Laman

Senin, 05 April 2010

Sebuah ORIENATSI dalam BERKEBENARAN

ORIENTASI: PENGANTAR "BERKEBENARAN"

“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran carilah.”

He who has a why believe for can bear whith almost any how (‘Dia yang memiliki mengapa untuk hidup, akan bisa bertahan dalam hampir semua bagaimana”)

Nietzsche

Tindakan adalah cermin dari tujuan yang ingin dicapai, sedangkan keinginan adalah hasil interaksi persepsi, hasrat/kehendak, wawasan dan kondisi lingkungannya. Seseorang dalam bertindak sebenarnya adalah konfigurasi dari jaring-jaring diatas, disinilah rekayasa berlaku. Karena manusia kebutuhannya jelas, sedangkan yang mampu direkayasa atau objek-terekayasa (seperti; objek dari persuasi, periklanan, mempengaruhi persepsi, tindakan, kehendak mengkonsumsi, melakukan dan lain-lain) adalah Keinginan.[1]

Manakah Keingininan asli kita? Sehingga sama antara “keinginan” dan “kebutuhan” itu? bukan keinginan karena terekayasa?, iklan, bujuk-rayu, brain-washing dan lain-lain sangatlah sulit untuk ditemukan dengan “kepastian-tinggi”. Disini diperlukan kompas, guide, “orientasi” sehingga kita dapat bercermin dengannya, sehingga kemungkinan tindakan keluar rel (keinginan asli kita, baca = kebutuhan kita) bisa diperkecil kemungkinannya.

Tindakan manusia dapat dibedakan menjadi; 1) Motif tidak sadar (unconciousness motives) seperti berangkat kekantor jarang bermotif cari uang, kecuali pas gajian. Ke kampus bukan cari ilmu, hanya rutinitas, “kenapa kita pakai pakaian warna ini hari ini?”, “Mengapa kita naik angkutan kota line ini sekarang kok tidak nanti?” dan seterusnya. Ini semua dilakukan karena "ada rasa aman secara ontologis" (ontologis security), sehingga tidak perlu mempertanyaan setiap tindakan. Kita tidak perlu berfikir mengapa? Misalnya kita mau melewati jembatan yang menghubungkan kampus kita dengan jalan. Kita tak perlu selalu bertanya; “Apa tidak akan roboh jembatan yang kita lewati sekarang ini? Walau setiap saat jembatan itu punya probability untuk ambruk. Kecuali tanda-tanda untuk robohnya ada. Kalau kita bertanya setiap lewat jembatan, bahkan jembatan tol sekalipun, maka kita mungkin akan dianggap gila, atau Fobia. Dengan tindakan ini (unconciousness motives) maka rutinitas terjadi, terbentuklah struktur-struktur tindakan.

2) Kesadaran Praktis (practical conciousness), yaitu tindakan yang dilakukan sesuai dengan petunjuk, kebiasaan, formalisasi aturan, procedural (sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi). Misal tindakan ini banyak berlaku di birokrasi, kemililteran dan lain-lain. Makanya seringkali tindakan-tindakan yang rutin itu akhirnya menjebak dirinya sendiri. Banyak prosedur-prosedur rutin itu adalah pungli, korupsi dan lain-lain.

Dua kesadaran diatas sebenarnya; tindakan-tindakan yang membuat “struktur” dan memperkokoh Status Quo. Struktur, paradigma kebiasaan sebelumnya, makin diperkuat sebab tindakan-tindakan rutin, procedural tadi, tidak lagi mempertanyakan; “mengapa”, “kenapa harus seperti ini”, bahkan tidak mungkin, atau kecil kemungkinannya bertanya “apakah tidak ada cara lain?”. sehingga dengan dua tindakan ini yang terus menerus, turun temurun akan menjadi Paradigma berfikir atau bertindak (kata Thomas Kuhn), menjadi Episteme (kata Micheal Foucoult), menjadi Skemata (J. Piaget) atau Strukturasi (kata Antony Gidden).

3) Kesadaran diskursif (discursive conciousness) disini dalam melakukan tindakan, kita selalu memiliki cakrawala yang luas, menghubungkan kejadian yang satu dengan yang lain, selalu melakukan analisa social, mempertanyakan mengapa dan apa sebab harus melakukan ini itu dan seterusnya. Dengan tindakan-tindakan bentuk ketiga inilah akan terlihatlah keganjilan-keganjilan, perkecualian-perkecualian, anomaly-anomaly dan lain-lain. Sehingga bila keganjilan, perkecualian itu makin banyak (atau sedikit tetapi sangat penting) yang akhirnya kita bisa menemukan kesalahan-kesalahan paradigma berfikir sebelumnya, yang dengan ini kita akhirnya mengetahui perlunya memperbaiki bahkan mengganti paradigma sebelumnya.

Contoh kasus pergantian paradigma; seperti revolusi Einstein mengganti cara berfikir Newtonian, tadjid-tadjid yang dilakukan oleh ulama-ulama dan pemikir-pemikir Islam, dan seterusnya. Bahkan "mungkin", inilah kerja revolusi Iran lewat imam Khomeini yang sebenarnya; dimana konon katanya, Ia mengganti cara berfikir sebelumnya yang "hampir disepakati" mutlak yaitu tidak diperkenankan "mendirikan Negara" dalam lingkungan Syi'ah karena itu "hak Imam maksum", diganti dengan konsep Wilayah al Faqih (Bahwa faqih mewarisi para nabi dan Imam dan punya hak bahkan wajib mendirikan dan memperjuangkan Tegaknya Negara Islam) benar atau salahnya tindakan-tindakan itu tidak kita bahas disini.[2]

Disinilah juga bisa kita lihat bagaimana sock yang dilakukan Gallileo (yang memporak-porandakan pandangan gereja tentang pusat alam adalah dunia, Geosentris, dirubah menjadi Heliosentris. Dengan konsekuensi ia harus dihukum mati). Descartes (dengan buku Risalah Metodenya), Martin Luther (reformasi gereja), Imanuel Kant, Einstein (merubah kosmologi Newtonian dengan konsep foton dan gelombang-partikel), Husserl (menghacurkan atau tepatnya memadukan atau mungkin mengganti pemikiran yang hanya itu-itu saja dari para filosof. Kalau tidak Plato ya Aristoteles. Kalau tidak Idealisme ya Realisme. Jebakan paradigma berfikir itu dirubah atau dijembatani dengan berfikir fenomenologi), dan terakhir Nietzsche (si-anak ajaib, “sufi sejati”, yang dalam kegilaannya dalam kaca-mata umum, sangat membantu banyaknya revolusi paradigma) dan lain-lain.

Imam Husien as, dengan "mengorbankan dirinya" di padang Karbala (dibantai beserta keluarganya oleh Yazid bin Muawiyyah) dalam peperangan yang tak seimbang, 40-an tahun setelah nabi Islam Muhammad saww wafat. Dengan tindakan itu maka berjungkir baliklah paradigma, cara berfikir sebelumnya yang hampir menjadi rutinitas dan tanpa kesadaran membiarkan kejanggalan kepemimpinan yang dholim dan destruktif, irrasional (hanya 40-an tahun setelah Muhammad saww meninggal, Islam dipimpin oleh manusia yang semua masyarakat tahu kebejatannya, minum khamer didepan umum, main perempuan, membunuh ulama dan lain-lain, tetapi tidak ada pemberontakan dan perlawanan yang berarti bahkan makin menggilanya kekuasaan destruktif itu). Apabila ini dibiarkan maka akan terjadi pembusukan yang segera dan sangat besar kemungkinannya akan membunuh Islam yang masih muda dari kelahirannya. Dengan korban Imam Husien as, cucu nabi Muhammad saw, dibantai dikarbala (sock terapi kepada masyarakat), pecahlah paradigma lama, dan mulai ada pemberontakan-pemberontakan yang “cukup berarti”. Setelah kejadian itu, dinasti Umayyah tak dapat tidur dengan pulas sampai akhirnya digulingkan oleh dinasti Abbasiyyah.[3]

Kontruksi pemikiran kita (dimana itu adalah teritori ide, wawasan, hasrat dan sebagai alasan kita untuk bertindak) dibatasi oleh 1) Kontruksi kita yang lama (informasi yang kita miliki yang sudah melekat dan lain-lain), 2) Domain pengalaman kita (misalnya pengalaman bentrok dengan TNI, membentuk image, stereotype tersendiri. Misalnya jengkel, benci atau lainnya). Disinilah penyebab banyak kesalahan berfikir, dimana banyak melakukan generalisasi atau asosiasi). Misalnya menganggap semua TNI jelek dan seterusnya. 3) Jaringan struktur Kognitif kita (jumlah pengalaman dan variasi pengalaman, interaksi social dan lain-lain).

Dari tiga kontruksi diatas kita bisa melihat bagaimana pengalaman Kematian Nabi saww, Saqifah dan Baiat Ali as kepada Abu Bakar ra, pemilihan khalifah ke kedua dan ketiga, peperangan Ali as (menantu dan pintu ilmu Nabi) dan Aisyah ra (Ummul Mukminin), Peristiwa Abitrase (tahkhim) antara Amr bin Ash dengan Abu Musa al Assyari, "kekalahan" secara tidak adil Ali as atas Muawiyah bin Abu Sofyan, baitnya Hasan bin Ali bin Abi Thalib as, terpilihnya Yazid bin Muawiyyah bin Abu Sofyan dst.

Jelas itu semua merupakan sesuatu yang cukup kuat untuk kaum muslimin waktu itu menjadi pesimis, tidak percaya diri dan yang lebih parah lagi adalah itu semua sudah menjadi kontruksi kerak-kerak pemikiran mereka (menjadi Paradigma atau Episteme, meminjah istilah Foucolt, atau Kontruksi dan Strukturasi, kata Gidden) untuk membiarkan kekuasaan, politik, dan kemaslahat umum kepada mereka-mereka yang mau, bukan yang layak dan mampu. Pengunduran diri dari dunia umum, kholwat, "sufi-sufian" dalam arti yang kurang positif seperti Abdullah ibn umar (anak Khalifah kedua Umar bin Khattab). Disinilah Revolusi Islam yang pertama dilakukan. Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib membuat sock, memporak-porandakan struktur-struktur, ikatan-ikatan social, politik dan yang lebih penting lagi memporakporandakan cara berfikir (paradigma) umat Islam.

*

Dalam contoh didunia barat juga, kasus “paradigma”, cara berfikir ini sangat jelas, khususnya berhubungan dengan cara pandang mereka dalam melihat Islam. Kita tahu perjumpaan “serius” Barat-Islam, terjadi saat “perang salib”. Sehingga perjumpaannya itu lebih kearah curiga. Mereka memang mencari informasi dan pengetahuan Islam. Tetapi awal-mulanya adalah sekadar “iseng”, atau berupaya untuk kolonialisme dan lain-lain. Bukan untuk mengetahui “sebenarnya” (ini orientalisme awal), lihat buku Orintalisme (Edward Said, 1985), lalu informasi itu menjadi acuan oleh masyarakat mereka kemudaian, karena para pemikir awal, buku-buku yang ditulis dan dibaca tersebar dan seterusnya.

Sekarangpun masyarakat Barat (umumnya), bahkan para politisinya saat inipun, mencari informasi dan pengetahuan yang tidak “sangat penting” (baca dunia Islam secara umum) itu cukup diperoleh hanya sekilas dan kulit luarnya saja. Ataupun kalau ingin mendalaminya hanya hal-hal yang mencolok dan eksotik saja (untuk kepentingan mereka). Dari dua hal ini maka;

Pertama, Untuk pengetahuan ‘sekilas‘ (umum), itu diperoleh dari media masa, televisi, koran dan media yang lain yang tunduk pada “tolok ukur pasar”, sehingga mereka hanya mengejar hal-hal yang “head-line” saja. Seperti Revolusi Iran, Gerakan Mahdi (di Afrika), Islam Fundamental (Afganistan), Usamah bin Laden dan lain-lain. Hal-hal ini –yang sekalipun mungkin itu bagian kecil dari masyarakat Islam umumnya– tetapi menarik untuk dijadikan “head-line”. Dan akhirnya, karena informasi seperti itu yang banyak masuk dan diinginkan, maka itulah wajah Islam yang ditangkap oleh masyarakat barat pada umumnya (padahal Islam atau fenomena Islam umumnya bukan Usama Bin Laden, bukan Demo-demo anti karikatur Nab dst). Kedua, Orientalis-orientalis barat hanya melihat Islam sebagai hal yang eksotik, tak ubahnya mereka melihat masyarakat primitif dipedalaman Afrika, Kalimantan, Papua dan lain-lain. Hal yang begitu aneh dan kontras saja yang dibidik, diteliti, kalaupun ada perubahan hanya sedikit sekali atau“untuk kepentingan kolonial saat itu”. Walau dibalut dengan kepakaran dan data ilmiah yang membludak, tetapi itu semua terkalahkan oleh tujuan awalnya (secara umum-mereka).

Wajah (orientalis-orientalis) itu (orientalisme-barat lama, yang banyak dikritik Edward Said dkk), katanya (khususnya kata mereka-orang-orang barat) sudah berubah saat ini, sehingga mereka tidak mau lagi dikatakan sebagai “Orientalisme”, karena berkonotasi jelek, sekarang mereka lebih senang diganti dengan nama “Islamisis”, ahli Islam (lebih positif dan terkesan superior). Apa itu benar (perubahan cara pikir dan cara pandang itu)?

Coba saja kita lihat beberapa contoh; Voltaire dalam bukunya Mahomet, or fanatism (1745), agama Islam disamakan dengan fanatisme, Montesqui mengatakan, kekuasan politik Islam disamakan dengan kezaliman (oriental depotisme, “kezaliman timur”). Francis Bacon (1612), Eugene Delacroix (1824), praktek militer Islam disamakan dengan pembantaian, pemerkosaan dan lain-lain. Yang digambarkan dalam lukisannya yang sangat terkenal. Ernest Renan dalam pengukuhannya guru besar di College de France (1862) mengatakan;

Islam merupakan pengingkaran total terhadap eropa … Islam merupakan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, penindasan terhadap civil society; Islam adalah bentuk kesederhaan spirit bangsa semit yang mengerikan, membatasi pemikiran manusia, menutupnya terhadap ide-ide yang sulit, sentimen yang beradap dan seterusnya.

Bahkan para sarjana abad XX, masih banyak yang seperti itu, contoh kasus Maximilian Weber (21 April 1864 – 14 Juni 1920), seorang ahli terkenal tentang sosiologi pengarang buku, Die protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, bahasa Inggris-nya: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism dan The Sosiology of Religion, sangat sinis dan menganggap Islam tidak punya semangat kemajuan dst…dst (tanpa penelitian, tanpa data dst…ini mengapa? Jelas karena informasi tentang Islam hanya perlu diambil secara serampangan, iseng, padahal anehnya, Ia seorang yang sangat pakar dan akhirnya memberikan dan membuat konklusi tentang Islam dst).[4]

Bernard Lewis (lahir 31 Mei 1916, London), dll, ilmuwan barat ahli Islam (orientalisme), juga banyak sekali mengatakan tentang tesis-tesis mengenai Islam yang sarat akan ‘rasialisme, ‘kebencian’, superioritas dst terhadap Islam. Lihat bukunya The Political language of Islam, terbitan The University of Chicago, dan lain-lain. Meminjam kata Ali Syari’ati (yang sesuai dengan ilmu sosiologi), dalam tulisannya tentang “sejarah masa depan”; Ia mengatakan; apa yang menjadi kesepakatan dan diskusi para ahli atau kelompok kelas atas (ulama, intelektual, artis dan lain-lain) dalam kurun waktu tertentu akan menjadi umum (turun) dimasyarakat. Kebiasaan, cara pikir, mode dan lain-lain itu, awalnya diatas kemudian akan menurun kebawah, (dalam masyarakat umum). Contoh Pakaian, Kebiasaan, buku-buku dan seterusnya. Demikian sebaliknya. Perubahan-perubahan diatas tidak dengan mudah merubah dikalangan bawahnya butuh waktu yang tak sedikit.

Arti semua ini adalah; bila tahun 1862 Ernest Renan (seorang tokoh, ilmuan sosial dan filsafat), tahun 1864-1920 (Max Weber-ahli Sosiologi), bahkan Bernard Lewis (seorang sejarawan-Islam kaliber dibarat) tahun 1970-an mengatakan seperti itu; Maknanya adalah puluhan tahun hal-hal itu baru akan menjadi opini umum. Ditambah dengan informasi cepat saji, dan pengejar “head-line”, media massa, koran, TV, dan media masa lainnya. Otomatis wajah islam yang mereka pada mereka (Barat) sampai abad ini (20 dan 21) bahkan kedepan mungkin, masih seperti apa yang diomongkan Renan diatas.

Walau kritik Edward Said dalam buku orintalism, cukup membuat porak-poranda dan terungkapnya kedok umum, gaya intelektualisme-orientalisme barat, dan cukup menggoyahkan ‘paradigma’ orang-orang ‘netral’, tetapi goncangan itu masih kurang berarti, belum mampu merubah system berfikir dan gaya orintalisme barat (dalam mengembangkan keilmuan ketimurannya). Sehingga mungkin benar kata Edward Said, dalam bukunya dan 25 tahun peringatan bukunya yang spektakuler dia mengatakan (2004), semua orientalis seperti itu (1979) dan sampai sekarang tidak banyak yang berubah.

Kalaupun kita mengatakan ada perubahan, seperti J.L. Esposito dkk (katanya). Itu belum signifikan untuk masyarakat barat, butuh puluhan tahun baru akan turun kebawah. Apalagi dengan ditambah “sentimen pasar” yaitu kepentingan politik-ekonomi, gencarnya mass media, yang berorientasi pasar dan mengejar oplah, headline dengan argumentasi pasar, maka perubahan-perubahan itu hanya selapis, sulit untuk dikatakan sudah berubah.

*

Lalu bagaimana kita menyikapi ini semua, bagaimana informasi, lingkungan ikut mengesset tindakan kita, bagaimana pola piker keagamaan dan kehidupan kita mesti kita “tata”, bagaimana kita mesti hidup, apalagi dengan era modern sekarang ini, dimana pencarian “makna hidup” menjadi paradoks. Satu sisi karena makin modern maka orang berbalik kepencarian makna, tetapi landasan pencarian itu digusur sendiri oleh modernitas dengan robotisasi, rutinitas, arus informasi dan efisiensi demi efisiensi. Pencarian makna menjadi seakan absurd. Mungkin kita mesti mendengar kisah yang diceritakan oleh Muhammad Taqi Misbah Yasdi, dalam buku “Daras Filsafat Islam” (Mizan, 2003);

Matahari terbit dari balik horizon dan menyinarkan cahaya keemasan ke arah wajah-wajah lesu para penumpang kapal. Begitu terbangun dari tidur semalaman, para penumpang ini bergegas mencari makan, minum, dan bersenang-senang, mengikuti gerak kapal menembusi samudra tak bertepi.

Sementara itu, seorang yang tampak lebih “cerdas” ketimbang lain-lainnya mulai berpikir, lalu menengok ke arah rekannya dan bertanya, “Kemanakah gerangan kita menuju?” Orang yang juga baru terbangun dari tidurnya menangkap pertanyaan itu dan segera menanyakan soal serupa kepada rekan-rekan lainnya. Sebagian yang terlalu tenggelam dalam kesenangan dan keriangan tak menggubris pertanyaan ini, dan terus saja tenggelam dalam urusannya sendiri, Tetapi, perlahan-lahan, pertanyaan ini menyebar sampai terdengar oleh awak dan kapten kapal. Ternyata sialnya mereka pun tidak tahu dan bertanya-tanya tentang hal yang sama. Akhirnya, suatu tanda-tanya besar menggelayuti suasana kapal, menimbulkan ketakutan dan kecemasan.

Bukankah gambaran di atas menyerupai kisah anak cucu Adam di dunia ini? Menumpang kapal besar bernama bumi, berputar-putar di jagat kosmos, melancongi lautan waktu yang tak berbatas (limitless)? Bukankah mereka seperti binatang, seperti dikatakan dalam Al-Qur’an, “Mereka bersenang gembira dan makan layaknya binatang….“ (QS:47:12), bahkan, “Mereka punya hati, tapi tak bisa memahami; mereka punya mata, tetapi tak bisa melihat; mereka punya telinga, tapi tak bisa mendengar. Benar-benar mereka mirip binatang, tidak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS;17:179).

Ya inilah masalah kita, kadang kita manusia terjebak dari rutinitas aktivitas sehari-hari. Bangun, aktivitas, kerja, makan, kerja, pulang, tidur, tumbuh besar. Mempersiapkan apa-apa yang layak untuk makan, minum, sekolah, anak-anak, kawin dan karier. Tetapi pernahkah kita bertanya; untuk apakah ini semua? Mengapa kita harus melakukan itu semua, untuk apa, kapan kita berhenti dan seterusnya. Inilah pencarian “makna hidup”. Pertanyaan-pertanyaan itu akhir-akhir ini mulai disinggung, dibahas oleh para Eksistensialisme (suatu aliran filsafat yang membahas masalah manusia intinya dengan segala problemnya; Inti dari kemanusiaan, Apa itu Manusia? Penderitaannya, mengapa mereka harus mati? Bagaimana supaya manusia hidup bahagia dan seterusnya. Dengan tokoh-tokohnya dibarat; Soren Kierkegaard, Jasper, Nietzsche, J. Paul Sartre dan lain-lain. Dalam psikolog-Eksistensial ada kelompok yang sama antara lain; Biswanger dan Boss, Ronald Liang, Rollo May, Viktor E. Frankl dan lain-lain). Walau sentuhan ketuhanana dan agama-filosofis kelompok ini kurang kuat. Tetapi mereka mempertanyakan betul-betul tentang kemanusiaan manusia. Tetapi anehnya mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu oleh sebagian pemikir (barat juga) dikatakan sebagai tanda kegilaan seseorang.

Bahkan yang lebih parah lagi sebagian mereka (Eksistensialisme) berkata; Nikmatilah hidup ini, jangan manusia memikirkan yang lain? Seakan mereka mengatakan seperti dalam al-Qur’an; “Mereka berkata, tiada apapun kecuali kehidupan saat ini, kita hidup dan kita mati, dan tiada selain waktu yang menghancurkan kita” (QS; 45:24). Kita akan sangat jelas melihat konsep ini dalam filsafat Nietzsche dengan nihilisme dan Absurditasnya, Albert Camus, Sartre dan lain-lain [walau didalam pemikiran-pemikiran mereka ada ‘kebenaran’. Contoh Iqbal seorang muslim yang baik sangat tertarik dan meyakini ide-ide Eksistensialis khusunya Nietzsche].

Inilah paradok dunia modern; satu sisi karena modernisme yang “menggila”, globalisasi dan seterusnya, manusia “kehilangan pegangan”, mencari makna. Berupaya mencari jati diri dan kepastian, disisi lain pegangan, kepastian dan agama sudah “disepakati” dibunuh, dibuang dengan ikonnya adalah Nietzsche dan Positivisme-logis. Nietzsche berkata; “Tuhan sudah mati (Gott ist tot)”. Tuhan disini dimaksud adalah apapun kepastian, apapun keabsolutan. Sedangkan positivisme-logis mengatakan; apa yang dibicarakan adalah yang dapat dikatakan benar atau salah. Dan benar atau salah suatu ucapan itu harus dapat dibuktikan, bukti itu harus mesurable (terukur), jelas dan kasat mata. Sedangkan Tuhan adalah hal yang kita tak pernah menjangkaunya, tak dapat dibuktikan benar-salahnya, maka pembicaraan akan tuhan, metafisika adalah absurd, tertolak. Ilmu metafisika adalah omong-kosong.

Tetapi karena manusia pada dasarnya “bertuhan” maka pencarian itu tetap diupayakan dalam redup-redup sekalipun, oleh manusia-manusia Barat. Mereka berpegang pada tuhan-tuhan semu. Yoga, meditasi, idola-idola dan seterusnya.

Kalau kita lihat secara teliti, manusia dalam segi fisiknya dia sangat rapuh, lemah dan tidak sempurna. Pendengarannya lemah, hanya mampu mendengar suara dengan panjang gelombang tertentu. Matanya hanya mampu melihat dengan kejauhan tertentu dan hanya mampu kosentrasi pada dua titik yang saling berdekatan beberapa inci. Sewaktu anda membaca tulisan inipun anda hanya melihat huruf per huruf, tidak mampu melihat 3 huruf sekaligus dengan detail tanpa menggeser pupil mata kita. Umur kita sangat rendah dibanding gajah, pohon jati dan lain-lain. Pada saat dilahirkan manusia adalah salah-satu mahkluk terapuh yang ada. Banyak hewan yang dalam beberapa menit kelahirannya ia sudah mampu berjalan, bahkan dalam beberapa hari ia sudah mampu menangkap mangsa untuk makanannya sendiri. Bayangkan dengan kita.

Sekalipun demikian (dengan semua keterbatasan), manusia adalah makhluk yang “paling sempurna dalam proses”. Tidak ada mahkluk dialam ini mampu memaksimalkan potensinya melebihi manusia. Ia dapat, ingin, mau untuk menyempurnakan dirinya. Sewaktu kedinginan ia membuat perapian, sewaktu kepanansan ia membuat kipas angin dan alat pendingin lainnya dan seterusnya. Manusia adalah mahkluk yang “Tahu dan Mau”, punya akal dan punya kehendak. Inilah potensi manusia.

Karena memiliki “Tahu dan Mau” (Akal dan kehendak), maka manusia adalah mahkluk rasional juga memiliki kebebasan. Sekalipun (kerasionalan dan kebebasan manusia ) perlu pembuktian dan diskusi panjang. Apakah ia punya akal cukup sehingga dalam hidupnya dapat mengandalkan itu untuk “bahagia” dunia akhirat. Untuk jawaban ini dalam agama Islam terbagi beberapa kelompok mulai dari yang paling mendewakan akal sampai yang paling menafi’kan akal yaitu; Mu’tazilah-Syi’ah-Matuhiridi Saramkhan-Maturidhi Bukhara-Asy’ariyaah sampai –Kaum Sufi. Konsekuensinya apakah manusia itu bebas-berkehendak atau tidak menjadi pertanyaan.

Disamping madzab dalam Islam, ilmu pengetahuan-pun berselisih pendapat tentang ini. Sigmund Freud, J Watson, BF. Skinner, Ahli-ahli Ilmu alam (genetika atau lingkungan) mengatakan kita ini terikat (determinisme), baik terikat oleh Genetika (DNA, Deoxyribu nucleic acid, dan lain-lain ) atau oleh Lingkungan (perlakuan orang tua waktu kecil, pendidikan kita, buku yang kita baca dan lain-lain). Makanya kata kelompok ini kalau kita ingin memperbaiki, meningkatkan kualitas manusia maka tidak ada jalan lain kecuali dengan gerakan eugenika (rekayasa genetika) atau euthenika (rekayasa lingkungan).

Mestinya sebelum itu semua (rekayasa untuk kebaikan manusia dll), kita seharusnya bertanya; Siapakah kita? Bagaimana kita berawal? Bagaimana kita berakhir? Dan bagaimana jalan lurus untuk mencapai tujuan itu? Bahkan sebelum itu mestinya kita bertanya bagaimana kita mendapatkan keyakinan bahwa sesuatu itu memang benar dan yang lain salah (pertanyaan epistemology), apa difinisi kebenaran itu, apa tolok ukurnya, apa alat-alat pencari kebenaran itu, siapa tokoh-tokoh kelompok-kelompok pencari kebenaran itu dan seterusnya. Lalu adakah figure yang dapat dijadikan ukuran dalam pembeda antara yang benar dan yang salah secara praktis dan seterusnya.

Yang menjadi masalah adalah; Teologi (Ushuluddin) yang berbicara tentang ke-Tuhan-an demikian banyaknya, ada Mu’tazilah, Murji’ah, Asy’ariyyah, Syi’ah, Jahmiyah, Khawarij dan lain-lain. Yang kesemuanya mengklaim punya tawaran yang “paling benar”, padahal mereka terkadang saling bertolak belakang. Lalu mana yang benar? Padahal menurut akal mengatakan; “tidak mungkin sesuatu yang berlawanan bisa sama-sama benar.” , Demikian juga Syari’at (Figh), ada Ahl Sunnah (Hambali, Hanafi, Maliki dan Syai’i), ada Syi’ah (Ja’fari, Ismaili, Zaidy). Kesemuanya mengklaim memiliki tawaran yang benar.

Apalagi kalau kita percaya dengan hadist nabi yang mengatakan; “Nanti ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, hanya satu yang selamat, selainnya akan celaka”. Atau teks yang lain mengatakan; “semuanya akan selamat kecuali satu yang celaka”. Dengan perbedaan tadi, dengan hadist diatas (bila kita sepakati), maka sebagai “penumpang yang cerdas”, kita semestinya mencari jalan-jalan, kaidah-kaidah, sehingga kita dapat memilah-milah pendapat-pendapat itu secara sederhana, untuk memberikan “sedikit kemantapan dan ketenangan hati”, bahwa kita sudah dijalur yang benar. Minimal mengarah kepada tujuan, tidak berlawanan dan semakin menjauhi tujuan itu.

Sekalipun seandainya kita percaya pada “pluralisme”, yang mengatakan “jalan keselamatan itu banyak, dan semua jalan-jalan agama menuju kepada keselamatan”, kita tetap harus mencari jalan-jalan itu, juga disetiap jalan ada jalan yang jauh (tapi aman), pendek (tapi berbatuan) dan lain-lain. Mestinya sekali lagi sebagai “penumpang yang cerdas”, kita mencari jalan terpendek menuju tujuan. Sebab menurut dalil matematika, untuk mencapai suatu tujuan, maka garis luruslah (siratal mustakim dalam bahasa Islam) adalah jalan terpendek untuk mencapainya. [Menurut dalil Matematika: Antara satu titik dengan titik yang lain, maka garis penghubung terpendek adalah garis lurus].Tetapi yang mana yang lurus itu?, manakah ajaran yang benar-benar dari Tuhan? Perlu penyelidikan lebih lanjut. Sebab begitu banyak yang mengklaim memiliki jalan lurus tersebut.

Disinilah kita perlu “ORIENTASI”, gambaran umum (global), walau tidak detail, tetapi mendekatkan dan memberikan gambaran (apa-apa yang ada) dalam pertanyaan diatas. Sipakah kita, bagaimana kita tahu benar-salah, apa alat-alatnya, tolok ukurnya (baik teoritis maupun figure praktis), kelompok-kelompoknya, darimana kita, mau kemana, dan lewat jalan apa kita kesana dan seterusnya. Untuk tujuan itulah buku ini dibuat, walau dengan sangat terbatas (karena besarnya semangat dan minimnya kemampuan), disamping juga keterbatasan-keterbatasan lainnya.

Banyak masalah dalam tulisan-tulisan ini (hhttp://humanisme-kebenaran.blogspot.com/) yang dikemukakan; banyak hal yang dibahas, walau dengan ketuntasan yang minim. Banyak pertanyaan yang dikeluarkan dan diajukan, ditinggalkan jawabannya atau hanya diberikan jawaban yang kurang mendalam bahkan terkesan superficial. Yang lain, sebagian (walau mungkin tidak banyak), ada pengulangan argument-argumen yang dikemukakan. tetapi sekali lagi terlalu tinggi tujuan, dengan sidikit kemampuan. mudah-mudahan tulisan-tulisan ini dapat menjadikan pengantar dalam upaya mencarai DEMOKRATISASI dalam BERKEBENARAN dan HUMANISME DALAM BERKEBENARAN.

Wassalam, kami memohon kepada Allah agar tulisan-tulisan ini (direncanakan menjadi buku) dapat bermanfaat buat kami, dan siapapun yang mau membacaya.


Al fakir bi Itnillah, La Haula wala Quwwata illa Billah.

Penulis: Muhammad Alwi.



[1] Mesti dibedakan antara Kebutuhan (need) dan Keinginan (want). Kebutuhan itu ketiadaan atau berkurangnya sesuatu sehingga kita membutuhkannya (asli). Seperti makan, karena kurangnya asupan tubuh kita. Haus karena kurangnya kebutuhan air dalam tubuh kita. Ilmu kebutuhan immaterial karena kesempurnaan “ruh” dst. Sedangkan keinginan (want), lapar (itu butuh makan), makan apa? Roti, nasi, kentang ini sudah pengaruh budaya, keuangan kita, kebiasaan dll. Tubuh hanya butuh makan titik. Jiwa hanya butuh Ilmu, ketenangan, rileks dll. Lalu cari ilmu ke luar negeri, sekolah elit, ketenangan bisa ke sawah, dengan musik Mozart dll itu adalah keinginan. Dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, keuangan, iklan dst.

[2] Untuk diskusi masalah konsep keluasan dan kesempitan hak-hak yang disandang oleh (Ulama pewaris para nabi), lihat Abdul Aziz Schadina, “Kepemimpinan dalam Perspektif Syi’ah”, Mizan, Bandung, 1991.

[3] Lihat bagaimana Usman bin Affan ra naik tahta, bagaimana KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang merajalela. Peperangan-peperangan Ali bin Abi Thalib Vs Thalha, Zubair, Ali bin Abi Thalib Vs Aisyah, Ali Bin Abi Thalib Vs Muawiyyah dan Amr bin Ash. Yang akhirnya pemerintahan beralih ke Muawiiyah. Bagaimana peristiwa pengangkatan Yazid bin Muawiyyah menjadi khalifah Umayyah dst. Disini kedholiman sangat-sangat parah. Tetapi tak tau mengapa kaum muslimin mungkin imannya sudah lemah, atau ketakutan atau sudah lelah perang dan perang ataupun sudah sedemikian bergelimang harta sehingga tidak ada lagi yang peduli dengan kedholiman yang kasat mata. Tidak ada jalan lain untuk mengingatkan “kaum muslimin’ yang sudah terjerat sedemikian parah kecuali hanya “Scok Therapy”. Menghancurkan paradiqma lama dengan kesadaran baru, dengan peristiwa yang “dahsyat” yaitu Peristiwa karbala (terbantainya puluhan keluarga nabi dengan cara yang sangat-sangat mengenaskan).

[4] Lihat buku; Taufik Abdullah (ed), “Agama, Etos kerja dan Perkembangan Ekonomi”, LP3ES, Jakarta, cet-V, 1993. Kritik tajam tentang tesis-tesis Max Weber tentang Islam, Lihat Bryan S. Turner, “Sosiologi Islam, suatu telaah analisis atas tesa Sosiologi Weber”. Rajawali Press, Cet-IV, 1994. Kritik paling efektif dan cukup ‘mematikan’ pada orientalisme, sehingga mereka sebagian enggan diberi nama itu, karena bau tidak sedap atas pemakaian nama itu diberikan dengan data yang sangat lengkap oleh, Edward Said, “Orientalism”, Vintage Books, New York, 1979. terj Indonesia, “Orientalisme”, Pustaka, bandung, cet-I, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar