Laman

Minggu, 09 Mei 2010

BAHAYA PENDIDIKAN & UKURAN PENDIDIKAN YG “SEHARUSNYA” (Wacana)


“Berilah kasih sayangmu (padanya, anak-murid, siswa dst: pen), tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,… jiwa mereka adalah penghuni masa depan yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi… sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, pun tidak tenggelam dimasa lampau " ( Aforisma, Khalil Jibran Khalil)

Istilah pedagogy hitam, sudah keluar sejak lama…utamanya setelah Paul-Freire (Pendidik-Marxian) menulis buku tentang “Pedagogy of the oppressed” (pendidikan kaum tertindah). Dalam buku ini Freire mengeritik pendidikan sekarang yang bukan memanusiakan manusia tetapi justru menjadikan manusia menjadi bisu….buta.
Pendidikan adalah upaya menjadikan potensi menjadi aktualita…menjadikan yang awalnya ‘tidak punya menjadi punya’. Punya pengetahuan, ilmu, skill, kesadaran, kekayaan, kesehatan dst. Pendidikan akan menjadi seperti ini katanya, bila pendidikan itu melakukan tugasnya dengan baik…bila tidak maka akan sebaliknya. Sebab Kurikulum, buku, proses pendidikan, pembelajaran, strategi, metode guru itu, katanya lebih lanjut, sebenarnya mengantarkan sesuatu “Realitas” kepada para murid-nya.
Walau dalam pendidikan kontruktivism (konsep pendidikan yang sekarang banyak dianut, di Negara kita utamanya, dari filsuf Pengetahuan, Jean Piaget) mengatakan bahwa anak-lah yang mengkontruk realita (makna), dan itu memang ‘benar’. Tetapi mesti kita juga ingat, kontruk awal menentukan kontruk selanjutnya kata Piaget. Kontruk selanjutnya ditentukan oleh realita yang datang….Apa artinya? Bettencourt (1989) juga menyebutkan beberapa hal yang menghambat kontruksi pengetahuan manusia; 1) Kontruksi pengetahuan kita yang lama, 2) Domain pengalaman kita, 3) Jaringan struktur kognitif kita.
Bila realita sudah diredusir….anak tidak melihat ‘realita sebenarnya’…tetapi realita yang disodorkan kepadanya…realita-nya seorang guru? Pendidikan model ‘bank’. Anak menghafal kejadian sesuatu, tahap demi tahap…dst. Tidak ada pertanyaan mengapa? Mengapa harus seperti ini dst. Maka bukan realita yang dilihat anak, tetapi pseudo-reality (realitas yang sudah teredusir oleh kepentingan, keinginan, skala prioritas dst seorang guru).
Kita lihat saja contoh kecil kejadian kecelakaan; kerumunan masa itu melihat berbagai macam realitas, fakta. Ana yang mengamati bagaimana otak-nya keluar dari tempurung kepala korban, bagaimana darah tercecer. Ada yang mengamati bagaimana orang-orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengamankan dompet, jam-tangan, sepatu bahkan kaca-mata si korban. Ada yang mengamati bagaimana kerumunan massa teriak-teriak saling berdesakan, padahal si korban butuh pertolongan cepat. Ada yang mengamati bagaimana sikap lambannya petugas kepolisian datang dst…dst. Inilah realita, inilah fakta yang bermacam-macam. Guru dalam kelas bisa meredusir itu….wartawan juga….televisi apalagi. Tergantung mana yang ditulis, tergantung mana yang diajarkan, tergantung mana yang dicatatakan, disodorkan, didokumentasikan….kalau ingin ngerjai polisi, maka polisi yang lagi kurang sigap yang didokumentasikan dst.
Antony Gidden (mengatakan; Tindakan manusia dapat dibedakan menjadi; 1) Motif tidak sadar (unconciousness motives). Ke kampus bukan cari ilmu, hanya rutinitas, “kenapa kita pakai pakaian warna ini hari ini?”, “Mengapa kita naik angkutan kota line ini sekarang kok tidak nanti?” dan seterusnya. Ini semua dilakukan karena "ada rasa aman secara ontologis" (ontologis security), sehingga tidak perlu mempertanyaan setiap tindakan. Kita tidak perlu berfikir mengapa? 2) Kesadaran Praktis (practical conciousness), yaitu tindakan yang dilakukan sesuai dengan petunjuk, kebiasaan, formalisasi aturan, procedural (sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi). Tindakannya sudah sesuai prosedur. 3) Kesadaran diskursif (discursive conciousness) disini dalam melakukan tindakan, kita selalu memiliki cakrawala yang luas, menghubungkan kejadian yang satu dengan yang lain, selalu melakukan analisa social, mempertanyakan mengapa dan apa sebab harus melakukan ini itu dan seterusnya.
Tindakan yang ketiga inilah yang memungkinkan kita berubah….dari tidak tahu menjadi tahu, dari salah menjadi benar…dari terjajah menjadi merdeka..dari miskin menjadi kaya…dari tidak sadar menjadi sadar dst. Inilah inti pendidikan mestinya.
Contoh-contoh ‘Kesalahan’ berfikir tingkat dunia, yang akhirnya diubah; Galelio mengubah konsep gereja dari bumi sebagai pusat menjadi Matahari, Revolusi Einstein mengganti cara berfikir Newtonian, tadjid-tadjid ulama besar seperti Syafi’I dengan buku Ar-Risalah-nya, Khomeini dengan konsep Wilayah-Faqih (di madzab Syiah) dst.
Lihat saja pendidikan-pendidikan sekarang ini? Disekolah, kelas, kampus dan ditempat-tempat lain, bahkan ditempat kerja (yang katanya menghasilkan uang, kalau dikelas kan tidak dapat uang). Bila pendidikan itu memanusiakan-manusia. Maka sebenarnya tidak akan ada kata-kata seperti ini (dalam proporsi dominan). Selesai sekolah, selesai, pulang dari kampus, selesai kerja mereka sangat senang….aaah selesai sudah. Aaaah sudah selesai ……seakan ditempat sebelumnya itu dia (kita) menderita….dan setelah keluar dari sana mereka menjadi kembali sebagai manusia (ini seharusnya menjadii tolok ukur pendidikan itu memanusiakan manusia atau tidak, dan tolok ukur apakah cara kita mengajar sudah sukses atau tidak).
Mari kita tanya pada anak-anak didik kita dikampus, kelas, karyawan-karyawan kita dll….sekarang ada pelajaran atau libur….sekarang kerja atau libur? Jawabnya jelas…..sekali lagi dengan proporsi besar jelas, jawabnya adalah libur…libur dan libur. Apa artinya itu?
Dalam karya besarnya pemikir komunis Italia (Antonio Gramsci, 1891-1937) 'Prison Notebooks' (sudah ada edisi Indonesia) mengatakan, "Hegemoni kekuasaan dapat dijadikan alat menjadi hegemoni makna". Manusia secara ontologism memang bebas; ada kebebasan secara fisik (yaitu bebas dari belenggu, tidak terikat dll) dan bebas secara rohani (yaitu kemampuan untuk menentukan diri sendiri, apa yang kita fikirkan, bergerak kemana, untuk menghendaki sesuatu, untuk bertindak secara terencana dll). Kebebasan rohani bersumber dari akal budi kita, Kebebasan rohani kita seluas jangkauan fikiran dan bayangan kita. Makin luas jangkauan fikiran kita makin luas kebebasan kita. Sedangkan keluasan jangkauan kita, itu tergantung dari wacana, cakrawala berfikir, dan langit langit pikiran kita. Ini semua tergantung dari pengalaman kita, atau informasi yang kita miliki. Makin luas pengalaman dan informasi yang kita miliki makin banyak alternatif-alternatif yang kita punya dan makin besar pula kebebasan kita
Ada ucapan; “Tidak mungkin anak dari pedalaman papua, yang masih tidak mengenakan pakaian lengkap, berimajinasi, berhayal untuk merampok bank dengan membobol security computer ATM”. Apa arti, makna kata ini? Kurang lebihnya adalah; kita berfikir, mengatakan salah-benar, berguna-tidak berguna (yang ini sering membuat beda pendapat, ribut-ribut, demo, bahkan perang), perlu-tidak perlu, dikerjakan sekarang atau nanti, skala prioritas, tergantung wacana kita masing-masing. Darimana wacana itu?
Contoh lain…kita pengguna internet….ingat google sangat berkuasa lho disini….bila anda ‘tidak disukai’ oleh-nya….maka anda masuk daftar pencarian lembar ke 12. Apa artinya itu? Informasi yang ingin anda tampilkan tidak ‘mungkin’ terbaca, diketahui orang. Makanya jangan heran kursus SEO (Search engine operation, bagaimana menempatkan daftar web kita di 10 teratas) sangat mahal.
Dalam pembelajaran ekonomi (kebetulan saya praktisi pendidikan, guru, dosen Matematika/Ekonomi) misalnya….saat kita membahas pengaruh permintaan-penawaran dan subsidi, tax dst. Dengan menggunakan grafik….gambar-gambar limit, turunan dst (rumus-rumus matematika). Pasti akan terlihat campur-tangan apapun akan merugikan baik sisi penjual/pembeli. Apa benar seperti ini realitanya?
Kita perlu lihat….banyak realita yang kita lihat, yang disodorkan pada kita….yang lebih parah adalah mulai dari anak-anak realita itu di konstruk. Sebenarnya sudah teredusir oleh kelompok tertentu…kepentingan tertentu.
Dalam pendidikan nasional misalnya; Awalnya tujuan pendidikan ada di GBHN (mau dijadikan apa anak didik kita, remaja kita….sebenarnya ini guide-nya), disini peran lembaga legislative sangat penting. Lalu masuk ke UU Sisdiknas (lihat demo-demo dan gonjang-ganjing UU ini waktu itu. Karena muatan, tujuan, arah sarat disini. Lihat juga dulu tahun 80 akhir atau awal 90an, demo-demo tentang pakaian jilbab disekolah, foto tidak boleh menggunakan jilbab karena harus terlihat telinganya…mengapa bisa seperti itu? Bukankah presiden, mentri dll adalah orang Islam???), lalu Perpu atau peraturan setingkat kementrian (lihat masalah UAN, masalah jurusan IPA, IPS, dulu ada A1, A2, A3, A4, sekarang kembali IPA, IPS dan Bahasa. Bagaimana gonjang-ganjing-nya UAN, kalah di MK tetap jalan dst)….disini keluarlah kurikulum (yang diacu adalah kompetensinya, indicator-indikator pencapaian keberhasilannya). Kurikulum sudah berubah-ubah mulai dari Kurikulum 84, 89, 94, 99/KBK (Kurikulum Berbasis Kopetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), sekarang keluar….RSBI (Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional), SBI dengan Cambridge Certificate. Disini kita bisa lihat arah-tujuan, kepentingan dst….dst….dst. lihat proporsi pelajaran social, pelajaran karakter building, moral dan agama, pelajaran sain dan bahasa….mengapa proporsi-nya seperti ini? Jelas ada tujuan, kepentingan, proyek mungkin dst…dst.
Dari kurikulum-kurikulum itu, komperensi dasar dan indicator-indikator itu keluarlah buku-buku yang ditulis oleh para ‘pakar’ dan penerbit. Dan inilah yang dibaca oleh anak-anak kita…diajarkan oleh guru dst. Mereka takut keluar dari itu….sebab ada ulangan bersama (standartrisasi sama satu kabupaten, kecamatan dst)….ada kisi-kisi, mereka takut keluar dari itu, sebab bisa muspro (tidak berguna) diajarkan tapi tidak kelaur UAN….diajarkan tapi tidak kelauar di SPMB, UMPTN, SIMAK atau apalah istilah penjaringan ke perguruan tinggi negeri.
Belum ada lagi BHPN (badan Hukum Pendidikan Nasional) atau bahasa lain swastanisasi perguruan tinggi negeri….sehingga PTN-PTN ternama seperti UI, ITB, UGM, UNDIP, dll….mematok harga masuk sangat tinggi. Lihat saja contoh; masuk kedokteran sekarang rata-rata 75 sampai 150 juta rupiah….apa anak-anak menengah mampu? Berapa prosen penduduk Indonesia yang mampu secara ekonomi (bukan secara kemampuan bersaing kognitif). Bandingkan dengan 20 tahun lalu (penulis mengalami sendiri). Masuk Kedokteran Umum UNAIR uang gedung atau KOPMA atau apalah istilahnya hanya 1,5 juta rupiah. SPP hanya 120/semester. Kalau ada yang mengatakan bahwa itu kan 20 tahun lalu? Jawabnya adalah kita pakai standart kesetaraan daya beli (ini indicator yang cukup rasional, atau mungkin pakai inflasi misalnya). Tahun 1989 atau 1990 harga Motor Honda terbaru harganya 1,5 juta. Sekarang 15 juta. Maka mestinya masuk Unair Kedokteran Umum sekitar 15 juta. Kalau menggunakan Inflasi….menggunakan suku bunga bank rata-rata mungkin malah lebih kecil. BHPN kalah di MK baru-baru ini, tapi sama dengan UAN bukan berarti surut tetap jalan saja. Lihat pedoman masuk Perguruan tinggi negeri tahun 2010. Artinya apa ini? Anak miskin dilarang masuk disana? Apa seperti ini amanat UUD 45, GBHN, dan komitmen pendidikan kita?
Anehnya yang mengusulkan BHPN dan paling bersemangat adalah para dosen, senat-rektor. Argument yang sering kami dengar adalah; gaji professor kita sangat jauh dengan professor di Negara jiran….gaji dosen kita sangat jauh dengan Negara sebelah (mereka hanya membandingkan angka, bukan kesetaraan daya beli). AS itu kalah untuh Income perkapita dengan Negara-negara Jepang dll. Tapi bila dihitung dengan kesetaraan daya beli AS adalah Negara terkaya. Sedikit penjelasn; kesetaraan daya beli itu seperti ini hitungannya; berapa lama kita kerja untuk beli motor, kulkas, rumah, Tv dll. Sebagai contoh apa gaji Rp 2.500.000; di Pasuruan, tergalek, tulungagung, dan gaji Rp 4.000.000 di Aceh dan Jakarta lebih besar atau sama? Jelas tidak, hitungan riilnya kita akan tahu denganh kesetaraan daya beli (Lebih lengkap dalam; HAMISH MC RAE,1995).
Mengapa mereka bisa seperti itu? Jawabnya karena pendidikan yang mereka peroleh adalah pendidikan bisu…..pendidikan yang menjadikan mereka intelegensia bukan intelektual kata Sayyid Husein Alattas (Syed Husein Alatas, “Intelektual Masyarakat Berkembanga “, LP3ES, 1988).
Apa kita akan pesimis dengan ini semua? Jawabnya adalah tidak. Sebab sudah ada ‘sedikit’ komitmen tentang pendidikan kita, yaitu sertifikasi guru. Dengan tambahan per bulan sekitar 1,5 juta (artinya rata-rata naik 100%). Juga anggaran pendidikan nasional dan daerah. Subsidi pendidikan semacam BOS (baik SMP maupun SMA). Walau sayang komitmen tingkat menengah ini (SMP-SMA) dihambat ditingkan PTN dengan BHPN.
Ini semua adalah wacana bagaimana gambaran problema pendidikan, antara ide dan realita, antara kepentinngan dan semestinya. Harus ada pemikiran mendasar buat para pengkaji, pembuat kebijakan tentang pendidikan nasional kita. Bila kita ingin pendidikan kita menjadikan seperti tujuannya. Dari tertinggal menjadi setara dan pemenang, dari terjajah, terintimidasi menjadi punya harga diri dan kesetaraan. Dari Negara miskin menjadi kaya dan sejahtera.
Dengan gambaran-gambaran ini, dengan refleksi ulang saat-saat momen hardikans ini, maka kita bisa memiliki "Strategi Kebudayaan" meminjam kata-kata C.A. Paursen. Kalaupun ikut arus, itu karena dengan sadar karena tidak ada pilihan atau sulit untuk melawan, tetapi mengetahui lubang-lubang didalamnya, atau bila mungkin melawan arus atau mungkin ikut dengan mengupayakan perubahan-perubahan baik dari dalam atau melakukan perlawanan-perlawanan untuk menentang arusnya dikemudian.
Dan peringatan, sejarah, pengalaman masa lampau itu mestinya kita ambil, dan yang mampu mengambil peringatan-peringatan itu hanyalah mereka yang kata tuhan sebagai "ulil albab". Wallahu al a’lam bi al Shawab. La Hau la wala Quwwata Illa Billah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar