Laman

Sabtu, 17 April 2010

Mungkinkan Sunnah-Syiah-Wahabi & Liberalis Bersatu


Saya menulis ini sebenarnya sudah aga lama, tapi versinya agak beda. Tulisan ini terilhami oleh buku “Islam dan Kekuasaan” (Mortimmer; Mizan); sudah sangat lama saya membacanya (saya membacanya habis 2 kali, walau tulisan itu tebalnya 500 an hal). Inti dari buku itu mengatakan bahwa; setelah islam hancur (Abbasiyyah porak-poranda), timur-tengah dijajah oleh Inggris dan Prancis. Maka para pemimpin islam kebingungan mencari jalan keluar (apa yang salah sama islam?), sehingga Islam yang asalnya jaya (Abbasiyyah, Fatimiyyah), sekarang menjadi terjajah (kata mereka?).
Keluarlah tokoh-tokoh Islam, ‘maaf’ menawarkan solusi dengan kepala masing-masing. Saudi Arabia (Abdul Wahhab dan Ibn Saud dst), Mesir (Afgani, Abduh, Ridha dst), India (Ahmad Khan dll), Pakistan, Turki (Zia Golaps, Attaturk dst). Mereka mulai melihat apa yang salah dari Islam ini, sehingga seperti itu (terjajah dari asalnya adidaya). Mereka mencoba menafsirkan kembali Islam (kami tidak membahas disini benar atau salahnya tafsiran mereka itu).
Tulisan saya ini konseptualisasi teorinya mohon di buka “Islamuna-Islamukum” http://humanisme-kebenaran.blogspot.com/2010/03/islamuna-islamukum_21.html dan “Psikologi Pencarian Kebenaran; http://humanisme-kebenaran.blogspot.com/2010/03/psikologi-pencarian-kebenaran_41.html. serta Islam dan Kesadaran akan Sejarah http://humanisme-kebenaran.blogspot.com/2010/03/islam-dan-kesadaran-akan-sejarah_2238.html
Islam Sunnah (maksud saya Ahl Sunnah ) dengan konsepnya, Islam Syiah dengan konsepnya, demikian juga liberalism dan Wahabi. Mereka menggunakan Al Qur’an dan Hadistnya sendiri-sendiri (minimal penafsirannya). Mereka saling bertengkar, mengkafirkan bahkan tidak jarang penumpahan darah kaum muslimin jutaan manusia. Tidak hanya zaman sekarang, mulai sejak ditingga Nabi saw sudah seperti itu. Aisyah ra perang dengan Ali kw. Ali kw dengan Muawiyyah. Dst….dengan ribuan ummat Islam yang meninggal (disini tidak dibahas siapa yang salah…disiniah timbulnya madzab bila membahas siapa benar dan salahnya).
Islam menurut saya punya AD (anggaran dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga). Anggaran dasar-nya “kayaknya” sama (Yaitu Rukum Iman; semua madzab itu sama, Rukun Islam, semua madzab itu sama. Sholat, berbuat baik, bertuhan, mengakui surga-neraka). Dan lain-lainnya sama. Tetapi ART (Anggaran Rumah tangga) nya yang ruwet dan inilah yang menjadikan kita pecah.
Rukun iman (Tauhid, ada Mu’tazilah, Syiah, Asyyariyyah dst..dst.) yang satu mengatakan kamu itu tidak bertauhid, yang lain mengatakan justru kamu yang tidak bertauhid. Maksud saya seperti ini dst…lihat pertengkaran Allah itu ber-Jims atau tidak. Lihat bagaimana kehendak bebas dan free-will (yang menimbulkan pertengkaran dalam Islam) dst. Yang penting bahwa mereka percaya Allah itu satu, Esa selesai (jangan ditanya esa-nya seperti apa, satu maksudnya apa dst…..ini konsumsi ulama, dan dalam kategori sunnah mempelajarinya. Tidak semua orang perlu belajar tauhid setinggi itu. Sekadar contoh; masalah wahdatul wujud, mungkin hanya 10 ulama didunia ini yang faham, maksud Ibn Arabi, padahal katanya ini kafir, ada yang mengatakan ini tauhid tertinggi. Wallahu al A’lam).
Yang satu mengatakan tahlil haram, yang satu justru “sunnah” (bacaan-bacaan baik), yang satu sholat terawih 11, 21, tidak terawih (tetapi sholat malam dst), dan mengatakan tarawih jamaah itu bid’ah.
Mengapa kita tidak endapkan aja yang ART dan kita anggap AD aja sebagai kesatuan. Bila mereka sudah ber-Rukun Imam (Percaya pada Allah, Rasul, Kitab, Malaikat, Surga-Neraka, baik-buruk; semua madzab diatas percaya ini). Ber-Rukun Islam (Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji); semua madzab diatas percaya ini. Lalu mereka berbuat makruf (baik). Selesai. Ingat jangan dimasalahkan sholatnya sedekap atau tidak, tangan ditaruk diatas perut atau dibawahnya, kakinya harus meregang atau tidak. Ini ikhtilaf….dan tidak menyebabkan kita jadi batal sholatnya.
Bila ada yang tahlil, silakan. Ada yang tidak silakan, ada yang ziarah kubur, cari barokah silakan, tidak ya silakan. Mengagung-agungkan Ali silakan (jangan mencaci, didepan orang lain), yang tidak mengagungkan Ali (atau mengagung agungkan Umar dan Aisyah) silakan. Percaya Mut’ah silakan (bila tidak melanggar hukum Negara). Terawih 11, 21, bahkan tidak terawih silakan (ini semua adalah ART). Tidak menjadikan kita kufur dan masuk neraka (apalagi kita punya dalil, untuk pribadi-pribadi kita masing-masing).
Pertanyaannya apakah ini semua dibiarkan? Bila meresahkan masyarakat? Misal kawin tanpa saksi (Hanafi dan Syi’ah), dst…dst. Semua ini harus diatur dengan undang-undang Negara. Kalau zina dibiarkan mengapa mut’ah anda caci-maki (padahal mereka meyakini itu). Kalau hormat pada presiden dibiarkan, kalau hormat pada tokoh politik sedemikian rupa anda biarkan, mengapa mauled Nabi dan berdiri (dengan asumsi nabi datang) kita larang, haram, bid’ah… Dst…dst.
Kami yakin, bila kita belajar sejarah sahabat (saling berbeda pendapat, bahkan berperang, bunuh-bunuhan), sejarah hadist ditulis dan periwayatan serta pemalsuannya, sejarah klaim Ijma’, sejarah timbulnya madzab-madzab, sampai penutupan pintu ijtihat, ‘katanya’), sejarah sukses-nya Muawiyyah, Abbasiyyah dan runtuhnya, bagaimana para sufi lahir. Sampai Islam lulu lantak dan dijajah barat (sampai sekarang ini).
Maka kita akan sepakat, “agama”-lah, “ulama”-lah (atau para “tokoh”-lah) yang menyebabkan Islam seperti sekarang. Pertikaian mereka, mengkatagorikan apa-apa dalam klaim agama (seperti barat abad pertengahan) penyebab Islam seperti sekarang ini.
Kita lihat keributan, maaf, antar ulama Sunnah-Syiah-Wahabi, juga Liberalisme. Seandainya mereka lebih arif (kami sangat-sangat awam, hanya geram dan punya niat baik hanya ingin ukhuwwah Islam saja). Dalil-dalil mereka (comot sana-sini, dari kitab-kitab yang mereka sendiri tidak mengakuinya).
Lihat saja; kalau Syiah (mereka berusaha mencari dalil apapun yang ada dikitab-kitab sunnah, untuk menyalahkan sunnah dan membenarkan klaim-klaimnya). Kalau Sunnah (sama mencoba memberi tafsir hadist-hadist-nya dan mencari-cari dalil dibuku-buku Syi’ah yang mengkritik Syi’ah atau membenarkan madzabnya), demikian juga kedua yang lain.
Padahal, semua kitab itu punya ‘masalah’; sejarah penulisannya; masa Muawiyyah, sekian ratus tahun (Muawiyyah, sangat benci Ali dan keluarganya atau Syi’ah), Abbasiyyah sekian ratus tahun (membenci Muawiyyah dan sedikit menyanjung Ali dan Keluarganya, kalau tidak banyak)….dst..dst.
Siapa sih yang mengizinkan kita membawa stempel dan jadi satpam-satpam akidah tanpa izin resmi dari yang memiliki "kebenaran" itu. Sehingga kita mengatakan Kafir, Zindiq, Munafik, Munharif bahkan kepada manusia-manusia yang selalu menyebut kalimat "la ila ha illa-allah Muhammad Rasullallah".
Padahal perlu diingat; Apapun yang kita tahu hanyalah perspektif dan preferensi kita yang sarat akan batasan kerak-kerak pemikiran karena dominasi lingkungan dan pendidikan kita.
Al faqir bi Itnillah, La Haula wala Quwwata Illa Billah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar