, tetapi dalam kepura-puraan itu, ketiga unsur ini sebetulnya tetap terkontrol. Mesti tidak selalu sempurna, ketiga unsur (linguistik, pola interaksi dan ekspresi), ketiganya relatif terpadukan.

[30] Lihat lengkap mengenai Dogmatisme dan Ideologi, dalam Francisco Budi Hardiman, “Kritik Idiologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan”, Kanisius, Yogyakarta, 1990.

[31] Ini sangat menarik bila kita aplikasikan dalam melihat teks-teks ’dogmatisme’ dalam sejarah Islam.

[32] Ini sangat penting bila digunakan menganalisis sejarah Islam. Mengapa pengarang x, meninggalkan nama y atau topik z padahal sangat melimpah pada zamannya, sangat penting pada pembahasannya dst. Dengan analisis model ‘hermeneutik dalam’, mungkin kita dapat merekontruksi sejarah Islam, tidak seperti ulama tradisional, hanya dengan mengurutkan kejadian demi kejadian, dengan kutipan-kutipan sana-sini, yang sarat ’kepentingan’ dirinya. Dengan kemampuan pengungkapan sejarah ’ideal-sebenarnya’, kita mampu mengungkap mitos yang menyelubungi data sejarah, yang akhirnya mempengaruhi keberagama-an kita. Kita lihat bagaimana madzab besar Islam (Syi’ah, Akhlsunnah, Wahabi dengan seluruh derivasinya dan Liberalis, dengan seluruh komponennya) terjebak oleh pemahaman Islam, lewat teks demi teks tanpa analis lebih dalam. Sebab menurut kami [MA], Islam akan ’progresif’ bila melakukan 3 hal sekaligus; 1) dalam suasana, Ukhuwwah islamiyyah, 2) melakukan pencarian islam yang Islam, dan 3) Mengadop kemajuan Barat dengan antusias-kritis. Wallahu al a’lam.

[33] Asosiasi; Merangkaikan ide-ide, penglihatan-penglihatan dan lain-lain menurut kemiripan, hokum kebersamaan, perlawanan, dan ketergantungan sebab akibat. Asosiasi Bebas; Ide-ide spontan yang muncul dari si pemimpi. Ide-ide itu tidak perlu selamanya berhubungan dengan situasi mimpi. Asosiasi yang terarah dan terkontrol menurut penafsiran mimpi Jung adalah ide-ide spontan yang bertolak dari situasi mimpi yang ada dan secara tetap berhubungan dengan dia. Diambil dari beberapa karangan Carl Gustav Jung, yang diterjemahkan oleh G Cremers dalam “Memperkenalkan Psikoanalitis”, Gramedia, Jakaarta, 1989, hal 147. Contoh Asosiasi bebas, Bunga diartikan cinta, ular yang berdiri tegak, diartikan kemaluan laki-laki dst.

[34] Ini menarik bila kita melihat teks-teks klasik tentang sejarah Islam. Bagaimana dalam satu sisi; ”semua sahabat dikatakan semuanya adil, tidak perlu ada kritisisasi”, dilain pihak sejarah yang sama, menulis gejolak, kejelekan sahabat dalam perebutan kekuasaan dll. Lihat buku-buku dengan logika ‘kacau’, Al Akhkam Sultaniyyah, Mawardi dll.

[35] Kita bisa mencontohkan ini dengan bukunya Edward Said, “Orientalisme”. Buku ini memberikan gambaran ‘guru’ kepada murid-muridnya, ‘orang Islam-Arab dan timur’ bahkan barat sendiri bahwa ‘teks-teks kajian orientalisme’ itu sedemikian rupa. Tanpa ‘orang semacam dia’, banyak bahkan umumnya Timur tidak mengetahui bagaimana teks-teks itu sudah terdistorsi sedemikian rupa, dan menghegemoni cara berfikir orang barat, bahkan timur juga. Guru dimaksudkan sebagai orang yang ‘lebih’, dan mampu membukakan kesadaran dari teks yang terdistorsi (tidak sadar) menjadi mampu difahami (teks sadar), dan juga diketahui, apa-apa yang membuatnya terdistorsi.... alat-alat represi (kekuasaan, kepentingan, permusuhan, persaingan agama dll).

[36] Disini menarik bila kita hubungkan dengan dialog-dialog madzab Islam (Syi’ah, Sunnah, Wahabi dan Liberalis). Teks-teks klasik diandaikan ‘tanpa cacat’, tanpa distorsi (kepentingan dll). Walau ada satu dua yang menganalisa bagaimana kumpulan hadist (Bukhari-Muslim misalnya), kapan dikodifikasi, pada zaman siapa, punya kepentingan dimana dll. Tetapi ini masih mengandaikan hermeneutika biasa. Mestinya (khususnya hal-hal yang seakan ‘disepakati bulat’) masuk ke ‘hermeneutika- alam’, bagaimana kontruksi-kontruksi bawah sadar yang menghasilkan teks-teks ‘aneh’. Missal dalam Syi’ah (Teks ‘Aneh’: “Tidak diizinkan mendirikan Negara Islam, karena itu hak Imam maksum”), ini sangat aneh, karena semua orang tahu bahwa ‘tidak mungkin menegakkan syariat Islam tanpa ‘negara’, konstitusi dst. Dalam Sunnah (Teks ;’Aneh’: “Semua sahabat adalah Adil, dan definisi sahabat adalah orang yang Islam dan hidup zaman nabi), padahal sejarah menunjukkan bagaimana sahabat saling bunuh, al qur’an menunjukkan sahabat nabi digiring keneraka, dan tidak dibedakan antara kenal, teman, dan sahabat, dst. (Sekali lagi ini sekadar upaya percobaan, mengintegrasikan konsep-konsep psikoanalisis dalam teks-teks ‘aneh’ di sejarah dan buku-buku standart awal Islam.

[37] Setelah analis merekontruksi mimpi-mimpi, teks-teks terdistorsi dst (seperti ; intelktual barat mampu memberikan kesadaran bahwa modernisme-positivisme, adalah jalan yang salah, dan gerakan progresitivisme barat harus dibelokkan arahnya agar tidak hancur), maka pasien (4 madzab dalam Islam: Syi’ah-Sunnah-Wahabi-Liberalis) mengingat-ingat, dan timbul kesadaran apa-apa yang selama ini menjadi ‘ajang tolak’ sewaktu dialog pendekatan (karena represi, resistensi). Dengan itu timbul kesadaran baru berupa (Ukhuwah Islamiyyah sejati). Dengan ini (ukhuwwah Islamiyyah, lalu Mencari islam yang Islam dan Adopsi kemajuan barat), Islam dapat menyaingi barat.

[38] Hardiman, hal, 176 – 179. tetapi ini bermasalah, sebab terapi berhasil, dominant bila sang pasien yakin dia ingin sembuh. Bila dia tidak merasa sakit maka ini menjadi masalah. Masyarakat barat lahirnya teori kritik ideologi dll karena yakin kondisinya sakit. Tapi bila mereka membandingkan dengan masyarakat lain mungkin tidak merasa sakit (Perlu diskusi lebih lanjut). Barat merasa punya problem melihat dirinya sendiri, atau dilihat oleh orang timur. Barat merasa timur itu sakit dst. Inilah menariknya dan analis bisa memulain dengan membongkar dulu seperti madzab frankfurt, baru bila kondisi lebih terang, maka pisau ‘analisis’ dapat digunakan. Ini penting digunakan pada islam, sebab secara umum masyarakat islam yakin kondisinya sakit.

Kata frued; individu tidak dapat begitu saja memuaskan dorongan nalurinya karena sensor sosial, konflik ini dapat menimbulkan neurosis individu ataupun kolektif. Masyarakat adalah sistem pemeliharaan-diri kolektif dan senantiasa berada pada bahaya ancaman dorongan naluri individu. Makanya masyarakat memaksakan tuntutan institusional dalam lingkup keluarga yang diwakili oleh orang tua. Ini sangat menarik bila kita bawa pada sejarah islam, dimana ada represi antara ‘jamaah’ dan ‘keadilan’. Jamaah adalah masyarakat dan keadilan adalah individu. Lihat bagaimana represi Muawiyyah terhadap ‘keluarga nabi’, muncul dalam bentuk-bentuk lain. Represi keluarga (orang tua) muncul statemen, “semua sahabat (orang tua) adalah adil (tidak boleh dilawan). Dosa bila diganggu dst. Bahkan banyak (histeria, neurosis, fobia) dalam sejarah islam. Ketakutan membahas Tuhan, sejarah awal, sejarah penulisan qur’an dst. Banyak argumen aneh, tidak masuk akal tapi diterima umum (Neurosis) dst. Contoh dalam Syi’ah, Imam mahdi akan turun bila dunia dipenuhi ‘kekacauan, kejelekan dst’ dan tidak akan turun bila masyarakat tidak syiap menerimanya. “Tidak diizinkan mendirikan negara Islam (kecuali Imam 12, Imam mahdi), karena itu hak imam (jelas ini neorosis kolektif, mungkin karena kekalahan-kekalahan terus menerus pengikut Syi’ah, atau karena kekalahan antara Ulama dengan Umara, penguasa). Tetapi konsep ini di ‘hancurkan’ oleh khomeini di Iran. Lihat bagaimana ‘penutupan pintu ijtihat’ dilakukan dalam Sunnah. Dll konsep dalam Islam yang perlu dianalisis dengan ‘hermeneutika-dalam’. Hadist-hadist seringkali digunakan sebagai tameng untuk pembenaran konsep suatu kelompok dst.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar